Arti Al Masad

Tafsir Lengkap Surat Al-Lahab dalam Al-Qur'an

Pendahuluan: Mengenal Surat Al-Masad (Al-Lahab)

Surat Al-Masad, yang juga dikenal dengan nama Surat Al-Lahab, adalah surat ke-111 dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan surat Makkiyah. Dinamakan Al-Masad karena terdapat kata "Masad" pada ayat terakhirnya, yang berarti sabut atau tali dari serat pohon kurma. Sementara itu, nama Al-Lahab diambil dari sebutan "Abu Lahab" yang disebutkan di awal surat, merujuk kepada paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Surat ini merupakan salah satu surat pendek di juz ke-30 Al-Qur'an yang memiliki pesan yang sangat kuat dan spesifik, menggambarkan konsekuensi bagi mereka yang menentang kebenaran dan memusuhi agama Allah serta Rasul-Nya.

Meskipun pendek, Surat Al-Masad memiliki kedalaman makna dan historisitas yang luar biasa. Ia turun sebagai respons langsung terhadap permusuhan terbuka dan perbuatan zalim yang dilakukan oleh Abu Lahab dan istrinya terhadap Nabi Muhammad SAW dan dakwah Islam. Surat ini bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah nubuat ilahi yang terbukti kebenarannya, menegaskan kekuasaan Allah dan janji-Nya terhadap para penegak kebenaran serta ancaman bagi para penentangnya. Dengan memahami arti setiap ayatnya, kita dapat menarik pelajaran berharga tentang pentingnya keimanan, bahaya kekufuran, serta betapa tidak bergunanya harta dan kedudukan di hadapan azab Allah SWT.

Surat ini menjadi bukti nyata bahwa hubungan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan kesesatan dan permusuhan terhadap kebenaran. Abu Lahab adalah paman Nabi, figur yang seharusnya memberikan dukungan, namun justru menjadi penentang paling keras dan salah satu musuh utama dakwah Islam di masa-masa awal. Kisah di balik turunnya surat ini memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran tauhid, dan bagaimana Allah SWT secara langsung membela dan melindungi Rasul-Nya. Kerasnya perlakuan Abu Lahab terhadap Nabi menunjukkan bahwa ujian dalam berdakwah bisa datang dari pihak terdekat sekalipun, namun keteguhan iman akan selalu mendapatkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa.

Mari kita selami lebih dalam setiap aspek dari Surat Al-Masad ini, mulai dari latar belakang turunnya, tafsir ayat per ayat, hingga pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik untuk kehidupan kita di masa kini.

Simbol Al-Qur'an, sumber petunjuk ilahi.

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Surat Al-Masad

Setiap surat atau ayat dalam Al-Qur'an seringkali memiliki konteks atau alasan spesifik mengapa ia diturunkan, yang dalam ilmu tafsir dikenal sebagai Asbabun Nuzul. Memahami Asbabun Nuzul sangat penting untuk menangkap esensi dan makna terdalam dari sebuah ayat atau surat. Surat Al-Masad adalah salah satu contoh paling jelas dari surat yang turun dengan Asbabun Nuzul yang sangat spesifik dan dramatis, menunjukkan campur tangan langsung Allah SWT dalam membela Rasul-Nya.

Peristiwa di Bukit Shafa

Kisah ini bermula pada awal dakwah terang-terangan Nabi Muhammad SAW di Mekah. Setelah tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi dan terbatas pada lingkaran terdekat, Allah SWT memerintahkan Nabi untuk berdakwah secara terbuka kepada kaumnya. Allah berfirman dalam Surat Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." Perintah ini menandai fase baru dalam misi kenabian, yang menuntut keberanian dan ketegasan.

Menanggapi perintah ilahi ini, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk mengumpulkan kaum Quraisy di puncak Bukit Shafa, salah satu bukit strategis di Mekah, yang biasa digunakan untuk menyampaikan pengumuman penting kepada seluruh penduduk kota. Beliau naik ke atas bukit dan memanggil seluruh kabilah Quraisy satu per satu, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adiy!" dan seterusnya, memanggil seluruh kabilah-kabilah Quraisy hingga mereka semua berkumpul di kaki bukit. Kerumunan yang besar ini menunjukkan urgensi pesan yang akan disampaikan Nabi.

Ketika semua telah berkumpul, termasuk paman-pamannya seperti Abu Thalib (yang kemudian menjadi pelindungnya) dan Abu Lahab (yang menjadi penentang utamanya), Nabi Muhammad SAW bertanya kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian di waktu pagi atau sore, apakah kalian akan memercayaiku?"

Serentak mereka menjawab, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta." Ini menunjukkan betapa tinggi integritas, kejujuran, dan julukan Al-Amin (yang terpercaya) Nabi Muhammad SAW di mata kaumnya, bahkan sebelum kenabiannya. Mereka semua mengakui kredibilitas dan kebenaran perkataannya di masa lalu.

Kemudian Nabi SAW melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih (jika kalian tidak beriman dan menyembah selain Allah)." Beliau mulai menjelaskan tentang tauhid, keesaan Allah, kenabiannya, dan ancaman neraka bagi orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Ini adalah seruan terbuka pertama yang menantang kepercayaan paganisme yang telah mengakar di Mekah.

Reaksi Abu Lahab

Ketika Nabi menyampaikan dakwahnya yang mulia ini, yang seharusnya disambut dengan pikiran terbuka, rasa hormat, dan setidaknya sedikit rasa ingin tahu, justru salah satu kerabat terdekatnya, pamannya sendiri, Abu Lahab, berdiri dan menunjukkan permusuhan yang sangat jelas dan kasar. Dengan nada sinis, penuh kebencian, dan provokatif, Abu Lahab berseru, تَبًّا لَكَ يَا مُحَمَّدُ، أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟! (Tabbal laka ya Muhammad! Alihaada jama'tana?!) yang berarti, "Celakalah engkau (Muhammad)! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?!"

