Pendahuluan: Cahaya Petunjuk dalam Kegelapan Dunia
Dalam hamparan luas wahyu Ilahi yang tersimpan abadi dalam Al-Qur'an, setiap ayatnya adalah sebuah permata yang memancarkan cahaya hikmah dan petunjuk. Surat Al-Lail, sebuah surat pendek namun sarat makna, adalah salah satu dari permata-permata tersebut. Diterjemahkan sebagai "Malam", surat Makkiyah ini mengajak kita merenungi kontras fundamental yang ada di alam semesta dan dalam kehidupan manusia itu sendiri: antara siang dan malam, antara terang dan gelap, antara usaha kebaikan dan kemaksiatan, serta antara kemudahan dan kesulitan yang dihasilkan dari pilihan-pilihan tersebut.
Inti dari Surat Al-Lail adalah penekanan pada nilai amalan manusia. Allah SWT bersumpah dengan berbagai ciptaan-Nya yang menunjukkan dualitas, untuk kemudian menegaskan bahwa sesungguhnya usaha manusia itu bermacam-macam, dan setiap usaha memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Di antara ayat-ayat yang menegaskan prinsip agung ini, ayat ke-5 Surat Al-Lail muncul sebagai pilar utama yang menjelaskan salah satu jalan menuju kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Ayat ke-5 Surat Al-Lail berbunyi: فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ. Ayat ini, meskipun ringkas dalam lafaznya, namun sangat luas maknanya. Ia berbicara tentang dua pilar utama kehidupan seorang Muslim yang mendambakan ridha Allah: memberi (berinfak, bersedekah, berderma) dan bertakwa (menjaga diri dari perbuatan dosa dan menjalankan perintah Allah). Kedua konsep ini bukan hanya sekadar tindakan terpisah, melainkan saling terkait erat, membentuk fondasi karakter dan jalan hidup seorang hamba yang saleh.
Artikel ini akan mengupas tuntas kedalaman makna dari ayat ke-5 Surat Al-Lail. Kita akan menyelami konteks pewahyuan surat ini, menganalisis lafaz-lafaznya dari sudut pandang linguistik, menelusuri tafsir para ulama klasik dan kontemporer, menggali pelajaran berharga dan hikmah yang terkandung di dalamnya, serta memahami bagaimana ayat ini berinteraksi dengan ayat-ayat lain dalam surat yang sama. Lebih jauh, kita akan membahas implementasi praktis dari ajaran memberi dan bertakwa dalam kehidupan sehari-hari, membuktikan bahwa petunjuk Al-Qur'an senantiasa relevan dan aplikatif di setiap zaman.
Melalui eksplorasi ini, diharapkan kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang pentingnya menjadikan sifat murah hati dan ketakwaan sebagai landasan utama dalam setiap aspek kehidupan. Semoga pemahaman ini membimbing kita untuk senantiasa mengarahkan setiap usaha dan tindakan kita demi meraih kemudahan dan kebahagiaan abadi yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Surah Al-Lail: Konteks dan Tema Umum
Surah Al-Lail adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 21 ayat. Surat ini tergolong Makkiyah, artinya diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Periode Makkiyah dalam sejarah kenabian dikenal dengan fokus pada penegasan tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan, balasan amal, serta ajakan kepada akhlak mulia seperti kesabaran, kejujuran, dan kebaikan. Surat Al-Lail dengan indah merangkum beberapa tema sentral dari periode ini.
Sumpah Allah dan Dualitas Kehidupan
Surah Al-Lail dibuka dengan serangkaian sumpah Allah SWT yang menekankan dualitas fundamental dalam penciptaan:
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰ
Artinya: "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan."
Sumpah-sumpah ini bukan sekadar penegasan, melainkan isyarat untuk merenungkan fenomena alam yang silih berganti. Malam yang gelap gulita menyelimuti siang, dan siang yang terang benderang menampakkan segala sesuatu. Demikian pula, dari segala sesuatu Allah menciptakan berpasang-pasangan, seperti laki-laki dan perempuan. Dualitas ini adalah cerminan dari prinsip dasar dalam kehidupan: adanya dua pilihan, dua jalan, dan dua hasil yang berbeda.
Setelah serangkaian sumpah yang menggetarkan ini, Allah SWT kemudian menyatakan inti dari seluruh sumpah tersebut pada ayat ke-4:
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
Artinya: "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan."
Ayat ini adalah titik balik, menjelaskan bahwa di tengah dualitas alam dan penciptaan, usaha manusia juga terbagi menjadi dua kategori utama yang berlawanan. Ada usaha yang mengarah kepada kebaikan dan kemuliaan, serta ada usaha yang menjerumuskan kepada keburukan dan kehinaan. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuhnya, dan pilihan tersebut akan menentukan nasibnya di kemudian hari. Ini adalah landasan teologis yang kuat mengenai kebebasan berkehendak dan tanggung jawab pribadi dalam Islam.
Kontras Antara Dua Golongan Manusia
Tema utama Surah Al-Lail berpusat pada perbandingan antara dua jenis manusia yang fundamental:
- Orang yang memberi dan bertakwa (disebutkan dalam ayat 5-7).
- Orang yang kikir dan merasa cukup (disebutkan dalam ayat 8-10).
