Ayat ke-7 Al-Fatihah: Puncak Doa, Makna Tiga Golongan Manusia, dan Jalan Hidup Muslim
Surah Al-Fatihah, yang dikenal sebagai 'Ummul Kitab' (Induk Kitab) atau 'Sab'ul Matsani' (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), adalah inti dari setiap ibadah shalat dan pembuka Al-Qur'an yang mulia. Setiap ayat di dalamnya mengandung lautan hikmah dan petunjuk, namun ayat ke-7 secara khusus menjadi puncak dari permohonan hamba kepada Rabb-nya, serta rangkuman esensial tentang jalan hidup seorang Muslim. Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup, melainkan sebuah kompas moral dan spiritual yang memandu umat manusia menuju kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Dalam artikel yang komprehensif ini, kita akan menyelami setiap frasa dari ayat ke-7 Al-Fatihah, menguraikan makna mendalamnya, menyingkap identitas tiga golongan manusia yang disebutkan, serta memahami implikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Lebih dari sekadar tafsir linguistik, kita akan meninjau dimensi spiritual, teologis, dan historis yang membentuk pemahaman kita tentang ayat yang agung ini.
Pengantar Al-Fatihah: Doa yang Membuka Pintu Langit
Sebelum kita sampai pada ayat ke-7, mari kita ingat kembali posisi Al-Fatihah dalam Islam. Surah ini diwahyukan di Mekah dan terdiri dari tujuh ayat yang singkat namun padat makna. Ia adalah doa yang wajib dibaca dalam setiap rakaat shalat, menjadikannya dialog hamba dengan Tuhannya setidaknya 17 kali sehari bagi Muslim yang shalat lima waktu. Keistimewaan Al-Fatihah tergambar dalam sebuah Hadis Qudsi di mana Allah berfirman:
"Aku membagi shalat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Apabila hamba mengucapkan: 'Alhamdulillahi Rabbil 'alamin', maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Apabila ia mengucapkan: 'Ar-Rahmanir Rahim', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Apabila ia mengucapkan: 'Maliki Yaumiddin', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.' Apabila ia mengucapkan: 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in', Allah berfirman: 'Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.' Apabila ia mengucapkan: 'Ihdinas Siratal Mustaqim... hingga akhir surah', Allah berfirman: 'Itu bagi hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.'" (HR. Muslim)
Dari hadis ini jelaslah bahwa Al-Fatihah adalah sebuah dialog, di mana enam ayat pertama adalah pujian, pengakuan, dan ikrar hamba, yang kemudian memuncak pada permohonan agung di ayat keenam dan ketujuh: 'Ihdinas Siratal Mustaqim' (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ayat ke-7 adalah penjelasan konkret dari 'Siratal Mustaqim' tersebut, memilah antara jalan yang benar dan jalan yang menyimpang.
Ayat ke-7 Al-Fatihah: Teks, Transliterasi, dan Terjemahan
Mari kita tuliskan kembali ayat ke-7 Al-Fatihah dalam tulisan Arab, transliterasi, dan terjemahan bahasa Indonesia:
Ayat ini, meskipun singkat, sarat dengan makna dan menjadi penentu arah spiritual bagi setiap Muslim. Ia adalah doa yang meminta kejelasan dan perlindungan dari kesesatan dalam perjalanan hidup.
Bagian Pertama: صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (Jalan Orang-orang yang Telah Engkau Beri Nikmat kepada Mereka)
Ini adalah bagian pertama dari penjelasan tentang 'Siratal Mustaqim'. Ketika kita memohon kepada Allah untuk ditunjukkan jalan yang lurus, ayat ke-7 langsung memberikan contoh konkret siapa pemilik jalan tersebut: yaitu mereka yang telah Allah anugerahi nikmat. Namun, 'nikmat' di sini bukan sekadar kenikmatan duniawi seperti harta, jabatan, atau kesehatan semata. Nikmat yang dimaksud adalah nikmat spiritual, nikmat hidayah, nikmat iman, dan nikmat kedekatan dengan Allah.
Siapakah Golongan "Orang-orang yang Diberi Nikmat" Ini?
Al-Qur'an sendiri yang menjelaskan lebih lanjut siapa saja golongan yang dimaksud dengan "orang-orang yang diberi nikmat" ini. Dalam Surah An-Nisa' ayat 69, Allah berfirman:
"Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa: 69)
Dari ayat ini, kita dapat mengidentifikasi empat kategori utama dari golongan yang diberi nikmat:
- Para Nabi (An-Nabiyyin): Mereka adalah manusia pilihan yang Allah utus untuk menyampaikan wahyu dan membimbing umat manusia. Mereka adalah teladan sempurna dalam ketaatan, kesabaran, kejujuran, dan ketakwaan. Mengikuti jalan mereka berarti mengamalkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan penutup para nabi.