Komentar Abu Lahab ini bukan hanya sekadar penolakan pribadi, tetapi juga sebuah penghinaan publik yang bertujuan merendahkan dan menggagalkan dakwah Nabi sejak awal di hadapan seluruh kabilah Quraisy. Ia mencoba memadamkan api risalah bahkan sebelum ia menyala terang, menunjukkan permusuhan yang mendalam terhadap pesan tauhid. Ini adalah titik balik yang menunjukkan bahwa permusuhan terhadap Islam bisa datang dari lingkungan terdekat sekalipun, bahkan dari anggota keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan dan dukungan. Reaksi ini juga menunjukkan kesombongan Abu Lahab yang merasa kedudukannya lebih tinggi daripada keponakannya yang membawa risalah baru.

Perkataan Abu Lahab ini sangat menyakitkan dan memilukan bagi Nabi Muhammad SAW. Bukan saja ia menolak kebenaran yang dibawanya, tetapi juga melakukannya dengan cara yang paling kasar, terang-terangan, dan merendahkan di hadapan seluruh kaum Quraisy. Permusuhan Abu Lahab tidak berhenti di situ. Ia dan istrinya, Umm Jamil, dikenal sebagai penentang paling vokal dan aktif dalam upaya menghalangi dakwah Nabi. Mereka sering menyakiti Nabi dengan perkataan kotor, melemparkan kotoran, dan menyebarkan fitnah keji di pasar-pasar dan perkumpulan kaum Quraisy.

Peran Umm Jamil, Istri Abu Lahab

Umm Jamil, nama aslinya Arwa binti Harb, adalah saudara perempuan Abu Sufyan bin Harb, salah satu tokoh Quraisy yang awalnya memusuhi Islam namun kemudian masuk Islam. Namun, Umm Jamil adalah sosok wanita yang sangat mendukung permusuhan suaminya terhadap Nabi Muhammad SAW. Ia dikenal sebagai wanita yang sangat licik, kejam, dan berlidah tajam. Ia adalah "partner in crime" suaminya dalam menyakiti Nabi.

Di antara perbuatan buruknya yang terkenal adalah ia seringkali menyebarkan duri-duri dan ranting-ranting tajam di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad SAW agar menyakiti beliau. Tindakan ini merupakan bentuk penganiayaan fisik yang menunjukkan betapa besar kebenciannya. Selain itu, para ahli tafsir juga menyebutkan bahwa ia adalah "pembawa kayu bakar" dalam arti kiasan, yaitu penyebar fitnah, adu domba, dan gosip yang bertujuan menyulut api permusuhan di antara manusia. Dengan lisannya yang tajam dan sikapnya yang provokatif, ia menyebarkan kebohongan dan cerita-cerita buruk tentang Nabi dan para pengikutnya, berusaha memecah belah persatuan dan menghalangi orang dari jalan Allah.

Melihat kondisi yang demikian, di mana Rasulullah SAW dan dakwahnya mendapatkan perlawanan sengit, penghinaan, dan penganiayaan dari paman serta bibinya sendiri—yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukung—maka Allah SWT menurunkan Surat Al-Masad. Surat ini datang sebagai pembelaan langsung kepada Nabi-Nya, sekaligus ancaman dan peringatan keras bagi Abu Lahab dan istrinya, serta bagi siapa saja yang meniru perbuatan mereka dalam memusuhi kebenaran. Ini adalah bentuk intervensi ilahi yang menunjukkan bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang beriman sendirian dalam menghadapi kezaliman.

Surat ini juga merupakan mukjizat Al-Qur'an karena ia berisi nubuat tentang nasib Abu Lahab dan istrinya yang akan mati dalam keadaan kafir dan diancam dengan siksa neraka. Nubuat ini terbukti benar, karena Abu Lahab meninggal tidak lama setelah Perang Badar, tanpa sempat memeluk Islam, dan kematiannya sangat mengenaskan, dengan penyakit menular (seperti cacar air atau abses) yang membuat orang-orang menjauhinya. Jenazahnya bahkan tidak dikuburkan secara layak oleh keluarganya sendiri, melainkan digerakkan dengan tongkat panjang dan dikuburkan secara kasar oleh budak-budaknya, menambah kehinaan dalam kematiannya.

Asbabun Nuzul ini menyoroti bahwa dalam perjuangan menegakkan kebenaran, seseorang mungkin akan menghadapi tentangan bahkan dari keluarga terdekatnya. Namun, Allah akan selalu membela dan melindungi hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, dan akan menghinakan para penentang kebenaran. Ini adalah pelajaran abadi tentang kesetiaan kepada Allah di atas segalanya.

Api yang bergejolak, simbol dari "Lahab" dan azab neraka.

Tafsir Ayat per Ayat Surat Al-Masad

Ayat 1: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!"

Ayat pertama ini adalah permulaan dari sebuah deklarasi ilahi yang penuh dengan kemarahan dan ancaman terhadap Abu Lahab. Kata kerja تَبَّتْ (tabbat) berasal dari kata dasar تَبَّ (tabba) yang berarti rugi, binasa, celaka, atau hancur. Penggunaannya dalam bentuk lampau (past tense) تَبَّتْ menunjukkan bahwa kehancuran itu sudah merupakan ketetapan yang pasti, seolah-olah sudah terjadi, menekankan kepastian janji Allah. Ini bukan sekadar doa kutukan dari Nabi, melainkan firman Allah yang mutlak.

