Simbol abstrak keesaan, kemandirian, dan kesempurnaan ilahi
Memahami Ayat Ketiga Surat Al-Ikhlas: Lam Yalid Wa Lam Yulad
Surat Al-Ikhlas, sebuah permata dalam Al-Qur'an, sering disebut sebagai sepertiga dari keseluruhan kitab suci tersebut. Bukan karena panjangnya, melainkan karena kedalaman dan inti sari pesan yang terkandung di dalamnya: Tauhidullah, pengesaan Allah secara murni. Surat ini, meskipun pendek, merupakan fondasi akidah Islam yang membedakannya secara fundamental dari keyakinan-keyakinan lain di dunia. Setiap ayatnya adalah pilar yang kokoh, dan di antara pilar-pilar tersebut, ayat ketiga memiliki keistimewaan tersendiri dalam menegaskan kesucian Allah dari segala atribut yang menyerupai makhluk.
Dalam pencarian pemahaman yang utuh tentang hakikat Tuhan, manusia seringkali terjebak dalam analogi dan perbandingan dengan alam semesta yang mereka kenal. Mereka berusaha memahami yang gaib dengan merujuk pada yang tampak, yang Maha Mutlak dengan merujuk pada yang relatif. Namun, Al-Qur'an datang untuk meluruskan pandangan tersebut, memberikan definisi Tuhan yang tidak mungkin terjangkau oleh nalar manusia sepenuhnya tanpa bimbingan wahyu. Ayat ketiga dari Surat Al-Ikhlas, لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Lam Yalid Wa Lam Yulad), adalah salah satu pernyataan paling tegas dan mutlak tentang transendensi Allah.
Artikel ini akan mengupas tuntas makna dan implikasi dari ayat yang agung ini, membongkar setiap lapisan pengertiannya untuk menghadirkan pemahaman yang komprehensif. Kita akan menjelajahi bagaimana ayat ini secara fundamental membersihkan akidah seorang Muslim dari segala bentuk kemusyrikan, anthropomorphisme, dan penyerupaan Allah dengan makhluk. Lebih dari sekadar terjemahan literal, kita akan menyelami kedalaman filosofis, teologis, dan spiritual yang terkandung dalam kalimat singkat namun padat makna ini, yang merupakan inti dari pemurnian konsep Ketuhanan dalam Islam.
Surat Al-Ikhlas Secara Keseluruhan: Pilar-pilar Tauhid
Sebelum kita menyelam lebih dalam ke ayat ketiga, penting untuk memahami Surat Al-Ikhlas sebagai satu kesatuan yang koheren, di mana setiap ayat saling melengkapi untuk membentuk definisi tauhid yang sempurna dan tak tergoyahkan. Surat ini memiliki empat ayat yang ringkas namun sarat makna:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa."
Ayat pertama ini adalah deklarasi fundamental tauhid: Allah adalah Ahad. Kata "Ahad" di sini bukan sekadar "satu" dalam hitungan kuantitas, melainkan "satu" dalam makna unik, tunggal, tidak terbagi, dan tidak memiliki sekutu dalam Dzat, Sifat, maupun Af'al (perbuatan)-Nya. Ia menolak pluralitas ketuhanan, dualisme, dan bahkan konsep kesatuan yang terbagi-bagi. Allah adalah Dzat yang tak dapat diserupai oleh apapun, baik dalam wujud maupun sifat. Keesaan ini menuntut pengesaan dalam peribadatan (tauhid uluhiyah) dan keyakinan akan kuasa-Nya yang tunggal (tauhid rububiyah). Keunikan Allah yang "Ahad" berarti bahwa Dia tidak memiliki padanan dalam eksistensi. Tidak ada yang seperti Dia, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak ada yang bisa menyerupai-Nya sedikit pun. Konsep ini membebaskan akal dari segala keterbatasan persepsi manusia yang cenderung mengukur segala sesuatu dengan standar yang mereka kenal. Allah adalah satu-satunya Dzat yang wujud-Nya bersifat wajib, sedangkan selain Dia wujudnya bersifat mungkin dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Ini adalah pondasi akidah yang paling fundamental, mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada satu sumber segala keberadaan, kebaikan, dan kekuatan.
اللَّهُ الصَّمَدُ
2. "Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu."
Ayat kedua ini mendefinisikan sifat "Ash-Shamad" dari Allah. Ash-Shamad memiliki beberapa makna mendalam: pertama, Dia adalah Dzat yang sempurna, tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya, namun segala ciptaan membutuhkan dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Kedua, Dia adalah tujuan akhir dari segala keinginan, tempat kembali segala urusan, dan tempat mengadu segala hajat. Ketiga, Dia adalah Dzat yang tidak memiliki rongga, tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak memiliki sifat-sifat kekurangan makhluk. Ayat ini menegaskan kemandirian mutlak Allah dan kebutuhan universal semua makhluk kepada-Nya, baik dalam penciptaan, pemeliharaan, maupun rezeki. Segala sesuatu selain Allah adalah fana dan terbatas, sedangkan Allah Maha Kekal dan tidak terbatas. Sifat Ash-Shamad ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta, dengan segala kerumitan dan keajaibannya, mutlak bergantung kepada Allah untuk keberadaan, kelangsungan, dan fungsinya. Manusia, hewan, tumbuhan, bahkan galaksi dan bintang, semuanya berada dalam kendali dan pemeliharaan-Nya. Tanpa-Nya, tidak ada yang bisa ada atau bertahan. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang layak untuk disembah dan diandalkan sepenuhnya. Ketergantungan total ini bukan tanda kelemahan bagi Allah, melainkan bukti kemahasempurnaan-Nya yang tidak membutuhkan apapun dari luar Dzat-Nya.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
3. "Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan."
Ini adalah fokus utama kita, dan kita akan membahasnya secara rinci setelah ini. Secara singkat, ayat ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk hubungan kekerabatan antara Allah dan ciptaan-Nya, menegaskan bahwa Allah transenden di atas segala sifat makhluk. Ayat ini adalah jaminan kemurnian tauhid dari segala penyimpangan yang mungkin muncul dari pemikiran manusia yang terbatas.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
4. "Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."
Ayat keempat ini berfungsi sebagai penutup dan penegasan total dari tiga ayat sebelumnya. "Kufuwan Ahad" berarti tidak ada yang setara, sebanding, sepadan, atau serupa dengan Allah dalam bentuk apa pun. Ini menguatkan kembali konsep "Ahad" dari ayat pertama, bahwa Allah adalah unik dan tiada tandingan. Tidak ada yang bisa menandingi-Nya dalam kuasa, ilmu, kehendak, maupun sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang lain. Ayat ini menutup pintu bagi segala upaya untuk menyerupakan Allah dengan makhluk atau membandingkan-Nya dengan entitas lain, entah itu dewa, manusia suci, atau kekuatan alam. Dia adalah Al-Khaliq (Pencipta) yang tiada tandingan, dan ciptaan-Nya tidak akan pernah menyamai-Nya. Penegasan bahwa tidak ada yang setara dengan Allah ini mengukuhkan keagungan dan kemuliaan-Nya. Ini berarti bahwa semua atribut kesempurnaan yang dimiliki Allah – seperti ilmu, kekuatan, kekuasaan, keadilan, kebijaksanaan, dan kasih sayang – adalah mutlak dan tanpa batas, tidak dapat dibandingkan dengan atribut makhluk yang serba terbatas. Ayat ini menjadi penutup yang sempurna bagi Surat Al-Ikhlas, memastikan bahwa konsep tauhid yang disajikan tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk kesyirikan atau anthropomorfisme. Ia adalah deklarasi final tentang keunikan Allah yang mutlak.
Keempat ayat ini, secara bersama-sama, membentuk sebuah deklarasi tauhid yang paling ringkas namun paling komprehensif, menghilangkan segala kekeliruan dan keraguan tentang hakikat Allah. Mereka membersihkan akidah dari segala noda syirik dan memberikan gambaran yang jelas tentang Tuhan yang Maha Esa, Maha Sempurna, dan Maha Agung.
