Pertanyaan retoris "Alam Tara Kaifa Fa'ala Rabbuka Bi Ashabil Fiil?" (Tidakkah engkau melihat bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?) adalah pembuka sebuah surah yang ringkas namun sarat makna dalam Al-Qur'an, yaitu Surah Al-Fil. Surah ini, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, menyimpan kisah luar biasa tentang kekuasaan mutlak Allah SWT dan perlindungan-Nya terhadap Baitullah, Ka'bah. Ia menggambarkan peristiwa yang menjadi salah satu mukjizat terbesar di masa sebelum kenabian Muhammad SAW, sebuah kejadian yang mengukir namanya dalam sejarah sebagai "Tahun Gajah," tahun kelahiran Nabi terakhir.
Artikel ini akan mengupas tuntas makna di balik setiap ayat Surah Al-Fil, menggali latar belakang sejarah pasukan bergajah, merinci tafsir para ulama, serta menarik pelajaran dan hikmah yang relevan untuk kehidupan kita di masa kini. Kita akan menyelami bagaimana Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, mengalahkan kesombongan dan keangkuhan manusia dengan cara yang paling tak terduga.
Ilustrasi simbolis tentang kekuasaan Allah yang mengalahkan pasukan gajah dengan burung-burung Ababil, melindungi Ka'bah.
Surah Al-Fil adalah surah ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, termasuk golongan surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Surah ini dinamakan "Al-Fil" yang berarti "Gajah," karena ia mengisahkan peristiwa pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah al-Ashram, gubernur Yaman yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Habasyah).
Peristiwa ini bukan sekadar cerita biasa; ia adalah salah satu tanda kebesaran Allah SWT yang nyata, yang disaksikan oleh masyarakat Makkah dan sekitarnya. Kejadian ini begitu monumental sehingga masyarakat Arab menjadikannya sebagai penanda kalender, dikenal sebagai "Am al-Fil" atau Tahun Gajah, yang bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan betapa dekatnya mukjizat ini dengan risalah kenabian, seolah menjadi prolog bagi kedatangan seorang Rasul yang akan membawa cahaya Islam.
Pesan utama Surah Al-Fil adalah penegasan kekuasaan Allah SWT yang mutlak atas segala sesuatu, dan perlindungan-Nya terhadap rumah suci-Nya, Ka'bah. Surah ini juga berfungsi sebagai peringatan keras bagi siapa pun yang berniat merusak kesucian agama atau melakukan kezaliman dengan kekuatan dan kesombongan. Allah mampu menghancurkan kekuatan terbesar sekalipun dengan makhluk-Nya yang paling kecil dan tak terduga.
Untuk memahami lebih dalam, mari kita telaah setiap ayat Surah Al-Fil:
Ayat pembuka ini adalah pertanyaan retoris yang kuat. Kata "Alam Tara" secara harfiah berarti "Tidakkah engkau melihat?" Meskipun Nabi Muhammad SAW belum lahir saat peristiwa ini terjadi, dan para pendengar awal Al-Qur'an mungkin juga tidak melihatnya secara langsung, pertanyaan ini mengisyaratkan bahwa peristiwa tersebut begitu terkenal dan dampaknya begitu besar sehingga seolah-olah semua orang telah menyaksikannya atau mengetahuinya dengan pasti. Ini seperti bertanya, "Tidakkah kamu tahu?" atau "Bukankah sudah jelas bagimu?" Pengetahuan tentang peristiwa ini sudah menjadi bagian dari sejarah kolektif masyarakat Arab.
Penggunaan kata "Rabbuka" (Tuhanmu) menggarisbawahi hubungan personal antara Allah dengan Nabi Muhammad, dan lebih luas lagi, dengan orang-orang beriman. Ini menunjukkan bahwa perlindungan dan tindakan ini adalah manifestasi dari pemeliharaan Allah terhadap hamba-Nya dan terhadap tempat suci-Nya. Frasa "bi-ashฤbil-fฤซl" merujuk pada "pasukan bergajah," yaitu pasukan Abrahah yang menggunakan gajah sebagai bagian dari strategi perang mereka, suatu hal yang sangat langka dan mengesankan di semenanjung Arab kala itu.
