Surah Al-Lail, salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang diturunkan di Mekah, memiliki makna yang sangat mendalam dan penuh pelajaran bagi umat manusia. Dinamakan "Al-Lail" yang berarti "Malam", surah ini menggambarkan kontras yang tajam antara berbagai jenis manusia dan jalan hidup yang mereka pilih, serta konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut di akhirat. Fokus utama surah ini adalah perbandingan antara mereka yang murah hati, bertakwa, dan percaya kebenaran, dengan mereka yang kikir, sombong, dan mendustakan. Di tengah-tengah penjelasan yang begitu kaya ini, terdapat satu ayat yang menjadi inti dari pembahasan tentang kedermawanan yang tulus dan tujuan di baliknya, yaitu Al-Lail Ayat 18.
Ayat ke-18 dari Surah Al-Lail ini secara khusus menyoroti sifat mulia dari seorang hamba Allah yang menginfakkan hartanya demi membersihkan diri dan hanya mengharapkan keridaan dari Rabb-nya Yang Mahatinggi. Ayat ini tidak hanya menjelaskan tindakan memberi, tetapi juga menyelami motivasi di baliknya, yang merupakan kunci utama penerimaan amal di sisi Allah SWT. Artikel ini akan mengupas tuntas makna, tafsir, hikmah, serta implikasi praktis dari Al-Lail Ayat 18 dalam kehidupan seorang Muslim, agar kita semua dapat memahami dan mengamalkan ajaran mulia ini dalam setiap sendi kehidupan.
Dengan memahami Al-Lail Ayat 18 secara komprehensif, kita akan diajak untuk merenungkan kembali esensi dari harta yang kita miliki, tujuan hidup kita di dunia, serta bagaimana kita dapat meraih kebahagiaan sejati dan balasan terbaik di akhirat kelak. Mari kita selami lebih dalam lautan hikmah yang terkandung dalam firman Allah yang agung ini.
Sebelum kita menggali lebih jauh makna ayat ini, mari kita perhatikan terlebih dahulu bunyi lengkap dari Surah Al-Lail Ayat 18:
(yaitu) orang yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya).
Dalam transliterasi Latin, ayat ini berbunyi: Alladzī yu'tī mālahū yatazakkā.
Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang dua golongan manusia yang berbeda. Ayat 5-7 menjelaskan tentang golongan yang memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, yang akan dimudahkan jalannya menuju kemudahan (surga). Sementara ayat 8-10 berbicara tentang golongan yang kikir, merasa serba cukup, dan mendustakan kebaikan, yang akan dimudahkan jalannya menuju kesulitan (neraka). Ayat 18 ini, bersama ayat 19-21, memberikan gambaran yang lebih detail tentang ciri khas golongan pertama, yaitu mereka yang ikhlas dalam berinfak.
Untuk memahami kedalaman Ayat 18, kita harus terlebih dahulu menyelami konteks Surah Al-Lail secara keseluruhan. Surah ini dimulai dengan sumpah Allah SWT atas beberapa tanda-tanda kebesaran-Nya: malam ketika menutupi (siang), siang ketika terang-benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sumpah-sumpah ini bukanlah tanpa tujuan; ia mengantarkan pada inti pesan surah, yaitu bahwa sesungguhnya usaha manusia itu bermacam-macam.
Surah ini secara tegas membagi manusia menjadi dua golongan utama berdasarkan amal dan niat mereka:
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Ayat ini menggambarkan karakteristik orang yang berinfak dengan tulus, bertakwa kepada Allah, dan membenarkan adanya balasan terbaik (yaitu surga) serta kebenaran ajaran Islam. Bagi mereka, Allah menjanjikan kemudahan dalam segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.
Sebaliknya, golongan ini dicirikan oleh sifat kikir, merasa tidak membutuhkan pertolongan Allah (merasa cukup dengan hartanya), dan mendustakan kebaikan serta janji pahala dari Allah. Bagi mereka, Allah akan memudahkan jalannya menuju kesulitan, yaitu kesengsaraan di dunia dan azab di akhirat.
