Surah Al-Ikhlas, sebuah surah pendek yang memiliki kedudukan luar biasa dalam Al-Qur'an, seringkali disebut sebagai intisari ajaran tauhid dalam Islam. Meskipun singkat, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya begitu mendalam dan fundamental, merangkum esensi dari keyakinan monoteistik yang murni. Setiap ayatnya adalah pilar yang menopang pemahaman tentang Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang Esa, tempat bergantung segala sesuatu, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Dari keempat ayat yang membentuk surah agung ini, ayat ketiga, "Lam yalid wa lam yulad", memegang peranan krusial dalam mendefinisikan sifat-sifat keilahian yang mutlak dan membedakan konsep Tuhan dalam Islam dari segala bentuk kepercayaan lain.
Ayat ini bukan sekadar penegasan, melainkan sebuah deklarasi tegas yang menolak segala bentuk perumpamaan atau penyifatan yang dapat merendahkan keagungan Allah SWT. Dalam konteks ayat-ayat sebelumnya, yaitu "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa) dan "Allahus Shamad" (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu), ayat ketiga ini hadir sebagai penjelas dan penguat akan keunikan Allah yang tak tertandingi. Ia menyaring dan memurnikan akidah dari segala bentuk syirik, baik yang tersurat maupun tersirat, dan membebaskan pikiran manusia dari gambaran-gambaran Tuhan yang terbatas oleh atribut makhluk.
Pembahasan mendalam tentang ayat "Lam yalid wa lam yulad" tidak hanya melibatkan pemahaman linguistik dan terjemahan harfiahnya, tetapi juga merangkum implikasi teologis, filosofis, historis, dan spiritual yang luas. Ini adalah jantung dari konsep Tanzih dalam Islam, yaitu pensucian Allah dari segala bentuk kekurangan dan keserupaan dengan makhluk. Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah Zat yang transenden, bebas dari segala keterikatan biologis, silsilah, atau kebutuhan akan asal-usul, menjadikannya satu-satunya yang patut disembah tanpa keraguan.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ayat ini, kita perlu menguraikan setiap katanya, menilik konteks wahyu, menyelami tafsir para ulama, serta merenungkan dampaknya bagi kehidupan seorang Muslim. Artikel ini akan mengajak pembaca untuk melakukan perjalanan intelektual dan spiritual, menyingkap berbagai lapisan makna dari "Lam yalid wa lam yulad", dan memperkuat fondasi tauhid yang merupakan inti ajaran Islam.
Intisari Surah Al-Ikhlas dan Posisi Ayat Ketiga
Surah Al-Ikhlas, yang juga dikenal dengan nama lain seperti Surah At-Tauhid, Surah Al-Maqashqid, atau Surah Al-Asas, adalah permata Al-Qur'an yang menjelaskan secara ringkas dan padat tentang konsep keesaan Allah. Nama "Al-Ikhlas" sendiri berarti "kemurnian" atau "memurnikan", yang mengindikasikan bahwa surah ini berfungsi untuk memurnikan akidah dan hati seorang Muslim dari segala bentuk kemusyrikan dan keraguan tentang Allah. Diriwayatkan bahwa surah ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrikin Makkah (atau kaum Yahudi/Nasrani menurut riwayat lain) kepada Nabi Muhammad SAW tentang silsilah dan sifat-sifat Allah. Jawaban yang diberikan Al-Qur'an melalui surah ini adalah jawaban yang paling komprehensif dan final.
Ayat-ayat dalam Surah Al-Ikhlas membentuk sebuah kesatuan makna yang koheren, di mana setiap ayat saling melengkapi dan menguatkan. Mari kita perhatikan strukturnya:
- "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa): Ini adalah pondasi utama, deklarasi mutlak tentang keesaan Allah, menolak segala bentuk politheisme atau dualisme. Allah itu satu, tidak ada tandingan-Nya dalam wujud dan esensi.
- "Allahus Shamad" (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu): Ayat ini menjelaskan implikasi dari keesaan Allah. Sebagai Yang Maha Esa, Dia adalah satu-satunya tempat bergantung, sumber segala kebutuhan, dan satu-satunya yang memiliki kesempurnaan mutlak. Segala makhluk memerlukan-Nya, tetapi Dia tidak memerlukan siapa pun.
- "Lam yalid wa lam yulad" (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan): Inilah ayat yang menjadi fokus pembahasan kita. Ayat ini secara eksplisit menolak segala bentuk atribut biologis atau silsilah kepada Allah, menegaskan transendensi dan keunikan-Nya yang mutlak. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran bahwa Allah memiliki permulaan atau akhir, atau bahwa Dia dapat memiliki keturunan.
- "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad" (Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia): Ayat penutup ini merangkum dan menguatkan semua pernyataan sebelumnya, menegaskan bahwa tidak ada makhluk, entitas, atau konsep apa pun yang dapat disamakan, disetarakan, atau menjadi tandingan Allah dalam bentuk apa pun, baik dalam esensi, sifat, maupun tindakan-Nya.
Dalam rangkaian ini, ayat ketiga, "Lam yalid wa lam yulad", berfungsi sebagai jembatan penting yang menghubungkan konsep keesaan mutlak ("Ahad") dan kebergantungan mutlak ("As-Samad") dengan konsep transendensi Allah yang tak terbatas. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang mungkin muncul di benak manusia tentang asal-usul dan sifat-sifat Tuhan. Jika Allah itu Esa dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya, maka secara logis, Dia tidak mungkin memiliki anak atau diperanakkan, karena kedua konsep tersebut mengimplikasikan keterbatasan, kebutuhan, dan kemiripan dengan makhluk. Ayat ini secara langsung menepis pemikiran-pemikiran yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, yang memiliki siklus kehidupan, reproduksi, dan silsilah.