Surah Al-Lail ditutup dengan peringatan tentang api neraka yang menyala-nyala bagi orang-orang durhaka, dan janji kebahagiaan abadi bagi orang-orang yang bertakwa, yang menyerahkan hartanya demi kesucian diri dan mengharapkan wajah Allah semata. Pesan inti surat ini adalah bahwa kehidupan ini adalah medan ujian, tempat setiap individu menunjukkan kualitas usahanya. Kebaikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan ketakwaan akan dibalas dengan kemudahan dan kebahagiaan, sedangkan kekikiran dan pengingkaran akan membawa kepada kesulitan dan kesengsaraan.
Memahami konteks ini sangat penting sebelum mendalami ayat ke 5 surat Al-Lail, karena ayat tersebut merupakan bagian integral dari alur argumentasi yang dibangun oleh Allah SWT dalam surat ini. Ayat ini adalah kunci untuk memahami bagaimana dualitas yang digambarkan di awal surat menjelma menjadi pilihan moral dan konsekuensi spiritual bagi manusia.
Ayat ke-5: Lafaz, Terjemah, dan Kedalaman Makna
Setelah Allah SWT menegaskan bahwa usaha manusia itu bermacam-macam, Al-Qur'an kemudian melanjutkan dengan menjelaskan secara spesifik jenis-jenis usaha tersebut. Ayat ke-5 Surat Al-Lail memulai penjelasan tentang golongan pertama, yaitu mereka yang menempuh jalan kebaikan dan mendapatkan kemudahan. Ayat ini menjadi fondasi bagi pemahaman tentang nilai memberi dan bertakwa dalam Islam.
Lafaz Arab, Transliterasi, dan Terjemah
Mari kita perhatikan lafaz ayat ke-5 Surat Al-Lail:
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ
Transliterasi: Fa'ammā man a'ṭā wāttaqā
Terjemah (Kementerian Agama RI): Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
Terjemah Lain (Prof. Quraish Shihab): Maka adapun orang yang memberikan (hartanya untuk kebaikan) dan menjaga dirinya (dari segala larangan Allah),
Terjemah Lain (Buya Hamka): Adapun orang yang suka memberi dan bertakwa,
Terjemah-terjemah tersebut, meskipun sedikit berbeda dalam redaksi, namun memiliki inti makna yang sama. Ayat ini merujuk kepada seseorang yang memiliki dua karakteristik utama: suka memberi dan memiliki ketakwaan.
Penjelasan Singkat Setiap Kata
- فَأَمَّا (Fa'ammā): Ini adalah partikel pembuka yang menunjukkan permulaan suatu penjelasan atau perincian, sering diartikan sebagai "Adapun..." atau "Maka adapun...". Ia mengindikasikan bahwa penjelasan selanjutnya adalah tentang golongan tertentu. Huruf 'fa' (ف) di depannya adalah harf 'athaf atau permulaan kalimat baru yang menunjukkan konsekuensi dari pernyataan sebelumnya bahwa usaha manusia itu berlainan.
- مَن (man): Kata ini adalah kata ganti relatif (isim maushul) yang berarti "siapa saja" atau "barangsiapa". Ia merujuk pada individu atau kelompok yang memenuhi kriteria yang akan disebutkan selanjutnya.
- أَعْطَىٰ (a'ṭā): Ini adalah fi'il madhi (kata kerja lampau) yang berarti "memberikan", "memberi", atau "mendermakan". Kata ini bersifat umum, bisa mencakup pemberian harta, waktu, tenaga, ilmu, nasihat, atau apapun yang bermanfaat bagi orang lain atau di jalan Allah SWT. Kata ini memiliki akar kata dari 'ain-tha-ya' (عطي) yang berarti memberi. Implikasi dari bentuk lampau di sini seringkali menunjukkan bahwa perbuatan memberi itu sudah menjadi kebiasaan atau sifat yang melekat pada diri seseorang.
- وَٱتَّقَىٰ (wāttaqā): Ini juga fi'il madhi yang berarti "bertakwa", "menjaga diri", atau "takut kepada Allah". Kata ini berasal dari akar kata 'wa-qa-ya' (وقي) yang berarti menjaga atau melindungi. Taqwa bukan hanya sekadar rasa takut, melainkan lebih komprehensif: menjaga diri dari perbuatan dosa dan larangan Allah, serta menjalankan perintah-Nya. Ketakwaan mencakup keyakinan hati, perkataan lisan, dan perbuatan anggota badan. Huruf 'wau' (و) sebelum 'attaqa' menunjukkan hubungan erat antara memberi dan bertakwa; keduanya berjalan beriringan.
Sinergi Memberi dan Bertakwa
Ayat ke 5 surat Al-Lail dengan jelas menggabungkan dua tindakan fundamental: memberi (a'ṭā) dan bertakwa (wāttaqā). Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan penegasan bahwa kedua hal ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam membentuk pribadi Muslim yang sejati dan dicintai Allah. Pemberian yang bernilai di sisi Allah adalah pemberian yang dilandasi oleh ketakwaan.
- Memberi dengan Taqwa: Pemberian seorang Muslim yang bertakwa adalah pemberian yang ikhlas, hanya mengharap ridha Allah. Ia tidak pamer, tidak mengungkit-ungkit, dan tidak bertujuan mencari pujian atau balasan duniawi. Ia memberi dari harta yang halal, untuk tujuan yang halal, dan dengan cara yang baik. Taqwa menuntun niat dan kualitas pemberian.