- Para Shiddiqin (Ash-Shiddiqin): Golongan ini adalah mereka yang sangat jujur dan membenarkan sepenuhnya segala yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, tanpa sedikitpun keraguan. Mereka adalah orang-orang yang keimanannya kokoh, perkataan mereka selaras dengan perbuatan, dan selalu teguh dalam kebenaran. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah contoh paling nyata dari golongan ini.
- Para Syuhada (Asy-Syuhada'): Mereka adalah orang-orang yang gugur di jalan Allah dalam membela agama-Nya, atau mereka yang bersaksi (syahid) akan kebenaran agama ini dengan jiwa dan raga mereka. Kematian mereka dalam keadaan syahid adalah puncak pengorbanan dan cinta kepada Allah.
- Orang-orang Saleh (Ash-Salihin): Ini adalah kategori yang paling luas dan mencakup semua Muslim yang beriman dan beramal saleh sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, menjalankan kewajiban agama, menjauhi larangan-Nya, serta berakhlak mulia dalam interaksi sosial. Mereka adalah orang-orang yang konsisten dalam kebaikan.
Meminta petunjuk kepada "jalan orang-orang yang diberi nikmat" berarti kita memohon agar dapat meneladani sifat dan perbuatan para nabi, memiliki kejujuran dan keteguhan iman para shiddiqin, keberanian dan pengorbanan para syuhada, serta ketakwaan dan kebaikan hati orang-orang saleh. Ini adalah sebuah cita-cita agung dalam setiap doa kita.
Esensi Nikmat Allah yang Hakiki
Penting untuk digarisbawahi bahwa nikmat yang kita minta adalah nikmat hidayah dan taufiq. Banyak orang kaya, berkuasa, atau sehat di dunia ini, tetapi tidak semua dari mereka berada di jalan yang lurus. Sebaliknya, bisa jadi ada orang yang hidup dalam kesederhanaan, namun hatinya dipenuhi iman dan ketakwaan, menjadikannya bagian dari golongan yang diberi nikmat yang sesungguhnya.
Nikmat terbesar adalah ketika Allah membuka hati seseorang untuk menerima Islam, memahami ajarannya, dan mampu mengamalkannya dengan ikhlas. Nikmat ini berlipat ganda ketika seseorang diberi kemampuan untuk beristiqamah di atas jalan tersebut hingga akhir hayatnya.
Dengan memohon jalan mereka, kita sejatinya meminta agar Allah memberikan kepada kita keimanan yang kokoh, pemahaman yang benar terhadap agama, kekuatan untuk beramal saleh, dan keteguhan untuk senantiasa berada di atas kebenaran, sebagaimana yang telah Allah karuniakan kepada para kekasih-Nya tersebut. Ini adalah doa yang mencakup seluruh aspek kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bagian Kedua: غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ (Bukan Jalan Mereka yang Dimurkai)
Setelah Allah menjelaskan jalan yang harus kita ikuti, ayat ke-7 segera memberikan peringatan keras tentang jalan yang harus kita hindari. Bagian ini berfungsi sebagai penegasan dan penjelas bahwa jalan yang lurus memiliki batasan yang jelas, yaitu dengan tidak menyerupai jalan orang-orang yang dimurkai Allah.
Siapakah Golongan "Mereka yang Dimurkai" Ini?
Dalam tafsir-tafsir klasik, sebagian besar ulama sepakat bahwa golongan "al-maghdūbi 'alaihim" (mereka yang dimurkai) secara spesifik merujuk kepada kaum Yahudi. Penafsiran ini didasarkan pada beberapa alasan:
- Banyaknya Ayat Qur'an: Al-Qur'an sering kali menceritakan bagaimana Bani Israil (keturunan Nabi Ya'qub, yang sebagian besar menjadi Yahudi) telah melanggar perjanjian dengan Allah, membunuh para nabi, mendustakan wahyu, dan menyimpang dari syariat yang telah diberikan kepada mereka.
- Pengetahuan yang Disalahgunakan: Kaum Yahudi dikenal memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Taurat dan tanda-tanda kenabian yang akan datang, termasuk kenabian Nabi Muhammad ﷺ. Namun, dengan sengaja mereka menolak kebenaran tersebut karena kesombongan, kedengkian, dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan atau status sosial mereka. Mereka mengetahui kebenaran namun berpaling darinya.