Ayat ini melanjutkan pertanyaan retoris dari ayat pertama. Kata "kaidahum" berarti "tipu daya mereka" atau "rencana jahat mereka." Ini merujuk pada ambisi Abrahah dan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah agar Baitul Maqdis (gereja yang ia bangun di Yaman) menjadi pusat peribadatan dan perdagangan yang baru. Rencana ini disusun dengan sangat matang, didukung oleh kekuatan militer yang besar, termasuk gajah-gajah yang dianggap tak terkalahkan.
Namun, Allah SWT menegaskan bahwa Dia menjadikan tipu daya mereka "fฤซ taแธlฤซl", yang berarti "sia-sia," "tersesat," atau "gagal total." Ini menunjukkan bahwa betapa pun besar dan kuatnya rencana jahat manusia, jika berhadapan dengan kehendak dan kekuasaan Allah, semuanya akan hancur dan tidak mencapai tujuan. Ini adalah pelajaran tentang kesombongan manusia yang berhadapan dengan kehendak Ilahi.
Ayat ini mengungkapkan bagaimana Allah SWT melakukan intervensi-Nya. Setelah rencana Abrahah dijadikan sia-sia, Allah mengirimkan "แนญairan abฤbฤซl". Kata "แนญairan" berarti "burung-burung," sedangkan "abฤbฤซl" adalah bentuk jamak yang tidak beraturan, yang secara umum diartikan sebagai "berbondong-bondong," "berkelompok-kelompok," atau "dari berbagai arah." Ada juga yang menafsirkannya sebagai jenis burung yang belum pernah terlihat sebelumnya, atau burung-burung dengan ciri khas tertentu. Yang jelas, kemunculan burung-burung ini dalam jumlah besar dan terorganisir adalah bagian dari mukjizat.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Allah tidak memerlukan kekuatan yang sebanding untuk mengalahkan musuh-Nya. Dia bisa menggunakan makhluk-Nya yang paling kecil dan tidak berdaya di mata manusia, seperti burung, untuk menjalankan kehendak-Nya. Ini adalah pukulan telak bagi kesombongan pasukan bergajah yang mengandalkan kekuatan fisik dan teknologi militer mereka.
Ayat ini menjelaskan metode serangan burung-burung Ababil. Mereka "tarmฤซhim", yaitu "melempari mereka," dengan "แธฅijฤratim min sijjฤซl". Kata "sijjฤซl" umumnya ditafsirkan sebagai "batu dari tanah liat yang dibakar," mirip batu bata atau tembikar. Batu-batu ini, meskipun kecil, memiliki kekuatan mematikan yang luar biasa.
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di kedua kakinya. Batu-batu ini, yang ukurannya konon tidak lebih besar dari kacang atau kerikil, mampu menembus helm, tubuh, dan gajah-gajah, menyebabkan luka yang mengerikan dan kematian yang cepat. Ini adalah manifestasi lain dari mukjizat Allah: kekuatan yang disematkan pada objek yang tampaknya sepele, menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan pada ukuran atau jumlah, melainkan pada izin dan kehendak Allah SWT.
Ayat penutup ini menggambarkan hasil akhir dari serangan tersebut. Allah "fa ja'alahum", yaitu "maka Dia menjadikan mereka," seperti "ka'aแนฃfim ma'kลซl", yang artinya "seperti dedaunan yang dimakan ulat." Perumpamaan ini sangat kuat dan mengerikan. Dedaunan yang dimakan ulat akan menjadi kering, keropos, rapuh, dan akhirnya hancur lebur tanpa bentuk. Ini menggambarkan kondisi pasukan Abrahah setelah dihantam batu-batu sijjil.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa daging mereka hancur dan terlepas dari tulang-belulang, bahkan ada yang mengatakan bahwa tubuh mereka berbau busuk dan rontok seperti daun yang kering. Ini adalah gambaran kehancuran total, aib, dan pelajaran yang pedih bagi mereka yang berani menantang kekuasaan Allah dan menyerang rumah-Nya. Dari pasukan yang besar dan perkasa, mereka berakhir menjadi tumpukan daging dan tulang yang membusuk, menjadi pelajaran bagi generasi setelahnya.