Frasa يَدَا أَبِي لَهَبٍ (yadaa Abi Lahabin) secara harfiah berarti "kedua tangan Abu Lahab". Dalam bahasa Arab, penyebutan "tangan" seringkali merupakan kiasan untuk kekuasaan, usaha, kekuatan, pekerjaan, atau segala bentuk upaya yang dilakukan seseorang. Jadi, frasa ini berarti "binasalah segala usaha, kekuasaan, dan upaya Abu Lahab." Ini mencakup segala sesuatu yang ia kerjakan dan segala sesuatu yang ia harapkan akan memberinya manfaat atau perlindungan. Semua rencana, makar, dan usaha jahatnya untuk menghalangi dakwah Nabi akan sia-sia belaka dan berujung pada kehancuran dirinya.

Siapa Abu Lahab? Nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Ia adalah salah satu paman Nabi Muhammad SAW, saudara kandung dari ayah Nabi, Abdullah, dan juga paman dari Ali bin Abi Thalib. Meskipun memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi, Abu Lahab menjadi penentang Islam yang paling keras dan aktif. Ia dikenal sebagai seorang yang kaya raya dan memiliki kedudukan sosial yang terpandang di kalangan kaum Quraisy Mekah. Berbeda dengan paman Nabi lainnya, Abu Thalib, yang meskipun tidak memeluk Islam namun memberikan perlindungan kepada Nabi, Abu Lahab justru secara terbuka memusuhi dan berusaha menyakiti Nabi.

Mengapa ia dijuluki Abu Lahab? Ada beberapa pendapat. Salah satunya adalah karena wajahnya yang cerah dan kemerah-merahan, seperti nyala api (لهب - lahab). Namun, julukan ini menjadi ironis dan profetik, karena pada ayat ketiga surat ini, Allah SWT mengancamnya dengan api neraka yang bergejolak (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ - naaran dzaata lahabin). Jadi, ia adalah 'bapak api yang bergejolak' di dunia (karena wajahnya) dan akan menghadapi api yang bergejolak di akhirat (sebagai hukuman). Ini adalah ironi ilahi yang sempurna.

Pengulangan kata وَتَبَّ (wa tabb) di akhir ayat, setelah تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ, memberikan penekanan yang sangat kuat. Ini bukan hanya kehancuran usahanya, tetapi kehancuran dirinya secara menyeluruh dan total. Pengulangan ini mengindikasikan bahwa kutukan ini bersifat total dan menyeluruh; baik perbuatannya maupun dirinya sendiri akan binasa. Sebagian mufasir menafsirkan pengulangan ini sebagai "binasa usahanya (tangan-tangannya), dan ia sendiri pun benar-benar telah binasa (mati dalam kekafiran)." Hal ini menekankan bahwa tidak ada satu pun aspek dari kehidupannya yang akan selamat dari kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat ini adalah mukjizat Al-Qur'an yang luar biasa. Pada saat ayat ini diturunkan, Abu Lahab masih hidup. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa ia akan binasa dan mati dalam kekafiran, mengancamnya dengan neraka. Jika Abu Lahab saat itu memutuskan untuk memeluk Islam (meskipun hanya sekadar pura-pura untuk membantah Al-Qur'an), maka nubuat Al-Qur'an akan terbantah. Namun, Abu Lahab tidak pernah memeluk Islam dan meninggal dunia dalam keadaan kafir, mengonfirmasi kebenaran firman Allah SWT. Ia meninggal sekitar tujuh hari setelah Perang Badar, karena penyakit cacar yang sangat menjijikkan, sehingga tidak ada yang berani mendekatinya, bahkan untuk menguburkan jenazahnya sekalipun. Jenazahnya akhirnya digerakkan dengan tongkat panjang dan dikuburkan secara kasar oleh budak-budaknya, sebuah kematian yang penuh kehinaan sesuai dengan nubuat ini.

Ayat ini mengajarkan kita bahwa kekerabatan tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika ia memilih jalan permusuhan terhadap kebenaran. Paman Nabi sendiri, yang memiliki kedudukan dan kehormatan, dicela langsung oleh Allah SWT karena permusuhannya terhadap Nabi dan dakwahnya. Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, yang dinilai adalah keimanan dan amal perbuatan, bukan status sosial, hubungan darah, atau kekayaan. Ini adalah pelajaran tentang prioritas sejati dalam kehidupan seorang Muslim.

Ayat 2: مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan."

Ayat kedua ini melanjutkan ancaman ilahi dengan menegaskan ketidakberdayaan Abu Lahab di hadapan azab Allah, meskipun ia memiliki kekayaan dan status sosial yang tinggi. Frasa مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ (maa aghnaa 'anhu) berarti "tidaklah bermanfaat baginya" atau "tidaklah dapat menolongnya." Kata أَغْنَىٰ (aghnaa) berasal dari kata dasar غَنِيَ (ghaniya) yang berarti kaya, mencukupi, atau berlimpah. Dalam konteks ini, ia berarti "tidak dapat mencukupi" atau "tidak dapat melindungi" dari azab Allah. Ini adalah penegasan bahwa tidak ada kekuatan duniawi yang dapat melawan ketetapan ilahi.

Kemudian, disebutkan dua hal yang tidak akan berguna baginya: مَالُهُ (maaluhu) yang berarti "hartanya", dan وَمَا كَسَبَ (wa maa kasab) yang berarti "dan apa yang ia usahakan" atau "apa yang ia peroleh." Kedua elemen ini adalah puncak dari apa yang sangat dihargai oleh masyarakat Arab di zaman itu, dan bahkan di banyak masyarakat modern.