Kehadiran ayat ini begitu vital karena secara spesifik menyentuh inti dari banyak kepercayaan polytheistik dan bahkan monotheistik lainnya yang mengatribusikan sifat-sifat biologis atau kekerabatan kepada Tuhan. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya menyatakan apa itu Allah, tetapi juga secara tegas menyatakan apa itu bukan Allah, memberikan batasan yang jelas dan tak terbantahkan untuk konsep ketuhanan dalam Islam.
Analisis Linguistik "Lam yalid wa lam yulad"
Untuk benar-benar menggali makna ayat ini, kita harus melihatnya dari sudut pandang bahasa Arab, karena setiap kata dan struktur gramatikalnya mengandung kekayaan makna yang mendalam. Ayat ini terdiri dari tiga bagian utama: "Lam yalid", "wa" (dan), dan "lam yulad".
1. "Lam Yalid" (Dia tiada beranak)
Kata "Lam" dalam bahasa Arab adalah partikel negasi (huruf nafyi) yang khusus digunakan untuk meniadakan kejadian di masa lalu dan masa depan secara mutlak dan permanen, memberikan penegasan yang sangat kuat. "Lam" juga menjadikan fi'il mudhari' (kata kerja bentuk sekarang/akan datang) setelahnya dalam bentuk majzum (dijazmkan). Ini bukan sekadar penolakan sementara, melainkan penolakan fundamental yang tidak dapat diubah.
Kata "yalid" berasal dari akar kata (جذر) و-ل-د (walada), yang berarti "melahirkan", "mewujudkan", "memperanakkan", atau "menjadikan ada melalui proses reproduksi biologis". Akar kata ini merujuk pada segala bentuk prokreasi, baik itu melahirkan anak secara fisik, menghasilkan keturunan, atau bahkan dalam konteks yang lebih luas, menciptakan sesuatu yang merupakan bagian dari entitas aslinya atau menyerupai dirinya. Ketika "yalid" dinegasikan oleh "Lam", maknanya menjadi: "Dia tidak pernah, sekarang, dan selamanya tidak akan melahirkan/memperanakkan siapa pun atau apa pun."
Negasi yang kuat dengan "Lam" menunjukkan bahwa konsep memiliki keturunan atau anak adalah mustahil bagi Allah, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Ini adalah penyucian Allah dari segala sifat makhluk yang memiliki keterbatasan siklus hidup, reproduksi, dan kebutuhan untuk mempertahankan garis keturunan.
2. "Wa Lam Yulad" (Dan tiada pula diperanakkan)
Setelah bagian pertama yang menolak Allah memiliki keturunan, bagian kedua ini menegaskan sisi sebaliknya: Allah juga tidak diperanakkan. Kata "wa" berarti "dan", yang menghubungkan dua negasi ini menjadi satu kesatuan yang komprehensif.
Kata "yulad" adalah bentuk pasif (مبني للمجهول - mabni lil majhul) dari akar kata و-ل-د (walada). Dalam bentuk pasif, "yulad" berarti "dilahirkan" atau "diperanakkan". Ketika dinegasikan oleh "Lam", "Lam yulad" berarti "Dia tidak pernah, sekarang, dan selamanya tidak akan dilahirkan atau diperanakkan oleh siapa pun atau apa pun."
Bagian ini menolak gagasan bahwa Allah memiliki asal-usul, bahwa Dia sendiri adalah hasil dari proses penciptaan atau kelahiran dari entitas lain. Ini adalah penegasan atas keabadian-Nya (Al-Qidam), kemandirian-Nya (Al-Qiyamuhu bi Nafsihi), dan bahwa Dia adalah Al-Awwal (Yang Maha Awal) yang tidak didahului oleh apa pun, serta Al-Akhir (Yang Maha Akhir) yang tidak akan diakhiri oleh apa pun.
Implikasi Linguistik Gabungan
Gabungan dari "Lam yalid wa lam yulad" menciptakan sebuah penegasan ganda yang sempurna tentang transendensi Allah dari segala bentuk keterikatan waktu, ruang, dan proses biologis. Ini bukan hanya menolak satu aspek, tetapi menolak kedua sisi dari mata uang "kelahiran" dan "keturunan".
- Menolak Anak: Allah tidak membutuhkan pewaris, penerus, atau pelengkap. Keberadaan-Nya adalah mutlak dan sempurna. Dia tidak beranak karena Dia tidak memiliki kekurangan yang perlu ditutupi oleh keturunan, dan tidak ada yang bisa menambah kesempurnaan-Nya.
- Menolak Diperanakkan: Allah tidak memiliki permulaan. Dia adalah Al-Awwal, yang ada tanpa awal. Dia tidak diciptakan atau dihasilkan dari entitas lain, karena jika demikian, Dia akan bergantung kepada yang menciptakan-Nya, yang bertentangan dengan sifat "As-Samad" (tempat bergantung segala sesuatu).
Secara sintaksis dan semantik, kombinasi dua negasi ini memberikan cakupan penolakan yang paling komprehensif dan mutlak. Ini menghancurkan setiap klaim atau pemikiran yang berusaha menyamakan Allah dengan makhluk, yang semuanya memiliki permulaan dan pada akhirnya akan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan eksistensinya. Allah, melalui ayat ini, memproklamasikan Diri-Nya sebagai Zat yang benar-benar unik, di luar pemahaman manusia yang terbatas oleh pengalaman duniawi.