- Taqwa melalui Memberi: Sebaliknya, tindakan memberi itu sendiri merupakan manifestasi dan penguatan dari takwa. Dengan memberi, seseorang melatih dirinya untuk melepaskan keterikatan pada harta dunia, mengikis sifat kikir, dan menumbuhkan empati. Ini adalah ujian keimanan dan ketaatan yang nyata. Taqwa mendorong seseorang untuk menjadi dermawan, karena ia yakin bahwa apa yang diberikan di jalan Allah akan diganti dan diberkahi berlipat ganda.
Maka, ayat ini menggambarkan prototipe seorang hamba Allah yang ideal: seorang yang dermawan karena didorong oleh ketakwaan yang mendalam, dan ketakwaannya semakin terasah melalui tindakan kedermawanannya. Ini adalah siklus positif kebaikan yang dijanjikan balasan mulia oleh Allah SWT.
Penting untuk diingat bahwa "memberikan" di sini tidak semata-mata terbatas pada harta benda. Memberikan ilmu, memberikan tenaga, memberikan senyuman, memberikan maaf, dan menyingkirkan duri di jalan, semuanya adalah bentuk-bentuk 'athā' (pemberian) yang jika dilakukan dengan takwa, akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Ini menunjukkan keluasan makna dari ayat ke 5 Surat Al-Lail, yang menjadikannya relevan dalam setiap aspek kehidupan.
Analisis Linguistik dan Tafsir Ayat 5
Untuk memahami kedalaman pesan ayat ke 5 surat Al-Lail, kita perlu menyelami lebih jauh aspek linguistiknya dan meninjau berbagai penafsiran yang diberikan oleh para ulama terdahulu maupun kontemporer. Analisis ini akan membuka tabir hikmah yang terkandung dalam setiap pilihan kata Allah SWT.
Analisis Linguistik (Nahwu dan Sharf)
Setiap kata dalam Al-Qur'an memiliki bobot dan makna yang presisi. Mari kita bedah secara linguistik:
- فَأَمَّا (Fa'ammā): Seperti yang disebutkan sebelumnya, ini adalah gabungan dari huruf 'fa' (yang berarti 'maka' atau 'kemudian', menunjukkan konsekuensi atau perincian) dan 'ammā' (yang berarti 'adapun'). 'Ammā' dalam bahasa Arab digunakan untuk memisahkan dan merinci dua atau lebih kategori, seringkali diikuti oleh 'fa' dalam bagian kedua. Dalam kasus ini, ia memperkenalkan golongan pertama dari dua golongan yang disebutkan dalam surat ini. Ini menunjukkan sebuah struktur perbandingan yang kuat dan lugas.
- مَن (man): Merupakan isim maushul 'umum', artinya "siapa saja" atau "barangsiapa". Penggunaan 'man' di sini menunjukkan inklusivitas. Bukan hanya orang-orang tertentu, tetapi siapa pun, dari latar belakang apa pun, yang memenuhi kriteria 'memberi' dan 'bertakwa' akan mendapatkan balasan yang dijanjikan. Ini menegaskan bahwa pintu kebaikan terbuka bagi semua hamba-Nya.
- أَعْطَىٰ (a'ṭā): Ini adalah fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) dari wazan af'ala (أفعل). Penggunaan fi'il madhi seringkali menunjukkan bahwa tindakan tersebut telah menjadi kebiasaan, karakter, atau sesuatu yang telah mapan pada diri pelakunya. Artinya, orang ini bukan sesekali saja memberi, melainkan pemberian telah menjadi bagian dari identitas dan kehidupannya. Akar kata 'ain-tha-ya' (عطي) memiliki konotasi memberi tanpa mengharap imbalan. Berbeda dengan 'wahaba' (وهب) yang kadang bermakna memberi hadiah, 'a'ṭā' lebih umum dan mencakup pemberian sebagai sedekah, infak, atau bantuan.
- وَٱتَّقَىٰ (wāttaqā): Juga fi'il madhi dari wazan ifta'ala (إفتعل). Akar katanya adalah 'wa-qa-ya' (وقي) yang berarti menjaga, melindungi, atau memelihara. Dengan demikian, 'attaqa' berarti "menjaga diri" atau "melindungi diri" dari hal-hal yang tidak disukai Allah, yaitu dosa dan maksiat. Ia juga berarti menaati perintah Allah. Penggunaan fi'il madhi di sini juga mengindikasikan bahwa ketakwaan adalah sifat yang telah tertanam, bukan sekadar tindakan sesaat. Huruf 'wau' (و) di antara 'a'ṭā' dan 'attaqa' adalah 'wawu al-'athf' (wawu penghubung) yang menunjukkan bahwa kedua sifat ini, memberi dan bertakwa, adalah dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam konteks ayat ini. Keduanya harus ada secara bersamaan untuk mencapai hasil yang dijanjikan. Memberi tanpa takwa mungkin menjadi riya' atau pencitraan. Taqwa tanpa memberi (padahal mampu) menunjukkan kekurangan dalam ketaatan sosial.
