Klub sepak bola Arsenal, dengan sejarahnya yang kaya dan basis penggemar yang masif, seringkali menjadi sorotan utama dalam liga-liga top Eropa. Namun, dalam beberapa musim terakhir, sebuah pola yang cukup konsisten muncul dan seringkali membuat para pendukungnya frustrasi: terlalu banyak hasil imbang atau yang biasa kita sebut dengan istilah "Arsenal seri". Fenomena ini bukan sekadar kebetulan statistik, melainkan refleksi dari dinamika taktis, mentalitas tim, dan situasi spesifik yang dihadapi The Gunners di lapangan.
Secara inheren, tim asuhan Mikel Arteta dikenal memiliki kekuatan menyerang yang dinamis. Dengan pemain-pemain kreatif di lini tengah dan kecepatan di lini depan, mereka mampu mendobrak pertahanan lawan dan menciptakan banyak peluang gol. Ketika Arsenal bermain optimal, skor besar seringkali tercipta. Akan tetapi, kekuatan ofensif ini seringkali dibayar mahal dengan kerapuhan di lini belakang.
Banyak pertandingan yang seharusnya bisa mereka menangkan berakhir seri karena kebocoran di momen-momen krusial. Pertahanan yang solid merupakan fondasi setiap juara, dan di sinilah Arsenal kadang terlihat kurang kokoh. Pergantian posisi pemain belakang, kurangnya komunikasi, atau kelelahan di menit akhir seringkali dimanfaatkan lawan untuk menyamakan kedudukan. Hasilnya, keunggulan dua gol bisa hilang hanya dalam lima menit terakhir laga.
Hasil seri yang berulang juga erat kaitannya dengan faktor mentalitas. Sepak bola modern sangat menuntut konsentrasi penuh selama 90 menit lebih. Bagi tim yang sedang membangun kembali identitasnya, tekanan untuk menang di kandang, atau setidaknya tidak kalah dari tim yang dianggap "lebih lemah", bisa menjadi beban psikologis.
Dalam situasi genting, ketika tim lawan mulai menekan balik setelah kebobolan, reaksi tim bisa terbelah. Ada momen di mana para pemain terlalu cepat puas dengan keunggulan tipis, sementara di laga lain, mereka tampak panik dan terburu-buru dalam mengambil keputusan ketika skor imbang. Mengubah kebiasaan meraih satu poin menjadi tiga poin membutuhkan ketangguhan mental yang hanya bisa dibangun seiring berjalannya waktu dan pengalaman.
Arsitek lawan kini sudah lebih memahami cara menghadapi Arsenal. Jika di awal musim mereka terkejut dengan formasi dan pergerakan taktis Arteta, kini banyak tim yang telah menyiapkan rencana spesifik untuk meredam kreativitas mereka. Strategi memancing Arsenal maju, lalu menyerang balik dengan cepat memanfaatkan ruang kosong di lini tengah dan pertahanan adalah taktik yang sering diterapkan tim papan tengah.
Ketika Arsenal kesulitan memecah kebuntuan menghadapi lawan yang bermain sangat defensif (parkir bus), waktu terus berjalan tanpa gol tambahan. Di sinilah frustrasi meningkat. Mengubah permainan ketika rencana A tidak berhasil adalah ujian bagi kepelatihan. Kadang, pergantian pemain yang dilakukan terlambat atau tidak membawa dampak signifikan, memaksa mereka berbagi angka dengan lawan.
Meskipun satu poin terlihat lebih baik daripada nol poin, dalam perebutan gelar atau zona Liga Champions, selisih satu poin sangatlah krusial. Beberapa hasil seri yang seharusnya menjadi kemenangan dapat berarti perbedaan antara posisi puncak dan posisi di luar empat besar. Hal ini membuat setiap pertandingan yang berakhir imbang terasa seperti kekalahan yang mahal.
Untuk menghilangkan stigma "Arsenal seri", klub perlu fokus pada penguatan mentalitas pemenang, peningkatan fokus defensif selama 90 menit penuh, dan memiliki opsi taktis B dan C ketika lawan berhasil menetralkan strategi utama mereka. Jika masalah ini dapat diatasi, potensi besar yang dimiliki skuad ini akan mampu diterjemahkan menjadi poin penuh secara lebih konsisten di sisa musim.