Implikasi Teologis dan Konseptual
Ayat "Lam yalid wa lam yulad" bukan sekadar kalimat sederhana; ia adalah batu penjuru dalam arsitektur teologi Islam. Implikasinya menyentuh inti dari konsep Tauhid (Keesaan Allah) dan Tanzih (Pensucian Allah dari segala keserupaan dengan makhluk). Mari kita telusuri implikasi teologisnya yang mendalam:
1. Penegasan Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat
- Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam Penciptaan dan Pemeliharaan): Jika Allah memiliki anak atau diperanakkan, itu akan menyiratkan bahwa ada entitas lain yang berbagi kekuasaan-Nya dalam penciptaan atau bahkan mendahului-Nya. Ayat ini menolak sepenuhnya gagasan tersebut, menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta, tanpa ada sekutu dalam kekuasaan-Nya. Dia tidak memerlukan bantuan untuk menciptakan atau memelihara.
- Tauhid Uluhiyah (Keesaan Allah dalam Ibadah): Hanya Allah yang patut disembah. Jika Dia memiliki anak atau diperanakkan, itu bisa mengarah pada penyembahan selain-Nya, baik kepada "anak-Nya" atau "orang tua-Nya". Ayat ini memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata, karena hanya Dia yang Maha Mandiri dan Maha Sempurna, tidak bergantung pada siapa pun dan tidak memiliki permulaan atau akhir.
- Tauhid Asma wa Sifat (Keesaan Allah dalam Nama dan Sifat): Sifat-sifat Allah adalah unik dan sempurna. Memiliki anak atau diperanakkan adalah sifat makhluk yang terbatas. Ayat ini menjaga kemurnian sifat-sifat Allah, menegaskan bahwa tidak ada satupun sifat-Nya yang menyerupai sifat makhluk. Sifat-sifat seperti Al-Qadim (Maha Terdahulu), Al-Baqi (Maha Kekal), Al-Ghani (Maha Kaya/Tidak Membutuhkan), dan Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri) semuanya terkandung dalam penolakan ini.
2. Penolakan terhadap Konsep Ketuhanan dalam Agama Lain
Ayat ini secara langsung membantah beberapa keyakinan mendasar dalam agama-agama lain:
- Kekristenan: Doktrin Trinitas, khususnya konsep Yesus sebagai "Anak Allah" (Son of God) atau "diperanakkan, bukan diciptakan". Ayat "Lam yalid wa lam yulad" secara tegas menolak klaim ini, menyatakan bahwa Allah tidak memiliki anak dalam pengertian apa pun, baik secara fisik maupun metaforis, dan Dia juga tidak dilahirkan.
- Paganisme dan Mitologi Kuno: Banyak kepercayaan pagan menyajikan dewa-dewi yang memiliki keturunan, silsilah keluarga, dan bahkan dilahirkan dari dewa lain. Ayat ini menghancurkan semua perumpamaan semacam itu, menegaskan bahwa Allah adalah Zat yang mutlak dan transenden, di luar alam prokreasi dan keterikatan keluarga dewa-dewi.
- Sebagian Keyakinan Yahudi: Meskipun Yahudi menekankan monoteisme, beberapa aliran atau interpretasi kuno mungkin memiliki konsep yang secara tidak langsung memberikan atribut antropomorfis kepada Tuhan. Ayat ini memastikan bahwa tidak ada ruang bagi perumpamaan semacam itu dalam Islam.
3. Penegasan Transendensi (Tanzih) dan Kemandirian (Qiyamuhu bi Nafsihi) Allah
Konsep "Lam yalid wa lam yulad" menempatkan Allah pada posisi yang benar-benar berbeda dari segala ciptaan-Nya. Dia adalah Transenden (mutakaddis) dari segala keterbatasan:
- Tidak Terikat Ruang dan Waktu: Proses kelahiran dan keturunan adalah bagian dari siklus waktu dan keberadaan di dalam ruang. Dengan menolak keduanya, Allah ditegaskan sebagai Zat yang melampaui batasan ruang dan waktu.
- Tidak Terikat Kebutuhan Biologis: Kebutuhan untuk beranak seringkali timbul dari kebutuhan akan penerus, kelangsungan jenis, atau mengisi kekosongan. Allah, sebagai As-Samad (Yang Maha Mandiri), tidak memiliki kebutuhan semacam itu. Kekayaan-Nya sempurna, keberadaan-Nya abadi, dan kesempurnaan-Nya tidak memerlukan penambahan.
- Tidak Memiliki Permulaan atau Akhir: "Lam yulad" berarti Dia tidak memiliki awal, menegaskan sifat Al-Awwal. "Lam yalid" berarti Dia tidak memiliki akhir dalam arti harus ada keturunan untuk melanjutkan "eksistensi"-Nya, menegaskan sifat Al-Akhir dan Al-Baqi (Maha Kekal).
4. Kesempurnaan Absolut Allah
Segala sesuatu yang dilahirkan atau melahirkan memiliki keterbatasan dan membutuhkan yang lain. Seorang anak membutuhkan orang tua, dan orang tua "membutuhkan" anak untuk melanjutkan garis keturunan atau sebagai bagian dari fitrah manusia. Allah, dengan menolak kedua aspek ini, menyatakan kesempurnaan absolut-Nya. Dia tidak memerlukan siapa pun untuk ada, untuk melanggengkan kekuasaan-Nya, atau untuk mencapai kesempurnaan. Keberadaan-Nya adalah esensi dari segala keberadaan.
Secara keseluruhan, "Lam yalid wa lam yulad" adalah sebuah deklarasi yang mengguncang setiap pemahaman tentang Tuhan yang terbatas oleh alam materi atau analogi manusia. Ini adalah mercusuar tauhid yang murni, membimbing hati dan pikiran menuju pemahaman yang benar tentang Allah SWT, Zat yang Maha Esa, Maha Mandiri, Maha Sempurna, dan Maha Transenden.