- Hadis Nabi: Beberapa hadis Nabi Muhammad ﷺ juga secara eksplisit mengidentifikasi kaum Yahudi sebagai "al-maghdūbi 'alaihim".
Meskipun demikian, secara umum, golongan "yang dimurkai" dapat diperluas maknanya untuk mencakup siapa saja yang telah menerima kebenaran (ilmu) namun kemudian sengaja menolaknya, mengingkarinya, atau tidak mengamalkannya karena kesombongan, kedengkian, atau mengikuti hawa nafsu. Mereka memiliki pengetahuan namun tidak mau mengikutinya, sehingga pantas mendapatkan murka Allah.
Mengapa Mereka Dimurkai?
Penyebab utama murka Allah terhadap golongan ini adalah:
- Sengaja Melanggar Perintah Allah: Mereka mengetahui perintah Allah tetapi sengaja melanggarnya.
- Mendustakan Kebenaran: Meskipun mereka memiliki ilmu dan bukti yang jelas, mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya.
- Kesombongan dan Kedengkian: Mereka menolak kebenaran karena kesombongan terhadap utusan Allah atau kedengkian terhadap orang lain yang menerima hidayah.
- Mengubah dan Menyembunyikan Kitab Suci: Mereka merubah atau menyembunyikan sebagian dari isi kitab suci mereka untuk kepentingan duniawi.
Dalam konteks doa kita, meminta perlindungan dari jalan mereka yang dimurkai berarti kita memohon kepada Allah agar tidak diberikan ilmu yang kemudian kita ingkari, atau tidak diberikan petunjuk yang kemudian kita tolak karena kesombongan atau hawa nafsu. Kita memohon agar hati kita senantiasa terbuka untuk menerima kebenaran dan bersedia mengamalkannya, meskipun itu bertentangan dengan keinginan pribadi kita.
Bagian Ketiga: وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (Dan Bukan Pula Jalan Mereka yang Sesat)
Setelah menyebutkan golongan yang dimurkai, ayat ke-7 melanjutkan dengan menyebutkan golongan kedua yang jalannya harus dihindari: yaitu "mereka yang sesat" atau "ad-dāllīn". Bagian ini melengkapi pemahaman kita tentang batas-batas 'Siratal Mustaqim'.
Siapakah Golongan "Mereka yang Sesat" Ini?
Sebagaimana golongan yang dimurkai, dalam tafsir-tafsir klasik, sebagian besar ulama juga sepakat bahwa golongan "ad-dāllīn" (mereka yang sesat) secara spesifik merujuk kepada kaum Nasrani (Kristen). Penafsiran ini juga didasarkan pada beberapa alasan:
- Kisah Al-Qur'an tentang Nasrani: Al-Qur'an menceritakan bagaimana kaum Nasrani, meskipun memiliki niat baik untuk beribadah dan mencari kebenaran, tersesat dari jalan yang benar karena mengikuti hawa nafsu, mengultuskan manusia (Nabi Isa), membuat-buat ajaran (bid'ah), dan mengabaikan sebagian dari ajaran asli yang dibawa oleh Nabi Isa AS.
- Kesesatan karena Kebodohan/Kurangnya Ilmu: Berbeda dengan golongan yang dimurkai yang sesat karena sengaja menolak kebenaran yang mereka ketahui, golongan yang sesat ini umumnya menyimpang karena kebodohan, salah tafsir, atau mengikuti pemimpin agama mereka secara membabi buta tanpa dasar ilmu yang kuat. Mereka memiliki niat beribadah, namun tanpa ilmu yang benar, niat itu membawa mereka pada kesesatan.
- Hadis Nabi: Beberapa hadis Nabi Muhammad ﷺ juga secara eksplisit mengidentifikasi kaum Nasrani sebagai "ad-dāllīn".
Secara umum, golongan "yang sesat" dapat diperluas maknanya untuk mencakup siapa saja yang menyimpang dari kebenaran karena kebodohan, kurangnya ilmu, atau tanpa sengaja melakukan kesalahan dalam memahami dan mengamalkan agama. Mereka mungkin memiliki niat yang baik, namun tanpa petunjuk yang jelas, mereka tersesat dari jalan yang lurus.
Mengapa Mereka Sesat?
