Istilah "sundel" kerap kali muncul dalam percakapan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan hal-hal mistis atau cerita rakyat. Di banyak daerah di Indonesia, kata ini identik dengan sosok hantu perempuan yang menyeramkan. Namun, tahukah Anda bahwa dalam konteks bahasa dan budaya Lombok, kata "sundel" memiliki makna yang berbeda, bahkan jauh dari konotasi negatif tersebut?
Bahasa Sasak, bahasa asli masyarakat Pulau Lombok, kaya akan kosakata unik dengan makna yang mendalam. Salah satu kata yang menarik perhatian dan seringkali disalahpahami adalah "sundel". Berbeda dengan persepsi umum yang mengaitkannya dengan entitas gaib, dalam bahasa Sasak, "sundel" sebenarnya merujuk pada sebuah tindakan atau kondisi tertentu yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan dunia spiritual.
"Sundel" dalam bahasa Sasak secara harfiah dapat diartikan sebagai tindakan mengeluarkan atau membuang sesuatu dari dalam mulut. Ini bisa berupa meludah, mengeluarkan lendir, atau benda asing yang tidak sengaja tertelan. Jadi, ketika seseorang melakukan "sundel", itu berarti ia sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya. Tindakan ini murni bersifat fisik dan merupakan bagian dari ekspresi tubuh manusia.
Perbedaan makna ini menjadi krusial untuk dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman. Persepsi umum tentang "sundel" sebagai hantu perempuan yang mengganggu seringkali berakar pada cerita urban legend yang berkembang di berbagai daerah, yang mungkin secara fonetis mirip atau terpengaruh oleh bahasa lain. Di Lombok sendiri, cerita atau kepercayaan mengenai hantu "sundel bolong" atau sejenisnya mungkin ada, namun kata "sundel" dalam bahasa sehari-hari masyarakat Sasak tidaklah merujuk pada entitas tersebut.
Misalnya, jika ada anak kecil yang tersedak makanan, orang tua mungkin akan berkata, "Ayo, keluarkan saja kalau tidak enak!" Dalam bahasa Sasak, ungkapan untuk mengeluarkan benda dari mulut bisa jadi menggunakan kata yang berakar dari "sundel", namun dengan konteks yang sangat jelas yaitu tindakan fisik. Ini menunjukkan betapa sebuah kata bisa memiliki evolusi makna dan perbedaan penafsiran antarbudaya atau bahkan antarbahasa daerah dalam satu negara.
Indonesia memiliki kekayaan bahasa daerah yang sangat beragam. Budaya lisan yang kuat di banyak komunitas seringkali menyebabkan makna sebuah kata bisa sangat spesifik dan hanya dipahami oleh penutur bahasa tersebut. Tanpa pemahaman yang memadai mengenai konteks budaya dan linguistiknya, sangat mudah terjadi salah tafsir ketika sebuah kata dari satu daerah diperkenalkan ke daerah lain atau ke dalam ranah umum.
Kasus kata "sundel" ini adalah contoh nyata. Ketika kata ini terdengar oleh orang yang tidak familiar dengan bahasa Sasak, mereka mungkin langsung menghubungkannya dengan makna yang sudah dikenal di luar Lombok, yaitu hantu. Padahal, dalam konteks aslinya, kata tersebut digunakan untuk menjelaskan tindakan yang sangat lumrah dan fisik.
Memahami arti sebenarnya dari kata-kata seperti "sundel" dalam bahasa Lombok memberikan kita apresiasi yang lebih mendalam terhadap kekayaan linguistik Indonesia. Hal ini juga menekankan pentingnya upaya pelestarian bahasa daerah. Dengan semakin globalnya informasi dan pengaruh budaya luar, banyak kata-kata lokal yang berisiko tergerus maknanya atau bahkan hilang.
Kesalahpahaman yang timbul dari kata "sundel" ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan dan mengartikan kata-kata, terutama yang berasal dari bahasa daerah. Diskusi dan edukasi mengenai keragaman makna dalam bahasa Indonesia adalah kunci untuk membangun pemahaman yang lebih baik antarbudaya.
Jadi, jika Anda mendengar kata "sundel" dalam percakapan terkait budaya Lombok, ingatlah bahwa kemungkinan besar kata tersebut merujuk pada tindakan fisik mengeluarkan sesuatu dari mulut, bukan pada sosok hantu. Ini adalah bukti keunikan dan kekayaan bahasa Sasak yang perlu kita jaga dan lestarikan bersama.