Tafsir Para Ulama (Klasik dan Kontemporer)
Para ulama tafsir telah memberikan penjelasan yang kaya mengenai ayat ke 5 surat Al-Lail. Mari kita tinjau beberapa di antaranya:
1. Tafsir Ibn Katsir
Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merujuk kepada orang yang dermawan, yang memberikan hartanya di jalan Allah, mencari ridha-Nya, dan membenarkan pahala-Nya. Kata "memberi" di sini adalah umum, mencakup zakat, sedekah, infak, dan segala bentuk kedermawanan. Sementara "bertakwa" berarti menjaga diri dari segala larangan Allah dan menjalankan segala perintah-Nya. Ibn Katsir menyoroti bahwa kombinasi memberi dan bertakwa adalah kunci untuk mendapatkan kemudahan. Ia mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang menjelaskan bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidak ada seorang pun yang memberi sedekah dari harta yang baik, kecuali Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana seorang dari kalian memelihara anak kudanya, sehingga sedekah tersebut menjadi seperti gunung." Ini menunjukkan keutamaan memberi dengan landasan takwa.
2. Tafsir Al-Thabari
Imam Al-Thabari, dalam Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, menafsirkan 'a'ṭā' sebagai orang yang memberikan apa yang Allah wajibkan atasnya dari hartanya, seperti zakat, atau infak sunah untuk kerabat dan fakir miskin. Adapun 'wāttaqā', menurutnya, adalah orang yang takut kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Ia menekankan bahwa pemberian tersebut harus disertai dengan niat yang benar, yakni mencari wajah Allah, bukan untuk pamer atau mencari pujian manusia. Al-Thabari juga menghubungkan ayat ini dengan janji kemudahan yang akan datang, menyiratkan bahwa ketaatan ini adalah penyebab bagi kemudahan hidup di dunia dan akhirat.
3. Tafsir Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, menyoroti bahwa ayat ini adalah penjelasan terhadap ayat sebelumnya, "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." Ia menjelaskan bahwa ada dua jenis usaha, dan ayat 5 ini menjelaskan jenis usaha yang baik. Al-Qurtubi juga menambahkan bahwa 'a'ṭā' bisa mencakup infak wajib (zakat) maupun infak sunah (sedekah). 'Wāttaqā' berarti menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang haram. Ia juga menyebutkan riwayat tentang Abu Bakar As-Shiddiq yang dikenal sangat dermawan dan bertakwa, sebagai contoh nyata dari pribadi yang digambarkan dalam ayat ini.
4. Tafsir Al-Razi
Imam Fakhruddin Al-Razi, dalam Mafatih Al-Ghaib, membahas lebih dalam tentang hubungan antara 'a'ṭā' dan 'attaqā'. Ia menyatakan bahwa memberi (infak) adalah salah satu bentuk ibadah yang paling utama, karena itu adalah bentuk menanggulangi kecintaan pada dunia. Sedangkan takwa adalah inti dari segala ibadah. Ketika keduanya digabungkan, ia menjadi bentuk ketaatan yang sempurna. Al-Razi menekankan bahwa 'attaqa' bukan hanya takut terhadap azab Allah, melainkan juga takut melakukan perbuatan yang mengurangi pahala, yang menimbulkan kemarahan Allah, dan yang menjauhkan dari ridha-Nya. Ini adalah tingkat takwa yang lebih tinggi.
5. Tafsir Al-Azhar (Buya Hamka)
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan 'memberi' sebagai sifat dermawan, tidak kikir, dan suka menolong sesama. Ia mengaitkan 'bertakwa' dengan keyakinan kepada hari akhirat, sehingga seseorang berani mengeluarkan hartanya demi mengharap pahala dari Allah. Buya Hamka menjelaskan bahwa manusia yang benar-benar bertakwa tidak akan ragu untuk berkorban hartanya, karena ia percaya bahwa semua itu akan dibalas dengan ganjaran yang lebih baik di sisi Allah. Ia juga menekankan bahwa memberi dan bertakwa adalah kunci untuk menjauhi sifat tamak dan cinta dunia yang berlebihan.
6. Tafsir Al-Misbah (Prof. Quraish Shihab)
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menggarisbawahi bahwa 'memberi' dalam ayat ini mencakup semua jenis pemberian, baik wajib maupun sunnah, baik materi maupun non-materi, asalkan dilakukan dengan ikhlas. 'Bertakwa' diartikan sebagai "menjaga dirinya", yaitu menjaga dari hal-hal yang dilarang Allah, dan menjaga diri dari melakukan maksiat. Prof. Shihab menjelaskan bahwa takwa adalah payung besar yang mencakup semua bentuk ketaatan. Ia juga menyoroti bahwa ayat ini datang setelah sumpah Allah tentang dualitas, menegaskan bahwa pilihan untuk memberi dan bertakwa adalah respons yang tepat terhadap fitrah penciptaan manusia.
Dari berbagai tafsir di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat ke 5 surat Al-Lail menegaskan pentingnya dua pilar utama dalam kehidupan seorang Muslim: kedermawanan dan ketakwaan. Kedermawanan yang sejati lahir dari hati yang bertakwa, dan ketakwaan yang utuh termanifestasi dalam tindakan memberi dan berkorban di jalan Allah. Keduanya adalah satu kesatuan yang menghasilkan kebahagiaan dan kemudahan hidup.
Pelajaran dan Hikmah dari Memberi dan Bertakwa
Ayat ke 5 surat Al-Lail bukan hanya sekadar kalimat indah dalam Al-Qur'an, melainkan sebuah instruksi ilahi yang penuh dengan pelajaran dan hikmah mendalam bagi kehidupan manusia. Dua inti ajarannya, yaitu memberi dan bertakwa, adalah fondasi moral dan spiritual yang jika diterapkan akan membawa kebahagiaan sejati.