Fokus pada Ayat Ketiga: Lam Yalid Wa Lam Yulad
Ayat ketiga, لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ, adalah inti dari pemurnian tauhid yang ditawarkan oleh Surat Al-Ikhlas. Dua frasa pendek ini, "Lam Yalid" dan "Wa Lam Yulad," mengandung implikasi teologis yang sangat dalam dan luas, membentuk fondasi keyakinan tentang transendensi mutlak Allah dari segala atribut makhluk.
Terjemah dan Makna Literal
Mari kita bedah secara literal makna dari setiap kata dalam ayat ini untuk memahami strukturnya yang sempurna:
- لَمْ (Lam): Ini adalah partikel negasi (harf jazm) yang dalam bahasa Arab digunakan untuk menafikan suatu perbuatan di masa lalu, kini, dan masa depan secara mutlak. Penggunaannya di sini bukan hanya menafikan peristiwa di masa lampau, melainkan menafikan secara total dan abadi bahwa Allah pernah, sedang, atau akan memiliki sifat tersebut. Ini adalah penolakan yang sangat tegas dan final, tidak ada pengecualian dan tidak ada kemungkinan lain. Implikasinya adalah penolakan yang universal dan kekal terhadap sifat tersebut bagi Allah.
- يَلِدْ (Yalid): Ini berasal dari kata kerja 'walada' (وَلَدَ), yang berarti 'beranak', 'melahirkan', atau 'memiliki keturunan'. Dalam konteks ini, ia merujuk pada tindakan memiliki anak atau keturunan dalam pengertian biologis, spiritual, atau metaforis apapun yang bisa disematkan kepada Tuhan. Kata ini mencakup semua jenis 'keturunan' atau 'turunan', baik secara langsung maupun tidak langsung.
- وَ (Wa): Ini adalah konjungsi 'dan', yang menghubungkan dua frasa ini menjadi satu pernyataan yang utuh dan saling menguatkan. Ini menunjukkan bahwa kedua negasi tersebut adalah bagian dari satu kesatuan makna tentang sifat Allah.
- يُولَدْ (Yulad): Ini adalah bentuk pasif dari 'yalid', yang berarti 'diperanakkan', 'dilahirkan', atau 'memiliki asal-usul dari yang lain'. Kata ini menafikan bahwa Allah memiliki permulaan atau berasal dari sesuatu yang lain. Ini mencakup segala bentuk penciptaan atau asal-usul bagi Dzat Allah, menolak keberadaan orang tua atau sumber lain bagi-Nya.
Dengan demikian, terjemahan harfiah dari ayat ini adalah: "Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan." Pernyataan ini sangat lugas dan tidak menyisakan ruang untuk ambiguitas atau interpretasi ganda. Ini adalah deklarasi mutlak yang menegaskan kemandirian dan keesaan Allah dalam segala aspeknya, sekaligus menyucikan-Nya dari segala sifat makhluk yang serba terbatas dan memiliki permulaan atau akhir. Kedalamannya terletak pada kesederhanaan dan kepadatannya yang menyeluruh.
Implikasi "Lam Yalid" (Dia tidak beranak)
Frasa "Lam Yalid" adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk konsep ketuhanan yang memiliki anak atau keturunan. Implikasi dari penolakan ini sangat mendalam dan multifaset, menyentuh berbagai aspek akidah dan pemahaman tentang hakikat Tuhan:
1. Penolakan Terhadap Konsep Ketuhanan yang Memiliki Anak
Secara langsung, "Lam Yalid" menolak klaim-klaim yang mengatributkan anak kepada Tuhan, seperti yang ditemukan dalam berbagai agama dan mitologi sepanjang sejarah manusia. Ini adalah titik perbedaan fundamental antara tauhid Islam dengan banyak keyakinan lain:
- Dalam Kekristenan: Ini adalah penolakan terhadap keyakinan bahwa Yesus adalah "anak Allah." Islam mengakui Yesus (Nabi Isa a.s.) sebagai seorang Nabi yang mulia dan utusan Allah yang agung, bahkan salah satu dari Ulul Azmi, namun menolak klaim ketuhanan atau keanak-Tuhanan-Nya. Konsep ketuhanan yang beranak atau diperanakkan (seperti Trinitas yang menyatakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai satu Tuhan) dianggap bertentangan dengan keesaan mutlak (Ahad) Allah. Allah tidak memiliki 'anak tunggal' atau 'anak rohani' dalam arti apapun yang menyerupai hubungan biologis atau hierarki. Kasih sayang Allah tidak perlu diwujudkan dalam bentuk beranak, karena kasih sayang-Nya melingkupi segala sesuatu dan telah Dia tunjukkan melalui penciptaan dan pemeliharaan alam semesta.
- Dalam Mitologi dan Paganisme: Banyak peradaban kuno, seperti Yunani (misalnya, Zeus memiliki banyak anak seperti Apollo, Athena, Artemis), Romawi, Mesir, dan bahkan dalam beberapa tradisi Hindu (misalnya, Brahma yang memiliki anak-anak dewa), dewa-dewi digambarkan memiliki pasangan dan keturunan. Mereka membentuk keluarga ilahi, yang mencerminkan struktur sosial dan biologis manusia. "Lam Yalid" menghancurkan konsep ini, menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala bentuk hubungan kekerabatan yang menyerupai makhluk. Dia adalah Tuhan yang tunggal, tanpa istri, tanpa anak, tanpa kerabat. Sifat-sifat ini adalah atribut ciptaan, bukan Pencipta.
- Dalam Yudaisme: Meskipun Yudaisme dikenal dengan monoteisme yang ketat, ada beberapa sekte di masa lalu yang mengklaim bahwa Uzair (Ezra) adalah anak Allah. Al-Qur'an secara eksplisit menolak klaim ini, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat At-Taubah (9:30): وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ (Orang-orang Yahudi berkata, "Uzair putra Allah," dan orang-orang Nasrani berkata, "Al-Masih putra Allah." Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Semoga Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?). Ini menunjukkan bahwa klaim semacam itu tidak hanya ada di antara pagan, tetapi juga pernah muncul dalam tradisi monoteistik lainnya.
Klaim-klaim ini seringkali muncul dari upaya manusia untuk memanusiakan Tuhan, menjadikannya lebih mudah dipahami atau relevan dengan pengalaman manusia. Mereka berusaha mengisi kekosongan pemahaman tentang Dzat yang transenden dengan atribut yang familiar bagi mereka. Namun, Islam mengajarkan bahwa Allah berada di atas segala analogi dan perbandingan manusia.
2. Kesempurnaan Allah yang Mutlak
Memiliki anak menunjukkan adanya kebutuhan atau kekurangan. Makhluk beranak karena berbagai alasan yang menunjukkan keterbatasan mereka. Sebaliknya, Allah Maha Sempurna dan tidak memiliki kekurangan sedikit pun. Dengan demikian, "Lam Yalid" secara implisit menegaskan kesempurnaan-Nya:
- Kebutuhan Pewaris atau Penerus: Manusia beranak untuk melanjutkan garis keturunan, memastikan warisan, atau untuk memiliki dukungan di masa tua. Mereka fana dan menyadari bahwa eksistensi mereka terbatas. Allah Maha Kekal (Al-Baqi), tidak memiliki awal dan akhir (Al-Awwal, Al-Akhir), sehingga Dia tidak membutuhkan pewaris. Keberadaan-Nya adalah mutlak, tidak bergantung pada kelanjutan oleh generasi lain. Dia adalah Yang Abadi, tidak akan pernah mati atau binasa.
- Kebutuhan Bantuan atau Sokongan: Anak seringkali dianggap sebagai penolong atau pendukung di masa depan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Qawiy, Al-Aziz), tidak membutuhkan bantuan dari siapapun atau apapun. Seluruh alam semesta berada dalam kendali-Nya yang sempurna. Dia adalah Penopang semua (Al-Qayyum) dan tidak membutuhkan penopang. Jika Dia membutuhkan bantuan, berarti Dia tidak Maha Kuasa, yang bertentangan dengan sifat-sifat-Nya.
