Merenungi Ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas: "Lam yalid wa lam yūlad"
Surah Al-Ikhlas adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun kandungan maknanya sungguh luar biasa mendalam dan fundamental bagi akidah Islam. Surah ini sering disebut sebagai "penjelas keesaan Allah" atau "surah tauhid," karena secara ringkas namun padat menjelaskan hakikat ketuhanan yang murni. Setiap ayatnya adalah pilar yang menopang pemahaman kita tentang siapa Allah SWT. Dari keempat ayatnya, ayat ketiga memiliki keistimewaan tersendiri dalam menegaskan kemurnian tauhid dan menyanggah berbagai bentuk kemusyrikan yang pernah ada atau mungkin akan muncul.
Ayat yang akan kita telaah secara khusus adalah "لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ" (Lam yalid wa lam yūlad), yang secara harfiah berarti "Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan." Sekilas terlihat sederhana, namun di balik kesederhanaan tersebut terkandung sanggahan fundamental terhadap keyakinan banyak agama dan filosofi sepanjang sejarah peradaban manusia. Ayat ini adalah deklarasi tegas tentang kemandirian mutlak Allah, keazalian-Nya, keabadian-Nya, dan transendensi-Nya dari segala sifat makhluk.
I. Pengantar: Keutamaan Surah Al-Ikhlas dan Konsep Tauhid
Surah Al-Ikhlas adalah salah satu surah yang paling sering dibaca oleh umat Islam, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Rasulullah SAW bahkan pernah bersabda bahwa surah ini setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Keistimewaan ini bukan terletak pada panjangnya, melainkan pada inti ajarannya yang murni dan padat: menegaskan tauhidullah, yaitu keesaan Allah dalam segala aspek-Nya. Tauhid adalah pondasi utama Islam, akar dari semua ajaran, dan tujuan dari pengutusan para nabi.
Tauhid bukan sekadar pengakuan bahwa Tuhan itu satu, melainkan pengakuan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pengaturan alam), uluhiyah (ketuhanan dalam peribadatan), maupun asma wa sifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya). Surah Al-Ikhlas secara keseluruhan merangkum ketiga aspek tauhid ini dengan sangat indah.
Sebab nuzul (turunnya) surah ini diriwayatkan karena pertanyaan kaum musyrikin Mekah kepada Nabi Muhammad SAW mengenai silsilah atau hakikat Tuhannya. Mereka bertanya, "Sebutkanlah kepada kami nasab Tuhanmu!" Maka turunlah Surah Al-Ikhlas ini sebagai jawaban yang tegas dan lugas. Jawaban ini tidak hanya menenangkan hati Rasulullah dan para sahabatnya, tetapi juga menjadi pedoman abadi bagi seluruh umat manusia dalam memahami Tuhan yang Maha Esa.
1. Posisi Al-Ikhlas dalam Al-Qur'an
Meskipun terletak di akhir mushaf, Surah Al-Ikhlas adalah salah satu surah yang paling fundamental. Ia adalah "jantung" Al-Qur'an dalam hal akidah. Semua ajaran, syariat, kisah, dan peringatan dalam Al-Qur'an berlandaskan pada tauhid yang dijelaskan dalam surah ini. Tanpa pemahaman yang benar tentang tauhid, seluruh bangunan keislaman akan goyah. Oleh karena itu, merenungi setiap ayatnya adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim yang ingin memperkuat imannya.
II. Telaah Ayat ke-3: "Lam yalid wa lam yūlad"
Mari kita bedah secara mendalam ayat yang mulia ini: "لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ" (Lam yalid wa lam yūlad).
Ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas:
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
"Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan."