1. Pentingnya Kedermawanan (Infaq, Sedekah, dan Pengorbanan)
Frasa "مَن أَعْطَىٰ" (man a'ṭā) menggarisbawahi keutamaan memberi. Ini bukan hanya tentang mengeluarkan sebagian harta, melainkan sebuah filosofi hidup yang mengajarkan kita untuk tidak terikat secara berlebihan pada dunia fana. Kedermawanan memiliki banyak dimensi dan manfaat:
- Pembersihan Harta dan Jiwa: Dengan memberi, kita membersihkan harta dari hak orang lain (zakat) dan juga membersihkan jiwa dari sifat kikir, tamak, dan cinta dunia yang berlebihan. Ini adalah investasi spiritual yang mengembalikan kedamaian hati.
- Meningkatkan Keberkahan: Allah SWT berjanji akan melipatgandakan pahala orang yang berinfak. "Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi Rezeki yang sebaik-baiknya." (QS. Saba': 39). Keberkahan bukan hanya berupa penambahan materi, tetapi juga ketenangan jiwa, kesehatan, dan kemudahan dalam urusan.
- Mempererat Tali Persaudaraan: Kedermawanan membantu mengurangi kesenjangan sosial, menciptakan rasa empati, dan memperkuat ikatan antarindividu dalam masyarakat. Ini adalah fondasi bagi masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang.
- Jalan Menuju Surga: Banyak ayat dan hadis yang menegaskan bahwa memberi di jalan Allah adalah salah satu amalan terbaik yang mengantarkan pelakunya ke surga. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka." (HR. Tirmidzi).
- Menghapus Dosa: Sedekah memiliki kekuatan untuk menghapus dosa, sebagaimana api melenyapkan air. Rasulullah SAW bersabda, "Sedekah itu memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR. Tirmidzi).
Konsep 'memberi' di sini tidak terbatas pada harta. Ia mencakup memberi waktu, tenaga, ilmu, nasihat, senyuman, bahkan memaafkan kesalahan orang lain. Setiap bentuk pemberian yang didasari keikhlasan dan takwa memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah.
2. Esensi dan Keutamaan Taqwa
Frasa "وَٱتَّقَىٰ" (wāttaqa) adalah pilar kedua yang tak kalah penting. Taqwa seringkali diartikan sebagai rasa takut kepada Allah, namun maknanya jauh lebih luas. Taqwa adalah kesadaran penuh akan kehadiran Allah, yang mendorong seseorang untuk selalu berusaha menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dalam segala aspek kehidupan.
- Kunci Segala Kebaikan: Taqwa adalah inti dari segala kebaikan. Tanpa takwa, amalan sebaik apapun bisa menjadi sia-sia jika tidak dilandasi keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah. Taqwa memastikan bahwa setiap tindakan, termasuk memberi, dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang sesuai syariat.
- Pembuka Jalan dan Solusi: Allah SWT berjanji bahwa bagi orang yang bertakwa, Dia akan memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Ini adalah janji yang sangat menenangkan bagi mereka yang berusaha menjaga ketakwaan.
- Standar Kemuliaan di Sisi Allah: Kemuliaan seorang manusia di sisi Allah bukan ditentukan oleh kekayaan, kedudukan, atau keturunan, melainkan oleh ketakwaannya. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu." (QS. Al-Hujurat: 13).
- Penjaga Diri dari Dosa: Taqwa berfungsi sebagai perisai yang menjaga seseorang dari terjerumus ke dalam dosa dan maksiat. Ketika seseorang memiliki kesadaran akan pengawasan Allah, ia akan lebih berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakannya.
- Sumber Hikmah dan Ilmu: Allah berjanji akan memberikan ilmu dan hikmah kepada orang-orang yang bertakwa. "Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu." (QS. Al-Baqarah: 282).
3. Kesinambungan antara Memberi dan Bertakwa
Pelajaran terpenting dari ayat ke 5 surat Al-Lail adalah bahwa memberi dan bertakwa bukanlah dua konsep yang terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Mereka saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain.
- Pemberian yang Dilandasi Taqwa: Pemberian yang paling bernilai adalah yang lahir dari hati yang bertakwa. Artinya, seseorang memberi bukan karena paksaan, bukan karena ingin dipuji, bukan karena ingin keuntungan duniawi, melainkan karena kesadaran akan perintah Allah dan harapan akan pahala-Nya. Taqwa memastikan keikhlasan dalam memberi.
- Taqwa yang Dimanifestasikan dalam Pemberian: Sebaliknya, salah satu manifestasi paling nyata dari takwa adalah kemauan untuk berkorban dan berbagi. Orang yang benar-benar bertakwa tidak akan ragu untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah, karena ia yakin akan janji-Nya dan percaya bahwa apa yang diinfakkan tidak akan mengurangi kekayaannya, justru akan memberkahinya.
Kesatuan ini menciptakan pribadi Muslim yang seimbang: memiliki hubungan vertikal yang kuat dengan Allah (melalui takwa) dan hubungan horizontal yang harmonis dengan sesama manusia (melalui memberi). Ini adalah resep menuju kesuksesan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Hubungan Ayat 5 dengan Ayat-Ayat Lain dalam Surah Al-Lail
Ayat ke 5 surat Al-Lail tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian integral dari narasi dan argumentasi yang dibangun dalam keseluruhan Surah Al-Lail. Pemahaman terhadap hubungannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya akan memperkaya penafsiran kita.