- Kelemahan atau Keterbatasan Diri: Proses reproduksi melibatkan aspek biologis dan fisik yang menunjukkan kelemahan dan keterbatasan makhluk. Misalnya, proses melahirkan pada makhluk hidup menunjukkan kerentanan dan kebutuhan akan pertahanan diri. Allah Maha Suci dari segala sifat kekurangan ini. Dia tidak memiliki tubuh, organ, atau kebutuhan biologis yang melekat pada makhluk. Dia transenden dari segala bentuk materi dan batasan fisik.
- Kebutuhan untuk Membagi Kekuasaan atau Tanggung Jawab: Beberapa konsep dewa mengindikasikan bahwa anak-anak dewa membantu mengelola aspek-aspek alam semesta, seolah-olah beban kekuasaan terlalu besar untuk satu Dzat. Allah adalah Raja Diraja (Malikul Mulk), penguasa tunggal alam semesta, tidak berbagi kekuasaan atau tanggung jawab dengan siapapun. Kekuasaan-Nya mutlak dan tidak terbatas, sehingga Dia tidak membutuhkan "delegasi" atau "rekan kerja" dalam pengaturan alam semesta.
Dengan menafikan memiliki anak, "Lam Yalid" menegaskan kesempurnaan mutlak Allah (Al-Kamal Al-Mutlaq). Dia tidak memiliki kekurangan sedikit pun, tidak membutuhkan apa pun, dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya, sementara Dia tidak bergantung kepada siapapun.
3. Keabadian dan Keazalian Allah
Proses kelahiran dan perkembangbiakan adalah siklus alamiah bagi makhluk hidup yang fana. Makhluk dilahirkan, tumbuh, menua, dan kemudian mati, digantikan oleh generasi berikutnya. Ini adalah tanda dari sesuatu yang memiliki permulaan dan akan memiliki akhir. Allah, sebaliknya, adalah Al-Awwal (Yang Pertama, tanpa permulaan) dan Al-Akhir (Yang Terakhir, tanpa akhir). Dia ada sebelum segala sesuatu dan akan tetap ada setelah segala sesuatu binasa. Karena Dia Kekal Abadi, Dia tidak membutuhkan proses reproduksi untuk "melanjutkan" keberadaan-Nya. Jika Allah beranak, itu akan mengimplikasikan bahwa Dia tunduk pada hukum alam yang Dia ciptakan sendiri, yang berarti Dia serupa dengan makhluk-Nya, memiliki batasan waktu dan ruang. Padahal Allah Maha Tinggi dari keserupaan itu. Keabadian-Nya berarti tidak ada ancaman terhadap keberadaan-Nya yang memerlukan pewaris. Keazalian-Nya berarti Dia tidak memiliki awal yang perlu "berlanjut" melalui keturunan.
4. Kemandirian dan Kemahasempurnaan Allah dari Sifat Makhluk
Beranak membutuhkan pasangan dan proses biologis tertentu. Ini berarti Allah memiliki pasangan ("istri") dan tunduk pada hukum-hukum fisik dan biologis yang berlaku bagi makhluk. Al-Qur'an secara tegas menolak ide ini dalam Surat Al-An'am (6:101):
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُن لَّهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri? Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ayat ini secara retoris menanyakan bagaimana Allah bisa memiliki anak jika Dia tidak memiliki pasangan. Ini adalah penolakan terhadap konsep antropomorfisme, yaitu menyerupakan Allah dengan manusia yang memiliki kebutuhan dan hubungan sosial. Allah adalah Al-Ghani (Maha Kaya), tidak membutuhkan pasangan untuk memiliki keturunan. Dia menciptakan segala sesuatu dengan firman-Nya "Kun" (Jadilah!), tanpa perlu proses yang menyerupai makhluk. Kekuasaan-Nya mutlak, dan Dia tidak memerlukan sarana atau perantara yang menunjukkan kelemahan. Tidak adanya anak juga berarti tidak ada "keluarga ilahi" atau "dinasti ilahi". Allah adalah Dzat yang Maha Esa, tunggal dalam Rububiyah (Ketuhanan), Uluhiyah (Keesaan dalam ibadah), dan Asma wa Sifat (Nama-nama dan Sifat-sifat)-Nya. Konsep ini menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk pluralitas atau pembagian dalam esensi Ketuhanan.
5. Perbedaan Mutlak Antara Pencipta dan Ciptaan
Salah satu tujuan utama "Lam Yalid" adalah untuk menarik garis pemisah yang jelas antara Pencipta (Allah) dan ciptaan-Nya. Makhluk adalah hasil ciptaan yang terbatas, memiliki permulaan, dan tunduk pada hukum alam. Pencipta adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia tidak tunduk pada hukum yang Dia ciptakan. Memiliki anak adalah sifat makhluk, bukan sifat Pencipta. Jika Allah beranak, maka Dia akan serupa dengan makhluk-Nya, yang berarti Dia sendiri adalah makhluk, dan ini adalah kontradiksi dalam konsep Ketuhanan. Pencipta haruslah berbeda secara fundamental dari ciptaan-Nya, lebih tinggi, lebih sempurna, dan transenden. Jika tidak ada perbedaan ini, maka tidak ada dasar untuk mengesakan dan menyembah-Nya. Segala sifat yang menunjukkan keterbatasan, perubahan, atau kebutuhan adalah sifat makhluk, dan Allah Maha Suci darinya.
Oleh karena itu, "Lam Yalid" adalah penegasan tentang transendensi Allah (Tanzih) yang mutlak, bahwa Dia Maha Suci dari segala sifat kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan yang melekat pada ciptaan-Nya. Dia tidak dapat diserupakan dengan apa pun, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Ini adalah jaminan bahwa Tuhan yang disembah umat Islam adalah Dzat yang Maha Murni dan Agung, jauh di atas segala gambaran dan bayangan manusia.
Implikasi "Wa Lam Yulad" (dan tidak pula diperanakkan)
Frasa kedua, "Wa Lam Yulad," adalah pelengkap sempurna untuk "Lam Yalid." Jika "Lam Yalid" menolak kemungkinan Allah memiliki keturunan, maka "Wa Lam Yulad" menolak kemungkinan Allah memiliki asal-usul atau diperanakkan oleh yang lain. Implikasi dari penolakan ini juga sangat fundamental, mengukuhkan keazalian dan kemandirian-Nya:
1. Ketiadaan Asal-Usul bagi Allah
Jika seseorang "diperanakkan," itu berarti ia memiliki orang tua atau asal-usul, yang mendahuluinya dalam eksistensi. "Wa Lam Yulad" secara tegas menafikan bahwa Allah memiliki orang tua, pencipta, atau sumber keberadaan apapun di luar Dzat-Nya sendiri. Ini adalah penegasan bahwa Allah adalah:
- Al-Awwal (Yang Pertama): Tidak ada yang mendahului-Nya dalam keberadaan. Dia adalah titik awal dari segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak memiliki titik awal. Konsep ini mematahkan rantai pertanyaan tak terbatas tentang "siapa yang menciptakan Tuhan?" karena Allah adalah Dzat yang azali, tanpa permulaan. Jika Dia memiliki permulaan, Dia pasti membutuhkan pencipta, dan pencipta itu akan menjadi Tuhan yang sebenarnya.
- Al-Khaliq (Sang Pencipta): Dia adalah Pencipta tunggal, dan tidak ada yang menciptakan-Nya. Segala sesuatu yang ada adalah ciptaan-Nya, termasuk proses penciptaan itu sendiri. Dengan demikian, tidak mungkin ada yang menciptakan atau melahirkan Allah. Ini adalah inti dari Tauhid Rububiyah: Allah adalah Pencipta dan Pengatur tunggal alam semesta, dan Dia sendiri tidak diciptakan.
- Al-Wajibul Wujud (Wajib Adanya): Keberadaan Allah adalah niscaya (wajib), tidak bergantung pada sebab-sebab eksternal. Semua selain-Nya adalah mungkin adanya (jaizul wujud) dan bergantung pada-Nya untuk eksistensinya. Eksistensi-Nya adalah intrinsik dan mandiri, tidak memerlukan dukungan eksternal.