Penyebab utama kesesatan golongan ini adalah:
- Kekurangan Ilmu atau Pemahaman yang Salah: Mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama atau salah dalam menafsirkan ajaran yang benar.
- Mengikuti Hawa Nafsu atau Tradisi Buta: Mereka mengikuti tradisi leluhur atau pemimpin agama mereka secara membabi buta tanpa merujuk pada dalil dari Allah dan Rasul-Nya.
- Berlebihan dalam Beragama (Ghuluw): Mereka melampaui batas dalam memuliakan seseorang atau suatu ajaran, seperti mengkultuskan Nabi Isa AS atau para wali.
- Inovasi dalam Agama (Bid'ah): Mereka menciptakan ajaran atau praktik ibadah yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, sehingga menyimpang dari agama yang murni.
Dalam konteks doa kita, meminta perlindungan dari jalan mereka yang sesat berarti kita memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan ilmu yang benar, pemahaman yang shahih, dan kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil. Kita memohon agar tidak tersesat karena kebodohan, tidak mengikuti hawa nafsu, dan tidak terjerumus pada praktik bid'ah atau ghuluw dalam beragama. Ini adalah permohonan agar Allah senantiasa membimbing kita dengan cahaya wahyu-Nya.
Keterkaitan Antara Tiga Golongan dan Jalan yang Lurus
Ayat ke-7 Al-Fatihah memberikan gambaran yang sangat jelas tentang 'Siratal Mustaqim' dengan metode 'identifikasi positif dan negatif'. Yaitu, ia menjelaskan jalan yang benar dengan menyebutkan siapa saja penghuninya (golongan yang diberi nikmat), dan kemudian menegaskan kejelasannya dengan menyebutkan dua jalan yang salah yang harus dihindari (golongan yang dimurkai dan golongan yang sesat).
Ini menunjukkan bahwa Jalan yang Lurus (Siratal Mustaqim) adalah jalan tengah yang seimbang, jauh dari dua ekstrem:
- Ekstrem pertama: Kesesatan karena kesombongan, penolakan kebenaran yang telah diketahui, dan pelanggaran sengaja (jalan mereka yang dimurkai). Ini adalah kesalahan yang berasal dari hati yang keras dan niat yang buruk.
- Ekstrem kedua: Kesesatan karena kebodohan, kurangnya ilmu, atau mengikuti hawa nafsu tanpa dasar (jalan mereka yang sesat). Ini adalah kesalahan yang seringkali berasal dari niat baik namun tanpa panduan yang benar.
Siratal Mustaqim adalah jalan yang didasari oleh ilmu yang benar dan amal yang ikhlas. Golongan yang dimurkai memiliki ilmu tetapi tidak beramal, sementara golongan yang sesat beramal tetapi tanpa ilmu yang benar. Jalan yang lurus menggabungkan keduanya: ilmu yang benar (sesuai Al-Qur'an dan Sunnah) yang melahirkan amal saleh yang ikhlas semata-mata karena Allah.
Maka, ketika kita berdoa 'Ihdinas Siratal Mustaqim, Siratal lazina an'amta 'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim wa lad dallin', kita sejatinya memohon:
- Ya Allah, berikanlah kami petunjuk kepada jalan kebenaran yang jelas, yang telah Engkau tunjukkan kepada para nabi, shiddiqin, syuhada, dan salihin.
- Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi menolaknya karena kesombongan atau kedengkian.
- Jauhkanlah pula kami dari jalan orang-orang yang tersesat karena kebodohan atau salah tafsir, meskipun niat mereka mungkin baik.
Implikasi Ayat ke-7 dalam Kehidupan Sehari-hari Muslim
Pengulangan ayat ini dalam setiap shalat bukanlah tanpa makna. Ia adalah pengingat konstan bagi setiap Muslim tentang tujuan hidup, bahaya kesesatan, dan pentingnya mencari serta mempertahankan hidayah Allah. Berikut adalah beberapa implikasi praktisnya:
1. Pentingnya Ilmu Agama yang Shahih
Ayat ini secara tidak langsung menekankan urgensi ilmu. Untuk menghindari jalan orang yang dimurkai (yang tahu tapi ingkar) dan orang yang sesat (yang beramal tanpa ilmu), seorang Muslim harus senantiasa berusaha menuntut ilmu agama yang benar, bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Ilmu adalah cahaya yang membimbing amal.
2. Keikhlasan dalam Beramal
Beramal tanpa keikhlasan dapat menjerumuskan seseorang ke jalan yang dimurkai. Sebagaimana Bani Israil yang beramal namun niatnya terkontaminasi oleh keduniaan dan kesombongan. Seorang Muslim harus memastikan setiap amal perbuatannya hanya ditujukan untuk mencari ridha Allah semata.
3. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
Jalan orang-orang yang diberi nikmat adalah jalan ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti mengikuti perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan meneladani sunnah Nabi Muhammad ﷺ dalam setiap aspek kehidupan.
4. Waspada terhadap Kesombongan dan Kedengkian
Murka Allah turun kepada mereka yang sombong dan dengki terhadap kebenaran. Doa ini mengingatkan kita untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela ini, yang dapat menghalangi kita dari menerima hidayah.
5. Menjauhi Taklid Buta dan Bid'ah
Jalan orang-orang yang sesat seringkali diwarnai oleh taklid buta kepada leluhur atau pemimpin agama tanpa dasar syar'i, serta praktik bid'ah (inovasi dalam agama). Muslim harus kritis, senantiasa bertanya, dan memastikan amalnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah, bukan sekadar mengikuti tren atau tradisi yang tidak berdasar.
6. Muhasabah (Introspeksi) Diri Secara Berkelanjutan
Setiap kali kita mengucapkan ayat ini dalam shalat, itu adalah momen untuk merenung: "Apakah saya saat ini berada di jalan yang lurus? Apakah saya cenderung kepada kesombongan atau kebodohan dalam agama saya? Apakah amal saya didasari ilmu dan keikhlasan?" Ini memupuk kesadaran diri dan keinginan untuk selalu memperbaiki diri.
7. Memperkuat Persaudaraan Islam
Doa "Ihdinas Siratal Mustaqim" menggunakan bentuk jamak ("kami"), bukan tunggal ("aku"). Ini menunjukkan bahwa hidayah bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga permohonan agar seluruh umat Islam dituntun ke jalan yang benar dan dijauhkan dari kesesatan. Ini memperkuat rasa persatuan dan kepedulian antar sesama Muslim.
8. Sumber Optimisme dan Harapan
Meskipun ada peringatan tentang jalan yang sesat, doa ini juga penuh dengan harapan. Dengan memohon kepada Allah, kita percaya bahwa Dia Maha Mampu untuk membimbing kita, melindungi kita, dan menguatkan kita di atas 'Siratal Mustaqim'. Ini adalah sumber ketenangan dan optimisme bagi jiwa.
Tafsir Para Ulama Mengenai Ayat ke-7
Para ulama tafsir dari berbagai generasi telah memberikan penjelasan yang mendalam mengenai ayat ke-7 ini, menegaskan poin-poin yang telah kita bahas di atas. Berikut adalah ringkasan pandangan beberapa mufassirin terkemuka:
Imam Ath-Thabari (W. 310 H)
Dalam Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an (Tafsir Ath-Thabari), beliau menjelaskan bahwa "orang-orang yang diberi nikmat" adalah mereka yang Allah anugerahi taufiq untuk beriman dan beramal saleh. Adapun "mereka yang dimurkai" adalah kaum Yahudi yang ingkar setelah mengetahui kebenaran, dan "mereka yang sesat" adalah kaum Nasrani yang tersesat dari jalan yang lurus karena kebodohan dan kesalahpahaman tentang agama.
Ath-Thabari juga menekankan bahwa makna ini tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja, melainkan berlaku umum bagi setiap individu atau kelompok yang memiliki karakteristik serupa. Yaitu, siapa saja yang mengetahui kebenaran lalu menyimpang adalah "yang dimurkai", dan siapa saja yang menyimpang karena kebodohan adalah "yang sesat".
Imam Ibn Katsir (W. 774 H)
Dalam Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (Tafsir Ibn Katsir), beliau merujuk pada hadis Nabi ﷺ dan ijma' (konsensus) ulama bahwa "al-maghdūbi 'alaihim" adalah Yahudi, dan "ad-dāllīn" adalah Nasrani. Ibn Katsir juga mengutip Surah An-Nisa ayat 69 untuk menjelaskan identitas "orang-orang yang diberi nikmat".
Beliau menambahkan bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang di dalamnya terdapat ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Orang yang dimurkai memiliki ilmu tetapi tidak beramal, sedangkan orang yang sesat beramal tanpa ilmu. Oleh karena itu, seorang Muslim harus menggabungkan keduanya: ilmu yang benar dan amal yang ikhlas, untuk menghindari kedua jenis kesesatan tersebut.