1. Hubungan dengan Ayat Pembuka (Ayat 1-4): Sumpah dan Dualitas Usaha
Seperti yang telah dibahas, Surah Al-Lail dimulai dengan sumpah Allah SWT atas malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan (ayat 1-3). Sumpah-sumpah ini bertujuan untuk menegaskan kebenaran pernyataan selanjutnya pada ayat ke-4:
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
Artinya: "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan."
Ayat ke 5 surat Al-Lail ("فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ") adalah perincian pertama dari dua jenis usaha yang berlainan tersebut. Ayat ini menjelaskan jenis usaha yang terpuji, yaitu usaha yang dilandasi kedermawanan dan ketakwaan. Jadi, ayat 5 merupakan jawaban dan penjelasan konkret terhadap sumpah-sumpah Allah di awal surat yang menggambarkan dualitas universal, dan menegaskan bahwa dualitas tersebut termanifestasi dalam perilaku dan pilihan manusia.
2. Hubungan dengan Ayat 6: Membenarkan Kebaikan
Ayat ke-5 diikuti langsung oleh ayat ke-6:
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ
Artinya: "Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)."
Poin ini sangat penting. Ayat ke 5 surat Al-Lail berbicara tentang tindakan (memberi dan bertakwa), sementara ayat ke-6 berbicara tentang keyakinan yang mendorong tindakan tersebut. Orang yang memberi dan bertakwa adalah mereka yang "membenarkan Al-Husna". 'Al-Husna' di sini ditafsirkan sebagai pahala yang terbaik dari Allah, yaitu surga, atau kalimat tauhid 'La ilaha illallah', atau janji-janji Allah akan balasan kebaikan. Artinya, kedermawanan dan ketakwaan mereka tidaklah muncul begitu saja, melainkan didasari oleh keimanan yang kokoh terhadap janji-janji Allah dan hari akhirat. Tanpa keyakinan ini, pemberian mungkin hanyalah riya' (pamer) atau mencari pujian dunia. Oleh karena itu, ayat 5 dan 6 saling melengkapi: tindakan yang baik lahir dari keyakinan yang benar.
3. Hubungan dengan Ayat 7: Kemudahan Menuju Kebahagiaan
Ayat ke-5 dan ke-6 kemudian mencapai puncaknya pada ayat ke-7:
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
Artinya: "Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan)."
Ayat ini adalah janji dan konsekuensi langsung dari perbuatan yang disebutkan dalam ayat ke 5 surat Al-Lail dan ayat ke-6. Allah SWT berjanji akan "memudahkan baginya jalan menuju kemudahan". 'Al-Yusra' (kemudahan) di sini ditafsirkan secara luas, mencakup kemudahan dalam melakukan kebaikan di dunia, kemudahan dalam menghadapi sakaratul maut, kemudahan dalam menjawab pertanyaan malaikat di kubur, kemudahan di hari perhitungan, dan puncak kemudahan yaitu masuk surga. Ini menunjukkan bahwa memberi yang dilandasi takwa dan keimanan akan membuka pintu-pintu kemudahan dalam segala aspek kehidupan seorang hamba.
4. Kontras dengan Golongan Kedua (Ayat 8-10)
Setelah menjelaskan golongan pertama, Al-Qur'an melanjutkan dengan menggambarkan golongan kedua, yang menjadi antitesis dari golongan pertama. Ayat ke-8, 9, dan 10 berbunyi:
وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰArtinya: "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah), dan mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar."
Perhatikan paralelisme yang kuat antara kedua golongan ini:
- Ayat 5: "مَن أَعْطَىٰ" (orang yang memberi) VS Ayat 8: "مَنۢ بَخِلَ" (orang yang kikir)
- Ayat 5: "وَٱتَّقَىٰ" (dan bertakwa) VS Ayat 8: "وَٱسْتَغْنَىٰ" (dan merasa dirinya cukup/tidak butuh Allah)
- Ayat 6: "وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ" (dan membenarkan yang terbaik) VS Ayat 9: "وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ" (dan mendustakan yang terbaik)
- Ayat 7: "فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ" (maka akan Kami mudahkan baginya jalan kemudahan) VS Ayat 10: "فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ" (maka akan Kami mudahkan baginya jalan kesukaran)
Kontras ini menunjukkan betapa jelasnya pilihan yang ditawarkan kepada manusia dan konsekuensi dari setiap pilihan. Ayat ke 5 surat Al-Lail, dengan pesan positif tentang memberi dan bertakwa, menjadi cermin kebaikan yang 대비 (berlawanan) dengan kekikiran dan pengingkaran. Ini adalah metode pengajaran Al-Qur'an yang efektif untuk memotivasi manusia memilih jalan yang benar dengan menunjukkan akibat dari kedua jalan tersebut.
Dengan demikian, ayat ke 5 surat Al-Lail adalah fondasi yang kokoh dalam sebuah arsitektur pesan yang terstruktur rapi dalam Surah Al-Lail, yang secara keseluruhan mengajarkan pentingnya amal saleh yang dilandasi iman dan takwa untuk meraih kebahagiaan sejati.
Implementasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
Memahami makna ayat ke 5 surat Al-Lail saja tidaklah cukup; yang terpenting adalah bagaimana kita mengimplementasikan ajaran memberi dan bertakwa dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur'an adalah panduan hidup, dan setiap ayatnya mendorong kita untuk beraksi, bukan sekadar merenung.