Ini adalah inti dari Tauhid Rububiyah yang murni: Allah adalah Penguasa, Pencipta, dan Pemelihara tunggal yang tidak memiliki mitra, pembantu, atau asal-usul. Dia adalah sumber dari segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak bersumber dari apapun. Ini memberikan kepastian absolut bahwa ada satu Dzat yang mutlak dan tidak bergantung.
2. Keazalian Allah yang Absolut
Setiap yang diperanakkan memiliki permulaan dalam waktu. Bayi dilahirkan pada suatu waktu tertentu, pohon tumbuh dari biji pada waktu tertentu, dan alam semesta diyakini memiliki permulaan (Big Bang). "Wa Lam Yulad" menegaskan bahwa Allah transenden dari konsep waktu dan permulaan. Dia adalah Al-Qadim (yang kekal tanpa permulaan). Keberadaan-Nya tidak terbatas oleh waktu atau ruang. Dia selalu ada, dan tidak ada momen di mana Dia tidak ada atau belum ada. Ini menolak segala ide tentang Allah yang "menjadi" atau "muncul" pada suatu titik waktu tertentu, atau bahwa Dia adalah produk dari suatu proses. Keberadaan-Nya adalah mutlak, tidak pernah tidak ada.
Sifat keazalian ini adalah salah satu atribut fundamental yang membedakan Allah dari segala ciptaan. Makhluk memiliki masa hidup yang terbatas, namun Allah tidak. Keberadaan-Nya adalah mutlak dan tanpa batas, bebas dari siklus kelahiran dan kematian yang berlaku bagi segala sesuatu di alam semesta. Allah adalah Alfa dan Omega yang sebenarnya, namun tanpa permulaan bagi Alfa dan tanpa akhir bagi Omega.
3. Kemandirian Mutlak dari Ciptaan
Jika Allah diperanakkan, itu berarti Dia membutuhkan Dzat lain untuk melahirkan atau menciptakan-Nya. Ini secara langsung bertentangan dengan sifat "Ash-Shamad" yang telah disebutkan di ayat kedua – bahwa Allah adalah Dzat yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak bergantung kepada siapa pun. Konsep "Wa Lam Yulad" menggarisbawahi kemandirian mutlak Allah. Dia tidak membutuhkan apa pun atau siapa pun untuk eksistensi-Nya. Keberadaan-Nya adalah inheren dan esensial. Dia adalah Al-Ghaniy (Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun). Jika Dia butuh diperanakkan, maka Dia tidak akan menjadi Ash-Shamad yang sejati. Ketergantungan adalah tanda kelemahan, dan Allah Maha Suci dari kelemahan. Dia adalah Pencipta hukum sebab-akibat, tetapi Dia sendiri tidak tunduk pada hukum-hukum tersebut. Dia adalah Sang Pemberi Kehidupan, dan Dia tidak menerima kehidupan dari pihak lain. Ini menegaskan bahwa sumber akhir dari segala sesuatu ada pada Allah semata, tanpa ada Dzat lain yang mendahului-Nya dalam eksistensi.
4. Bukan Makhluk, Bukan Bagian dari Rantai Penciptaan
Proses kelahiran adalah karakteristik makhluk, dan ini adalah bagian dari rantai keberadaan di alam semesta. Setiap yang lahir memiliki batas, memiliki permulaan dan pada akhirnya akan mengalami kehancuran atau perubahan. "Wa Lam Yulad" menegaskan bahwa Allah bukanlah makhluk, bukan bagian dari rantai penciptaan, dan tidak tunduk pada hukum-hukum alam yang berlaku bagi makhluk. Dia berada di luar ruang dan waktu, dan Dia tidak memiliki sifat-sifat fisik atau biologis yang melekat pada sesuatu yang dilahirkan. Oleh karena itu, konsep inkarnasi atau penjelmaan Tuhan dalam bentuk manusia atau makhluk lain, seperti yang ditemukan dalam beberapa kepercayaan (misalnya, Avatar dalam Hindu, atau penjelmaan dewa dalam mitologi), juga ditolak secara tegas oleh ayat ini. Allah tidak menjelma menjadi makhluk, karena Dia Maha Suci dari menyerupai ciptaan-Nya. Dia tidak terikat oleh siklus kelahiran dan kematian, karena Dia adalah Sumber Kehidupan yang Abadi.
5. Penegasan Transendensi Allah (Tanzih) yang Mutlak
Bersama dengan "Lam Yalid," frasa "Wa Lam Yulad" secara sempurna menegaskan konsep Tanzih (penyucian Allah dari segala kemiripan dengan makhluk). Allah Maha Suci dari segala kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan yang mungkin disematkan oleh pikiran manusia. Dia adalah Dzat yang Maha Tinggi, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia sepenuhnya kecuali melalui wahyu yang Dia turunkan. Ayat ini membersihkan konsep Tuhan dari segala bentuk antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan manusia) dan theomorphism (menyerupakan manusia dengan Allah), serta segala bentuk panteisme atau panenteisme yang kabur. Ini adalah penegasan bahwa Allah adalah Dzat yang unik dalam segala sifat-Nya. Keagungan-Nya tidak dapat dijangkau oleh imajinasi makhluk, dan pikiran manusia hanya dapat mengetahui tentang-Nya melalui apa yang telah Dia wahyukan. Keazalian dan ketidakberasalan-Nya adalah kunci untuk memahami bahwa Dia adalah Tuhan yang sejati, yang layak disembah tanpa sekutu.
Penegasan ini sangat penting untuk menjaga kemurnian akidah. Tanpa pemahaman yang jelas tentang "Lam Yalid Wa Lam Yulad", manusia bisa saja menciptakan tuhan-tuhan di benak mereka yang memiliki sifat-sifat makhluk, yang pada akhirnya akan mengarah pada syirik dan kekufuran. Ayat ini adalah filter utama yang memurnikan keyakinan tentang Allah dari segala noda kekotoran pikiran manusia.
Mengapa Penekanan Ini Penting?
Pentingnya ayat ini tidak dapat dilebih-lebihkan. Ia adalah fondasi bagi:
- Pemurnian Tauhid: Ayat ini membersihkan akidah dari segala bentuk syirik, baik syirik kecil maupun syirik besar, yang timbul dari pengkhayalan tentang Tuhan yang memiliki kekurangan seperti makhluk. Ini adalah inti dari tauhid Al-Uluhiyah (mengesakan Allah dalam ibadah) dan tauhid Ar-Rububiyah (mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan). Tanpa pemahaman ini, tauhid bisa tercampur dengan elemen-elemen paganisme atau kekufuran lainnya.
- Pembeda Utama Akidah Islam: Ayat ini menjadi garis demarkasi yang jelas antara Islam dan agama-agama lain yang mengatributkan anak kepada Tuhan, atau yang meyakini Tuhan memiliki asal-usul. Ini adalah pernyataan yang unik dan tak tertandingi tentang hakikat Tuhan. Ini adalah ciri khas Islam yang fundamental.
- Penegasan Keunikan dan Keagungan Allah: Dengan menafikan segala bentuk kekerabatan dan asal-usul, ayat ini mengukuhkan keunikan Allah, kemuliaan-Nya, dan keagungan-Nya yang tak terbandingkan. Dia adalah Dzat yang layak disembah dan dipuja secara eksklusif. Keagungan-Nya tidak dapat dibandingkan dengan keagungan makhluk.
- Mencegah Antropomorfisme: Ayat ini secara efektif menutup pintu bagi segala upaya untuk menyerupakan Allah dengan makhluk, bahkan secara metaforis yang bisa menyesatkan. Ini menjaga kemurnian konsep Allah sebagai Dzat yang transenden dan tidak dapat dibayangkan oleh indra atau akal manusia sepenuhnya. Ia menghindarkan dari gagasan bahwa Allah memiliki bentuk, rupa, atau karakteristik fisik.
- Membangun Kerangka Logika Ilahiah: Dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, Al-Qur'an menyajikan kerangka logika yang koheren tentang Tuhan yang azali, abadi, dan mandiri secara mutlak. Ini adalah jawaban terhadap pertanyaan filosofis mendasar tentang asal-usul segala sesuatu dan sifat entitas Ilahi yang pertama.