Abu Lahab adalah seorang yang sangat kaya raya di Mekah. Kekayaannya memberinya pengaruh besar, kedudukan terhormat, dan reputasi yang tinggi di kalangan kaum Quraisy. Dalam budaya Arab pada waktu itu, harta dan anak-anak seringkali dipandang sebagai simbol kekuatan, kehormatan, dan jaminan keamanan. Orang-orang kafir Quraisy sering membanggakan harta dan anak-anak mereka, mengira bahwa hal itu akan menyelamatkan mereka dari azab atau membuat mereka mulia di dunia dan akhirat. Mereka percaya bahwa kekayaan dan keturunan akan menjadi pembela mereka di segala situasi.

Namun, ayat ini dengan tegas membantah anggapan tersebut. Allah SWT menyatakan bahwa semua harta kekayaan Abu Lahab, betapapun banyaknya, tidak akan memberinya manfaat sedikit pun di hadapan siksa Allah. Tidak ada harta yang dapat digunakan untuk menebus dirinya dari neraka, dan tidak ada kekuasaan yang dapat melindunginya dari ketetapan ilahi. Kemewahan duniawi yang ia nikmati akan menjadi tidak relevan di hari perhitungan.

Frasa وَمَا كَسَبَ (wa maa kasab) memiliki beberapa penafsiran di kalangan mufasir, yang semuanya menguatkan pesan utama:

  1. **Anak-anaknya:** Banyak mufasir menafsirkan "apa yang ia usahakan" sebagai anak-anaknya. Dalam pandangan Arab jahiliyah, anak laki-laki adalah sumber kekuatan, kehormatan, dan pembela kabilah. Abu Lahab memiliki beberapa anak laki-laki, termasuk Utbah dan Utaibah, yang ia banggakan. Namun, anak-anak ini tidak dapat membela atau melindunginya dari azab Allah. Bahkan, Utaibah, salah satu putranya, juga meninggal dalam keadaan kafir setelah menghina Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan bahwa bahkan keturunan yang dibanggakan tidak akan dapat menyelamatkan jika tidak ada iman.
  2. **Usaha dan Perolehan Lainnya:** Penafsiran lain menyebutkan bahwa ini mencakup segala sesuatu yang ia peroleh atau usahakan selain harta, seperti kedudukan, kehormatan, pengikut, kesuksesan dalam perdagangan, atau segala sesuatu yang ia anggap sebagai pencapaian hidupnya di dunia. Semua itu, pada akhirnya, tidak akan dapat menolongnya sedikit pun dari murka Allah. Ini adalah peringatan bahwa kebanggaan duniawi adalah ilusi semata.

Kedua penafsiran ini saling melengkapi dan menegaskan satu pesan utama: apapun yang dianggap berharga oleh manusia di dunia ini – baik harta, anak, status, maupun pencapaian – tidak akan bernilai sama sekali di sisi Allah jika tidak disertai dengan keimanan dan ketakwaan. Ini adalah pelajaran universal yang relevan sepanjang masa. Banyak orang yang di dunia ini berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan dan status, mengira bahwa hal itu akan menjamin kebahagiaan dan keselamatan mereka. Namun, Al-Qur'an mengingatkan bahwa tanpa iman dan amal saleh, semua itu hanyalah fatamorgana yang tidak akan menyelamatkan dari azab Allah. Kekayaan yang digunakan untuk kezaliman justru akan menjadi beban.

Ayat ini juga memberikan penghiburan bagi Nabi Muhammad SAW. Meskipun beliau tidak memiliki kekayaan atau kekuatan yang sebanding dengan Abu Lahab, Allah menegaskan bahwa semua itu tidak akan berguna bagi musuh-musuhnya. Yang sejati adalah pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, yang selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beriman. Kesuksesan di mata Allah bukanlah dengan banyaknya harta, melainkan dengan keteguhan iman dan ketakwaan.

Surat ini juga berfungsi sebagai peringatan bagi kita semua. Harta dan kedudukan hanyalah ujian dari Allah. Janganlah kita terlena dengan gemerlap dunia, sehingga melupakan tujuan utama penciptaan kita yaitu beribadah kepada-Nya. Sebaliknya, gunakanlah harta dan kedudukan yang Allah berikan di jalan-Nya, untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat, dan jangan sekali-kali menggunakannya untuk menentang kebenaran.

Ayat 3: سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak."

Setelah menyatakan kehancuran usaha dan ketidakbergunaan harta Abu Lahab, ayat ketiga ini secara eksplisit menjelaskan bentuk azab yang akan menimpanya. Frasa سَيَصْلَىٰ (sayaslaa) berarti "kelak dia akan masuk" atau "dia pasti akan merasakan panasnya." Huruf سَ (sa) di awal menunjukkan kepastian akan terjadi di masa depan yang dekat. Ini adalah nubuat yang pasti akan terwujud, tanpa keraguan sedikit pun, dan tidak ada yang bisa menghalangi ketetapan ini.

Kemudian, Allah SWT menjelaskan jenis api tersebut: نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (naaran dzaata lahabin) yang berarti "api yang memiliki nyala api yang bergejolak" atau "api yang sangat berkobar-kobar." Kata نَارًا (naaran) berarti api, dan ذَاتَ لَهَبٍ (dzaata lahabin) secara harfiah berarti "yang memiliki nyala api." Ini adalah gambaran api yang sangat panas, bergejolak, dan membakar.

Penyebutan "api yang bergejolak" ini memiliki makna yang sangat mendalam dan ironis, mengingat julukan Abu Lahab sendiri, yang secara harfiah berarti "bapak nyala api." Seolah-olah, ia yang di dunia dijuluki "bapak nyala api" karena rona wajahnya yang kemerahan atau karena sifatnya yang berapi-api dalam permusuhan, akan benar-benar dilemparkan ke dalam api yang bergejolak di akhirat. Ini adalah bentuk hukuman yang sesuai dengan julukan dan perbuatannya. Allah menunjukkan bahwa julukan yang seakan positif di dunia (wajah cerah) akan berubah menjadi azab yang pedih di akhirat, di mana ia akan merasakan nyala api yang sesungguhnya.

