Surah Al-Lail adalah surah ke-92 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 21 ayat. Surah ini tergolong dalam kategori surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Seperti kebanyakan surah Makkiyah, Al-Lail berfokus pada penguatan akidah (keyakinan), tauhid (keesaan Allah), serta menyampaikan peringatan tentang hari pembalasan dan pentingnya amal saleh.
Nama "Al-Lail" sendiri berarti "Malam", diambil dari ayat pertamanya yang bersumpah demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Surah ini secara garis besar membahas tentang dualitas dalam kehidupan manusia dan alam semesta, khususnya kontras antara perilaku orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang durhaka, serta janji balasan bagi masing-masing golongan.
Melalui sumpah-sumpah yang agung, Allah ﷻ menyoroti perbedaan yang fundamental dalam usaha dan tujuan hidup manusia. Surah ini dengan tegas membedakan dua jalan yang berlawanan: jalan kebaikan yang mengarah pada kemudahan dan kebahagiaan abadi, serta jalan keburukan yang berujung pada kesengsaraan dan azab yang pedih. Pemahaman mendalam tentang Surah Al-Lail tidak hanya memperkuat iman, tetapi juga memberikan panduan praktis bagi seorang Muslim untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan diridai Allah.
Meskipun tidak ada riwayat spesifik yang secara konsisten menyebutkan asbabun nuzul untuk seluruh surah, beberapa ulama tafsir mengaitkan beberapa ayat dalam Surah Al-Lail dengan peristiwa tertentu. Sebagai contoh, sebagian riwayat menyebutkan bahwa ayat 5 hingga 7, yang berbicara tentang orang yang memberikan hartanya dengan tujuan membersihkan diri, dikaitkan dengan sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat dermawan dan sering membebaskan budak-budak Muslim yang disiksa oleh majikan-majikan musyrik. Tindakan mulia ini dilakukan semata-mata karena mencari keridaan Allah, bukan untuk mengharapkan balasan dari manusia.
Konteks turunnya surah ini di Mekah juga sangat penting. Pada masa itu, umat Islam adalah minoritas yang teraniaya. Mereka menghadapi tekanan dan penganiayaan dari kaum Quraisy yang kafir. Dalam kondisi seperti ini, Al-Qur'an diturunkan untuk menguatkan hati para sahabat, menegaskan kebenaran Islam, serta memberikan janji surga bagi mereka yang sabar dan beriman, serta peringatan keras bagi para penentang. Surah Al-Lail, dengan pesan moral yang kuat tentang memberi dan bertaqwa versus kikir dan durhaka, berfungsi sebagai panduan dan motivasi bagi umat Islam awal.
Surah ini dinamakan "Al-Lail" (Malam) karena Allah ﷻ memulai surah ini dengan bersumpah demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Penggunaan sumpah dengan fenomena alam yang agung seperti malam, siang, penciptaan laki-laki dan perempuan, adalah ciri khas surah-surah Makkiyah. Sumpah-sumpah ini berfungsi untuk menarik perhatian pendengar, menunjukkan keagungan Allah sebagai Pencipta, serta menegaskan kebenaran dari pernyataan yang akan disampaikan setelah sumpah tersebut.
Malam, dalam konteks Al-Qur'an, sering kali dihubungkan dengan ketenangan, istirahat, dan kesempatan untuk introspeksi serta beribadah secara khusyuk. Ia juga merupakan simbol dari kegelapan dan misteri, yang kontras dengan cahaya siang yang melambangkan aktivitas dan kejelasan. Dengan bersumpah demi malam, Allah ingin mengarahkan perhatian manusia pada kebesaran ciptaan-Nya dan bagaimana fenomena alam ini menjadi tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya. Penamaan surah ini bukan sekadar penanda, melainkan mengandung makna filosofis dan spiritual yang mendalam, mengingatkan manusia akan siklus kehidupan dan kematian, serta dualitas yang melekat pada eksistensi.