Peristiwa Ashabul Fiil tidak dapat dipisahkan dari sosok Abrahah al-Ashram, seorang panglima perang Kristen dari Habasyah (Etiopia) yang kemudian menjadi gubernur Yaman. Ambisi Abrahah sangat besar. Melihat Ka'bah di Makkah sebagai pusat ziarah dan perdagangan yang ramai, ia ingin mengalihkan fokus tersebut ke wilayah kekuasaannya. Ia membangun sebuah gereja megah di Sana'a, Yaman, yang dinamai Al-Qulais, dengan harapan gereja itu akan menggantikan Ka'bah sebagai pusat peribadatan dan menarik peziarah dari seluruh Jazirah Arab.
Namun, rencana Abrahah tidak berjalan mulus. Orang-orang Arab, yang sangat menghormati Ka'bah sebagai Baitullah (Rumah Allah) dan peninggalan Nabi Ibrahim AS, tidak tertarik pada gerejanya. Bahkan, ada yang sengaja menajiskan Al-Qulais sebagai bentuk protes dan penghinaan. Kejadian ini memicu kemarahan besar pada diri Abrahah. Ia bersumpah akan menghancurkan Ka'bah di Makkah sebagai balasan atas apa yang terjadi pada gerejanya.
Dengan tekad bulat, Abrahah mengumpulkan pasukan militer yang besar dan kuat, diperlengkapi dengan gajah-gajah perang, yang pada masa itu merupakan simbol kekuatan dan dominasi militer. Gajah-gajah ini belum pernah terlihat di Jazirah Arab, sehingga kehadiran mereka menimbulkan ketakutan luar biasa di kalangan suku-suku Arab. Gajah yang paling besar dan terkenal di antara mereka adalah Mahmud. Pasukan ini bergerak dari Yaman menuju Makkah dengan tujuan menghancurkan Ka'bah, batu demi batu, hingga rata dengan tanah.
Dalam perjalanannya menuju Makkah, pasukan Abrahah merampas harta benda suku-suku Arab yang mereka lewati, termasuk unta-unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW yang kala itu adalah pemimpin suku Quraisy dan penjaga Ka'bah. Ketika Abrahah dan pasukannya tiba di dekat Makkah, Abdul Muththalib mendatanginya untuk meminta unta-untanya dikembalikan.
Abrahah terkejut dan meremehkan Abdul Muththalib, karena ia mengira Abdul Muththalib akan memohon agar Ka'bah tidak dihancurkan, bukan unta-untanya. Abdul Muththalib dengan tenang menjawab, "Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Ka'bah memiliki pemiliknya sendiri yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan tawakal dan keyakinan penuh Abdul Muththalib kepada Allah SWT, bahwa Ka'bah tidak membutuhkan perlindungan manusia karena ia berada di bawah penjagaan langsung Sang Pencipta. Setelah mendapatkan kembali unta-untanya, Abdul Muththalib kembali ke Makkah dan memerintahkan penduduknya untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar Makkah, menghindari konfrontasi langsung dengan pasukan Abrahah yang jauh lebih kuat.
Ketika pasukan Abrahah bersiap untuk memasuki Makkah dan menyerang Ka'bah, terjadi peristiwa aneh yang menjadi awal kehancuran mereka. Gajah-gajah, terutama gajah Mahmud yang memimpin, tiba-tiba menolak untuk bergerak maju menuju Ka'bah. Ketika diarahkan ke arah lain, mereka bergerak dengan patuh, tetapi ketika diarahkan kembali ke Ka'bah, mereka membangkang, bahkan berlutut atau duduk. Fenomena ini menunjukkan adanya campur tangan Ilahi, seolah-olah hewan-hewan itu pun tahu dan tunduk pada keagungan Rumah Allah.