Pentingnya ayat ini juga terlihat dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Surat Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Ini bukan hanya karena keutamaannya dalam pahala, tetapi karena ia merangkum esensi ajaran tauhid yang merupakan inti dari seluruh pesan Al-Qur'an. Tanpa tauhid yang murni, seluruh bangunan agama akan runtuh. Oleh karena itu, pemahaman yang benar dan mendalam tentang "Lam Yalid Wa Lam Yulad" adalah kunci untuk memahami Islam secara keseluruhan.
Korelasi dengan Ayat Lain dalam Al-Qur'an
Konsep yang terkandung dalam "Lam Yalid Wa Lam Yulad" bukanlah berdiri sendiri, melainkan diperkuat dan dijelaskan lebih lanjut di banyak bagian Al-Qur'an lainnya. Ini menunjukkan konsistensi ajaran Islam dalam menegakkan tauhid yang murni dari berbagai sudut pandang dan dengan gaya bahasa yang berbeda, memastikan tidak ada ruang untuk keraguan:
1. Ayat Kursi (Surat Al-Baqarah 2:255)
Ayat Kursi adalah salah satu ayat teragung dalam Al-Qur'an yang menjelaskan sifat-sifat Allah. Di dalamnya disebutkan:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
"Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Frasa seperti "tidak mengantuk dan tidak tidur" atau "tidak merasa berat memelihara keduanya" menunjukkan kesempurnaan dan kemandirian Allah yang mutlak. Tidur dan rasa berat adalah tanda kelemahan dan kebutuhan istirahat, yang merupakan sifat makhluk. Dzat yang tidak membutuhkan istirahat, apalagi membutuhkan pasangan atau anak. Ini secara indah melengkapi makna "Lam Yalid Wa Lam Yulad", menegaskan bahwa Dia adalah Dzat yang Maha Sempurna dan tidak memiliki kekurangan apapun, serta tidak menyerupai makhluk-Nya. Konsep "Al-Hayy" (Yang Maha Hidup) dan "Al-Qayyum" (Yang Berdiri Sendiri dan Mengurus Segala Sesuatu) juga selaras dengan ayat ketiga Al-Ikhlas; Dzat yang hidup sendiri dan tidak bergantung pada apapun tidak mungkin beranak atau diperanakkan.
2. Surat Maryam (19:35)
Al-Qur'an secara eksplisit menolak klaim tentang Allah memiliki anak, khususnya yang berkaitan dengan Isa (Yesus), sebagai koreksi terhadap pemahaman yang keliru:
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ ۖ سُبْحَانَهُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
"Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!", maka jadilah ia."
Ayat ini adalah konfirmasi langsung dari makna "Lam Yalid." Allah Maha Suci dari memiliki anak, dan kuasa-Nya untuk menciptakan sesuatu hanyalah dengan firman "Kun!" (Jadilah!), tanpa perlu melalui proses kelahiran atau memiliki keturunan. Ini menunjukkan bahwa penciptaan-Nya tidak terbatas pada mekanisme reproduksi biologis, bahkan dalam menciptakan Isa tanpa ayah. Frasa "Subhanahu" (Maha Suci Dia) menguatkan konsep Tanzih, bahwa Allah jauh di atas segala sifat kekurangan. Ini juga menegaskan kemandirian mutlak Allah dalam menciptakan, tanpa memerlukan campur tangan atau bantuan dari pihak lain, apalagi harus memiliki keturunan.
3. Surat An-Nisa (4:171)
Ayat ini juga membahas tentang Isa dan menolak konsep Trinitas, memberikan rincian lebih lanjut tentang posisi Isa dalam Islam:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (dengan kalimat-Nya) yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, bagi-Nya apa yang di langit dan di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara."
Bagian "Maha Suci Allah dari mempunyai anak" adalah penegasan kembali yang kuat dari "Lam Yalid Wa Lam Yulad," dalam konteks penolakan Trinitas dan penyifatan Allah dengan anak. Ayat ini tidak hanya menolak konsep anak secara fisik, tetapi juga secara esensial dalam konteks ketuhanan yang terbagi. Allah adalah Ilahun Wahid (Tuhan Yang Maha Esa), dan ini adalah dasar tauhid yang menolak segala bentuk kemitraan atau pembagian dalam Dzat Ketuhanan. Frasa "bagi-Nya apa yang di langit dan di bumi" juga menguatkan sifat Ash-Shamad dan Rububiyah-Nya, bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya dan tunduk kepada-Nya, sehingga Dia tidak membutuhkan apapun, apalagi anak.
4. Surat Asy-Syura (42:11)
Ayat ini adalah salah satu pernyataan paling fundamental tentang transendensi Allah, yang merangkum keseluruhan konsep tanzih:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Ayat ini, "Laisa kamitslihi syai'un," adalah pilar tanzih (penyucian Allah dari segala keserupaan dengan makhluk). Ini adalah kesimpulan logis dari "Lam Yalid Wa Lam Yulad." Jika Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, maka Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya dalam esensi keberadaan, atribut, dan cara eksistensi. Segala sesuatu yang beranak atau diperanakkan pasti memiliki kemiripan dengan makhluk lain dalam proses keberadaannya, namun Allah tidak. Oleh karena itu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Bagian akhir ayat "wa Huwas Samii'ul Bashir" (Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) menegaskan bahwa meskipun Dia tidak serupa, Dia tetap sempurna dalam sifat-sifat-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Ini mencegah pemahaman tanzih yang berlebihan hingga menafikan sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan untuk Dzat-Nya.
Korelasi dengan ayat-ayat ini menunjukkan bahwa makna "Lam Yalid Wa Lam Yulad" bukan sekadar doktrin terisolasi, melainkan prinsip inti yang menjiwai seluruh ajaran Al-Qur'an tentang hakikat Allah. Ini adalah fondasi dari keyakinan monoteistik yang murni dan tak tercela, yang dijelaskan dan diperkuat dari berbagai perspektif untuk memastikan pemahaman yang komprehensif dan bebas dari keraguan.
Tafsir dan Penafsiran Ulama
Para ulama tafsir telah membahas Surat Al-Ikhlas, khususnya ayat ketiga, dengan kedalaman yang luar biasa. Penafsiran mereka umumnya berpusat pada penegasan tauhid dan penolakan syirik, serta menjelaskan implikasi dari setiap frasa:
1. Imam Ath-Thabari
Dalam karyanya yang monumental, "Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an," Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa frasa "Lam Yalid Wa Lam Yulad" adalah penjelasan lebih lanjut tentang makna "Allahush Shamad." Dia yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu (Ash-Shamad) pastilah Dzat yang Maha Suci dari memiliki anak atau diperanakkan. Ath-Thabari mengutip dari berbagai riwayat para sahabat dan tabi'in yang menjelaskan bahwa ayat ini menolak klaim orang-orang musyrik yang menyifati Tuhan dengan keturunan atau asal-usul. Ia menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak memiliki "ibu" atau "anak," karena semua itu adalah sifat makhluk yang memiliki permulaan dan akhir.
Menurut Ath-Thabari, ayat ini membersihkan Allah dari segala kebutuhan dan ketergantungan. Jika Dia beranak, itu menunjukkan kebutuhan untuk melanjutkan eksistensi atau membutuhkan bantuan, padahal Dia Maha Kuasa dan Kekal. Jika Dia diperanakkan, itu berarti Dia memiliki asal-usul, padahal Dia adalah Al-Awwal (Yang Pertama) yang tidak didahului oleh apapun. Ath-Thabari juga menjelaskan bahwa penggunaan "Lam" menunjukkan penolakan yang mutlak dan abadi, tidak terbatas pada waktu tertentu. Ini mengukuhkan kemurnian Dzat Allah dari segala kemungkinan atribusi sifat makhluk, baik di masa lalu, sekarang, maupun masa depan. Ini adalah pemurnian tauhid yang komprehensif, menghilangkan segala bentuk tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta'thil (menafikan sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan).
2. Imam Ibnu Katsir
Dalam "Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzim," Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa Surat Al-Ikhlas, dan khususnya ayat ini, diturunkan untuk menanggapi pertanyaan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan musyrikin Makkah tentang silsilah atau hakikat Tuhan. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "Lam Yalid" menolak klaim orang Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, klaim orang Nasrani bahwa Isa adalah anak Allah, dan klaim kaum pagan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Semuanya adalah kekeliruan besar yang bertentangan dengan keesaan Allah.