Mari kita selami makna setiap ayat dalam Surah Al-Lail dengan penjelasan yang lebih mendalam:
Ayat ini diawali dengan sumpah Allah ﷻ demi malam. Dalam bahasa Arab, "yaghsyā" (يَغْشَىٰ) berasal dari kata dasar "ghasyiya" yang berarti menutupi, menyelimuti, atau mendatangi. Maknanya adalah malam yang datang setelah siang dan menyelimuti segala sesuatu dengan kegelapannya. Sumpah Allah dengan ciptaan-Nya yang agung menunjukkan pentingnya fenomena yang dijadikan sumpah tersebut, serta kebenaran dari apa yang akan disampaikan setelah sumpah.
Malam adalah salah satu tanda kebesaran Allah. Ia membawa ketenangan, kedamaian, dan kesempatan untuk beristirahat setelah kesibukan siang. Di balik kegelapannya, malam menyimpan banyak misteri dan pelajaran. Manusia dapat merenungkan kebesaran Sang Pencipta melalui pergantian siang dan malam yang sempurna, yang tidak pernah bertabrakan atau terlambat. Malam juga menjadi waktu yang ideal untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, seperti salat tahajud dan berdoa, karena pada waktu itu pikiran lebih jernih dan hati lebih khusyuk.
Setelah bersumpah demi malam, Allah ﷻ melanjutkan dengan bersumpah demi siang. Kata "tajallā" (تَجَلَّىٰ) berasal dari "jalla" yang berarti tampak jelas, terang, atau menyingkap. Ini merujuk pada siang yang datang setelah malam dan menyingkap kegelapan, memperlihatkan segala sesuatu dengan jelas.
Siang adalah kebalikan dari malam, membawa energi, aktivitas, dan kesempatan untuk mencari rezeki serta melakukan berbagai pekerjaan. Di siang hari, manusia dapat melihat, bekerja, dan berinteraksi. Pergantian siang dan malam adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas dan hikmah-Nya dalam mengatur alam semesta. Keduanya saling melengkapi dan esensial bagi kehidupan di bumi. Allah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk beristirahat, menunjukkan pengaturan yang sempurna demi kesejahteraan makhluk-Nya. Refleksi atas fenomena ini seharusnya mengarahkan manusia untuk bersyukur dan mengakui keesaan Allah sebagai satu-satunya Pencipta dan Pengatur alam.
Sumpah ketiga dalam surah ini adalah demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Ayat ini menegaskan dualitas dalam penciptaan makhluk hidup, khususnya manusia. Allah ﷻ menciptakan segala sesuatu secara berpasangan, dan penciptaan dua jenis kelamin ini adalah salah satu tanda kebesaran dan hikmah-Nya.
Ayat ini tidak hanya merujuk pada perbedaan biologis, tetapi juga pada peran dan fungsi yang saling melengkapi dalam kehidupan sosial dan keberlangsungan umat manusia. Penciptaan laki-laki dan perempuan dengan segala perbedaan dan persamaannya adalah bukti kekuasaan Allah yang Mahabijaksana. Mereka berdua memiliki nilai dan kedudukan yang setara di sisi Allah dalam hal takwa dan amal saleh, meskipun mungkin memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat. Sumpah ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan, harmoni, dan saling menghormati antara kedua jenis kelamin, yang merupakan pilar utama dalam membangun keluarga dan masyarakat yang saleh. Dualitas ini, seperti siang dan malam, menunjukkan pengaturan ilahi yang sempurna.
Setelah tiga sumpah yang agung, Allah ﷻ kemudian menyampaikan inti dari sumpah-sumpah tersebut: bahwa usaha dan perjuangan manusia itu memang berlain-lainan. Kata "sa'yakum" (سَعْيَكُمْ) berarti usaha, kerja keras, atau perjalanan hidup, sedangkan "lashattā" (لَشَتَّىٰ) berarti berlain-lainan, bermacam-macam, atau berbeda-beda. Ayat ini menjadi penegas bahwa meskipun semua manusia berusaha dan beraktivitas, tujuan dan kualitas usaha mereka tidaklah sama.
Ada yang berusaha untuk mencapai keridaan Allah, ada pula yang berusaha mengejar kenikmatan dunia semata. Ada yang berjuang demi kebenaran, ada pula yang berupaya untuk kebatilan. Perbedaan ini bukan hanya dalam bentuk fisik usahanya, tetapi yang lebih penting adalah pada niat, tujuan, dan motivasi di baliknya. Ayat ini membuka pintu bagi pemahaman tentang dua golongan manusia yang akan dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya: golongan yang berbuat kebaikan dan golongan yang berbuat keburukan. Ini adalah fondasi dari konsep pertanggungjawaban individu di hadapan Allah, bahwa setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang ia usahakan.