Di tengah kebingungan dan kekesalan pasukan Abrahah, langit tiba-tiba dipenuhi dengan kawanan burung-burung kecil yang datang dari arah laut. Burung-burung ini dikenal sebagai "Ababil," dan mereka membawa batu-batu kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar (sijjil) di paruh dan kaki mereka. Tanpa ragu, burung-burung ini mulai melempari setiap anggota pasukan Abrahah dengan batu-batu kecil tersebut.
Dampak dari lemparan batu-batu sijjil itu sangat mengerikan. Meskipun kecil, setiap batu menghantam dengan kekuatan mematikan, menembus kepala, tubuh, dan gajah-gajah. Para prajurit Abrahah mulai berjatuhan, tubuh mereka hancur, daging mereka terlepas dari tulang, dan mereka meninggal dalam kondisi yang mengenaskan, sebagian besar mengalami semacam wabah atau penyakit yang menyebabkan pembusukan tubuh yang cepat. Abrahah sendiri juga terkena batu tersebut dan mati dalam perjalanan pulang ke Yaman, dengan tubuhnya yang secara bertahap membusuk.
Peristiwa ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas. Dia mengalahkan pasukan yang paling besar dan perkasa bukan dengan pasukan manusia lain, tetapi dengan makhluk-Nya yang paling lemah di mata manusia, yaitu burung-burung kecil. Ini adalah pengingat bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah, dan tidak ada yang dapat menentang kehendak-Nya.
Untuk benar-benar menghayati Surah Al-Fil, kita perlu menelaah tafsirnya lebih dalam, memahami nuansa bahasa dan pesan yang ingin disampaikan Allah SWT.
Pertanyaan "Alam Tara" seringkali digunakan dalam Al-Qur'an untuk menarik perhatian pada fakta-fakta yang sudah diketahui atau seharusnya diketahui oleh audiens. Ini bukan pertanyaan yang mencari jawaban, melainkan pertanyaan retoris yang bertujuan untuk menekankan dan menegaskan. Dalam konteks ini, ia mengingatkan orang-orang Makkah tentang peristiwa yang terjadi di kota mereka, yang bahkan menjadi penanda kalender mereka.
Penggunaan kata "Rabbuka" (Tuhanmu) menunjukkan perhatian dan perlindungan khusus Allah terhadap Nabi-Nya dan terhadap Ka'bah, yang merupakan rumah pertama yang dibangun untuk beribadah kepada-Nya. Ini juga mengisyaratkan bahwa tindakan ini adalah manifestasi dari sifat Rububiyah Allah, yaitu sifat pemeliharaan dan pengaturan-Nya atas segala ciptaan.
Frasa "Bi Ashabil Fiil" (terhadap pasukan bergajah) menunjuk pada kesombongan dan keangkuhan Abrahah. Gajah adalah simbol kekuatan dan dominasi militer yang tak terbantahkan pada masa itu. Dengan mengalahkan pasukan bergajah ini, Allah menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan di muka bumi ini yang dapat menandingi atau menentang kehendak-Nya.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, "Tidakkah kamu melihat wahai Muhammad, meskipun kamu tidak menyaksikannya, karena berita itu mutawatir (tersiar luas dan pasti kebenarannya) sampai kepadamu. Peristiwa itu terjadi pada tahun kelahirannya." Ini menegaskan bahwa meski Nabi belum lahir, kisah ini begitu terkenal dan pasti, seolah-olah disaksikan langsung.
Kata "Kaid" (tipu daya atau rencana jahat) di sini merujuk pada seluruh upaya, strategi, dan ambisi Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah. Rencana ini disusun dengan segala sumber daya yang ia miliki: pasukan yang besar, gajah-gajah perang, dan niat yang jahat.