1. Analisis Linguistik dan Gramatikal
Kata "لَمْ" (lam) dalam bahasa Arab adalah partikel penafian atau negasi yang kuat. Ia menafikan perbuatan di masa lampau dan secara implisit juga di masa kini dan masa depan. Ketika "lam" bertemu dengan fi'il mudhari' (kata kerja masa kini/mendatang) seperti "yalid" dan "yūlad," ia mengubah makna menjadi penafian mutlak dan absolut. Ini bukan sekadar "Dia tidak beranak" (sekarang), tetapi "Dia tidak pernah beranak, tidak akan pernah beranak, dan tidak mungkin beranak." Penafian ini bersifat permanen dan intrinsik pada zat Allah.
- يَلِدْ (yalid): Berasal dari kata dasar وَلَدَ (walada), yang berarti melahirkan, beranak, atau memperanakkan. Bentuk ini adalah fi'il mudhari' (kata kerja sekarang/akan datang) dari "melahirkan" dalam bentuk aktif. Jadi, "لَمْ يَلِدْ" berarti "Dia tidak melahirkan" atau "Dia tidak beranak."
- يُولَدْ (yūlad): Berasal dari kata dasar yang sama, وَلَدَ (walada), namun dalam bentuk majhul (pasif). Ini berarti "dilahirkan" atau "diperanakkan." Jadi, "وَلَمْ يُولَدْ" berarti "dan Dia tidak dilahirkan" atau "dan Dia tidak diperanakkan."
Penggunaan kedua bentuk ini secara berpasangan – aktif dan pasif – mencakup seluruh spektrum kemungkinan asal-usul dan keturunan. Allah tidak memiliki anak, dan Allah juga tidak memiliki orang tua. Ini adalah penegasan sempurna tentang keunikan dan kemandirian-Nya.
2. Kandungan Makna Filosofis dan Teologis
a. Penolakan Mutlak Terhadap Konsep Anak Tuhan
Ayat ini adalah sanggahan paling fundamental terhadap berbagai keyakinan yang menganggap Tuhan memiliki anak atau keturunan. Ini mencakup, namun tidak terbatas pada:
- Trinitas Kristen: Ayat ini secara langsung menolak doktrin trinitas yang menyatakan Yesus adalah "Anak Allah." Islam mengajarkan bahwa Yesus ('Isa AS) adalah seorang nabi yang mulia, dilahirkan dari seorang ibu perawan melalui mukjizat Allah, tetapi bukan anak Tuhan. Allah tidak membutuhkan "anak" untuk membantu-Nya dalam penciptaan atau pemerintahan alam semesta, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
- Paganisme Pra-Islam dan Mitologi Kuno: Banyak peradaban kuno, termasuk bangsa Arab pra-Islam, Romawi, Yunani, dan Mesir, memiliki pantheon dewa-dewi yang memiliki silsilah, menikah, beranak, dan memiliki keturunan. Ayat ini menghancurkan konsep semacam itu secara total, menegaskan bahwa Allah adalah entitas yang jauh melampaui segala analogi manusiawi.
- Keyakinan Yahudi (sebagian): Meskipun Yahudi dikenal dengan tauhidnya, ada beberapa riwayat (yang tidak diakui semua) yang menganggap Uzair sebagai anak Allah. Al-Qur'an juga menyinggung hal ini di tempat lain, dan ayat ini menguatkan penolakan tersebut.
- Keyakinan Arab Jahiliyah: Sebagian suku Arab Jahiliyah menganggap malaikat sebagai "putri-putri Allah." Ayat ini juga menyanggah keyakinan sesat ini.
Mengapa Allah tidak beranak? Karena beranak adalah sifat makhluk. Ia menunjukkan kebutuhan akan penerus, kelangsungan hidup, dan keterbatasan fisik. Semua ini mustahil bagi Allah yang Maha Sempurna, Maha Hidup, dan Maha Kekal.
b. Penegasan Kemandirian dan Kesempurnaan Allah (Al-Ghani)
Sifat "tidak beranak" dan "tidak diperanakkan" menegaskan kemandirian Allah (Al-Ghani) dan kesempurnaan-Nya. Jika Allah beranak, itu berarti Dia memiliki kebutuhan akan penerus atau keturunan. Kebutuhan adalah sifat makhluk yang terbatas. Allah SWT adalah Al-Ghani, Yang Maha Kaya dan tidak memerlukan apa pun dari ciptaan-Nya. Dia tidak memerlukan bantuan, tidak memerlukan dukungan, dan tidak memerlukan pewaris. Keberadaan-Nya adalah mutlak dan tidak bergantung pada apapun.