1. Mengembangkan Kedermawanan dalam Berbagai Bentuk
Prinsip "مَن أَعْطَىٰ" (orang yang memberi) dapat diwujudkan dalam banyak cara, tidak terbatas pada uang:
-
Infaq Harta:
- Zakat: Tunaikan zakat mal, zakat profesi, dan zakat fitrah sesuai syariat. Ini adalah kewajiban yang membersihkan harta dan jiwa.
- Sedekah: Biasakan bersedekah secara rutin, meskipun sedikit. Sedekah tidak harus besar, yang penting istiqamah dan ikhlas. Bisa berupa uang, makanan, pakaian, atau kebutuhan pokok lainnya kepada fakir miskin, anak yatim, atau orang yang membutuhkan.
- Wakaf dan Hibah: Berikan sebagian harta untuk kepentingan umum yang manfaatnya berkelanjutan, seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, atau sumur.
- Membantu Kerabat: Prioritaskan membantu keluarga atau kerabat yang membutuhkan. Ini termasuk silaturahmi yang dianjurkan.
-
Memberi Waktu dan Tenaga:
- Sukarelawan: Sumbangkan waktu dan tenaga untuk kegiatan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan. Bantu membersihkan lingkungan, mengajar anak-anak, atau mengunjungi orang sakit.
- Menolong Sesama: Ringankan beban orang lain dengan bantuan fisik, seperti membantu mengangkat barang, mendorong mobil mogok, atau sekadar memberikan tumpangan.
-
Memberi Ilmu dan Nasihat:
- Berbagi Pengetahuan: Ajarkan ilmu yang kita miliki kepada orang lain, baik ilmu agama maupun ilmu umum, tanpa mengharap imbalan.
- Nasihat Bijak: Berikan nasihat yang baik dan membangun kepada saudara, teman, atau siapa pun yang membutuhkan, dengan cara yang santun dan penuh kasih sayang.
-
Memberi Kebaikan Non-Materi:
- Senyuman: Hadiahkan senyuman tulus kepada sesama. Ini adalah sedekah termudah yang dapat menceriakan hari orang lain.
- Maaf: Berlapang dada untuk memaafkan kesalahan orang lain. Ini adalah bentuk pemberian ketenangan hati.
- Doa: Mendoakan kebaikan untuk orang lain, terutama mereka yang tertimpa musibah.
- Kata-kata Baik: Berbicaralah dengan lemah lembut, jauhkan diri dari ghibah (menggunjing), fitnah, atau kata-kata kasar.
Kunci dari semua bentuk pemberian ini adalah keikhlasan. Pastikan setiap pemberian didasari niat tulus karena Allah, bukan untuk pamer atau mencari pujian manusia.
2. Memupuk dan Memperkuat Taqwa
Prinsip "وَٱتَّقَىٰ" (bertakwa) adalah pondasi spiritual yang harus terus kita pupuk. Taqwa adalah kompas moral yang membimbing setiap tindakan kita:
- Menjaga Shalat: Laksanakan shalat lima waktu dengan khusyuk dan tepat waktu. Shalat adalah tiang agama dan sarana komunikasi langsung dengan Allah.
- Membaca dan Merenungi Al-Qur'an: Luangkan waktu setiap hari untuk membaca, memahami, dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. Ini akan meningkatkan kesadaran akan perintah dan larangan Allah.
- Berzikir dan Berdoa: Perbanyak zikir (mengingat Allah) dan doa dalam setiap kesempatan. Ini menenangkan hati dan mengingatkan kita akan kebesaran Allah.
- Menjauhi Maksiat: Berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi segala bentuk dosa dan maksiat, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Hindari ghibah, fitnah, dusta, hasad, riya', dan segala perbuatan yang dimurkai Allah.
- Menjaga Lisan dan Pandangan: Kontrol apa yang kita ucapkan dan apa yang kita lihat. Lisan dan mata adalah pintu gerbang menuju dosa.
- Mencari Ilmu Agama: Terus belajar tentang Islam, hukum-hukumnya, dan akhlaknya. Ilmu akan membimbing kita dalam memahami dan mengamalkan takwa.
- Muhasabah (Introspeksi Diri): Setiap akhir hari, luangkan waktu untuk mengevaluasi diri: apa saja kebaikan yang sudah dilakukan, dan kesalahan apa yang telah diperbuat. Segera bertaubat dan bertekad untuk menjadi lebih baik.
- Mencari Rezeki Halal: Pastikan setiap rezeki yang kita dapatkan adalah dari jalan yang halal. Taqwa juga berarti integritas dalam bekerja dan berbisnis.
3. Menggabungkan Memberi dan Bertakwa
Sinergi antara memberi dan bertakwa adalah kunci implementasi ayat ke 5 surat Al-Lail. Ini berarti:
- Memberi dengan Niat Ikhlas: Setiap pemberian harus dilandasi oleh takwa, yaitu hanya mengharap ridha Allah, bukan pujian manusia.
- Memberi dari Harta Halal: Taqwa menuntut kita untuk memastikan bahwa harta yang kita infakkan berasal dari sumber yang halal dan tayyib (baik).
- Memberi dengan Cara yang Baik: Jangan mengungkit-ungkit pemberian, jangan menyakiti perasaan penerima, dan berikan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Ini adalah bagian dari takwa.