Namun, Allah menjadikan "kaidahum fฤซ taแธlฤซl" (tipu daya mereka sia-sia). Ini berarti rencana mereka tidak hanya gagal, tetapi juga menyimpang dari tujuannya, bahkan berbalik menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Kehancuran yang mereka alami bukan disebabkan oleh kekuatan musuh yang seimbang, melainkan oleh intervensi ilahi yang tak terduga. Ini adalah bukti bahwa Allah Maha Kuasa atas segala tipu daya dan strategi manusia. Rencana Allah selalu di atas rencana manusia.
Inilah puncak mukjizatnya. Allah tidak mengirimkan malaikat bersenjata, atau pasukan manusia, atau bahkan bencana alam yang dahsyat seperti banjir atau gempa bumi. Melainkan, Dia mengirimkan "thairan Ababil" (burung-burung yang berbondong-bondong).
Tafsir mengenai "Ababil" ini beragam. Ada yang mengatakan itu adalah nama jenis burung tertentu. Namun, yang lebih umum dipahami adalah bahwa "Ababil" merujuk pada cara burung-burung itu datang: dalam kelompok-kelompok besar, berbondong-bondong, dari berbagai arah, mengisi langit. Jumlah mereka begitu banyak sehingga mereka tampak seperti awan atau hujan burung.
Pilihan Allah untuk menggunakan burung-burung kecil ini sangatlah signifikan. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan pada ukuran atau jumlah fisik, melainkan pada kehendak Allah. Makhluk yang paling lemah dan tidak berbahaya di mata manusia bisa menjadi agen kehancuran yang paling efektif jika Allah menghendaki. Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi mereka yang menyombongkan kekuatan fisik dan militer.
Burung-burung Ababil tidak datang tanpa "senjata." Mereka membawa "hijaratim min sijjil" (batu-batu dari tanah liat yang dibakar). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa batu sijjil ini adalah batu yang sangat panas dan keras, menyerupai batu bata atau tembikar yang dipanaskan di neraka. Kekuatannya luar biasa, meskipun ukurannya kecil.
Dikisahkan bahwa setiap batu itu bertuliskan nama orang yang akan menjadi korbannya. Ketika batu itu mengenai kepala seseorang, ia akan menembus hingga ke kaki, menyebabkan tubuh hancur dan berbau busuk. Ini bukan sekadar batu biasa, melainkan batu yang dianugerahi kekuatan supranatural oleh Allah SWT. Ini adalah bentuk hukuman yang sangat spesifik dan personal, menunjukkan betapa Allah mengetahui dan mengadili setiap individu.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada kisah kaum Luth, yang juga dihancurkan dengan batu-batu sijjil, menunjukkan pola hukuman Allah terhadap kaum yang melampaui batas dan berbuat kezaliman.
Ayat terakhir ini memberikan gambaran yang sangat jelas dan mengerikan tentang nasib pasukan Abrahah. "Fa ja'alahum ka'aแนฃfim ma'kลซl" berarti "Maka Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." "Ashf" adalah daun atau jerami kering sisa makanan ternak, yang sudah rapuh, hancur, dan tidak berharga.
Bayangkan sehelai daun yang telah dimakan ulat: ia bolong-bolong, kering, dan mudah hancur ketika disentuh. Ini adalah gambaran kondisi tubuh pasukan Abrahah. Daging mereka hancur, tulang-tulang mereka terpisah, dan mereka mati dalam keadaan yang sangat hina dan mengerikan. Bau busuk mayat mereka menyebar di sekitar Makkah, menjadi saksi bisu akan kekuasaan Allah dan konsekuensi dari kesombongan serta niat jahat.
Perumpamaan ini menekankan kehancuran yang total dan merendahkan. Dari pasukan yang gagah perkasa dengan gajah-gajah raksasa, mereka direduksi menjadi sampah yang tak berguna, menunjukkan bahwa segala kekuatan dan kebesaran hanyalah sementara di hadapan keagungan Allah SWT.