Konteks Historis dan Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Pemahaman mengenai asbabun nuzul, atau sebab-sebab turunnya suatu ayat, seringkali memberikan wawasan yang lebih kaya tentang makna dan urgensi ayat tersebut. Surah Al-Ikhlas, termasuk ayat ketiganya, "Lam yalid wa lam yulad", memiliki latar belakang sejarah yang signifikan, yang menyoroti perannya sebagai jawaban definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan krusial tentang Allah SWT.
Mayoritas ulama tafsir meriwayatkan bahwa Surah Al-Ikhlas diturunkan di Makkah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Makkah. Mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya, "Sebutkan kepada kami silsilah Tuhanmu!" Atau dalam riwayat lain, "Terangkanlah kepada kami tentang Tuhanmu, apakah Dia itu terbuat dari emas atau perak?" Pertanyaan ini menunjukkan upaya mereka untuk memahami Tuhan dengan analogi yang familiar bagi mereka: dewa-dewa yang memiliki silsilah, yang terbuat dari materi, atau yang memiliki atribut serupa dengan manusia atau patung-patung yang mereka sembah.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, konsep dewa-dewi yang memiliki keturunan dan silsilah adalah hal yang lumrah. Mereka percaya pada berbagai dewa dan dewi yang memiliki anak, bahkan menganggap malaikat sebagai "putri-putri Allah" (seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an, misalnya Surah An-Nahl 16:57). Pertanyaan mereka kepada Nabi SAW mencerminkan pemahaman antropomorfis (menyerupakan Tuhan dengan manusia) yang mereka miliki tentang ketuhanan.
Selain kaum musyrikin, beberapa riwayat lain menyebutkan bahwa pertanyaan serupa juga datang dari kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah. Kaum Yahudi mungkin mempertanyakan "siapa yang mewarisi Allah?" atau "siapa yang mendahului Allah?". Sementara kaum Nasrani, dengan doktrin Trinitas mereka yang menyatakan Yesus sebagai "Anak Allah" dan Allah sebagai "Bapa", memiliki pemahaman tentang Tuhan yang secara langsung berkonflik dengan keesaan mutlak yang diajarkan Islam. Dalam konteks ini, ayat "Lam yalid wa lam yulad" menjadi penolakan langsung dan tegas terhadap doktrin "Son of God" (anak Tuhan) yang merupakan inti dari keyakinan Kristen, serta menolak gagasan Allah memiliki "orang tua" atau asal-usul.
Asbabun nuzul ini menegaskan bahwa Surah Al-Ikhlas, dan khususnya ayat ketiga, adalah jawaban ilahi yang komprehensif dan tak terbantahkan terhadap semua pertanyaan dan keraguan mengenai hakikat Allah. Ini bukan sekadar ajaran abstrak, tetapi sebuah deklarasi yang relevan secara langsung dengan perdebatan teologis dan kepercayaan yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW.
Pentingnya ayat ini dalam konteks historis terletak pada kemampuannya untuk membedakan secara tajam konsep Tuhan dalam Islam dari semua konsep ketuhanan lainnya. Di tengah berbagai kepercayaan yang mencampurkan Zat Yang Maha Kuasa dengan sifat-sifat makhluk, Al-Qur'an melalui "Lam yalid wa lam yulad" memberikan garis demarkasi yang jelas. Ia menyucikan Allah dari segala bentuk gambaran yang merendahkan, yang mengimplikasikan keterbatasan, kebutuhan, atau kemiripan dengan ciptaan.
Dengan demikian, ayat ini berfungsi sebagai alat pemurnian akidah (tauhid) bagi kaum Muslimin dan sebagai tantangan intelektual bagi mereka yang memiliki pandangan berbeda tentang ketuhanan. Ia menuntut manusia untuk mengangkat pemahaman tentang Tuhan melampaui batasan pengalaman biologis dan kekerabatan, menuju konsepsi tentang Zat yang Maha Sempurna, Maha Mandiri, dan Transenden secara mutlak.
Tafsir Para Ulama Mengenai "Lam Yalid Wa Lam Yulad"
Para ulama tafsir dari berbagai generasi telah memberikan penjelasan yang luas dan mendalam tentang ayat "Lam yalid wa lam yulad", menyoroti berbagai aspek makna dan implikasinya. Meskipun inti maknanya jelas – penolakan Allah memiliki anak dan diperanakkan – nuansa dalam penafsirannya memperkaya pemahaman kita.
1. Tafsir Ibn Katsir
Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya yang terkenal, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan penolakan terhadap keyakinan kaum musyrikin yang menganggap berhala-berhala memiliki anak perempuan atau laki-laki, dan penolakan terhadap keyakinan Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, serta keyakinan Nasrani bahwa Al-Masih (Isa) adalah anak Allah. Beliau menegaskan bahwa Allah itu tunggal, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada tandingan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ia tidak melahirkan apa pun karena tidak ada yang serupa dengan-Nya sehingga dapat melahirkan dan mewarisi-Nya. Dan Dia juga tidak dilahirkan karena Dia adalah Al-Awwal (Yang Maha Awal) yang tidak ada permulaan bagi-Nya.
Ibn Katsir menekankan aspek pemurnian akidah dari segala bentuk syirik dan keserupaan dengan makhluk, serta menyoroti atribut Al-Awwal dan Al-Akhir yang terkandung dalam negasi ganda ini.
2. Tafsir Ath-Thabari
Imam Ath-Thabari, salah satu mufasir paling awal, menjelaskan bahwa makna "Lam yalid" adalah bahwa Allah tidak memiliki anak sebagaimana manusia memiliki anak, dan tidak ada sesuatu pun yang keluar dari-Nya secara biologis. Sedangkan "wa lam yulad" berarti Dia tidak diciptakan atau dilahirkan oleh sesuatu yang lain. Dia menegaskan bahwa Allah adalah Azali (tidak berpermulaan) dan Abadi (tidak berakhir), tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang menciptakan-Nya.