Begitu pula, jika Allah diperanakkan, itu berarti ada sesuatu yang mendahului-Nya, yang menciptakan-Nya, yang dari-Nya Dia berasal. Ini bertentangan dengan sifat Allah sebagai Al-Awwal (Yang Maha Awal, tiada permulaan bagi-Nya) dan Al-Khaliq (Sang Pencipta). Allah adalah Pencipta segala sesuatu, bukan ciptaan dari sesuatu.
c. Keazalian dan Keabadian Allah (Al-Awwal, Al-Akhir)
Ayat ini adalah deklarasi tegas tentang keazalian dan keabadian Allah. "Lam yalid" menunjukkan bahwa Dia tidak memiliki akhir dalam arti tidak ada yang akan menggantikan-Nya atau mewarisi-Nya melalui keturunan. "Wa lam yūlad" menunjukkan bahwa Dia tidak memiliki permulaan, tidak ada yang mendahului-Nya atau menciptakan-Nya. Allah adalah Al-Awwal (Yang Maha Awal) tanpa permulaan, dan Al-Akhir (Yang Maha Akhir) tanpa akhir. Dia adalah Zat yang tidak terikat oleh waktu dan ruang, transenden dari segala batasan eksistensi makhluk.
Konsep ini sangat penting untuk membedakan Tuhan dari makhluk-Nya. Setiap makhluk memiliki awal (dilahirkan atau diciptakan) dan akhir (mati atau hancur), serta siklus hidup yang mencakup prokreasi. Allah melampaui semua batasan ini. Keberadaan-Nya adalah esensi dari segala keberadaan, dan Dia tidak tunduk pada proses kelahiran dan kematian yang berlaku bagi ciptaan-Nya.
d. Perbedaan Mutlak antara Allah dan Makhluk
Ayat ini adalah garis demarkasi yang jelas antara Pencipta dan ciptaan. Sifat beranak dan diperanakkan adalah karakteristik intrinsik dari alam semesta materi dan makhluk hidup. Setiap spesies biologis bereproduksi untuk kelangsungan hidupnya. Manusia terlahir dan akan melahirkan generasi berikutnya. Ini adalah bagian dari fitrah kehidupan di dunia. Namun, Allah, sebagai Pencipta kehidupan itu sendiri, berada di luar sistem ini.
Menganggap Allah memiliki sifat-sifat makhluk (seperti beranak atau diperanakkan) adalah kesalahan fatal dalam memahami tauhid. Ini sama saja dengan merendahkan keagungan Allah dan menyamakan-Nya dengan ciptaan-Nya. Islam sangat menekankan konsep Tanzih, yaitu menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.
e. Implikasi terhadap Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah
Pemahaman ayat ini memiliki implikasi besar terhadap tauhid rububiyah dan uluhiyah.
- Tauhid Rububiyah: Jika Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, maka Dia adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan ini. Jika ada yang "melahirkan" Tuhan atau "dilahirkan" oleh Tuhan, maka kekuasaan-Nya akan terbagi atau terbatas. Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya, tanpa perantara dalam hal penciptaan awal maupun akhir.