Kisah Ashabul Fiil dan Surah Al-Fil bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan mengandung banyak pelajaran berharga yang relevan sepanjang masa:
Ini adalah pelajaran paling fundamental. Surah ini secara gamblang menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada kekuatan, baik manusia maupun alam, yang dapat menandingi atau menghalangi kehendak-Nya. Pasukan Abrahah adalah lambang kekuatan militer dan teknologi tertinggi pada masanya, namun Allah menghancurkannya dengan cara yang paling sederhana dan tak terduga.
Kekuasaan ini tidak hanya terlihat dari kehancuran pasukan, tetapi juga dari keengganan gajah untuk bergerak menuju Ka'bah, seolah-olah mereka merasakan keagungan Rumah Allah dan tunduk pada perintah Ilahi. Ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta, baik yang berakal maupun tidak, tunduk pada kehendak-Nya.
Peristiwa ini terjadi untuk melindungi Ka'bah, Rumah Allah yang pertama kali dibangun untuk menyembah-Nya. Ini adalah bukti bahwa Allah akan senantiasa menjaga dan melindungi simbol-simbol kesucian agama-Nya dari setiap upaya perusakan atau penistaan. Meskipun Ka'bah saat itu dihuni oleh berhala-berhala, esensinya sebagai rumah suci yang didirikan oleh Nabi Ibrahim AS tetap terjaga oleh Allah.
Pelajaran ini meluas hingga kini: umat Islam harus percaya bahwa Allah akan selalu melindungi agama-Nya dan orang-orang yang berjuang di jalan-Nya, meskipun terkadang dengan cara yang tidak terduga oleh akal manusia. Ini menanamkan optimisme dan keyakinan dalam hati orang beriman.
Kisah Abrahah adalah peringatan keras bagi setiap penguasa, individu, atau kelompok yang bertindak zalim, sombong, dan menantang kehendak Allah. Abrahah adalah simbol keangkuhan dan niat jahat yang berujung pada kehancuran total. Allah tidak menyukai kesombongan dan kezaliman, dan Dia memiliki cara-cara tersendiri untuk menghukum pelakunya.
Sejarah Islam dan Al-Qur'an penuh dengan kisah-kisah kaum terdahulu yang dihancurkan karena kesombongan, penentangan terhadap kebenaran, dan kezaliman mereka (seperti kaum Aad, Tsamud, Fir'aun, dll.). Kisah Ashabul Fiil mempertegas pola ilahi ini: kehancuran adalah balasan bagi mereka yang melampaui batas.
Meskipun memiliki pasukan yang besar dan gajah-gajah perang, Abrahah dan tentaranya terbukti sangat lemah di hadapan kekuatan Allah. Mereka dihancurkan oleh burung-burung kecil dan batu-batu mungil. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah menyombongkan kekuatan, kekayaan, kedudukan, atau segala bentuk kelebihan yang kita miliki, karena semuanya hanyalah titipan dari Allah. Kekuatan sejati hanyalah milik-Nya.
Manusia, dengan segala kecerdasan dan teknologinya, tetaplah makhluk yang lemah dan terbatas. Pengakuan akan kelemahan diri di hadapan Allah adalah kunci menuju kerendahan hati dan ketundukan yang sejati.
Sikap Abdul Muththalib yang mengatakan, "Aku adalah pemilik unta-unta ini, dan Ka'bah memiliki pemiliknya sendiri yang akan melindunginya," adalah teladan sempurna dari tawakal (berserah diri) kepada Allah. Ketika dihadapkan pada ancaman yang jauh melampaui kemampuan manusia untuk menghadapinya, satu-satunya jalan adalah berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Ini adalah esensi iman.
Kisah ini mengajarkan bahwa ketika kita menghadapi tantangan atau ancaman yang tampaknya tak teratasi, kita harus bergantung sepenuhnya pada Allah, meyakini bahwa Dia memiliki cara-cara yang tak terduga untuk menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.