Ath-Thabari fokus pada aspek keazalian dan keabadian Allah, serta penolakan keras terhadap gagasan bahwa Allah memiliki asal-usul atau bahwa Dia adalah produk dari sesuatu yang lain.
3. Tafsir Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi membahas lebih lanjut tentang hikmah di balik penolakan Allah memiliki anak. Beliau menjelaskan bahwa memiliki anak adalah sifat bagi makhluk yang membutuhkan anak untuk mempertahankan garis keturunan atau untuk membantu mereka. Allah, sebagai As-Samad (Maha Mandiri), tidak memiliki kebutuhan semacam itu. Dia adalah Maha Kaya dan Maha Kuasa, tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun. Al-Qurtubi juga menambahkan bahwa jika Allah memiliki anak, itu berarti anak tersebut akan setara dengan-Nya atau lebih rendah dari-Nya, dan keduanya tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Sempurna.
Al-Qurtubi menyoroti hubungan antara ayat ini dengan sifat As-Samad, menekankan kemandirian mutlak Allah dan ketiadaan kebutuhan-Nya terhadap segala sesuatu, termasuk keturunan.
4. Tafsir Fakhruddin Ar-Razi
Imam Fakhruddin Ar-Razi, dengan pendekatan rasionalnya, menguraikan bahwa frasa "Lam yalid wa lam yulad" secara logis mengimplikasikan bahwa Allah tidak memiliki bagian dari-Nya yang terpisah (yakni anak), dan Dia juga tidak merupakan bagian dari entitas lain (yakni dilahirkan). Ini menegaskan bahwa Allah adalah Zat yang Maha Utuh, tidak terbagi, dan tidak tersusun dari bagian-bagian. Jika Dia memiliki anak, berarti ada sebagian dari-Nya yang terpisah. Jika Dia dilahirkan, berarti Dia adalah bagian dari entitas yang lebih besar. Keduanya bertentangan dengan keesaan dan kemutlakan Allah.
Ar-Razi memberikan perspektif filosofis, menyoroti kesatuan dan keutuhan esensi Allah, serta menolak segala bentuk komposisi atau pembagian dalam Zat-Nya.
5. Tafsir As-Sa'di
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, seorang mufasir kontemporer, menjelaskan bahwa "Lam yalid wa lam yulad" menafikan adanya asal-usul bagi Allah dan adanya keturunan bagi-Nya. Allah adalah Yang Maha Awal, tidak didahului oleh sesuatu pun, dan Dia adalah Yang Maha Akhir, tidak diakhiri oleh sesuatu pun. Sifat-sifat ini menegaskan bahwa Dia adalah satu-satunya yang patut disembah, karena Dia adalah Maha Pencipta tanpa permulaan dan Maha Kekal tanpa akhir.
As-Sa'di menekankan aspek keazalian dan keabadian Allah sebagai dasar bagi kelayakan-Nya untuk disembah secara eksklusif.
Dari berbagai penafsiran ini, terlihat bahwa ulama sepakat tentang inti makna ayat: penolakan total dan mutlak terhadap Allah memiliki keturunan atau dilahirkan. Namun, mereka juga mengeksplorasi berbagai implikasi yang lebih dalam, seperti hubungan dengan sifat-sifat Allah lainnya (Al-Awwal, Al-Akhir, As-Samad), penolakan terhadap doktrin agama lain, dan penegasan kesempurnaan serta kemandirian Allah. Ayat ini, dengan segala tafsirannya, berdiri sebagai benteng kokoh yang menjaga kemurnian tauhid dalam Islam.
Kaitan "Lam Yalid Wa Lam Yulad" dengan Sifat-sifat Allah Lainnya
Ayat "Lam yalid wa lam yulad" tidak berdiri sendiri dalam konsep keesaan Allah. Sebaliknya, ia sangat erat kaitannya dengan sifat-sifat Allah yang lain, bahkan dapat dikatakan sebagai manifestasi atau konsekuensi logis dari sifat-sifat tersebut. Memahami keterkaitan ini akan semakin memperdalam apresiasi kita terhadap kesempurnaan dan keagungan Allah SWT.
1. Al-Ahad (Yang Maha Esa)
Surah Al-Ikhlas dimulai dengan "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa). Konsep keesaan yang mutlak ini menjadi dasar bagi "Lam yalid wa lam yulad". Jika Allah adalah Esa dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya, maka Dia tidak mungkin memiliki anak atau diperanakkan. Memiliki anak akan mengimplikasikan adanya "bagian" dari-Nya atau adanya "yang serupa" dengan-Nya. Diperanakkan akan berarti ada yang mendahului dan menciptakan-Nya. Keduanya bertentangan dengan keesaan-Nya yang mutlak, yang tidak terbagi, tidak tersusun, dan tidak memiliki permulaan maupun akhir.
2. As-Samad (Yang Bergantung kepada-Nya segala sesuatu)
Ayat kedua Surah Al-Ikhlas, "Allahus Samad", menjelaskan bahwa Allah adalah satu-satunya tempat bergantung bagi seluruh makhluk, sedangkan Dia sendiri tidak bergantung kepada siapa pun atau apa pun. Sifat "As-Samad" ini adalah fondasi bagi "Lam yalid wa lam yulad". Mengapa? Karena:
- Jika Allah memiliki anak: Itu berarti Dia memerlukan anak untuk melanjutkan "silsilah" atau "kekuasaan"-Nya, atau untuk memenuhi kebutuhan emosional layaknya manusia. Ini akan bertentangan dengan sifat "As-Samad" yang Maha Mandiri dan tidak membutuhkan apa pun.