Adapun "Wa Lam Yulad," Ibnu Katsir menyatakan bahwa Allah tidak memiliki ibu atau bapak, karena Dia adalah Al-Awwal, tidak ada yang mendahului-Nya. Dia tidak diciptakan, tidak dilahirkan, tidak ada yang pernah ada sebelum-Nya. Ini adalah penegasan keazalian dan keabadian Allah. Dia adalah Pencipta segala sesuatu, dan segala sesuatu adalah ciptaan-Nya. Tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ibnu Katsir juga menekankan keutamaan surat ini sebagai ringkasan tauhid, dan bahwa ayat "Lam Yalid Wa Lam Yulad" adalah pilar sentral dalam menyingkirkan segala bentuk kesyirikan dan anthropomorfisme dari akidah seorang Muslim. Ia adalah penjelasan tentang sifat "Ahad" dan "Ash-Shamad" yang telah disebutkan sebelumnya, melengkapi gambaran tentang Tuhan yang Maha Esa dan Maha Sempurna.
3. Imam Asy-Syaukani
Dalam "Fathul Qadir," Asy-Syaukani menafsirkan bahwa 'Lam Yalid' menafikan adanya keturunan bagi Allah, dan 'Wa Lam Yulad' menafikan adanya asal-usul atau orang tua bagi Allah. Ini adalah penegasan mutlak bahwa Allah adalah Dzat yang sempurna dan tidak menyerupai makhluk dalam segala aspek, baik dalam keberadaan-Nya yang azali maupun dalam ketiadaan keturunan-Nya. Dia adalah yang pertama tanpa permulaan dan yang terakhir tanpa akhir. Asy-Syaukani menjelaskan bahwa jika Allah beranak, maka anak itu akan menjadi bagian dari-Nya atau serupa dengan-Nya, yang bertentangan dengan "Ahad" dan "Kufuwan Ahad." Dan jika Dia diperanakkan, maka Dia akan memiliki permulaan dan membutuhkan pencipta, yang bertentangan dengan sifat "Ash-Shamad" dan keazalian-Nya. Oleh karena itu, kedua frasa ini saling melengkapi untuk menyingkirkan segala bentuk kesyirikan dan keraguan tentang Dzat Allah yang Maha Suci.
4. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di
Dalam "Tafsir As-Sa'di," beliau menjelaskan bahwa ayat "Lam Yalid Wa Lam Yulad" adalah tafsir dari "Allahush Shamad." Karena Allah adalah Ash-Shamad (tempat bergantung segala sesuatu), maka Dia pasti Maha Sempurna dalam segala hal, tidak membutuhkan apa pun, termasuk tidak membutuhkan anak untuk melestarikan diri atau bantuan, dan juga tidak dilahirkan karena Dia adalah Dzat yang Maha Awal yang tidak memiliki permulaan. As-Sa'di menekankan bahwa sifat-sifat ini (tidak beranak dan tidak diperanakkan) adalah konsekuensi logis dari sifat Ash-Shamad dan Ahad. Dzat yang Maha Esa dan tempat bergantung segala sesuatu pastilah yang Maha Suci dari segala atribut yang menunjukkan kekurangan atau ketergantungan. Ini adalah penegasan tauhid uluhiyah dan rububiyah secara serempak, membersihkan hati dari segala bentuk kesyirikan. Tafsir As-Sa'di seringkali ringkas namun sangat dalam, menekankan aspek praktis dan keimanan dari setiap ayat, dan dalam konteks ini, ia menyoroti bagaimana ayat ketiga adalah fondasi untuk membangun kepercayaan yang benar dan kokoh kepada Allah.
Secara keseluruhan, para ulama tafsir sepakat bahwa ayat ketiga Surat Al-Ikhlas adalah pilar fundamental dalam akidah Islam untuk menegaskan kemurnian tauhid, membersihkan Allah dari segala sifat kekurangan makhluk, dan menegaskan transendensi-Nya yang mutlak. Penafsiran mereka menegaskan bahwa makna ayat ini adalah universal, mutlak, dan tidak dapat ditawar, menjadi dasar bagi pemahaman Islam yang benar tentang Tuhan.
Dampak dan Pengamalan dalam Kehidupan Muslim
Memahami dan merenungkan makna "Lam Yalid Wa Lam Yulad" bukan hanya sebatas pengetahuan teologis yang abstrak, tetapi memiliki dampak yang sangat mendalam dan praktis dalam kehidupan seorang Muslim. Ini adalah prinsip yang membentuk pandangan dunia, perilaku, dan hubungan spiritual seseorang dengan Sang Pencipta:
1. Penguatan Akidah dan Keimanan
Pemahaman yang kokoh tentang ayat ini akan memperkuat akidah seorang Muslim hingga ke akar-akarnya. Ia akan membentuk keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, Maha Sempurna, dan tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya, dan tidak pula memiliki kekurangan sedikit pun. Keyakinan ini akan membebaskan hati dari keraguan, kebingungan, dan kekhawatiran tentang hakikat Tuhan, menanamkan rasa ketenangan dan kepastian dalam beriman. Ini menjadi tameng yang kuat terhadap segala bentuk propaganda atau ideologi yang bertentangan dengan tauhid, karena pondasi keimanan telah tertanam dengan sangat kuat dan jelas. Seorang Muslim tidak akan mudah terombang-ambing oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang.
2. Penghindaran Syirik Secara Total
Ayat ini adalah benteng terkuat melawan syirik dalam segala bentuknya. Dengan memahami bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, seorang Muslim akan secara otomatis menolak segala bentuk kepercayaan yang mengatributkan ketuhanan kepada selain Allah, atau menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk. Ia akan menjauhi penyembahan berhala, pemujaan tokoh suci, atau keyakinan pada entitas lain sebagai perantara atau sekutu Tuhan. Tidak ada yang bisa menjadi "anak Tuhan," tidak ada yang bisa menjadi "orang tua Tuhan," dan tidak ada yang bisa setara dengan-Nya. Pemahaman ini membersihkan ibadah hanya kepada Allah semata (tauhid uluhiyah), karena hanya Dia yang layak disembah dan yang mampu memenuhi segala kebutuhan. Ini adalah esensi dari kalimat Syahadat: "La ilaha illallah" (Tidak ada Tuhan selain Allah).
3. Rasa Takut, Cinta, dan Ketergantungan Hanya kepada Allah
Merenungkan keagungan Allah yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang Maha Azali dan Maha Abadi, akan menumbuhkan rasa takut yang mendalam terhadap-Nya, serta cinta yang tulus dan pengagungan yang tak terbatas. Rasa takut ini bukan berarti ketakutan akan kezaliman, melainkan rasa hormat dan gentar terhadap kebesaran, kekuasaan, dan keadilan-Nya yang tak terbatas. Cinta ini muncul dari pengakuan atas kesempurnaan-Nya yang mutlak, bahwa Dia adalah sumber segala kebaikan dan keindahan. Karena Dia adalah Ash-Shamad yang tidak membutuhkan apa-apa tapi dibutuhkan semua, hati seorang Muslim akan sepenuhnya bergantung kepada-Nya dalam segala urusan, mencari pertolongan, petunjuk, dan perlindungan hanya dari-Nya. Ini berarti membebaskan diri dari ketergantungan pada makhluk yang serba lemah dan terbatas.
4. Peningkatan Kualitas Ibadah
Ketika seorang Muslim memahami siapa Dzat yang dia sembah — Dzat yang Maha Sempurna, Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan — maka ibadahnya akan menjadi lebih khusyuk, lebih tulus, dan lebih bermakna. Shalat, doa, sedekah, puasa, dan setiap amal kebaikan lainnya akan dilakukan dengan kesadaran penuh akan kebesaran Allah, bukan sekadar rutinitas tanpa makna. Perasaan bahwa seseorang sedang berinteraksi dengan Dzat yang tak terbandingkan dan tak terbatas akan meningkatkan fokus dan ketulusan dalam setiap bentuk ibadah, mengubahnya dari kewajiban menjadi ekspresi cinta dan pengagungan. Ini akan meningkatkan kualitas spiritual seseorang secara signifikan.