Peristiwa Ashabul Fiil terjadi hanya beberapa waktu sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, bahkan menjadi penanda tahun kelahirannya. Ini bukan kebetulan. Ini adalah semacam "pembuka tirai" atau "prolog" yang menunjukkan bahwa Allah sedang menyiapkan panggung untuk kedatangan Rasul terakhir-Nya. Kehancuran pasukan Abrahah yang hendak merusak Ka'bah, simbol tauhid kuno, adalah tanda bahwa era baru akan segera tiba, di mana tauhid akan kembali ditegakkan sepenuhnya melalui Nabi Muhammad SAW.
Ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan Surah Al-Fil kepada kaum Quraisy yang masih hidup atau anak cucu dari saksi mata peristiwa itu, mereka tidak dapat menyangkalnya. Ini memperkuat kredibilitas kenabian beliau dan kebenaran wahyu yang dibawanya.
Surah ini dengan jelas menunjukkan bahwa Allah dapat menggunakan apa saja, bahkan makhluk yang paling kecil dan dianggap remeh seperti burung, untuk menjalankan kehendak-Nya yang maha besar. Ini adalah pengingat bahwa kita tidak boleh meremehkan siapa pun atau apa pun, karena setiap ciptaan memiliki potensi untuk menjadi alat dalam rencana Allah.
Ini juga mengajarkan kita tentang kerendahan hati: terkadang, solusi atau pertolongan datang dari arah yang paling tidak kita duga, melalui sebab-sebab yang paling sederhana, menunjukkan bahwa kekuatan bukan pada sebabnya, melainkan pada Dzat yang mengizinkannya.
Al-Qur'an seringkali menceritakan kisah-kisah umat terdahulu sebagai 'ibrah (pelajaran) bagi kita. Kisah Ashabul Fiil adalah salah satu contoh nyata. Dengan merenungkan kejadian ini, kita diingatkan tentang pola-pola ilahi dalam sejarah: bagaimana Allah memuliakan orang yang bertakwa dan merendahkan orang yang sombong. Sejarah bukanlah deretan peristiwa yang berlalu begitu saja, melainkan gudang hikmah dan pelajaran bagi orang-orang yang mau berpikir.
Meskipun kisah Ashabul Fiil terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dan hikmahnya tetap sangat relevan bagi kehidupan kita di era modern. Dunia saat ini masih dipenuhi dengan konflik, kesombongan, dan upaya untuk mendominasi orang lain dengan kekuatan materi:
Di masa kini, ada banyak pihak yang mencoba merusak kesucian agama atau nilai-nilai spiritual, bukan lagi dengan menghancurkan bangunan fisik, tetapi dengan merusak akhlak, menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan fitrah, atau menodai kehormatan para ulama dan simbol-simbol keagamaan. Surah Al-Fil mengingatkan kita bahwa Allah akan selalu menjaga agama-Nya, dan meskipun bentuk serangannya berbeda, respons ilahi untuk melindunginya tetap ada.
Sikap Abrahah adalah cerminan dari kesombongan kekuasaan, kezaliman, dan arogansi yang masih sering kita lihat di dunia ini. Banyak penguasa, korporasi, atau bahkan individu yang merasa diri kuat dan berhak menindas pihak yang lebih lemah. Surah Al-Fil adalah pengingat bahwa semua kekuatan itu fana, dan pada akhirnya, kezaliman akan dihancurkan oleh keadilan Allah. Ini memberikan harapan bagi kaum tertindas dan peringatan bagi para penindas.
Abrahah mengandalkan gajah dan pasukan militer yang besar. Abdul Muththalib mengandalkan Allah. Pada akhirnya, kekuatan spiritual yang didasari tawakal kepada Allah-lah yang memenangkan pertarungan. Ini mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi tantangan hidup, kekuatan iman dan hubungan kita dengan Allah jauh lebih penting daripada sekadar mengandalkan materi, harta, atau jabatan.
Dalam dunia yang serba materialistis ini, Surah Al-Fil menjadi penyeimbang yang mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam ilusi kekuatan duniawi semata. Pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tidak terduga, asalkan hati kita senantiasa tertaut kepada-Nya.