- Jika Allah diperanakkan: Itu berarti Dia bergantung pada "orang tua" atau pencipta-Nya untuk keberadaan-Nya. Ini juga akan bertentangan dengan sifat "As-Samad" yang menjadi sandaran mutlak bagi segala sesuatu.
Dengan demikian, "Lam yalid wa lam yulad" adalah konsekuensi logis dari sifat As-Samad, yang menegaskan kemandirian mutlak Allah dan ketiadaan kebutuhan-Nya terhadap segala sesuatu.
3. Al-Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri / Mandiri)
Sifat "Qiyamuhu bi Nafsihi" berarti Allah ada dengan sendirinya, tidak membutuhkan keberadaan yang lain untuk ada, dan tidak membutuhkan tempat atau pencipta. "Lam yulad" secara langsung menegaskan sifat ini, karena menolak Allah memiliki permulaan atau diciptakan. Dia adalah Wujud Mutlak yang keberadaan-Nya adalah esensi dari Diri-Nya sendiri.
4. Al-Qadim (Maha Terdahulu / Azali) dan Al-Baqi (Maha Kekal / Abadi)
"Lam yulad" secara implisit menegaskan sifat Al-Qadim, bahwa Allah adalah Maha Terdahulu, yang tidak didahului oleh apa pun. Keberadaan-Nya tidak memiliki awal. "Lam yalid" secara implisit menegaskan sifat Al-Baqi, bahwa Allah adalah Maha Kekal, yang keberadaan-Nya tidak memiliki akhir dan tidak bergantung pada keturunan untuk melanggengkan "eksistensi"-Nya.
5. Al-Ghani (Maha Kaya / Tidak Membutuhkan)
Sifat Al-Ghani berarti Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Jika Allah melahirkan atau diperanakkan, itu akan menunjukkan adanya kebutuhan, baik kebutuhan untuk memiliki keturunan maupun kebutuhan untuk memiliki asal-usul. "Lam yalid wa lam yulad" menafikan segala bentuk kebutuhan ini, mengukuhkan sifat Al-Ghani Allah yang mutlak.
6. Al-Mukhalafatu lil Hawadits (Berbeda dengan Makhluk)
Sifat ini berarti Allah sama sekali berbeda dari makhluk ciptaan-Nya. Segala makhluk memiliki permulaan, mengalami perkembangan, dan sebagian besar memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Dengan tegas menolak "melahirkan" dan "diperanakkan", ayat ini menempatkan Allah di luar kategori makhluk, menegaskan perbedaan fundamental antara Khaliq (Pencipta) dan makhluq (ciptaan).
7. Al-Wahdaniyah (Keesaan Mutlak)
Sifat Wahdaniyah mencakup keesaan dalam zat, sifat, dan perbuatan. "Lam yalid wa lam yulad" adalah pilar utama dari Wahdaniyah ini, karena menolak segala bentuk penggandaan atau pemecahan dalam zat Allah (melahirkan) dan menolak segala bentuk kemiripan dengan makhluk yang memiliki awal dan akhir (diperanakkan).
Dengan demikian, "Lam yalid wa lam yulad" adalah bukan sekadar sebuah pernyataan tunggal, melainkan sebuah simpul yang mengikat dan menguatkan banyak sifat keagungan Allah. Ayat ini adalah manifestasi dari kesempurnaan-Nya, kemandirian-Nya, keazalian-Nya, keabadian-Nya, dan transendensi-Nya dari segala sesuatu yang terbatas dan fana. Ia adalah deklarasi yang paling tegas tentang hakikat Allah yang tak tertandingi dan tak terlukiskan oleh analogi manusiawi.
Dampak Spiritual dan Praktis dari Memahami Ayat Ini
Pemahaman yang mendalam tentang ayat "Lam yalid wa lam yulad" bukan hanya sebuah latihan intelektual atau teologis, melainkan memiliki dampak spiritual dan praktis yang sangat besar bagi kehidupan seorang Muslim. Ayat ini adalah fondasi yang kokoh untuk membangun keimanan yang murni dan lurus.
1. Memurnikan Tauhid dan Membebaskan dari Syirik
Dampak paling utama adalah pemurnian tauhid. Dengan memahami bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, seorang Muslim secara otomatis menolak segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) yang mengatribusikan sifat-sifat makhluk kepada Tuhan. Ini termasuk menolak:
- Kepercayaan pada dewa-dewi yang memiliki keturunan.
- Konsep "Anak Allah" dalam agama lain.
- Gagasan bahwa ada kekuatan lain yang setara atau melebihi Allah.
- Penyembahan kepada selain Allah yang dianggap memiliki kekuatan "ilahi" atau koneksi "khusus" dengan Tuhan.
Pemurnian ini mengarah pada ibadah yang tulus (ikhlas) hanya kepada Allah, karena Dialah satu-satunya yang Maha Sempurna, Maha Mandiri, dan tidak bergantung kepada siapa pun.
2. Menguatkan Rasa Ketundukan dan Ketergantungan (Tawakkal)
Jika Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, berarti Dia adalah Zat yang Maha Mandiri dan Maha Kuasa secara mutlak. Dia tidak memerlukan siapa pun, tetapi segala sesuatu memerlukan-Nya. Pemahaman ini menumbuhkan rasa tawakkal (ketergantungan total) kepada Allah semata. Seorang Muslim menyadari bahwa hanya Allah yang bisa memberikan pertolongan, rezeki, dan perlindungan, karena Dia adalah sumber segala sesuatu yang tidak memiliki kekurangan atau keterbatasan. Rasa takut, khawatir, dan putus asa akan berkurang karena ia tahu bahwa ada Tuhan yang Maha Agung dan Maha Sempurna yang mengurus segalanya.
