Visualisasi sederhana tentang keesaan Allah dan sentralitas-Nya, seperti yang digambarkan dalam Surah Al-Ikhlas.
Surah Al-Ikhlas, sebuah permata dalam Al-Quran, adalah manifestasi kemurnian tauhid, keyakinan fundamental dalam Islam mengenai keesaan Allah. Meskipun singkat, surah ini mengandung makna yang begitu luas dan dalam, menjadikannya salah satu surah yang paling sering dibaca dan direnungkan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Dikenal juga sebagai Surah At-Tauhid, ia secara ringkas menyajikan esensi akidah Islam: bahwa Allah adalah Esa, Maha Sempurna, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya. Setiap ayat dalam surah ini adalah pilar yang menopang pemahaman kita tentang Tuhan, namun ayat kedua, "Allahu ash-Shamad" (Allah adalah Ash-Shamad), memiliki kedalaman filosofis dan teologis yang luar biasa, seringkali membutuhkan penjelasan yang ekstensif untuk memahami kekayaan maknanya.
Ayat ini bukan sekadar sebuah pernyataan, melainkan sebuah deklarasi yang menyingkap sifat-sifat fundamental Allah yang membedakan-Nya dari segala entitas lain yang mungkin disembah atau dipersepsikan sebagai ilah. Memahami 'Ash-Shamad' adalah kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih dalam tentang kemandirian mutlak Allah, keabadian-Nya, kesempurnaan-Nya, dan ketergantungan mutlak seluruh ciptaan kepada-Nya. Ini adalah inti dari kepercayaan monoteistik yang murni, menegaskan bahwa tidak ada kebutuhan yang Allah miliki, sementara semua kebutuhan makhluk adalah kepada-Nya. Artikel ini akan menjelajahi makna ayat kedua Surah Al-Ikhlas ini secara komprehensif, menyelami linguistiknya, tafsirnya dari berbagai ulama, implikasi teologisnya, serta bagaimana pemahaman tentang 'Ash-Shamad' membentuk pandangan dunia dan spiritualitas seorang Muslim.
Surah Al-Ikhlas adalah surah ke-112 dalam Al-Quran, terdiri dari empat ayat pendek yang kuat. Nama "Al-Ikhlas" sendiri berarti "kemurnian" atau "ketulusan", mencerminkan tujuan surah ini untuk memurnikan keyakinan seseorang dari segala bentuk syirik atau penyekutuan Tuhan. Surah ini seringkali dianggap sebagai ringkasan inti ajaran tauhid Islam, yang merupakan fondasi utama agama ini.
Terdapat beberapa riwayat mengenai sebab turunnya Surah Al-Ikhlas. Salah satu riwayat yang paling terkenal adalah ketika orang-orang musyrik Mekah atau Yahudi datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan bertanya tentang sifat Tuhannya. Mereka ingin mengetahui tentang silsilah, bentuk, atau esensi Allah. Sebagai respons atas pertanyaan ini, Surah Al-Ikhlas diturunkan untuk memberikan jawaban yang jelas dan tegas, menetapkan batas-batas yang tidak boleh dilanggar dalam menggambarkan Allah. Ini menunjukkan bahwa Surah Al-Ikhlas bukan hanya deklarasi keesaan, tetapi juga penolakan terhadap segala bentuk penggambaran antropomorfik atau perbandingan Allah dengan ciptaan-Nya.
Banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menyoroti keutamaan Surah Al-Ikhlas. Salah satu hadis yang paling masyhur adalah bahwa membaca Surah Al-Ikhlas setara dengan membaca sepertiga Al-Quran. Ini bukan berarti pahalanya sama persis dengan membaca sepertiga isi Al-Quran secara harfiah, melainkan karena surah ini mengandung inti dari ajaran tauhid yang menjadi sepertiga dari seluruh ajaran Al-Quran. Tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah, adalah pilar utama Islam, dan Surah Al-Ikhlas adalah representasi sempurna dari konsep tersebut. Keutamaan lainnya termasuk bahwa membacanya dapat mendatangkan kecintaan Allah, perlindungan dari kejahatan, dan menjadi penyebab masuk surga.