Ayat ini juga memberikan gambaran tentang dahsyatnya api neraka. Api neraka jauh berbeda dengan api di dunia. Dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW, dijelaskan bahwa api neraka memiliki panas yang berlipat-lipat kali lebih dahsyat daripada api dunia. Ia menghancurkan kulit, daging, dan bahkan tulang, dan siksaan di dalamnya tidak akan pernah berakhir. Api ini tidak hanya membakar fisik, tetapi juga menghancurkan harga diri dan jiwa. Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa api neraka memiliki tingkatan-tingkatan, dan ini menunjukkan api yang sangat membakar.

Nubuat tentang Abu Lahab yang akan masuk neraka ini adalah salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur'an. Pada saat surat ini turun, Abu Lahab masih hidup dan menentang Nabi. Sebagaimana yang telah disebutkan, jika saja ia berpura-pura masuk Islam, dakwah Nabi mungkin akan menghadapi tantangan yang berbeda dan Al-Qur'an akan diragukan. Namun, ia mati dalam keadaan kafir, mengonfirmasi firman Allah ini. Kematiannya, dengan penyakit cacar yang menjijikkan dan penolakan untuk dikuburkan secara layak, juga dapat dilihat sebagai bagian dari kehancuran dan kehinaan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.

Pelajaran dari ayat ini sangatlah jelas. Tidak peduli seberapa tinggi kedudukan seseorang, seberapa banyak hartanya, atau seberapa kuat pengaruhnya di dunia, jika ia menentang kebenaran dan memusuhi agama Allah, maka azab yang pedih di akhirat menantinya. Api neraka adalah balasan yang pasti bagi kekufuran dan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menegaskan kembali prinsip keadilan ilahi, bahwa setiap perbuatan, baik atau buruk, akan mendapatkan balasannya yang setimpal. Tidak ada yang dapat melarikan diri dari ketetapan Allah.

Bagi umat Muslim, ayat ini menjadi pengingat yang kuat tentang pentingnya menjauhi segala bentuk permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Ia juga mendorong kita untuk selalu berpegang teguh pada keimanan dan kebenaran, apapun tantangan dan cobaan yang dihadapi, karena balasan dari Allah di akhirat adalah yang paling utama dan abadi. Ketakutan akan neraka seharusnya memotivasi kita untuk beramal saleh dan menjauhi maksiat.

Ayat 4: وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."

Ayat keempat ini tidak hanya menyebutkan Abu Lahab, tetapi juga istrinya sebagai pihak yang akan mendapatkan azab yang sama. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab individu di hadapan Allah adalah mutlak, dan kejahatan yang dilakukan bersama akan mendapatkan balasan bersama pula. Frasa وَامْرَأَتُهُ (wamra'atuhu) berarti "dan istrinya." Penyebutan istri secara khusus menunjukkan bahwa setiap individu akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri, terlepas dari status pernikahannya.

Istri Abu Lahab adalah Umm Jamil, nama aslinya Arwa binti Harb bin Umayyah, saudari dari Abu Sufyan. Ia adalah wanita dari keturunan bangsawan Quraisy, namun memiliki akhlak yang sangat buruk, terutama dalam permusuhannya terhadap Nabi Muhammad SAW. Ia adalah figur yang aktif dan vokal dalam mendukung suaminya memusuhi Nabi. Ayat ini memberinya julukan khusus: حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (hammalatal hatab), yang secara harfiah berarti "pembawa kayu bakar."

Ada dua penafsiran utama mengenai makna "pembawa kayu bakar" ini di kalangan mufasir, dan keduanya relevan:

  1. **Penafsiran Harfiah (Literal):** Sebagian mufasir menafsirkan bahwa Umm Jamil secara harfiah sering membawa duri, ranting-ranting kering, atau semak-semak berduri, kemudian menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad SAW. Tujuannya jelas, yaitu untuk menyakiti Nabi, mengotori jalan beliau, dan mengganggu ketenangan beliau. Ini adalah bentuk penganiayaan fisik yang dilakukannya sebagai bagian dari permusuhannya terhadap Islam. Tindakan ini menunjukkan tingkat kebencian yang mendalam hingga ingin menyakiti fisik Nabi.
  2. **Penafsiran Kiasan (Metaforis):** Penafsiran yang lebih populer dan luas di kalangan mufasir adalah bahwa "pembawa kayu bakar" adalah kiasan untuk "penyebar fitnah, adu domba, dan gosip." Kayu bakar digunakan untuk menyalakan api. Umm Jamil diumpamakan sebagai orang yang membawa "kayu bakar" fitnah dan adu domba untuk menyulut "api" permusuhan dan kebencian di antara manusia, khususnya terhadap Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dengan lisannya yang tajam dan sikapnya yang provokatif, ia menyebarkan kebohongan, berita bohong, dan cerita-cerita buruk tentang Nabi, berusaha memecah belah persatuan dan menghalangi orang dari jalan Allah. Dalam konteks ini, perkataannya ibarat kayu bakar yang membakar hati dan menciptakan permusuhan.

Kedua penafsiran ini tidak saling bertentangan dan bisa jadi keduanya benar. Umm Jamil mungkin melakukan keduanya: tindakan fisik menyakiti Nabi dan tindakan lisan menyebarkan fitnah. Dalam konteks ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang api neraka, penafsiran kiasan menjadi sangat kuat. Ia menyulut api kebencian di dunia, maka ia pantas menjadi "pembawa kayu bakar" yang sesungguhnya di neraka, menambah nyala api bagi dirinya sendiri dan suaminya. Ini adalah bentuk hukuman yang sesuai dengan perbuatannya.