Imam As-Sa'di (W. 1376 H)
Dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman (Tafsir As-Sa'di), beliau menjelaskan bahwa ayat ke-7 adalah tafsir dari 'Siratal Mustaqim'. "Orang-orang yang diberi nikmat" adalah mereka yang mengenal kebenaran dan mengamalkannya. Sedangkan "yang dimurkai" adalah mereka yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengamalkannya. Dan "yang sesat" adalah mereka yang tidak mengetahui kebenaran dan beramal tanpa dasar ilmu.
As-Sa'di menekankan pentingnya ilmu yang membuahkan amal. Dia juga mencatat bahwa Al-Fatihah ini adalah doa teragung yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya, yang jika dihayati, akan membimbing seluruh aspek kehidupan.
Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)
Dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (Tafsir Al-Qurtubi), beliau juga sependapat dengan penafsiran umum mengenai identitas ketiga golongan tersebut. Al-Qurtubi menggarisbawahi bahwa 'Siratal Mustaqim' adalah jalan yang terang benderang yang tidak ada kebengkokan di dalamnya. Meminta petunjuk ke jalan ini berarti memohon keteguhan di atas iman, Islam, dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
Beliau juga menyoroti bahwa pengulangan doa ini dalam setiap shalat adalah bukti betapa besar kebutuhan hamba akan bimbingan Allah agar tidak tergelincir ke salah satu dari dua jalan kesesatan tersebut.
Kesimpulannya, para mufassirin, dengan sedikit perbedaan nuansa, sepakat pada inti makna ayat ke-7 ini: sebuah doa yang komprehensif untuk tetap berada di jalan yang lurus, yang merupakan gabungan antara ilmu yang benar dan amal yang ikhlas, sekaligus menjauhi segala bentuk penyimpangan, baik karena kesombongan menolak kebenaran maupun karena kebodohan dan taklid buta.
Peran Ayat ke-7 dalam Membentuk Kepribadian Muslim
Melalui permohonan yang berulang-ulang dalam Al-Fatihah, ayat ke-7 secara subliminal membentuk kepribadian seorang Muslim. Ia menanamkan beberapa nilai fundamental:
- Kesadaran akan Kebutuhan Hidayah: Muslim disadarkan bahwa tanpa hidayah Allah, manusia cenderung tersesat. Ini memupuk kerendahan hati dan ketergantungan penuh kepada Allah.
- Penghargaan terhadap Ilmu: Karena dua golongan yang terlarang berkaitan dengan penyalahgunaan atau ketiadaan ilmu, maka Muslim didorong untuk menghargai dan mencari ilmu yang benar.
- Kehati-hatian dalam Beragama: Peringatan terhadap dua jenis kesesatan mendorong Muslim untuk berhati-hati dalam memahami dan mengamalkan agama, tidak gampang terjerumus pada ekstremisme atau kelalaian.
- Model Perilaku yang Jelas: Dengan menyebut "para nabi, shiddiqin, syuhada, dan salihin", Al-Qur'an memberikan model perilaku yang jelas untuk diteladani.
- Toleransi dan Ketegasan: Ayat ini menegaskan batas-batas kebenaran, namun juga mengajarkan bahwa Islam adalah jalan tengah. Tegas dalam prinsip, namun tidak mudah menghukumi orang lain tanpa ilmu.
Penutup: Cahaya Petunjuk dari Ayat yang Agung
Ayat ke-7 dari Surah Al-Fatihah adalah permata spiritual yang memancarkan cahaya petunjuk. Ia bukan sekadar deretan kata, melainkan sebuah peta jalan bagi setiap Muslim yang ingin mencapai ridha Allah dan kebahagiaan abadi. Melalui permohonan ini, kita diajarkan untuk secara aktif mencari kebenaran, meneladani para kekasih Allah, dan secara sadar menjauhi jalan-jalan kesesatan yang telah Allah jelaskan.
Setiap kali kita mengucapkan "Siratal lazina an'amta 'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim wa lad-dāllīn" dalam shalat, marilah kita menghadirkan hati dan pikiran, merenungkan makna mendalamnya, dan memperbarui komitmen kita untuk senantiasa berada di jalan yang lurus. Jalan yang disinari oleh ilmu, dihiasi oleh amal saleh, dan dilindungi dari setiap penyimpangan.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa membimbing kita semua ke 'Siratal Mustaqim', menjauhkan kita dari jalan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat, serta mengumpulkan kita bersama golongan orang-orang yang telah diberi nikmat, di dunia maupun di akhirat kelak. Aamiin Ya Rabbal 'Alamin.