Setelah ayat pertama yang menyatakan "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa), ayat kedua langsung mengikuti dengan pernyataan fundamental lainnya: "Allahu ash-Shamad". Kata 'Ash-Shamad' adalah salah satu dari 99 Nama Allah (Asmaul Husna) yang memiliki spektrum makna yang sangat kaya dan mendalam, mencakup berbagai aspek kesempurnaan dan kemandirian Ilahi. Ini adalah kata yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan satu padanan kata yang sempurna, karena ia merangkum banyak sifat sekaligus.
Kaligrafi Arab "Allahu ash-Shamad", ayat kedua Surah Al-Ikhlas.
Untuk memahami makna 'Ash-Shamad', kita perlu menelusuri akar kata dan penggunaannya dalam bahasa Arab klasik. Kata ini berasal dari akar kata ص م د (ṣ-m-d) yang memiliki beberapa konotasi utama:
Melihat keragaman makna ini, jelaslah bahwa 'Ash-Shamad' bukanlah konsep yang sempit, melainkan sebuah istilah yang kaya akan nuansa dan merangkum banyak sifat kesempurnaan Allah secara sekaligus. Terjemahan paling umum seperti "Yang Maha Mandiri", "Yang Maha Kekal", "Yang menjadi Tumpuan Segala Kebutuhan", atau "Yang Maha Sempurna" hanya mampu menangkap sebagian kecil dari maknanya yang luas.
Para mufasir (ahli tafsir) Al-Quran telah memberikan berbagai interpretasi mengenai 'Ash-Shamad', yang meskipun beragam, semuanya saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita. Mari kita lihat beberapa di antaranya:
Ibn Abbas, salah satu sahabat Nabi yang paling agung dan ahli dalam tafsir Al-Quran, menafsirkan 'Ash-Shamad' sebagai: "Dia adalah Sayyid (Pemimpin) yang kesempurnaan kepemimpinan-Nya telah mencapai puncaknya, Yang Maha Mulia yang kesempurnaan kemuliaan-Nya telah mencapai puncaknya, Yang Maha Agung yang kesempurnaan keagungan-Nya telah mencapai puncaknya, Yang Maha Sabar yang kesempurnaan kesabaran-Nya telah mencapai puncaknya, Yang Maha Kaya yang kesempurnaan kekayaan-Nya telah mencapai puncaknya, Yang Maha Bijaksana yang kesempurnaan kebijaksanaan-Nya telah mencapai puncaknya." Beliau juga menafsirkan 'Ash-Shamad' sebagai "Yang kepada-Nya semua makhluk berpaling dalam hajat mereka, setelah mereka makan dan minum." Ini menekankan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung bagi seluruh makhluk dalam segala kebutuhan mereka, baik fisik maupun spiritual.
Penafsiran Ibn Abbas ini menyoroti bahwa 'Ash-Shamad' merangkum kesempurnaan mutlak dalam seluruh sifat-sifat Allah. Tidak ada kekurangan dalam keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, kesabaran-Nya, kekayaan-Nya, maupun kebijaksanaan-Nya. Setiap atribut kesempurnaan mencapai titik puncaknya hanya pada Allah. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa makhluk berpaling kepada-Nya untuk segala sesuatu, menunjukkan ketergantungan universal dan mutlak kepada Sang Pencipta.
Mujahid, salah seorang tabi'in terkemuka, menafsirkan 'Ash-Shamad' sebagai "Dia yang tidak memiliki rongga (interior) dan tidak makan." Penafsiran serupa disampaikan oleh Ikrimah, murid Ibn Abbas, yang mengatakan: "Ash-Shamad adalah Dzat yang tidak keluar sesuatu pun dari-Nya, dan tidak masuk sesuatu pun ke dalam-Nya."
Penafsiran ini menekankan kemandirian mutlak Allah dari kebutuhan jasmani. Ketiadaan rongga mengisyaratkan bahwa Dia tidak tersusun dari bagian-bagian, tidak memerlukan asupan (makanan atau minuman), dan tidak mengeluarkan sesuatu (seperti sisa pencernaan atau keturunan). Ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan manusia atau makhluk) dan menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang transenden, bebas dari segala keterbatasan makhluk. Dia tidak terikat oleh hukum-hukum fisik yang mengatur kehidupan di alam semesta.