Ayat ini memiliki beberapa pelajaran penting:

Melalui ayat ini, Allah SWT menggarisbawahi bahwa permusuhan terhadap kebenaran bisa datang dari berbagai arah, termasuk dari individu-individu yang sangat berpengaruh dan berkuasa, serta orang-orang di sekeliling mereka yang mendukung kejahatan tersebut. Ancaman azab bukan hanya untuk para pemimpin kejahatan, tetapi juga untuk para pengikut dan pendukungnya yang aktif dalam kezaliman.

Ayat 5: فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

"Di lehernya ada tali dari sabut."

Ayat terakhir dari Surat Al-Masad ini menggambarkan secara spesifik kondisi Umm Jamil di akhirat, atau bisa juga sebagai gambaran kehinaannya di dunia. Frasa فِي جِيدِهَا (fii jiidihaa) berarti "di lehernya." Kata جِيد (jiid) secara spesifik merujuk pada bagian leher yang indah, yang biasanya dihiasi perhiasan seperti kalung atau gelang leher yang mewah. Penggunaan kata ini dalam konteks hukuman sangatlah ironis dan memperparah kehinaan yang digambarkan.

Kemudian, disebutkan حَبْلٌ (hablun) yang berarti "tali," dan مِّن مَّسَدٍ (min masadin) yang berarti "dari sabut." Kata مَسَد (masad) merujuk pada serat-serat kasar dan kuat yang terbuat dari pohon kurma, atau terkadang dari kulit unta. Tali yang terbuat dari masad ini dikenal sangat kasar, kuat, dan menyakitkan jika bergesekan dengan kulit. Berbeda dengan tali biasa, tali sabut ini melambangkan kekasaran dan penderitaan, bukan alat yang nyaman atau berharga.

Ada beberapa penafsiran mengenai makna ayat ini:

  1. **Tali Neraka (Konteks Akhirat):** Penafsiran yang paling umum adalah bahwa "tali dari sabut" ini adalah rantai atau belenggu yang akan melingkari leher Umm Jamil di neraka. Tali yang kasar ini akan menambah penderitaannya, sebagaimana orang-orang kafir digambarkan dirantai dan dibelenggu dalam api neraka. Ini adalah balasan yang setimpal baginya sebagai "pembawa kayu bakar" yang menyulut api fitnah di dunia. Jika di dunia ia terbiasa mengenakan kalung mutiara yang indah dan mahal sebagai simbol status dan kemewahan, di akhirat ia akan diganti dengan tali sabut yang kasar dan menyakitkan, simbol kehinaan dan azab yang pedih. Ironi ini mempertegas betapa tidak berharganya kemewahan dunia di hadapan murka Allah.
  2. **Simbol Kemiskinan dan Kehinaan Dunia (Konteks Dunia):** Beberapa mufasir menafsirkan ayat ini sebagai gambaran kehinaan Umm Jamil di dunia, meskipun ia adalah wanita kaya dan bangsawan. Mereka menafsirkan bahwa, meskipun ia terbiasa memakai kalung mewah, pada akhirnya ia akan dihina sedemikian rupa sehingga seolah-olah lehernya diikat dengan tali sabut yang kasar. Ini juga bisa menjadi gambaran bahwa kekayaannya tidak berarti apa-apa dan ia akan mati dalam keadaan yang hina, seperti orang yang miskin dan tak berdaya, tanpa ada yang menghargai atau menghormatinya.
  3. **Simbol Beban Dosa (Kiasan):** Ada pula yang menafsirkan bahwa tali sabut di lehernya adalah beban dosa-dosa yang ia pikul, terutama dosa menyebarkan fitnah dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad SAW. Dosa-dosa tersebut akan menjadi beban berat yang menghimpitnya di akhirat, menyeretnya ke dalam azab yang kekal. Setiap fitnah yang ia sebarkan akan terasa seperti tali yang mencekiknya.

Apapun penafsiran detailnya, pesan utamanya jelas: Ayat ini menggambarkan kehinaan, penderitaan, dan azab yang akan menimpa Umm Jamil. Penyebutan "tali dari sabut" sangat spesifik dan kuat. Sabut adalah bahan yang murah, kasar, dan biasanya digunakan untuk pekerjaan berat atau untuk mengikat barang. Ini kontras sekali dengan perhiasan mewah yang biasa dikenakan wanita bangsawan pada masa itu. Perbandingan ini menekankan betapa hinanya Umm Jamil di sisi Allah, meskipun di dunia ia mungkin merasa mulia karena kekayaan dan kedudukannya. Penekanan pada leher, bagian tubuh yang rentan dan sering dihiasi, semakin menyoroti kehinaan ini.

Nama lain dari surat ini, "Al-Masad," diambil dari kata ini, menggarisbawahi pentingnya simbolisme tali sabut ini dalam keseluruhan pesan surat. Nama ini sekaligus menjadi penanda bahwa surat ini secara khusus menyoroti nasib tragis para penentang kebenaran, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengabaikan panggilan Allah dan Rasul-Nya dan memilih untuk memusuhi Islam. Ini adalah peringatan keras bagi semua orang bahwa Allah Maha Kuasa dan akan membalas setiap perbuatan.

Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia, sekecil apapun, akan ada balasannya di akhirat. Orang yang menyakiti orang lain, menyebarkan fitnah, dan memusuhi kebenaran akan menerima balasan yang setimpal, bahkan dengan simbolisme yang kontras dengan kehidupan duniawi mereka. Ayat ini juga menjadi pengingat bagi kita untuk selalu menjaga lisan dan perbuatan, serta menjauhi segala hal yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan, agar kita tidak menjadi "pembawa kayu bakar" yang justru membakar diri sendiri di akhirat.