- Tauhid Uluhiyah: Konsekuensi logis dari tauhid rububiyah adalah tauhid uluhiyah, yaitu hanya Allah yang berhak disembah. Jika Dia adalah satu-satunya yang Maha Azali, Maha Abadi, Maha Mandiri, dan Maha Sempurna tanpa asal-usul maupun keturunan, maka Dia-lah satu-satunya yang layak menerima segala bentuk ibadah, pengagungan, dan ketaatan. Menyembah entitas lain yang dianggap "anak Tuhan" atau "diperanakkan oleh Tuhan" adalah bentuk syirik yang paling besar, karena menyamakan makhluk dengan hakikat Ilahi yang unik.
f. Keunikan Allah (Al-Ahad)
Ayat ini melengkapi ayat sebelumnya, "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). Sifat "tidak beranak dan tidak diperanakkan" adalah bagian integral dari keesaan-Nya. Keunikan Allah tidak hanya berarti Dia satu secara numerik, tetapi juga unik dalam esensi dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya dalam wujud maupun atribut-Nya. Sifat ini adalah salah satu manifestasi paling jelas dari keunikan absolut Allah.
III. Ayat ke-3 Al-Ikhlas dalam Konteks Al-Qur'an Lain
Al-Qur'an adalah kitab yang saling menjelaskan satu sama lain. Ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas ini diperkuat dan dijelaskan lebih lanjut oleh banyak ayat lain dalam Al-Qur'an, menunjukkan konsistensi ajaran Islam mengenai tauhid.
1. Sanggahan Terhadap Konsep Anak Allah dalam Kristen
Al-Qur'an berulang kali menyanggah keyakinan bahwa Allah memiliki anak, khususnya tentang Yesus.
QS. An-Nisa (4:171):
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۚ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
"Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (dengan kalimat-Nya yaitu) "Jadilah!" yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan, "(Tuhan itu) tiga," berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan mempunyai) anak. Milik-Nyalah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung."
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan "Mahasuci Dia dari (anggapan mempunyai) anak," yang sejalan sepenuhnya dengan "Lam yalid wa lam yūlad." Ini menegaskan bahwa sifat Allah jauh lebih tinggi dari segala bentuk kekurangan dan kemiripan dengan makhluk.
QS. Maryam (19:35):
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ ۖ سُبْحَانَهُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
"Tidak patut bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka jadilah ia."
Ayat ini dengan tegas menyatakan ketidakpantasan bagi Allah untuk mempunyai anak. Ungkapan "Kun faya kun" (Jadilah, maka jadilah ia) menunjukkan kekuasaan mutlak Allah yang tidak membutuhkan proses fisik seperti melahirkan untuk menciptakan sesuatu.
2. Penegasan Kekuasaan dan Kemandirian Allah
Ayat ke-3 Al-Ikhlas juga didukung oleh ayat-ayat yang menegaskan kekuasaan penuh Allah dan kemandirian-Nya dari segala kebutuhan.
QS. Al-Furqan (25:2):
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
"Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa Allah "tidak mempunyai anak" dan tidak memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya. Ini menguatkan ide bahwa kepemilikan kerajaan langit dan bumi hanya milik Allah semata, tanpa ada yang bersekutu dengan-Nya dalam penciptaan, pengaturan, maupun silsilah.
3. Kaitannya dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah
"Lam yalid wa lam yūlad" adalah perwujudan dari banyak asmaul husna:
- Al-Ahad (Yang Maha Esa): Ayat ini menjelaskan esensi keesaan Allah yang unik, tidak dapat dibandingkan atau diserupai.
- As-Samad (Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Bergantung Segala Sesuatu): Jika Allah memiliki anak atau diperanakkan, Dia tidak akan menjadi As-Samad. As-Samad adalah Dia yang tidak membutuhkan apa pun, tetapi segala sesuatu membutuhkan-Nya. Beranak dan diperanakkan adalah tanda-tanda kebutuhan dan ketergantungan.
- Al-Qayyum (Yang Maha Mandiri, Berdiri Sendiri): Allah adalah Al-Qayyum, yang berarti Dia berdiri sendiri dan mengurus segala sesuatu. Dia tidak membutuhkan dukungan dari siapapun atau apapun, apalagi dari anak atau orang tua.
- Al-Hayy (Yang Maha Hidup), Al-Qadir (Yang Maha Kuasa): Ayat ini juga menegaskan sifat hidup yang sempurna dan kekuasaan mutlak Allah. Hidup-Nya tidak berawal dan tidak berakhir. Kekuasaan-Nya tidak terbatas dan tidak terbagi.