Ayat-ayat ini menjelaskan golongan pertama, yaitu orang-orang yang menempuh jalan kebaikan. Ada tiga ciri utama yang disebutkan:
Bagi mereka yang memiliki tiga ciri ini, Allah ﷻ menjanjikan: "Fasanuyassiruhū lil-yusrā" (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ) yang berarti "Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." Jalan yang mudah di sini tidak berarti tanpa cobaan atau kesulitan hidup. Melainkan, Allah akan memudahkan baginya untuk melakukan amal saleh, hati menjadi tenang, diberikan ketabahan dalam menghadapi ujian, dan pada akhirnya, akan dimudahkan jalannya menuju surga. Kebaikan akan terasa ringan, petunjuk akan tampak jelas, dan jiwa akan merasakan kedamaian. Ini adalah janji kemudahan spiritual, bimbingan ilahi, dan hasil akhir yang bahagia di dunia dan akhirat.
Ayat-ayat ini menjelaskan golongan kedua, yaitu orang-orang yang menempuh jalan keburukan. Ada tiga ciri yang disebutkan, sebagai kebalikan dari golongan pertama:
Bagi mereka yang memiliki ciri-ciri ini, Allah ﷻ menjanjikan: "Fasanuyassiruhū lil-'usrā" (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ) yang berarti "Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar." Jalan yang sukar ini tidak hanya berarti kesulitan di akhirat, tetapi juga mencakup kesulitan dalam hidup di dunia. Hidup mereka dipenuhi dengan kegelisahan, keserakahan yang tiada henti, dan ketidakpuasan. Mereka akan selalu merasa kurang, terus mengejar dunia tanpa henti, dan hati mereka tidak pernah menemukan kedamaian. Allah akan memudahkan mereka untuk terus berada di jalan kesesatan dan kesengsaraan, bahkan membuat kemaksiatan terasa mudah bagi mereka, yang pada akhirnya akan menjerumuskan mereka ke dalam azab neraka. Ini adalah kebalikan dari kemudahan spiritual yang diberikan kepada orang yang bertakwa.
Ayat ini adalah penekanan dan peringatan keras bagi orang-orang yang kikir dan hanya mengumpulkan harta. Allah ﷻ menjelaskan bahwa harta benda yang mereka cintai dan kumpulkan selama hidup di dunia sama sekali tidak akan berguna saat mereka menghadapi kehancuran atau azab neraka. Kata "taraddā" (تَرَدَّىٰ) bisa berarti jatuh ke dalam jurang, binasa, atau jatuh ke neraka.
Pesan utama ayat ini adalah bahwa kekayaan materi, status sosial, atau kekuasaan duniawi tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah pada hari kiamat. Yang akan bermanfaat hanyalah amal saleh, keimanan yang tulus, dan ketaatan kepada Allah. Orang yang hanya mengandalkan hartanya tanpa beramal saleh akan menemukan bahwa harta tersebut tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah. Bahkan, harta tersebut bisa menjadi beban yang menyeretnya ke neraka jika diperoleh dengan cara yang haram atau tidak digunakan di jalan Allah. Ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan prioritas hidup dan menyadari bahwa investasi terbaik adalah investasi di jalan Allah, bukan semata-mata mengumpulkan kekayaan duniawi yang fana.
Ayat ini menegaskan kembali hak dan kekuasaan Allah ﷻ untuk memberi petunjuk. "Lal-hudā" (لَلْهُدَىٰ) berarti petunjuk atau bimbingan. Allah adalah sumber segala petunjuk, baik melalui kitab-kitab suci yang diturunkan, para nabi dan rasul yang diutus, maupun melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta dan dalam diri manusia. Petunjuk ini adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
Pernyataan "Inna 'alainā" (sesungguhnya kewajiban Kami) tidak berarti bahwa Allah terpaksa memberi petunjuk, melainkan menunjukkan bahwa hal itu adalah bagian dari janji dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah telah menyediakan jalan yang jelas antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kesesatan. Namun, memilih untuk mengikuti petunjuk tersebut atau tidak adalah kehendak manusia. Allah tidak memaksa seseorang untuk beriman, tetapi Ia membukakan jalan bagi mereka yang ingin mencari kebenaran. Ayat ini sekaligus menenangkan hati orang-orang beriman bahwa mereka tidak dibiarkan tanpa arah, melainkan selalu ada bimbingan ilahi yang tersedia bagi mereka yang sungguh-sungguh mencarinya.