5. Kedamaian Jiwa dan Ketenangan Hati
Mengetahui bahwa Tuhan semesta alam adalah Dzat yang Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, tidak tunduk pada kelemahan makhluk, dan merupakan satu-satunya tempat bergantung, memberikan kedamaian yang luar biasa bagi jiwa. Segala kekhawatiran tentang "siapa yang lebih kuat dari Tuhan" atau "bagaimana jika Tuhan juga punya masalah" akan hilang. Keyakinan ini membebaskan manusia dari kegelisahan eksistensial, kekhawatiran tentang masa depan, dan rasa putus asa. Ia memberikan arah serta tujuan yang jelas dalam hidup, karena seorang Muslim tahu bahwa ia hanya perlu menyenangkan satu Dzat, yang Maha Kuasa dan Maha Baik, yang memegang kendali atas segalanya. Ini adalah sumber ketenangan batin yang tak ternilai harganya.
6. Refleksi atas Kehidupan dan Penciptaan
Pemahaman ayat ini juga mendorong refleksi mendalam tentang kehidupan dan alam semesta. Jika Allah tidak diperanakkan, itu berarti Dia adalah sumber segala sesuatu, Dzat yang menyebabkan segala sesuatu ada. Segala yang ada memiliki awal dan akhir, kecuali Dia. Ini mengarahkan pikiran pada kebesaran penciptaan dan keteraturan alam semesta sebagai bukti kekuasaan dan keesaan Sang Pencipta yang azali. Segala sesuatu selain Allah adalah fana dan memiliki keterbatasan, yang memperkuat keyakinan akan keabadian dan kesempurnaan-Nya. Ini memotivasi seorang Muslim untuk mencari tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan menghubungkannya dengan ayat-ayat Al-Qur'an (ayat-ayat qauliyah), memperdalam iman melalui pengamatan dan perenungan.
7. Integritas Moral dan Etika
Akidah tauhid yang murni, yang ditegaskan oleh "Lam Yalid Wa Lam Yulad," menjadi dasar bagi sistem moral dan etika dalam Islam. Jika Allah adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Sempurna, maka hukum-hukum dan petunjuk-petunjuk-Nya juga pasti mencerminkan sifat-sifat tersebut. Ini mendorong seorang Muslim untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, amanah, dan kasih sayang, dalam upaya untuk meraih ridha Dzat yang Maha Suci ini. Kepatuhan kepada-Nya bukan lagi sekadar ketaatan buta, melainkan refleksi dari pemahaman akan kesempurnaan dan kebijaksanaan-Nya. Ini membentuk karakter yang kuat dan luhur, karena perilaku seseorang didasarkan pada keyakinan akan Dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah zalim.
Dengan demikian, "Lam Yalid Wa Lam Yulad" bukanlah sekadar pernyataan dogmatis yang harus dihafal, melainkan prinsip hidup yang membentuk pandangan dunia, perilaku, dan hubungan spiritual seorang Muslim dengan Penciptanya secara komprehensif. Ia adalah cahaya yang membimbing setiap langkah menuju kemurnian akidah dan kesempurnaan ibadah.
Perbandingan dengan Konsep Ketuhanan Lain
Untuk lebih memahami kekhasan dan kedalaman makna "Lam Yalid Wa Lam Yulad," ada baiknya kita membandingkannya dengan konsep ketuhanan yang ditemukan dalam beberapa kepercayaan lain. Perbandingan ini dilakukan untuk menyoroti keunikan tauhid Islam, tentu saja dengan cara yang obyektif, informatif, dan menghormati keyakinan lain, tanpa bermaksud merendahkan:
1. Konsep Trinitas dalam Kekristenan
Dalam sebagian besar denominasi Kristen, Tuhan dipahami sebagai Tritunggal: Bapa, Putra (Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Konsep "Putra" di sini, meskipun sering dijelaskan sebagai hubungan spiritual atau metafisik daripada biologis, masih mengimplikasikan adanya "keturunan" dari "Bapa" dalam suatu hierarki atau relasi ilahiah. Meskipun ada perbedaan penafsiran yang signifikan di antara berbagai mazhab Kristen mengenai sifat tepat dari Trinitas, pada intinya tetap ada konsep "Bapa" yang melahirkan "Putra." Al-Qur'an dan khususnya ayat "Lam Yalid Wa Lam Yulad," secara fundamental menolak konsep ini. Bagi Islam:
- Lam Yalid (Dia tidak beranak): Menafikan bahwa Allah memiliki "Putra" atau "Anak" dalam pengertian apapun, baik fisik, metaforis, maupun esensial. Allah adalah Dzat Yang Maha Esa dan Tunggal (Ahad), tidak terbagi menjadi tiga pribadi. Dia tidak memiliki keturunan yang berbagi esensi ketuhanan-Nya. Hubungan kasih sayang Allah dengan makhluk-Nya tidak memerlukan konsep anak.
- Wa Lam Yulad (dan tidak pula diperanakkan): Menafikan bahwa "Bapa" atau bagian manapun dari ketuhanan memiliki asal-usul atau diperanakkan. Tuhan Bapa adalah azali, tetapi jika ada "Putra" yang dilahirkan (walaupun dalam pengertian rohani atau kekal), ini tetap merupakan suatu bentuk asal-usul atau keterlahiran yang bertentangan dengan kemutlakan "Wa Lam Yulad." Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Pertama) tanpa permulaan sama sekali, dan tidak ada yang mendahului-Nya, termasuk Dzat lain yang melahirkan-Nya.
Islam memuliakan Isa (Yesus) sebagai salah satu rasul dan Nabi Allah yang agung, yang lahir dari Maryam tanpa ayah melalui mukjizat Allah, namun dengan tegas menolak ketuhanan atau keanak-Tuhanan-Nya. Pandangan ini menjaga kemurnian keesaan Allah tanpa mengurangi kemuliaan Nabi Isa a.s.
2. Dewa-Dewi dalam Mitologi Politeistik
Banyak sistem kepercayaan kuno, seperti mitologi Yunani (misalnya, Zeus dan Hera yang memiliki banyak anak dewa), Romawi, Mesir, atau bahkan dalam beberapa tradisi Hindu (di mana dewa-dewi seperti Brahma, Wisnu, dan Syiwa sering digambarkan memiliki keluarga dan keturunan), memiliki panteon dewa-dewi. Dewa-dewi ini seringkali digambarkan memiliki hubungan kekerabatan: mereka berpasangan, beranak pinak, bersaing, dan bahkan meninggal dunia atau digantikan oleh generasi baru dewa. Mereka memiliki sifat-sifat antropomorfis yang kuat, menyerupai manusia dalam banyak hal. Konsep ini sepenuhnya bertolak belakang dengan "Lam Yalid Wa Lam Yulad":
- Lam Yalid: Tidak ada dewa-dewi yang memiliki anak atau keturunan. Allah adalah tunggal dalam keesaan-Nya, tidak ada keluarga ilahi, tidak ada pasangan, dan tidak ada hierarki ketuhanan. Segala bentuk kemitraan dalam ketuhanan adalah syirik.
- Wa Lam Yulad: Tidak ada dewa-dewi yang memiliki asal-usul dari dewa yang lebih tua. Allah adalah Al-Awwal, tidak diperanakkan oleh siapapun. Konsep dewa yang lahir dari dewa lain (misalnya, Kronos yang lahir dari Uranus, atau Brahma yang lahir dari pusar Wisnu) sepenuhnya ditolak dalam Islam.
Islam mengajarkan bahwa segala atribut kelemahan, kebutuhan, dan keterbatasan seperti memiliki pasangan, keturunan, atau memiliki asal-usul adalah sifat makhluk yang fana, bukan sifat Pencipta Yang Maha Sempurna dan Abadi. Adanya konsep keluarga di antara dewa-dewi menunjukkan bahwa mereka tunduk pada hukum-hukum biologi dan sosial yang sama dengan manusia, padahal Tuhan harusnya transenden di atas semua itu.