Tali sabut, simbol kehinaan dan azab yang setimpal.

Pelajaran dan Hikmah dari Surat Al-Masad

Surat Al-Masad, meskipun singkat, mengandung pelajaran dan hikmah yang sangat mendalam bagi umat manusia, khususnya umat Muslim. Ia bukan sekadar kisah sejarah tentang Abu Lahab dan istrinya, melainkan prinsip-prinsip universal yang relevan sepanjang zaman dan memberikan panduan moral serta spiritual yang tak lekang oleh waktu. Surat ini adalah cerminan dari keadilan ilahi dan konsekuensi dari permusuhan terhadap kebenaran.

1. Kekuasaan dan Kekayaan Tidak Menjamin Keselamatan Akhirat

Pelajaran pertama yang paling menonjol adalah bahwa harta, kekayaan, kedudukan sosial, dan kekuatan duniawi sama sekali tidak akan berguna di hadapan azab Allah jika tidak disertai dengan keimanan. Abu Lahab adalah figur yang kaya raya dan memiliki pengaruh besar di Mekah, bahkan ia seorang bangsawan Quraisy. Namun, semua itu tidak dapat menyelamatkannya dari kutukan ilahi dan siksa neraka. Ayat kedua secara eksplisit menyatakan: مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan). Ini adalah pukulan telak terhadap pandangan materialistis yang menganggap kesuksesan dunia sebagai jaminan kebahagiaan abadi.

Ini adalah pengingat keras bagi kita agar tidak terlalu terlena dan terpaku pada gemerlap dunia. Banyak orang yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar kekayaan dan jabatan, mengira bahwa hal itu akan membawa kebahagiaan dan jaminan keselamatan. Padahal, kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi hanya dapat diraih dengan takwa dan amal saleh. Harta dan kedudukan hanyalah alat atau ujian dari Allah. Bagaimana kita menggunakan alat tersebutlah yang akan menentukan nasib kita. Jika harta digunakan untuk berbuat kezaliman dan menghalangi jalan Allah, maka ia akan menjadi laknat bagi pemiliknya.

2. Pentingnya Iman di Atas Hubungan Kekeluargaan

Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad SAW, kerabat terdekat dari pihak ayah. Dalam budaya Arab, paman memiliki kedudukan yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pelindung, bahkan sering disebut sebagai ayah kedua. Namun, dalam kasus Abu Lahab, hubungan darah ini tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan kekufuran dan permusuhannya terhadap kebenaran. Allah SWT mengutuknya secara langsung, menunjukkan bahwa ikatan iman lebih kuat dan lebih penting daripada ikatan darah atau nasab. Nabi Nuh AS pun tidak dapat menyelamatkan putranya yang enggan beriman.

Ini mengajarkan kita bahwa dalam memilih jalan hidup, kebenaran dan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya harus diutamakan, bahkan jika itu berarti harus berbeda jalan dengan keluarga terdekat yang memilih kesesatan. Islam tidak mengajarkan untuk memutuskan silaturahmi, namun juga menegaskan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya harus diletakkan di atas segala-galanya. Prioritas utama adalah akidah, bukan hubungan duniawi.

3. Konsekuensi Berat bagi Pemusuhi Allah dan Rasul-Nya

Surat ini adalah peringatan tegas bagi siapa pun yang berani menentang Allah dan Rasul-Nya, atau memusuhi agama-Nya. Abu Lahab dan istrinya secara terang-terangan memusuhi Nabi dan dakwahnya, bahkan dengan tindakan fisik dan lisan yang keji. Allah SWT tidak tinggal diam. Dia membela Nabi-Nya dan memberikan balasan yang setimpal kepada para penentang. Azab yang dijanjikan dalam surat ini adalah azab dunia (kematian hina dan penyakit menjijikkan) dan azab akhirat (neraka yang bergejolak).

Pelajaran ini relevan sepanjang masa. Siapa pun yang mencoba menghalangi jalan dakwah, menyakiti para dai, atau menyebarkan kebohongan tentang Islam, akan menghadapi konsekuensi yang berat, baik di dunia maupun di akhirat. Sejarah juga mencatat bagaimana banyak tiran dan musuh Islam berakhir dengan kehinaan, menunjukkan pola yang serupa dengan kasus Abu Lahab.

4. Keadilan dan Kekuasaan Allah SWT yang Mutlak

Surat ini menampilkan salah satu manifestasi keadilan dan kekuasaan Allah SWT. Dia Maha Mengetahui segala perbuatan hamba-Nya dan akan membalasnya dengan seadil-adilnya. Tidak ada yang luput dari perhitungan-Nya. Meskipun Nabi Muhammad SAW adalah hamba-Nya yang paling mulia, beliau tetap diuji dengan permusuhan dari orang terdekat. Namun, Allah langsung turun tangan membela dan menghinakan musuh-musuh Nabi, menegaskan bahwa kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.

Ini juga menunjukkan kekuasaan Allah yang mutlak. Dia bisa menghancurkan siapa pun yang Dia kehendaki, kapan pun Dia kehendaki, tanpa ada yang bisa menghalanginya. Bahkan dengan cara yang tidak terduga, seperti penyakit menular yang menimpa Abu Lahab, sehingga tidak ada yang berani mendekat untuk mengurus jenazahnya. Ini adalah bukti bahwa kekuasaan manusia hanyalah fatamorgana di hadapan kekuasaan Ilahi.

5. Bahaya Fitnah dan Adu Domba yang Merusak

Peran Umm Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" (penyebar fitnah dan adu domba) menggarisbawahi betapa berbahayanya perilaku ini dalam Islam. Fitnah dapat menyulut api permusuhan yang merusak masyarakat, menghancurkan reputasi, dan memecah belah persatuan umat. Islam sangat mengecam perbuatan ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan segala bentuk perkataan buruk yang bertujuan merusak reputasi atau memecah belah persatuan, bahkan membandingkannya dengan memakan daging saudaranya yang telah mati.