IV. Relevansi dalam Kehidupan Muslim
Pemahaman yang mendalam tentang ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas bukan sekadar pengetahuan teoretis, melainkan memiliki implikasi praktis yang besar dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
1. Memurnikan Akidah dan Menjauhi Syirik
Ayat ini adalah benteng terkuat melawan syirik. Dengan memahami bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, seorang Muslim akan terhindar dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, baik itu berhala, manusia yang diilahikan, maupun kekuatan lain yang dianggap memiliki bagian dari sifat ketuhanan. Ini mengajarkan kemurnian tauhid, bahwa hanya Allah yang pantas diibadahi dan diminta pertolongan.
2. Meningkatkan Rasa Tawakal dan Ketergantungan Sepenuhnya kepada Allah
Jika Allah Maha Mandiri, Maha Sempurna, tidak beranak dan tidak diperanakkan, berarti Dia adalah satu-satunya sumber segala kekuatan, rezeki, dan perlindungan. Ini akan menumbuhkan rasa tawakal yang mendalam dalam diri seorang Muslim. Kita akan menyadari bahwa hanya kepada-Nya kita harus bergantung sepenuhnya, karena Dia tidak memiliki keterbatasan apa pun.
3. Mengikis Ketakutan dan Kecemasan
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, memahami bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, akan memberikan ketenangan jiwa. Tidak ada kekuatan lain yang bisa menandingi-Nya, tidak ada yang bisa mengganggu kehendak-Nya. Kita tidak perlu takut pada kekuatan buatan manusia atau konsep-konsep ilahi yang salah, karena semua itu fana dan terbatas, berbeda dengan Allah.
4. Membentuk Akhlak Mulia
Akidah yang lurus akan melahirkan akhlak yang mulia. Dengan mengenal Allah secara benar, seorang Muslim akan semakin tunduk, rendah hati, sabar, jujur, dan adil. Kesadaran akan keagungan Allah yang transenden dari segala kekurangan membuat kita merasa kecil di hadapan-Nya dan memotivasi kita untuk selalu berbuat baik demi mencari ridha-Nya.
5. Dasar untuk Berdakwah dan Menjelaskan Islam
Ayat ini adalah poin kunci dalam menjelaskan hakikat Islam kepada non-Muslim. Dalam dialog antar-agama, khususnya dengan penganut Kristen yang meyakini trinitas, ayat ini menjadi argumen yang sangat kuat dan jelas mengenai perbedaan mendasar dalam konsep ketuhanan. Ia memberikan dasar yang kokoh untuk menjelaskan mengapa Islam menolak konsep anak Tuhan dan menegaskan keesaan Allah yang murni.
V. Tafsir Para Ulama dan Pandangan Lintas Sejarah
Para ulama tafsir dari berbagai generasi telah memberikan penafsiran yang kaya dan mendalam tentang ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas. Meskipun singkat, ayat ini adalah salah satu yang paling banyak dibahas karena signifikansinya yang fundamental bagi akidah.
1. Tafsir Ibn Katsir
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat "لَمْ يَلِدْ" (Dia tidak beranak) adalah penegasan bahwa Allah tidak memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, dari istri ataupun tanpa istri. Ia menolak klaim kaum musyrikin yang menganggap malaikat sebagai anak perempuan Allah, maupun klaim Yahudi tentang Uzair sebagai anak Allah, dan klaim Nasrani tentang Isa sebagai anak Allah. Semua ini adalah kesesatan dan kebohongan besar terhadap Allah.
Adapun "وَلَمْ يُولَدْ" (dan tidak pula diperanakkan), Ibn Katsir menjelaskan bahwa ini berarti Allah tidak memiliki orang tua. Dia-lah Al-Awwal, yang tiada permulaan bagi-Nya. Dia tidak diciptakan, tidak dilahirkan, dan tidak berasal dari siapa pun. Dia-lah Zat yang Maha Awal yang tidak didahului oleh sesuatu pun, dan Maha Akhir yang tidak diakhiri oleh sesuatu pun. Ini adalah penegasan sempurna atas sifat keazalian dan keabadian Allah.