- Taqwa yang Mendorong Kedermawanan: Semakin tinggi takwa seseorang, semakin mudah baginya untuk berderma dan berkorban di jalan Allah. Ia yakin bahwa setiap pengorbanan akan dibalas dengan berlipat ganda.
- Kedermawanan yang Memupuk Taqwa: Dengan membiasakan diri memberi, kita melatih jiwa untuk melepaskan keterikatan dunia, menumbuhkan rasa syukur, dan memperkuat keyakinan akan janji Allah, yang semuanya merupakan elemen takwa.
Dengan menerapkan kedua prinsip ini secara konsisten, kita tidak hanya akan meraih kemudahan dan kebahagiaan yang dijanjikan dalam ayat ke-7 Surah Al-Lail ("Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan"), tetapi juga membentuk karakter Muslim yang kokoh, bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan meraih ridha Allah SWT.
Kesimpulan: Jalan Menuju Kemudahan dan Keberkahan
Eksplorasi mendalam terhadap ayat ke 5 surat Al-Lail dalam Surah Al-Lail telah mengungkap sebuah peta jalan spiritual yang jelas menuju kebahagiaan dan kemudahan. Ayat yang ringkas namun sarat makna ini, فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ (Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa), merupakan inti dari ajaran tentang bagaimana seorang hamba Allah dapat mengarahkan usahanya agar selaras dengan kehendak Ilahi.
Kita telah melihat bagaimana Surah Al-Lail secara keseluruhan dibangun di atas prinsip dualitas dan konsekuensi. Dari sumpah Allah atas malam dan siang, hingga penegasan bahwa usaha manusia itu berlainan, Al-Qur'an dengan gamblang menunjukkan bahwa setiap pilihan memiliki akibatnya. Ayat ke 5 surat Al-Lail kemudian hadir sebagai penunjuk jalan bagi mereka yang memilih kebaikan, menguraikan dua ciri fundamental yang akan membawa mereka menuju 'Al-Yusra' (kemudahan).
Memberi (أَعْطَىٰ) adalah lebih dari sekadar tindakan fisik; ia adalah manifestasi dari kemurahan hati, pelepasan diri dari belenggu materialisme, dan pengakuan bahwa segala yang kita miliki adalah titipan dari Allah. Memberi mencakup berbagai bentuk, dari harta benda hingga waktu, tenaga, ilmu, senyuman, bahkan maaf. Ia membersihkan harta dan jiwa, melipatgandakan keberkahan, mempererat tali persaudaraan, menghapus dosa, dan membuka pintu-pintu surga.
Bertakwa (وَٱتَّقَىٰ) adalah fondasi spiritual yang memungkinkan pemberian menjadi bernilai di sisi Allah. Taqwa bukanlah sekadar rasa takut, melainkan kesadaran mendalam akan kehadiran dan pengawasan Allah yang mendorong ketaatan penuh. Ia adalah perisai dari dosa, kunci segala kebaikan, pembuka jalan dari kesulitan, dan standar kemuliaan sejati di sisi Allah. Tanpa takwa, pemberian bisa berujung pada riya' atau kesia-siaan.
Sinergi antara memberi dan bertakwa adalah pesan utama dari ayat ke 5 surat Al-Lail. Keduanya tidak dapat dipisahkan; pemberian yang tulus lahir dari hati yang bertakwa, dan takwa yang sejati termanifestasi dalam kemauan untuk memberi dan berkorban di jalan Allah. Kesatuan ini membentuk karakter Muslim yang seimbang, yang memiliki hubungan harmonis dengan Penciptanya dan juga dengan sesama manusia.
Ayat ke 5 surat Al-Lail, yang kemudian diiringi oleh ayat ke-6 ("وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ" - membenarkan yang terbaik) dan berpuncak pada ayat ke-7 ("فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ" - Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan), memberikan janji yang pasti dari Allah SWT. Janji kemudahan ini bukan hanya kemudahan di dunia, tetapi juga kemudahan dalam menghadapi setiap fase kehidupan, di alam kubur, hari perhitungan, hingga puncak kebahagiaan abadi di surga.
Sebaliknya, Surah Al-Lail juga dengan tegas menunjukkan jalan yang berlawanan bagi mereka yang kikir, merasa cukup tanpa Allah, dan mendustakan janji-janji-Nya. Bagi mereka, Allah akan menyiapkan jalan yang sukar dan penuh kesukaran.
Sebagai hamba, tugas kita adalah merenungi makna ayat ke 5 surat Al-Lail ini dan berupaya sekuat tenaga untuk mengimplementasikannya dalam setiap aspek kehidupan. Mari kita biasakan diri untuk memberi, tidak hanya dari kelebihan, tetapi dari apa yang kita cintai, dengan niat yang ikhlas dan hati yang bertakwa. Mari kita terus pupuk takwa dalam diri kita dengan menjaga shalat, membaca Al-Qur'an, menjauhi maksiat, dan senantiasa mengingat Allah.
Semoga dengan menghidupkan semangat memberi dan bertakwa dalam diri, kita menjadi bagian dari golongan yang dijanjikan kemudahan dan kebahagiaan oleh Allah SWT, sebagaimana terangkum indah dalam pesan agung ayat ke 5 surat Al-Lail. Ini adalah sebuah ajakan untuk hidup yang penuh makna, berkah, dan kebahagiaan abadi.