Qatadah menafsirkan 'Ash-Shamad' sebagai "Yang menjadi tujuan dan sandaran segala hajat." Ini adalah penekanan pada peran Allah sebagai satu-satunya Yang kepadanya semua kebutuhan makhluk diarahkan. Ketika seseorang membutuhkan sesuatu, baik itu rezeki, kesehatan, petunjuk, atau pertolongan, dialah Allah yang menjadi tujuan akhir dari doa dan permohonan.
Penafsiran ini menyoroti aspek 'maqshad' (tujuan) dan 'malja'' (sandaran) dalam makna 'Ash-Shamad'. Setiap makhluk, secara sadar atau tidak, pada akhirnya akan kembali dan bergantung kepada-Nya. Baik dalam kesukaran maupun kemudahan, baik secara eksplisit melalui doa maupun implisit melalui sistem alam semesta yang diatur-Nya, Allah adalah pusat dari segala ketergantungan dan harapan.
Hasan Al-Basri menafsirkan 'Ash-Shamad' sebagai "Yang kekal dan abadi setelah seluruh ciptaan-Nya binasa." Ini menekankan sifat keabadian Allah, bahwa Dia adalah Dzat yang tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki akhir. Segala sesuatu selain Dia akan binasa dan musnah, tetapi Dia akan tetap kekal.
Penafsiran ini memperkaya pemahaman kita tentang keabadian dan keesaan Allah. Dia adalah Dzat yang mandiri dalam eksistensi-Nya, tidak tergantung pada waktu atau ruang. Sementara makhluk memiliki awal dan akhir, Allah adalah Al-Awwal (Yang Maha Awal) dan Al-Akhir (Yang Maha Akhir). Keabadian-Nya adalah manifestasi dari kesempurnaan-Nya yang mutlak, tidak tunduk pada perubahan atau kefanaan.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menggabungkan banyak penafsiran, menyimpulkan bahwa 'Ash-Shamad' adalah "Yang kepadanya semua makhluk berpaling dalam hajat mereka, dan Dia tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun." Beliau juga menyoroti bahwa makna "padat dan tidak berongga" mengindikasikan ketiadaan organ tubuh yang dapat merasakan lapar atau dahaga, serta ketiadaan anak dan orang tua. Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar lainnya, dalam karyanya 'Al-Maqsad Al-Asna fi Sharh Ma'ani Asma' Allah Al-Husna', menafsirkan 'Ash-Shamad' sebagai "Tujuan terakhir segala tujuan, Yang kepada-Nya semua hajat disampaikan dan ditujukan, dan kepada-Nya segala usaha manusia berakhir."
Penafsiran-penafsiran ini saling melengkapi, memperkuat ide bahwa 'Ash-Shamad' mencakup kemandirian mutlak Allah dari segala bentuk kebutuhan (lahiriah maupun batiniah) dan pada saat yang sama menjadi satu-satunya sumber dan tujuan bagi semua kebutuhan makhluk. Dialah Yang Maha Cukup dengan diri-Nya sendiri, dan segala sesuatu selain Dia bergantung pada-Nya sepenuhnya.
Pemahaman yang mendalam tentang 'Ash-Shamad' membawa kita kepada beberapa implikasi teologis dan filosofis yang sangat penting dalam akidah Islam. Ini bukan sekadar nama atau sifat, melainkan sebuah konsep fundamental yang membentuk inti dari keyakinan monoteistik.
Makna utama dari 'Ash-Shamad' adalah bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mandiri (Self-Sufficient). Dia tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya. Dia tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak memiliki keturunan, tidak membutuhkan pendamping, penasihat, atau penolong. Kekayaan-Nya mutlak dan tak terbatas. Sebaliknya, segala sesuatu selain Dia, baik manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, maupun benda mati, semuanya bergantung kepada-Nya. Ketergantungan ini bersifat total dan menyeluruh, meliputi eksistensi, rezeki, kekuatan, dan segala aspek kehidupan.
Konsep ini membebaskan akal manusia dari gagasan bahwa Tuhan adalah entitas yang bisa membutuhkan sesuatu, seperti tuhan-tuhan dalam mitologi yang lapar, haus, atau membutuhkan persembahan untuk kekuatannya. Dalam Islam, Allah adalah Dzat yang Maha Kaya, yang tidak terpengaruh oleh ketaatan maupun kemaksiatan makhluk-Nya. Ketaatan kita tidak menambah kemuliaan-Nya, dan kemaksiatan kita tidak mengurangi sedikit pun kekuasaan-Nya.