2. Tafsir Ath-Thabari
Imam Ath-Thabari menekankan bahwa "لَمْ يَلِدْ" adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kaum musyrikin mengenai silsilah Allah. Ini adalah sanggahan tegas terhadap mereka yang mengklaim adanya hubungan keluarga bagi Tuhan. Sedangkan "وَلَمْ يُولَدْ" adalah penegasan bahwa Allah tidak membutuhkan asal-usul, Dia ada dengan sendirinya tanpa pernah diciptakan atau dilahirkan oleh siapa pun. Ini adalah sifat mutlak Tuhan yang berbeda dari segala makhluk.
3. Pandangan Modern dan Kontekstualisasi
Dalam konteks modern, di mana berbagai ideologi dan filosofi tentang keberadaan Tuhan terus berkembang, ayat ini tetap relevan sebagai tolok ukur kebenaran. Ilmu pengetahuan modern telah menunjukkan kompleksitas alam semesta, namun tidak pernah dapat menjelaskan asal-usul mutlak atau akhir mutlak dari segala sesuatu tanpa mengacu pada konsep Pencipta yang transenden.
Ayat "Lam yalid wa lam yūlad" adalah jembatan untuk memahami bahwa Tuhan bukanlah produk dari hukum fisika, kimia, atau biologi, melainkan Pencipta dan Pemelihara hukum-hukum tersebut. Tuhan tidak tunduk pada batasan materi, ruang, atau waktu, termasuk siklus kelahiran dan kematian. Ini adalah konsep yang memberikan kejelasan dan konsistensi logis dalam memahami realitas Ilahi.
Dalam diskusi dengan ateisme, ayat ini menjadi fondasi bahwa jika ada Tuhan, Dia haruslah azali (tanpa permulaan) dan abadi (tanpa akhir), sebab jika Tuhan itu memiliki awal, siapa yang menciptakan-Nya? Dan jika Dia memiliki akhir, siapa yang akan menggantikan-Nya? Siklus seperti ini tidak pernah berakhir dan tidak menjelaskan asal-usul mutlak. Oleh karena itu, hanya Tuhan yang tidak beranak dan tidak diperanakkan yang dapat menjadi Pencipta mutlak yang ada dengan sendirinya.
4. Keindahan Retorika dan Kesempurnaan Bahasa
Bahasa Arab Al-Qur'an memiliki keindahan retorika yang luar biasa. Penggunaan "lam" untuk penafian mutlak menunjukkan ketegasan yang tak terbantahkan. Susunan kalimat yang paralel – "لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ" – memberikan kesan keseimbangan dan cakupan makna yang sempurna. Ini menafikan segala kemungkinan tentang asal-usul dan keturunan Allah, tidak meninggalkan celah untuk spekulasi atau interpretasi yang menyimpang.
Kemampuan untuk menyampaikan makna yang begitu fundamental dan menyeluruh hanya dengan beberapa kata adalah bukti kemukjizatan Al-Qur'an. Ayat ini adalah contoh sempurna bagaimana Al-Qur'an menyampaikan konsep-konsep teologis yang kompleks dengan kejelasan dan keringkasan yang tiada banding.
VI. Perbandingan dengan Konsep Ketuhanan Lain
Untuk lebih memahami keagungan ayat ke-3 Al-Ikhlas, penting untuk melihat bagaimana konsep ketuhanan dalam Islam berbeda secara fundamental dari konsep-konsep ketuhanan dalam beberapa agama dan filosofi lain.