Ayat ini menegaskan kembali kekuasaan mutlak Allah ﷻ atas segala sesuatu, baik di dunia ini (al-ūlā) maupun di akhirat (al-ākhirah). Seluruh alam semesta, beserta segala isinya, berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Dialah Pencipta, Pemilik, dan Pengatur tunggal.
Pernyataan ini memiliki konsekuensi penting bagi manusia. Jika Allah adalah Pemilik mutlak dunia dan akhirat, maka manusia tidak memiliki kuasa untuk menghindari keadilan-Nya atau untuk lari dari pertanggungjawaban. Segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan dari Allah. Oleh karena itu, kita harus menggunakannya sesuai dengan kehendak-Nya dan tidak boleh sombong atau kikir. Ayat ini juga memberikan harapan bagi orang-orang beriman bahwa pahala mereka tidak hanya terbatas di dunia, tetapi juga akan mereka terima di akhirat, di mana Allah adalah Penguasa mutlak. Sementara itu, bagi orang-orang kafir dan durhaka, ayat ini menjadi peringatan bahwa mereka tidak akan bisa lari dari azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Ayat-ayat ini adalah peringatan keras dari Allah ﷻ tentang azab neraka bagi orang-orang yang mendustakan kebenaran. "Fa'anzartukum" (فَأَنْذَرْتُكُمْ) berarti "Maka Aku memperingatkan kamu". Ini adalah tugas para nabi dan rasul, dan juga setiap Muslim, untuk memberi peringatan tentang konsekuensi dari perbuatan buruk.
Ayat-ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa pilihan manusia akan menentukan nasibnya di akhirat. Orang yang dengan sengaja mendustakan kebenaran dan berpaling dari jalan Allah akan menuai konsekuensi yang sangat berat, yaitu azab api neraka yang bergejolak. Ini adalah peringatan bagi kita semua untuk senantiasa berpegang teguh pada kebenaran dan tidak berpaling dari petunjuk Allah.
Ayat-ayat terakhir Surah Al-Lail ini menjelaskan tentang golongan yang diselamatkan dari api neraka, yaitu orang-orang yang paling bertakwa. Ini adalah kebalikan langsung dari golongan "al-ashqā" yang disebut sebelumnya.
Ayat-ayat penutup ini memberikan gambaran yang indah tentang keutamaan kedermawanan yang tulus dan keikhlasan dalam beramal. Ini adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan keyakinan penuh bahwa setiap amal yang dilakukan semata-mata demi Allah akan diganjar dengan balasan yang jauh lebih baik dan kepuasan yang tiada tara.
Surah Al-Lail, meskipun singkat, mengandung pesan-pesan yang sangat mendalam dan hikmah yang tak ternilai bagi kehidupan seorang Muslim. Berikut adalah rangkuman dari pesan-pesan utama tersebut:
Surah ini dibuka dengan sumpah-sumpah yang menunjukkan dualitas yang ada di alam semesta: malam dan siang, laki-laki dan perempuan. Dualitas ini kemudian ditegaskan dalam konteks pilihan hidup manusia: dua jenis usaha yang berlainan. Ini mengajarkan kita bahwa kehidupan ini adalah medan ujian, di mana manusia diberi kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Setiap pilihan memiliki konsekuensi yang jelas dan berbeda. Allah menciptakan segalanya berpasangan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya dan memberikan pelajaran bahwa ada dua sisi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam amal dan balasannya.
Hikmah dari dualitas ini adalah untuk mengingatkan manusia akan tanggung jawabnya. Tidak ada kehidupan yang tanpa pilihan, dan setiap pilihan yang dibuat akan menentukan arah dan hasil akhir. Malam dan siang memberi pelajaran tentang siklus hidup dan kematian, istirahat dan bekerja, sementara penciptaan laki-laki dan perempuan menunjukkan harmoni dan keseimbangan dalam keberagaman. Semua ini adalah tanda-tanda yang mengarahkan manusia kepada pengenalan akan keesaan dan kekuasaan Allah.