Ayat 18 kemudian berfungsi sebagai penjelas dan penguat dari karakteristik golongan pertama, memberikan detail spesifik tentang motivasi di balik tindakan memberi yang paling utama. Ini menekankan bahwa bukan hanya tindakan memberi itu sendiri yang penting, tetapi juga niat dan tujuan di baliknya.
Surah Al-Lail secara keseluruhan, dan khususnya Ayat 18, menyoroti bahwa amal perbuatan tidak akan bernilai di sisi Allah kecuali jika dilandasi niat yang benar. Kedermawanan yang sejati bukanlah tentang pamer, mencari pujian manusia, atau mengharapkan imbalan materi di dunia. Melainkan, ia adalah manifestasi dari ketakwaan, kepercayaan akan hari akhir, dan keinginan kuat untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Kontras yang disampaikan surah ini sangat kuat: satu jalan menuju kemudahan, kemuliaan, dan kebahagiaan abadi; jalan lainnya menuju kesulitan, kehinaan, dan penderitaan kekal. Pilihan ada di tangan manusia, dan Al-Lail Ayat 18 menunjukkan salah satu pilar utama menuju jalan kemudahan tersebut: infak dengan niat membersihkan diri dan mencari keridaan Allah semata.
Dengan demikian, Al-Lail Ayat 18 tidak bisa dilepaskan dari narasi besar Surah Al-Lail yang mengajarkan tentang pentingnya memilih jalan kebaikan, bertakwa, dan mempercayai janji-janji Allah, yang semuanya akan dimudahkan bagi pelakunya. Ayat ini merupakan sebuah mercusuar yang menuntun kita pada esensi ibadah harta, yakni penyucian diri dan pencapaian rida Ilahi.
Mari kita bedah setiap frasa dalam Al-Lail Ayat 18 (ٱلَّذِى يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ) untuk memahami kedalaman maknanya.
Frasa ini secara harfiah berarti "orang yang memberikan hartanya". Ini merujuk pada tindakan kedermawanan, infak, atau sedekah. Namun, kata يُؤْتِى (yu'tī) tidak hanya berarti "memberi" secara pasif, tetapi juga "menyerahkan" atau "menyisihkan" dengan tujuan tertentu. Ini menunjukkan kesadaran dan kehendak dari si pemberi.
Kata kunci dalam ayat ini adalah يَتَزَكَّىٰ (yatazakkā), yang berasal dari akar kata زَكَا (zakā) yang berarti tumbuh, bertambah, bersih, suci, baik. Dalam konteks ini, ia memiliki beberapa dimensi makna yang saling terkait:
Infak yang tulus berfungsi sebagai penebus dosa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti kikir, tamak, dan cinta dunia yang berlebihan. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah Ayat 103:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama dari pengambilan zakat (yang merupakan bagian dari infak wajib) adalah untuk membersihkan dan menyucikan jiwa. Demikian pula, infak sunnah dengan niat yang benar memiliki efek pembersihan spiritual yang sama.
Infak juga berfungsi membersihkan harta yang dimiliki. Dengan mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah, harta yang tersisa menjadi lebih berkah, terhindar dari hak-hak orang lain yang mungkin tanpa sadar tercampur di dalamnya, dan dilindungi dari bahaya. Harta yang tidak dibersihkan dengan zakat atau infak cenderung tidak berkah dan bisa menjadi sumber malapetaka.
Kata يَتَزَكَّىٰ juga mengandung makna "tumbuh" atau "berkembang". Infak yang dilakukan dengan ikhlas tidak akan mengurangi harta, melainkan justru akan melipatgandakan pahala di sisi Allah, sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah Ayat 276:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Ini menunjukkan bahwa infak adalah investasi yang tidak akan pernah merugi, justru akan terus tumbuh dan berlipat ganda pahalanya hingga hari kiamat.
Tafsir lain dari يَتَزَكَّىٰ adalah bahwa orang tersebut berinfak dengan tujuan membersihkan hatinya dari selain Allah, semata-mata mencari keridaan-Nya. Ini adalah niat tertinggi dalam beramal. Infak bukan untuk mendapatkan pujian manusia, bukan untuk tujuan duniawi, tetapi murni untuk Allah. Ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam ayat berikutnya (Ayat 19-21) yang meskipun tidak secara eksplisit diungkapkan dalam Ayat 18, namun merupakan bagian dari rangkaian makna yang saling terkait dalam konteks Surah Al-Lail.