1. Politeisme dan Mitologi
Dalam banyak sistem politeistik kuno (seperti mitologi Yunani, Romawi, Mesir, atau Hindu), para dewa seringkali memiliki asal-usul, silsilah keluarga, dan bahkan bertindak seperti manusia dengan emosi, perselisihan, dan keterbatasan. Mereka beranak pinak, menikah, dan memiliki keturunan dewa-dewi lain. Ayat "Lam yalid wa lam yūlad" adalah penolakan total terhadap pandangan ini. Tuhan dalam Islam adalah transenden, tidak serupa dengan makhluk-Nya dalam segala aspek.
2. Konsep Henoteisme atau Tuhan Tertinggi
Beberapa agama mengakui adanya "tuhan tertinggi" di antara banyak dewa, namun tuhan tertinggi ini masih seringkali terkait dengan kelahiran atau asal-usul tertentu, atau dia memerlukan dewa-dewi lain untuk membantu dalam penciptaan. Islam melalui ayat ini menegaskan bahwa tidak ada entitas yang lebih tinggi dari Allah, dan Dia tidak memerlukan bantuan atau memiliki asal-usul.
3. Panteisme dan Panenteisme
Panteisme menganggap Tuhan identik dengan alam semesta, sementara panenteisme menganggap alam semesta adalah bagian dari Tuhan. Dalam kedua pandangan ini, Tuhan terikat dengan keberadaan material dan proses-proses alam. Ayat "Lam yalid wa lam yūlad" menolak hal ini karena melahirkan dan diperanakkan adalah proses material. Allah dalam Islam adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta, tetapi Dia berbeda dan di atas ciptaan-Nya.
4. Deisme
Deisme meyakini adanya Tuhan sebagai pencipta, tetapi Tuhan tersebut tidak lagi campur tangan dalam urusan dunia setelah penciptaan. Meskipun deisme mungkin setuju bahwa Tuhan tidak diperanakkan, ia tidak sepenuhnya mencakup sifat-sifat Allah yang Maha Hidup, Maha Mendengar, dan Maha Melihat, yang aktif mengatur alam semesta. Ayat ini menegaskan Allah adalah Pencipta yang aktif, bukan sekadar arsitek yang pasif.
VII. Kesimpulan: Pondasi Akidah yang Kokoh
Ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas, "لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ" (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan), adalah inti sari dari ajaran tauhid. Ini adalah deklarasi tegas dan absolut tentang keunikan, kemandirian, keazalian, dan keabadian Allah SWT. Ayat ini menyanggah segala bentuk syirik dan kesalahpahaman tentang hakikat ketuhanan yang Maha Esa.
Melalui ayat ini, kita diajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu yang ada, tetapi Dia sendiri tidak diciptakan. Dia adalah sumber segala kehidupan, tetapi Dia tidak tunduk pada proses kehidupan seperti melahirkan atau dilahirkan. Dia adalah Maha Sempurna, tidak memiliki kebutuhan akan keturunan, dan tidak memiliki asal-usul yang mendahului-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang mutlak membedakan Allah dari segala ciptaan-Nya.
Memahami dan merenungkan ayat ini akan memperkokoh iman seorang Muslim, membersihkan akidahnya dari segala noda kesyirikan, dan membimbingnya menuju kehidupan yang penuh tawakal, ketenangan, dan ketaatan kepada Allah Yang Maha Esa. Ayat ini adalah kunci untuk membuka pintu pemahaman tentang siapa Allah yang sebenarnya, dan mengapa hanya Dia yang layak untuk disembah dan diagungkan.
Dengan pemahaman yang kokoh ini, umat Islam diundang untuk terus merenungi Surah Al-Ikhlas secara keseluruhan, menjadikannya sebagai cahaya dan pedoman dalam setiap aspek kehidupan. Sesungguhnya, keutamaan surah ini setara dengan sepertiga Al-Qur'an bukan tanpa alasan, melainkan karena ia menyajikan ringkasan sempurna tentang pilar fundamental akidah Islam: Tauhidullah.
Semoga kita semua senantiasa diberikan hidayah untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran tauhid yang murni, sebagaimana yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Qur'an, khususnya Surah Al-Ikhlas yang mulia ini.