Kedermawanan adalah salah satu pilar utama yang membedakan orang yang bertakwa. Ayat-ayat dalam surah ini secara khusus menyoroti pentingnya memberikan harta di jalan Allah, bukan karena ingin dipuji atau mengharapkan balasan dari manusia, melainkan semata-mata untuk mencari keridaan Allah dan membersihkan diri dari dosa dan sifat kikir. Kedermawanan yang tulus (ikhlas) adalah cerminan dari iman yang kuat dan hati yang bersih.
Hikmahnya adalah bahwa harta yang kita miliki sejatinya adalah titipan dari Allah. Dengan berinfak, kita tidak akan miskin, justru harta kita akan diberkahi dan dibersihkan, serta dilipatgandakan pahalanya di sisi Allah. Kedermawanan mengajarkan kita untuk tidak terikat pada dunia dan untuk lebih mengutamakan akhirat. Ini juga merupakan bentuk solidaritas sosial dan kepedulian terhadap sesama, yang menciptakan harmoni dan keadilan dalam masyarakat. Keikhlasan adalah kunci utama; amal tanpa keikhlasan seperti debu yang berterbangan tanpa makna di akhirat.
Sebaliknya, surah ini memberikan peringatan keras terhadap sifat kikir dan merasa cukup tanpa Allah. Kekikiran adalah penyakit hati yang merampas kebahagiaan dan keberkahan. Orang yang kikir mencintai hartanya secara berlebihan dan enggan membelanjakannya di jalan Allah, padahal harta tersebut bisa menjadi penyelamatnya di akhirat.
Kesombongan dan merasa cukup tanpa Allah (istaghna) adalah akar dari banyak dosa. Orang yang sombong cenderung mendustakan kebenaran dan menolak petunjuk, karena merasa tidak membutuhkan siapa pun, termasuk Allah. Hikmahnya adalah bahwa segala sesuatu yang kita miliki, baik harta, ilmu, maupun kekuasaan, semuanya berasal dari Allah. Merasa cukup tanpa-Nya adalah bentuk kufur nikmat dan kesombongan yang akan menyeret seseorang ke jalan kesengsaraan di dunia dan azab di akhirat. Kekikiran dan kesombongan menutup pintu kebaikan dan membuka pintu keburukan.
Salah satu pesan paling kuat dari Surah Al-Lail adalah janji Allah untuk memudahkan jalan bagi orang yang bertakwa menuju kemudahan (surga), dan menyiapkan jalan yang sukar bagi orang yang durhaka menuju kesulitan (neraka). Ini bukan berarti hidup orang beriman akan selalu mulus tanpa cobaan, atau hidup orang durhaka akan selalu susah di dunia. Namun, kemudahan di sini lebih bersifat spiritual dan batiniah.
Hikmahnya adalah bahwa bagi orang yang ikhlas dan bertakwa, amal kebaikan akan terasa ringan, hati mereka akan tenang, dan mereka akan senantiasa mendapatkan petunjuk dan taufik dari Allah. Kesulitan yang mereka hadapi akan menjadi ladang pahala dan ujian yang menguatkan iman. Sebaliknya, bagi orang yang durhaka, meskipun mungkin mereka meraih kesenangan duniawi, hati mereka akan selalu gelisah, serakah, dan tidak pernah puas. Jalan kesesatan akan terasa mudah bagi mereka, sehingga mereka semakin terjerumus, sampai pada akhirnya menghadapi kesulitan yang sebenarnya di akhirat. Ini adalah hukum kausalitas ilahi: barang siapa menanam kebaikan, menuai kemudahan; barang siapa menanam keburukan, menuai kesulitan.
Surah ini menekankan bahwa bukan hanya perbuatan itu sendiri yang penting, tetapi juga niat di baliknya. Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan diri dan semata-mata mencari keridaan Allah, tanpa mengharapkan balasan dari siapa pun. Ini mengajarkan kita tentang fundamentalnya keikhlasan dalam setiap amal ibadah dan perbuatan baik. Niat yang tulus adalah ruh dari setiap amal.