3. Menghilangkan Kekhawatiran dan Keterikatan pada Dunia
Konsep memiliki anak atau diperanakkan terkait dengan kelangsungan hidup, warisan, dan keterikatan pada dunia materi. Ketika kita memahami bahwa Allah bebas dari semua ini, kita juga diajak untuk membebaskan diri dari keterikatan yang berlebihan pada dunia fana. Kita tahu bahwa hidup kita, rezeki kita, dan masa depan kita ada di tangan Zat yang tidak terikat oleh batasan-batasan duniawi ini. Ini membawa kedamaian batin dan kebebasan spiritual.
4. Membangun Kecintaan yang Murni kepada Allah (Mahabbah)
Kecintaan sejati kepada Allah lahir dari pengenalan yang benar akan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Ketika seorang Muslim memahami keunikan, kemandirian, dan kesempurnaan Allah yang dijelaskan dalam "Lam yalid wa lam yulad", ia akan merasakan kekaguman dan kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Kecintaan ini bukanlah karena Allah membutuhkan kita, melainkan karena Dia adalah Zat yang paling pantas dicintai dan diagungkan atas segala kesempurnaan-Nya.
5. Menumbuhkan Kehormatan Diri dan Martabat Kemanusiaan
Dengan memahami bahwa Allah itu Esa, tidak beranak, dan tidak diperanakkan, manusia menyadari bahwa ia diciptakan langsung oleh Sang Pencipta yang Maha Agung, bukan oleh "anak Tuhan" atau "dewa anak". Ini mengangkat martabat manusia sebagai hamba Allah yang memiliki hubungan langsung dengan Penciptanya. Manusia tidak perlu merendahkan diri di hadapan makhluk lain atau meyakini perantara yang tidak berhak. Kehormatan diri ini mendorong manusia untuk berbuat baik dan bertanggung jawab.
6. Motivasi untuk Berdakwah dan Menyampaikan Pesan Tauhid
Keyakinan yang kuat pada keesaan Allah yang murni ini akan mendorong seorang Muslim untuk menyampaikan pesan tauhid kepada orang lain. Ia akan merasa bertanggung jawab untuk membersihkan konsep ketuhanan dari segala bentuk kesyirikan dan menjelaskan kebenaran tentang Allah sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur'an, termasuk melalui ayat "Lam yalid wa lam yulad".
7. Sumber Kedamaian dan Ketenangan Hati
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan, pemahaman tentang Tuhan yang Azali, Abadi, Maha Mandiri, tidak berawal dan tidak berakhir, memberikan ketenangan yang mendalam. Allah tidak akan pernah mati, tidak akan pernah berubah, dan tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya. Keyakinan ini adalah jangkar yang menahan hati dari kegelisahan dan kekosongan spiritual.
Singkatnya, ayat "Lam yalid wa lam yulad" adalah lebih dari sekadar dogma; ia adalah inti dari pengalaman spiritual seorang Muslim. Ia membentuk pandangan dunia yang jelas, memandu moralitas, dan memberikan tujuan hidup yang mulia. Ia adalah pencerahan yang membebaskan jiwa dari segala bentuk perbudakan, kecuali perbudakan kepada Allah Yang Maha Esa.
Ayat Ketiga Surah Al-Ikhlas dalam Kehidupan Kontemporer
Di era kontemporer yang ditandai dengan pluralitas kepercayaan, kemajuan sains dan teknologi, serta berbagai aliran pemikiran, pesan dari ayat "Lam yalid wa lam yulad" tetap relevan, bahkan semakin penting. Ayat ini menawarkan pandangan yang kokoh tentang realitas tertinggi di tengah berbagai tantangan dan pertanyaan modern.
1. Menjawab Tantangan Pluralisme Agama
Di tengah masyarakat global yang semakin mengakui pluralisme agama, ayat "Lam yalid wa lam yulad" menyediakan batas yang jelas dan tak terkompromikan dalam dialog antaragama. Sementara Islam menghormati semua nabi dan kitab suci, ia tidak dapat menyamakan konsep Tuhan yang beranak atau diperanakkan dengan konsep Allah Yang Maha Esa. Ayat ini menjadi penegas identitas teologis Islam yang unik, menawarkan kejelasan di tengah keragaman. Ia memungkinkan Muslim untuk berinteraksi dengan penganut agama lain dengan tetap teguh pada keyakinan inti mereka tentang kemurnian tauhid.
2. Mengatasi Krisis Identitas dan Spiritual Modern
Banyak individu di era modern menghadapi krisis identitas dan kekosongan spiritual, mencari makna dalam kehidupan. Ayat ini memberikan fondasi yang kuat: ada Tuhan yang Maha Mandiri, Maha Sempurna, yang tidak bergantung pada siapa pun dan tidak memiliki permulaan atau akhir. Keyakinan ini memberikan stabilitas dan makna hidup yang abadi, membebaskan manusia dari keterikatan pada hal-hal fana dan pencarian validasi yang tak berkesudahan dari sesama makhluk.
3. Sains dan Transendensi Allah
Meskipun sains modern telah banyak mengungkap misteri alam semesta, ia tidak dapat menjawab pertanyaan tentang asal-usul absolut atau keberadaan mutlak. Justru, kompleksitas alam semesta semakin menegaskan adanya Desainer yang Maha Agung. Ayat "Lam yalid wa lam yulad" menegaskan transendensi Allah dari segala proses alami yang dapat diobservasi oleh sains, termasuk reproduksi dan evolusi. Allah adalah Pencipta proses-proses ini, bukan bagian dari proses itu sendiri. Ini membantu membedakan antara ilmu pengetahuan alam dan metafisika, menegaskan bahwa Tuhan tidak dapat dijelaskan atau dipahami melalui hukum-hukum fisika dan biologi yang berlaku bagi ciptaan-Nya.