Simbol tangan yang menengadah, merefleksikan manusia yang sepenuhnya bergantung kepada Allahus Samad.
Makna 'Ash-Shamad' juga mencakup keabadian dan kekekalan Allah. Dia adalah Dzat yang tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki akhir. Dia ada sebelum segala sesuatu dan akan tetap ada setelah segala sesuatu binasa. Ini menegaskan bahwa eksistensi Allah tidak terikat oleh waktu dan ruang, yang merupakan ciptaan-Nya. Dia transenden di atas segala keterbatasan temporal dan spasial.
Pemahaman ini menguatkan keyakinan bahwa Allah adalah sumber segala eksistensi. Jika Dia sendiri memiliki awal atau akhir, maka Dia akan membutuhkan Pencipta lain, yang akan mengarah pada lingkaran tak berujung (regress ad infinitum) atau adanya Tuhan yang juga membutuhkan Tuhan. Konsep 'Ash-Shamad' secara tegas memutus lingkaran tersebut, menempatkan Allah sebagai satu-satunya Realitas yang Mandiri dalam eksistensi-Nya.
Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Abbas, 'Ash-Shamad' menyiratkan kesempurnaan mutlak dalam seluruh sifat-sifat Allah. Setiap sifat-Nya—seperti ilmu (pengetahuan), qudrah (kekuatan), hikmah (kebijaksanaan), iradah (kehendak), dan sebagainya—tidak memiliki batas atau kekurangan. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, kekuatan-Nya tak terbatas, kebijaksanaan-Nya sempurna dalam setiap ciptaan-Nya, dan kehendak-Nya tidak ada yang dapat menghalangi.
Kesempurnaan ini berarti bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang layak disembah, karena Dia adalah satu-satunya yang mampu memenuhi segala kebutuhan, memecahkan segala masalah, dan menguasai segala sesuatu. Tidak ada cacat atau kelemahan dalam Dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya, maupun perbuatan-Nya. Ini juga mengeliminasi kemungkinan adanya Tuhan lain, karena jika ada dua tuhan, masing-masing pasti memiliki kekurangan atau batasan, yang akan menyangkal status ketuhanan mereka yang sempurna.
Salah satu makna paling sentral dari 'Ash-Shamad' adalah bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan dan sandaran bagi seluruh ciptaan. Manusia, dengan segala kelemahan dan keterbatasannya, secara naluriah mencari tempat bergantung saat menghadapi kesulitan. 'Ash-Shamad' mengajarkan bahwa tempat bergantung yang sejati dan satu-satunya yang tidak akan pernah mengecewakan adalah Allah.
Ketika seseorang sakit, ia mencari penyembuhan kepada Allah. Ketika seseorang miskin, ia meminta rezeki kepada Allah. Ketika seseorang dilanda kesulitan, ia memohon pertolongan kepada Allah. Bahkan dalam kebahagiaan dan kesuksesan, seorang Muslim mengakui bahwa itu semua berasal dari Allah dan wajib bersyukur kepada-Nya. Ini membentuk hubungan yang mendalam antara hamba dan Rabb-nya, di mana setiap aspek kehidupan diarahkan kepada-Nya.
Pemahaman 'Ash-Shamad' secara efektif menolak segala bentuk syirik (penyekutuan Allah dengan yang lain). Jika Allah adalah 'Ash-Shamad'—Maha Mandiri, Maha Sempurna, dan satu-satunya Sandaran—maka tidak mungkin ada ilah lain yang memiliki sifat-sifat serupa atau bahkan sebagian darinya. Tidak ada dewa-dewi, berhala, manusia suci, atau entitas lain yang dapat berbagi sifat 'Ash-Shamad' ini.
Menggantungkan harapan, meminta pertolongan, atau menyembah selain Allah adalah tindakan yang bertentangan dengan konsep 'Ash-Shamad', karena ini berarti menganggap entitas lain memiliki kemandirian atau kekuatan yang hanya dimiliki oleh Allah. 'Ash-Shamad' adalah fondasi tauhid rububiyyah (tauhid dalam kepengaturan) dan tauhid uluhiyyah (tauhid dalam peribadatan).
Setiap ayat dalam Surah Al-Ikhlas tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi dan menguatkan makna tauhid. Ayat "Allahu ash-Shamad" berfungsi sebagai penjelasan dan elaborasi atas ayat sebelumnya, serta menjadi dasar bagi ayat-ayat berikutnya.