3. Konsep Penciptaan yang Bersyarat atau Evolusi Tuhan
Beberapa filosofis atau spiritualis mungkin berpendapat bahwa Tuhan "berevolusi" dari sesuatu yang lebih dasar, atau bahwa Tuhan adalah hasil dari suatu proses penciptaan atau perwujudan dari energi kosmik, atau bahkan manifestasi dari alam semesta itu sendiri. Ini adalah bentuk lain dari gagasan bahwa Tuhan "diperanakkan" atau memiliki asal-usul, meskipun mungkin dalam pengertian yang lebih abstrak.
"Wa Lam Yulad" secara tegas menolak pandangan semacam ini. Allah tidak memiliki permulaan, tidak diciptakan, tidak berevolusi, dan tidak bergantung pada entitas lain untuk keberadaan-Nya. Dia adalah Al-Qayyum, ada dengan sendirinya, sumber dari segala keberadaan, dan keberadaan-Nya adalah mutlak dan azali. Dia adalah Dzat yang menciptakan waktu, ruang, dan materi, sehingga Dia sendiri tidak bisa terikat atau berasal dari ciptaan-Nya. Jika Tuhan itu sendiri adalah hasil dari suatu proses, maka Dia bukanlah Tuhan yang sejati, karena Dia akan memiliki sebab yang mendahuluinya. Tauhid Islam menegaskan bahwa Allah adalah "First Cause" yang tidak memiliki sebab, Dzat yang Wajib Adanya.
Melalui perbandingan ini, semakin jelas bahwa "Lam Yalid Wa Lam Yulad" bukan sekadar pernyataan doktrinal yang terisolasi, tetapi sebuah deklarasi revolusioner yang membebaskan konsep Tuhan dari segala bentuk kerancuan, keterbatasan, dan anthropomorfisme yang melekat dalam banyak pemahaman ketuhanan manusia. Ia menyajikan dan menegaskan suatu Tuhan yang transenden, murni, dan mutlak dalam keesaan dan kesempurnaan-Nya, Dzat yang layak disembah dengan segala kekaguman dan ketaatan. Ini adalah pemurnian konsep Tuhan yang paling murni dan paling logis, yang menarik akal dan hati manusia.
Keindahan Bahasa Al-Qur'an dalam Ayat Ini
Selain kedalaman maknanya, "Lam Yalid Wa Lam Yulad" juga menunjukkan keindahan dan keunggulan bahasa Al-Qur'an yang luar biasa. Dengan hanya enam kata dalam bahasa Arab, ayat ini berhasil menyampaikan konsep teologis yang paling penting dengan kejelasan, ketegasan, dan keringkasan yang tak tertandingi. Keunikan gaya bahasa Al-Qur'an (i'jaz) tercermin jelas dalam ayat ini:
- Keringkasan tapi Padat Makna (Jawami' al-Kalim): Dua frasa pendek ini (Lam Yalid, Wa Lam Yulad) mampu menyapu bersih segala bentuk kemusyrikan dan anthropomorfisme yang rumit dalam sejarah pemikiran manusia. Tanpa kata-kata berlebihan, ia menafikan seluruh spektrum kemungkinan Tuhan memiliki keturunan dan memiliki asal-usul. Setiap kata memiliki bobot dan implikasi yang sangat besar, merangkum volume-volume teologi dalam beberapa suku kata. Ini adalah contoh sempurna dari 'jawami' al-kalim', yaitu perkataan yang ringkas namun memiliki makna yang luas dan mendalam.
- Penolakan yang Tegas dan Mutlak: Penggunaan partikel negasi "Lam" dalam bahasa Arab memberikan penolakan yang sangat kuat dan final. Ia tidak hanya menolak kejadian di masa lalu, tetapi menegaskan penolakan mutlak dan abadi terhadap sifat tersebut bagi Allah. Ini tidak menyisakan ruang untuk spekulasi, interpretasi longgar, atau kompromi. Sifat ini tidak pernah ada pada Allah, tidak akan pernah ada, dan tidak mungkin ada. Ketegasan ini memberikan kepastian akidah yang tak tergoyahkan.
- Keseimbangan Frasa yang Sempurna (Muwazanah): Frasa "Yalid" (beranak) dan "Yulad" (diperanakkan) adalah pasangan yang sempurna dalam struktur gramatikal dan makna. Yang pertama menolak adanya keturunan (proyeksi ke masa depan), yang kedua menolak adanya asal-usul (proyeksi ke masa lalu). Bersama-sama, mereka menutup semua celah kemungkinan bagi Allah untuk disifati dengan hubungan kekerabatan atau ketergantungan makhluk. Ini adalah negasi dua arah yang komprehensif, mencakup seluruh dimensi waktu dan hubungan eksistensial. Keseimbangan ini menambah keindahan dan kekuatan retoris ayat.
- Resonansi Fonetik dan Ritme: Susunan huruf dan bunyi dalam ayat ini memberikan kesan kejelasan dan ketegasan. Kata-kata ini mudah diucapkan, mudah diingat, dan memiliki ritme tersendiri yang mengesankan. Kekuatan fonetiknya mendukung bobot maknanya, membuatnya mudah meresap ke dalam hati dan pikiran.
- Universalitas Pesan: Meskipun singkat dan dalam bahasa Arab, pesan ayat ini bersifat universal dan relevan untuk semua waktu dan tempat. Ia berbicara tentang hakikat Dzat Ilahi yang abadi, melampaui batasan budaya, peradaban, dan zaman. Konsep tauhid murni ini adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang mencari kebenaran tentang Tuhan.
Keindahan bahasa ini menunjukkan mukjizat Al-Qur'an, di mana kata-kata yang sederhana dapat mengandung lautan makna, membimbing umat manusia menuju pemahaman yang paling murni dan benar tentang Tuhan mereka, tanpa kerumitan yang menyesatkan.
Penutup
Ayat ketiga dari Surat Al-Ikhlas, لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ, adalah sebuah pernyataan yang agung dan monumental dalam Al-Qur'an. Ia bukan hanya sebuah penolakan sederhana terhadap gagasan memiliki anak atau diperanakkan, melainkan sebuah deklarasi fundamental tentang transendensi, kesempurnaan, dan keunikan Allah secara mutlak. Dengan tegas, ayat ini membersihkan Dzat Allah dari segala sifat kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan yang melekat pada makhluk, menegaskan bahwa Dia adalah Dzat yang bebas dari segala bentuk ketergantungan dan permulaan.
Pemahaman yang mendalam tentang ayat ini membentuk fondasi akidah tauhid yang kokoh, membebaskan hati dan pikiran seorang Muslim dari belenggu syirik, anthropomorfisme, dan khayalan yang menyesatkan. Ia menuntun pada pengagungan Allah yang sejati, ketergantungan penuh kepada-Nya, dan cinta yang tulus terhadap Dzat yang Maha Sempurna ini. Surat Al-Ikhlas secara keseluruhan, dan khususnya ayat ketiga ini, adalah inti sari pesan Islam: mengenal Allah sebagaimana Dia mengenalkan diri-Nya, yaitu sebagai Dzat yang Maha Esa (Ahad), tempat bergantung segala sesuatu (Ash-Shamad), tidak beranak dan tidak diperanakkan (Lam Yalid Wa Lam Yulad), serta tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya (Wa Lam Yakul Lahu Kufuwan Ahad).
Mengamalkan makna ayat ini dalam kehidupan sehari-hari berarti membangun kesadaran akan kebesaran Allah di setiap saat, menjadikan-Nya satu-satunya tujuan dalam beribadah, dan hanya bergantung kepada-Nya dalam setiap kesulitan maupun kemudahan. Ini adalah sumber kedamaian jiwa dan kekuatan rohani yang tak terhingga, karena seseorang menyadari bahwa ia berada di bawah perlindungan dan pengaturan Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, yang tidak memiliki cacat sedikit pun.
Semoga kita senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, mengambil pelajaran darinya, dan mengamalkan nilai-nilai tauhid murni ini dalam setiap aspek kehidupan kita, demi meraih keridhaan-Nya dan kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Hanya kepada Allah kita memohon taufik dan hidayah.