4. Menolak Antropomorfisme di Era Digital
Di era digital, di mana kecerdasan buatan (AI) dan teknologi semakin canggih, ada kecenderungan manusia untuk menciptakan "tuhan" dalam bentuk algoritma atau entitas digital yang mereka pahami. Ayat ini adalah pengingat penting bahwa Allah tidak dapat disamakan dengan entitas apa pun yang diciptakan atau diproses oleh manusia, bahkan dalam bentuk yang paling canggih sekalipun. Dia adalah Zat yang melampaui segala gambaran dan pemodelan manusia.
5. Sumber Kekuatan Moral dan Etika
Memahami bahwa Allah adalah Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran akan hari pertanggungjawaban. Karena tidak ada yang dapat menyamai Allah, tidak ada pula yang dapat lari dari pengawasan-Nya. Ini menjadi dasar kuat bagi etika dan moralitas, mendorong individu untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan, bukan karena takut pada hukuman manusia, melainkan karena kesadaran akan kehadiran dan keesaan Sang Pencipta.
6. Mengukuhkan Persatuan Umat Islam
Terlepas dari perbedaan mazhab atau aliran, semua Muslim bersatu dalam keyakinan inti ini. "Lam yalid wa lam yulad" adalah salah satu pilar utama yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia, menegaskan satu Tuhan, satu kitab, dan satu nabi. Di tengah fragmentasi sosial dan politik, pesan tauhid dari ayat ini menjadi pengingat akan persatuan fundamental dalam akidah.
Dengan demikian, "Lam yalid wa lam yulad" bukan hanya warisan masa lalu, melainkan sebuah panduan yang sangat relevan untuk masa kini dan masa depan. Ia terus menawarkan kejelasan, kekuatan, dan makna bagi individu maupun masyarakat, menjaga kemurnian konsep ketuhanan dari segala bentuk distorsi dan kesalahpahaman yang mungkin muncul di setiap zaman.
Kesimpulan
Perjalanan kita menelusuri kedalaman ayat ketiga Surah Al-Ikhlas, "Lam yalid wa lam yulad" (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan), telah mengungkap sebuah kebenaran fundamental yang menjadi inti ajaran Islam. Ayat yang singkat ini, dengan struktur linguistiknya yang presisi dan maknanya yang universal, merupakan deklarasi tegas tentang hakikat Allah SWT yang transenden, mandiri, dan sempurna secara mutlak.
Dari analisis linguistik, kita belajar bahwa negasi ganda yang digunakan – "Lam yalid" dan "Lam yulad" – menegaskan penolakan secara total dan abadi terhadap segala bentuk atribut biologis atau silsilah bagi Allah. Ini berarti Allah tidak pernah melahirkan siapa pun dan tidak pernah pula dilahirkan oleh siapa pun, sekarang, dan selamanya. Penolakan ini adalah inti dari pemurnian konsep ketuhanan dalam Islam.
Secara teologis, ayat ini adalah benteng kokoh bagi tauhid dalam ketiga dimensinya: Rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pemeliharaan), Uluhiyah (keesaan Allah dalam ibadah), dan Asma wa Sifat (keesaan Allah dalam nama dan sifat-Nya). Ia secara langsung menolak doktrin-doktrin agama lain yang mengatribusikan keturunan kepada Tuhan, seperti konsep "Anak Allah" dalam Kekristenan atau dewa-dewi beranak dalam paganisme kuno. Ayat ini juga secara inheren mengukuhkan sifat-sifat Allah lainnya seperti Al-Ahad (Maha Esa), As-Samad (Maha Mandiri), Al-Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri), Al-Qadim (Maha Terdahulu), Al-Baqi (Maha Kekal), Al-Ghani (Maha Kaya), dan Al-Mukhalafatu lil Hawadits (Berbeda dengan Makhluk).
Konteks historis penurunan Surah Al-Ikhlas menunjukkan bahwa ayat ini adalah jawaban ilahi yang paling definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kaum musyrikin, Yahudi, dan Nasrani tentang "silsilah" Allah. Ini menegaskan bahwa Islam menawarkan pemahaman tentang Tuhan yang bebas dari segala analogi manusiawi dan keterbatasan makhluk.
Dampak spiritual dan praktis dari pemahaman ayat ini sangatlah besar. Ia memurnikan akidah dari syirik, menguatkan tawakkal (ketergantungan) kepada Allah, menghilangkan kekhawatiran dan keterikatan pada dunia fana, menumbuhkan kecintaan yang murni kepada Allah, serta mengangkat martabat kemanusiaan. Dalam kehidupan kontemporer, ayat ini tetap relevan sebagai penjelas identitas teologis Islam di tengah pluralisme agama, sebagai sumber stabilitas spiritual di tengah krisis identitas, dan sebagai penegas transendensi Allah di hadapan kemajuan sains dan teknologi.
Pada akhirnya, "Lam yalid wa lam yulad" adalah lebih dari sekadar kalimat yang dihafal; ia adalah kunci untuk membuka gerbang pemahaman yang benar tentang Allah, Yang Maha Esa, Yang Maha Sempurna, dan Yang tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Dengan merenungkan dan menghayati makna ayat ini, seorang Muslim tidak hanya memperkuat imannya, tetapi juga menemukan kedamaian, tujuan, dan pencerahan yang abadi, membebaskan jiwanya untuk hanya tunduk kepada Allah, Tuhan semesta alam.