Ayat pertama "Qul Huwallahu Ahad" mendeklarasikan keesaan mutlak Allah. Kemudian, "Allahu ash-Shamad" menjelaskan lebih lanjut tentang kualitas keesaan tersebut. Bagaimana Allah itu Esa? Dia Esa karena Dia adalah 'Ash-Shamad'. Keesaan-Nya bukan hanya dalam bilangan (satu), tetapi juga dalam kualitas, sifat, dan kemandirian-Nya. Tidak ada yang menyerupai-Nya atau sebanding dengan-Nya dalam sifat 'Ash-Shamad'. Jika ada entitas lain yang juga 'Ash-Shamad', maka keesaan Allah akan rusak.
Dengan kata lain, 'Ash-Shamad' adalah penegas dan penguat dari 'Ahad'. Keduanya membentuk definisi yang komprehensif tentang siapa Allah itu: Dia adalah Esa dalam zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, dan keesaan ini ditegaskan oleh kemandirian mutlak-Nya dari segala kebutuhan serta menjadi tumpuan bagi segala sesuatu.
Ayat ketiga, "Lam Yalid wa Lam Yulad", merupakan konsekuensi logis dari sifat 'Ash-Shamad'. Jika Allah adalah 'Ash-Shamad'—Yang Maha Mandiri, tidak berongga, dan tidak membutuhkan apa pun—maka sudah barang tentu Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Kebutuhan untuk beranak atau memiliki orang tua adalah ciri khas makhluk yang terbatas, yang memiliki permulaan dan membutuhkan kelangsungan. Allah, sebagai 'Ash-Shamad', Maha Mandiri dari segala kebutuhan ini.
Beranak mengisyaratkan kebutuhan akan pewaris atau penerus, atau berbagi sifat ketuhanan dengan yang lain. Diperanakkan mengisyaratkan adanya permulaan dan ketergantungan pada Dzat lain yang menciptakan-Nya. Kedua konsep ini secara fundamental bertentangan dengan kemandirian dan keabadian 'Ash-Shamad'. Dengan demikian, ayat ini menjadi penjelasan konkret tentang apa yang tidak ada pada Dzat 'Ash-Shamad'.
Ayat terakhir Surah Al-Ikhlas ini juga merupakan kesimpulan logis dari sifat 'Ash-Shamad'. Jika Allah adalah 'Ash-Shamad'—yang Maha Mandiri, Maha Sempurna dalam segala sifat, dan satu-satunya tujuan segala kebutuhan—maka tidak mungkin ada satu pun yang setara atau sebanding dengan-Nya. Kesetaraan hanya mungkin jika ada entitas lain yang juga memiliki sifat 'Ash-Shamad' secara sempurna, dan ini mustahil karena hanya ada satu 'Ash-Shamad' (sesuai dengan 'Ahad').
Tidak ada yang setara dengan-Nya dalam Dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya, maupun perbuatan-Nya. Dia unik dalam segala hal. Konsep 'Ash-Shamad' secara otomatis mengeliminasi setiap potensi adanya pesaing, rekan, atau mitra bagi Allah dalam ketuhanan. Ini adalah penegasan mutlak dari keunikan dan singularitas Allah yang tidak tertandingi.
Pemahaman yang mendalam dan internalisasi makna 'Ash-Shamad' memiliki dampak transformatif pada spiritualitas dan kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Ini bukan hanya konsep teologis yang kering, melainkan sumber kekuatan, kedamaian, dan arah hidup.
Ketika seorang Muslim memahami bahwa Allah adalah 'Ash-Shamad'—satu-satunya yang Maha Mandiri dan tempat bergantung bagi segala sesuatu—maka ia akan mengembangkan tawakkul yang kuat. Ia tahu bahwa segala urusannya, baik yang besar maupun yang kecil, berada di tangan Allah. Ini tidak berarti pasif dan tidak berusaha, melainkan berusaha sekuat tenaga dan kemudian menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah 'Ash-Shamad' yang Maha Mengatur dan Maha Memenuhi kebutuhan.