Kisah ini juga mengajarkan pentingnya konsistensi dalam menjaga kebenaran, meskipun dalam kondisi minoritas atau terancam. Ka'bah adalah simbol tauhid yang saat itu mungkin telah "terkontaminasi" oleh berhala, namun esensinya sebagai rumah suci tetap terjaga di mata Allah dan bagi segelintir orang yang beriman. Ini memotivasi kita untuk tetap teguh pada kebenaran dan nilai-nilai Islam, meskipun arus dunia mencoba menarik kita ke arah lain.
Bagi orang-orang beriman yang mungkin merasa kecil dan tidak berdaya di hadapan kekuatan-kekuatan zalim di dunia, Surah Al-Fil membawa pesan optimisme dan harapan. Allah tidak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya yang benar. Jika Ka'bah yang saat itu masih 'tercemar' berhala saja dilindungi-Nya dengan mukjizat, apalagi kaum mukminin yang berusaha menegakkan agama-Nya dengan tulus. Pertolongan Allah itu nyata, dan seringkali datang dalam bentuk yang tak terbayangkan.
Selain makna historis dan spiritualnya, Surah Al-Fil juga kaya akan keindahan linguistik dan kekuatan retorika yang patut dikagumi:
Pembukaan dengan "Alam Tara Kaifa Fa'ala Rabbuka" adalah gaya retoris yang sangat efektif. Ia langsung menarik perhatian pendengar, membangkitkan ingatan mereka akan peristiwa yang masyhur, dan menegaskan bahwa kejadian itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Pertanyaan ini seolah menantang siapa pun untuk menyangkal kebenaran yang sudah ada di depan mata mereka.
Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, Surah Al-Fil mampu menceritakan sebuah kisah yang kompleks dengan detail yang cukup, membangkitkan emosi, dan menyampaikan pesan yang mendalam. Keringkasan ini adalah salah satu ciri khas Al-Qur'an, di mana setiap kata memiliki bobot dan makna yang besar.
Pengulangan kata "Rabbuka" menunjukkan hubungan yang erat antara Allah dengan Rasul-Nya, dan secara tidak langsung, dengan umat Islam. Ini bukan hanya Tuhan alam semesta, tetapi juga Tuhan yang secara pribadi menjaga dan memelihara hamba-Nya serta rumah-Nya.
Membaca dan merenungi Surah Al-Fil tidak hanya menambah pengetahuan kita tentang sejarah Islam, tetapi juga memberikan banyak manfaat spiritual:
Kisah "Alam Tara Kaifa Fa'ala Rabbuka Bi Ashabil Fiil?" dan seluruh Surah Al-Fil adalah narasi yang luar biasa tentang kekuasaan ilahi yang tak terbatas. Ia bukan hanya cerita sejarah tentang kehancuran pasukan bergajah, tetapi juga sebuah deklarasi abadi tentang kebesaran Allah SWT, penjagaan-Nya terhadap rumah suci-Nya, dan kehinaan bagi siapa pun yang berani menentang-Nya dengan kesombongan dan kezaliman.
Melalui burung-burung kecil Ababil dan batu-batu sijjil yang sederhana, Allah SWT menunjukkan bahwa Dia tidak membutuhkan kekuatan fisik yang setara untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya. Dia mampu mengubah skenario yang paling menakutkan menjadi sebuah mukjizat yang menginspirasi, dan kekuatan terbesar sekalipun menjadi "daun-daun yang dimakan ulat."
Pelajaran dari Surah Al-Fil sangat relevan bagi kita di setiap zaman: untuk tidak pernah meremehkan kekuatan Allah, untuk senantiasa berserah diri kepada-Nya, dan untuk selalu menjauhi sifat angkuh dan zalim. Semoga kita senantiasa mengambil hikmah dari setiap firman-Nya, dan memperkuat iman serta ketakwaan kita dalam menghadapi setiap tantangan hidup.
Sungguh, pertanyaan "Tidakkah engkau melihat bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?" adalah seruan yang menggugah untuk merenungkan kebesaran Sang Pencipta, yang selalu hadir dan berkuasa atas segala sesuatu.