Hikmahnya adalah bahwa Allah tidak melihat rupa dan harta kita, melainkan hati dan amal perbuatan kita. Amal yang sedikit namun dilandasi niat yang ikhlas lebih berharga di sisi Allah daripada amal yang banyak namun disertai riya atau pamrih. Keikhlasan membebaskan hati dari keterikatan dunia dan memfokuskannya hanya kepada Allah, sehingga membawa kedamaian dan kebahagiaan sejati.
Seluruh pesan dalam Surah Al-Lail, dari sumpah hingga janji dan ancaman, didasari pada keyakinan yang kuat akan hari akhirat dan adanya balasan atas setiap perbuatan. Orang yang membenarkan adanya balasan terbaik (surga) akan termotivasi untuk berbuat baik, sementara orang yang mendustakannya akan mudah terjerumus dalam kemaksiatan.
Hikmahnya adalah bahwa keyakinan pada hari akhirat adalah pondasi iman yang kokoh. Tanpa keyakinan ini, hidup manusia akan kehilangan arah dan tujuan spiritual. Hari pembalasan adalah momentum keadilan ilahi di mana setiap jiwa akan menerima balasan yang setimpal. Keyakinan ini mendorong manusia untuk senantiasa berhati-hati, beramal saleh, dan menjauhi dosa, karena menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apapun, akan dihisab.
Surah Al-Lail sering kali dibaca beriringan dengan surah-surah Makkiyah lainnya dalam juz ke-30 Al-Qur'an, yang memiliki tema-tema serupa tentang akidah, hari akhirat, dan pertanggungjawaban amal. Beberapa korelasi penting:
Secara keseluruhan, surah-surah pendek ini membentuk sebuah rangkaian pelajaran yang saling menguatkan tentang keesaan Allah, pentingnya amal saleh, konsekuensi pilihan hidup, serta janji dan peringatan hari akhirat. Mereka semua berfungsi untuk membangun fondasi akidah yang kokoh dalam diri seorang Muslim.
Memahami makna Surah Al-Lail saja tidak cukup; yang terpenting adalah mengaplikasikan pesan-pesannya dalam kehidupan nyata. Berikut adalah beberapa cara untuk mengamalkan hikmah Surah Al-Lail:
Dengan mengamalkan ajaran-ajaran Surah Al-Lail, seorang Muslim dapat menjalani hidup yang lebih bermakna, penuh berkah, dan pada akhirnya, mencapai kepuasan yang dijanjikan Allah di dunia dan akhirat.
Surah Al-Lail adalah salah satu surah yang paling menginspirasi dalam Al-Qur'an, yang dengan tegas menggambarkan dua jalan yang berlawanan dalam kehidupan manusia: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Melalui sumpah-sumpah yang agung demi ciptaan-Nya – malam, siang, laki-laki, dan perempuan – Allah ﷻ menarik perhatian kita pada dualitas fundamental yang ada di alam semesta, yang kemudian merefleksikan pilihan moral yang dihadapi setiap individu.
Inti dari surah ini terletak pada perbedaan hasil dari usaha manusia: ada yang dimudahkan jalannya menuju kemudahan (surga) karena kedermawanan, takwa, dan keyakinannya pada balasan terbaik; dan ada pula yang disiapkan baginya jalan yang sukar (neraka) karena kekikiran, kesombongan, dan pendustaannya terhadap kebenaran. Surah ini menekankan bahwa kekayaan materi tidak akan pernah menjadi penyelamat di hadapan Allah; yang berharga hanyalah amal saleh yang dilandasi niat tulus semata-mata mencari keridaan-Nya.
Pelajaran terpenting yang dapat kita petik adalah pentingnya niat (ikhlas) dalam setiap perbuatan, keharusan untuk berinfak dan berbagi dengan sesama, serta keharusan untuk senantiasa bertakwa kepada Allah. Surah Al-Lail adalah pengingat bahwa hidup ini adalah pilihan, dan setiap pilihan yang kita ambil akan menentukan takdir abadi kita. Semoga kita termasuk golongan yang dimudahkan jalannya menuju kebaikan dan keridaan Allah Yang Mahatinggi, serta memperoleh kepuasan yang abadi di sisi-Nya.