Tawakkul ini membawa kedamaian batin dan mengurangi kecemasan. Seorang Muslim tidak akan terlalu khawatir dengan rezeki, kesehatan, atau masa depan, karena ia percaya bahwa Allah, sebagai 'Ash-Shamad', akan senantiasa mencukupi dan mengurus segala urusannya sesuai dengan kehendak-Nya yang Maha Bijaksana.
Pemahaman 'Ash-Shamad' secara langsung memengaruhi kualitas doa dan ibadah. Ketika seseorang berdoa, ia tahu bahwa ia sedang berbicara kepada Dzat yang Maha Mandiri, Maha Sempurna, yang tidak memiliki kebutuhan, tetapi mampu memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya. Ini menguatkan keyakinan bahwa doa-doa akan didengar dan dikabulkan (sesuai dengan hikmah Allah).
Ibadah menjadi lebih tulus (ikhlas) karena seorang Muslim menyembah Allah bukan karena Allah membutuhkan ibadahnya, melainkan karena ia menyadari ketergantungan mutlaknya kepada 'Ash-Shamad' dan ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap sujud, rukuk, dan tasbih adalah pengakuan akan kebesaran 'Ash-Shamad' dan pengingkaran terhadap segala bentuk ketergantungan selain kepada-Nya.
Menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari 'Ash-Shamad' dan kita sepenuhnya bergantung kepada-Nya, akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam. Setiap nikmat, dari napas yang kita hirup hingga rezeki yang kita peroleh, adalah karunia dari 'Ash-Shamad'. Ini juga melahirkan kerendahan hati, karena kita menyadari bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah dan penuh keterbatasan di hadapan kebesaran 'Ash-Shamad'.
Rasa syukur membuat hati lapang dan rezeki terasa berkah, sementara kerendahan hati menghindarkan diri dari kesombongan dan keangkuhan. Seorang Muslim yang memahami 'Ash-Shamad' akan senantiasa berusaha menjadi hamba yang bersyukur dan tidak pernah merasa cukup dengan amal perbuatannya.
Konsep 'Ash-Shamad' adalah benteng terkuat melawan segala bentuk syirik. Dengan memahami bahwa hanya Allah yang 'Ash-Shamad', seorang Muslim akan secara tegas menolak pemujaan atau pengharapan kepada selain-Nya. Ia tidak akan meminta kepada patung, kuburan, orang mati, atau perantara yang dikultuskan, karena ia tahu bahwa entitas-entitas tersebut tidak memiliki sifat 'Ash-Shamad' dan mereka sendiri membutuhkan Sang Pencipta.
Pemurnian akidah ini adalah inti dari ajaran Islam dan memastikan bahwa ibadah serta kepercayaan seorang Muslim tetap murni hanya kepada Allah SWT. Ini adalah 'Al-Ikhlas' itu sendiri—ketulusan dalam mengesakan Allah.
Ketika seorang Muslim menghadapi cobaan atau musibah, pemahaman tentang 'Ash-Shamad' memberinya kekuatan dan ketahanan. Ia tahu bahwa Allah, sebagai 'Ash-Shamad', adalah satu-satunya tempat untuk berlindung dan satu-satunya yang mampu menghilangkan kesulitan. Ini memberinya keyakinan bahwa setiap cobaan memiliki hikmah dan bahwa pertolongan Allah pasti akan datang.
Tidak ada masalah yang terlalu besar bagi 'Ash-Shamad'. Keyakinan ini menghilangkan keputusasaan dan memberikan harapan yang teguh bahkan di tengah badai kehidupan terberat sekalipun. Jiwa menjadi tenang karena mengetahui bahwa ada kekuatan tak terbatas yang selalu menjadi sandaran.
Gambaran semua makhluk yang secara intrinsik terhubung dan bergantung pada satu Titik Pusat, Allahus Samad.
Konsep 'Ash-Shamad' dalam Islam secara fundamental berbeda dan seringkali bertentangan dengan konsep ketuhanan dalam banyak agama atau filosofi lain. Perbandingan ini menegaskan keunikan tauhid Islam.
Dalam Kristen, konsep Tuhan seringkali dipahami dalam doktrin Tritunggal, di mana Allah adalah tiga pribadi (Bapa, Putra, Roh Kudus) dalam satu esensi. Konsep 'Ash-Shamad' dalam Islam secara langsung menolak gagasan Tuhan memiliki "putra" atau "bagian" dari Dzat-Nya. 'Ash-Shamad' adalah Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan (Lam Yalid wa Lam Yulad), sehingga tidak ada pembagian atau persekutuan dalam Dzat Ilahi. Kemandirian mutlak 'Ash-Shamad' juga bertentangan dengan gagasan tentang Tuhan yang "menjelma" menjadi manusia atau "membutuhkan" pengorbanan.