Pelajaran ini sangat relevan di era informasi digital saat ini, di mana fitnah, berita bohong (hoax), dan ujaran kebencian dapat menyebar dengan sangat cepat dan merusak. Kita diajarkan untuk berhati-hati dalam berbicara dan menyebarkan informasi, selalu memverifikasi kebenaran, karena setiap perkataan kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Lidah adalah pedang yang bisa membunuh.

6. Kemukjizatan Al-Qur'an sebagai Nubuat yang Terwujud

Salah satu aspek paling menakjubkan dari Surat Al-Masad adalah kemukjizatannya sebagai nubuat. Ayat ini diturunkan ketika Abu Lahab masih hidup, dengan jelas menyatakan bahwa ia akan binasa dan masuk neraka. Hal ini berarti ia akan mati dalam keadaan kafir. Jika saja Abu Lahab kemudian memeluk Islam (meskipun hanya sekadar pura-pura untuk membantah Al-Qur'an dan meragukan kenabian Muhammad), maka nubuat Al-Qur'an akan terbantah. Namun, ia meninggal dalam keadaan kafir, mengkonfirmasi kebenaran firman Allah. Ini adalah bukti nyata bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang benar.

7. Ancaman bagi yang Mendukung Kejahatan

Keterlibatan Umm Jamil dalam azab menunjukkan bahwa dukungan terhadap kejahatan juga akan mendapatkan balasan yang setimpal. Tidak hanya pelaku utama kejahatan, tetapi juga mereka yang membantu, mendukung, atau bahkan menyemangati perbuatan dosa akan turut serta dalam pertanggungjawaban di hadapan Allah. Kejahatan adalah tanggung jawab kolektif jika ada yang berpartisipasi di dalamnya.

Ini mendorong kita untuk tidak menjadi bagian dari rantai kejahatan, sekecil apa pun peran kita. Sebaliknya, kita harus selalu mendukung kebaikan dan menjauhi keburukan, bahkan jika itu berarti harus bersuara menentang kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang terdekat kita. Diam terhadap kemungkaran bisa jadi adalah bentuk dukungan terhadapnya.

8. Kerasnya Azab bagi Kekufuran dan Kebencian

Gambaran "api yang bergejolak" dan "tali dari sabut di leher" memberikan gambaran yang jelas tentang dahsyatnya dan hinanya azab neraka bagi orang-orang kafir yang memusuhi kebenaran. Azab ini digambarkan begitu nyata dan menyakitkan, baik secara fisik maupun spiritual, menegaskan betapa besar dosa kekufuran dan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Gambaran tali sabut yang kasar dan menyakitkan di leher seorang wanita bangsawan adalah puncak dari kehinaan.

Ini menjadi motivasi bagi kita untuk selalu menjaga keimanan dan menjauhi kekufuran serta segala perbuatan yang dapat mengantarkan kita ke neraka. Kerasnya azab seharusnya memicu kita untuk senantiasa beramal saleh, bertaubat dari dosa, dan memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT.

Secara keseluruhan, Surat Al-Masad adalah pengingat akan pentingnya keimanan yang tulus, bahaya permusuhan terhadap agama, dan janji Allah akan keadilan yang sempurna. Ia memotivasi umat Muslim untuk berdiri teguh di atas kebenaran, tidak takut akan tantangan, dan senantiasa berlindung kepada Allah dari segala keburukan dunia dan azab akhirat. Pesan-pesan ini melampaui konteks sejarah turunnya surat, menjadikannya pedoman abadi bagi setiap Muslim.

Kesimpulan

Surat Al-Masad, atau Al-Lahab, adalah permata singkat namun penuh makna dari Al-Qur'an, yang sarat dengan pelajaran berharga bagi umat manusia di setiap zaman. Melalui kisah Abu Lahab dan istrinya, Umm Jamil, Allah SWT menyampaikan pesan yang gamblang dan tidak terbantahkan tentang konsekuensi pahit bagi mereka yang memilih jalan kekufuran, permusuhan terhadap kebenaran, dan penentangan terhadap ajaran-Nya. Surat ini adalah penegasan ilahi tentang pertolongan-Nya kepada para pejuang kebenaran dan ancaman bagi para penentangnya.

Surat ini menegaskan bahwa tidak ada kekayaan, kedudukan, atau bahkan hubungan kekerabatan yang akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika hati mereka tertutup dari hidayah dan tangan mereka aktif dalam menyebarkan kejahatan. Ia menunjukkan bahwa di hadapan Allah, yang bernilai adalah keimanan dan amal saleh, bukan kemewahan duniawi yang fana, yang justru dapat menjadi penghalang dari kebenaran.

Lebih dari sekadar sebuah kutukan, Surat Al-Masad adalah mukjizat Al-Qur'an yang menubuatkan nasib Abu Lahab dan istrinya, sebuah nubuat yang terbukti kebenarannya, menguatkan keyakinan umat Islam akan keautentikan wahyu Ilahi. Ia juga menjadi peringatan universal tentang bahaya fitnah, adu domba, dan segala bentuk permusuhan terhadap Islam dan para pembawanya, menekankan pentingnya menjaga lisan dan perbuatan.

Bagi kita, Surat Al-Masad adalah pengingat untuk selalu introspeksi diri, menguatkan iman, dan menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan permusuhan terhadap kebenaran. Semoga kita selalu termasuk golongan orang-orang yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, merenungkan maknanya, dan senantiasa berada di bawah lindungan dan rahmat-Nya, serta memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin.

🏠 Homepage