Dalam politeisme, terdapat banyak dewa-dewi yang masing-masing memiliki kekuasaan terbatas dan seringkali memiliki kebutuhan, kelemahan, dan konflik layaknya manusia. Konsep 'Ash-Shamad' secara tegas menolak adanya banyak ilah dan segala bentuk keterbatasan pada Dzat Ilahi. Hanya ada satu 'Ash-Shamad' yang Maha Sempurna dan Maha Mandiri. Sementara panteisme menyamakan Tuhan dengan alam semesta atau segala sesuatu yang ada, 'Ash-Shamad' menegaskan transendensi Allah di atas ciptaan-Nya. Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta, tetapi Dia tidak sama dengan alam semesta itu sendiri; Dia berbeda dan lebih tinggi dari segala yang diciptakan-Nya.
Ateisme menolak keberadaan Tuhan, sementara agnostisisme menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui atau dibuktikan. Konsep 'Ash-Shamad' memberikan kerangka filosofis yang kuat untuk keberadaan Dzat yang Maha Mandiri dan Maha Sempurna sebagai penyebab utama segala sesuatu. Dalam pandangan Islam, keberadaan alam semesta yang teratur dan membutuhkan pemelihara mengisyaratkan adanya 'Ash-Shamad'. Keberadaan 'Ash-Shamad' menjawab pertanyaan filosofis tentang siapa yang menciptakan Pencipta, dengan menegaskan bahwa 'Ash-Shamad' adalah Dzat yang secara intrinsik tidak membutuhkan Pencipta, karena kemandirian-Nya adalah bagian dari esensi-Nya.
Ayat kedua Surah Al-Ikhlas, "Allahu ash-Shamad", adalah deklarasi yang mendalam dan komprehensif tentang sifat Allah SWT yang Maha Mandiri, Maha Sempurna, Maha Kekal, dan satu-satunya tempat bergantung bagi seluruh makhluk. Kata 'Ash-Shamad' merangkum berbagai makna yang saling melengkapi, mulai dari Yang Padat dan Utuh, Yang Maha Mandiri dan tidak membutuhkan apa pun, Yang Kekal Abadi, hingga Yang menjadi Tujuan dan Sandaran bagi segala kebutuhan.
Pemahaman akan 'Ash-Shamad' membentuk fondasi akidah Islam yang kokoh, mengikis segala bentuk syirik dan antropomorfisme, serta membebaskan jiwa dari ketergantungan kepada selain Allah. Ia mendorong seorang Muslim untuk mengembangkan tawakkul yang kuat, memperdalam doa dan ibadahnya, menumbuhkan rasa syukur dan kerendahan hati, serta memberikan kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi cobaan hidup.
Surah Al-Ikhlas, dengan ayat "Allahu ash-Shamad" sebagai intinya, adalah lebih dari sekadar kumpulan kata-kata. Ia adalah peta jalan menuju pemahaman yang murni tentang Tuhan, sebuah lensa untuk melihat realitas dengan jelas, dan sumber inspirasi untuk menjalani hidup dengan penuh keyakinan dan kedamaian di bawah naungan 'Ash-Shamad', Dzat yang kepadanya segala sesuatu kembali.
Merenungkan makna 'Ash-Shamad' adalah sebuah perjalanan spiritual yang tidak pernah berakhir, terus-menerus membuka tabir keagungan dan kesempurnaan Allah, dan memurnikan hati dari segala bentuk ilusi dan ketergantungan yang fana. Di dalam 'Ash-Shamad' terkandung segala jawaban atas pertanyaan fundamental tentang keberadaan, tujuan, dan tempat kembali kita.
Melalui pengkajian yang mendalam terhadap ayat ini, setiap Muslim diajak untuk meresapi kebenaran agung bahwa di alam semesta yang luas dan kompleks ini, hanya ada satu entitas yang Maha Sempurna, Maha Mandiri, dan Maha Abadi, yang kepadanya segala sesuatu kembali dan bergantung: Dialah Allah, Ash-Shamad.