Para mufassir seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan Ath-Thabari sepakat bahwa makna يَتَزَكَّىٰ di sini mencakup pembersihan diri dari dosa, kesucian hati, pertumbuhan amal, dan upaya meraih pahala serta keridaan Allah. Ini bukan tentang membersihkan diri dari utang atau kewajiban duniawi, tetapi dari noda-noda spiritual dan moral.
Meskipun pertanyaan hanya meminta penjelasan Ayat 18, tidak mungkin memahami kedalaman يَتَزَكَّىٰ tanpa melihat kelanjutannya dalam Surah Al-Lail, yang secara langsung menjelaskan motivasi dari tindakan membersihkan diri ini:
Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, melainkan (dia memberikan itu) hanya karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi, dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa orang yang menginfakkan hartanya يَتَزَكَّىٰ (membersihkan diri) adalah mereka yang tidak memiliki utang budi kepada siapa pun yang ia berikan harta, sehingga tidak ada motivasi untuk membalas kebaikan orang lain. Motivasi tunggalnya adalah إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ (kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi).
Dengan demikian, Al-Lail Ayat 18 menjadi gerbang awal untuk memahami kualitas infak yang sebenarnya. Infak bukan sekadar mengeluarkan harta, tetapi adalah sebuah proses penyucian diri yang dilandasi niat murni mencari wajah Allah, yang pada akhirnya akan menghasilkan kepuasan abadi.
Al-Lail Ayat 18 adalah salah satu ayat kunci yang membentuk pemahaman kita tentang infak dan sedekah dalam Islam. Ayat ini tidak hanya mendorong tindakan memberi, tetapi juga menggarisbawahi fondasi spiritual dan moral yang harus menyertainya.
Dalam Islam, infak dan sedekah bukan sekadar tindakan sosial atau filantropi, melainkan ibadah yang memiliki dimensi spiritual yang sangat dalam. Sebagaimana shalat, puasa, dan haji, infak adalah salah satu rukun ibadah yang menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada penciptanya. Dengan berinfak, seorang Muslim menunjukkan pengakuan bahwa segala harta yang dimilikinya adalah karunia dari Allah, dan sebagian darinya adalah hak orang lain yang diwajibkan oleh-Nya.
Meskipun sering digunakan secara bergantian, terdapat perbedaan nuansa antara zakat, infak, dan sedekah:
Al-Lail Ayat 18 dengan frasa يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ mengacu pada segala bentuk pemberian harta yang bertujuan untuk membersihkan diri, baik itu zakat maupun infak dan sedekah sunnah. Yang terpenting adalah niat untuk mencapai تَزَكِّي (purifikasi) spiritual.
Ayat ini, khususnya jika dilihat dengan ayat berikutnya, menggarisbawahi bahwa motivasi utama dalam berinfak haruslah إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ (hanya karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi). Ikhlas adalah fondasi dari setiap amal ibadah dalam Islam. Tanpa keikhlasan, amal sebesar apapun bisa menjadi sia-sia di mata Allah. Infak yang tulus bukanlah untuk:
Melainkan, infak adalah ekspresi cinta seorang hamba kepada Allah, harapan akan pahala-Nya, dan ketakutan akan azab-Nya. Ini adalah bukti nyata keimanan seseorang terhadap hari akhir dan janji-janji Allah.
Infak yang dilandasi niat يَتَزَكَّىٰ dan ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ memiliki banyak manfaat, baik bagi individu maupun masyarakat:
Dengan demikian, Al-Lail Ayat 18 bukan sekadar anjuran untuk memberi, melainkan sebuah seruan untuk melakukan revolusi spiritual dalam diri, menjadikan harta sebagai sarana untuk mencapai kesucian jiwa dan keridaan Ilahi, serta meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Al-Lail Ayat 18 menyimpan segudang hikmah dan pelajaran yang sangat relevan bagi kehidupan seorang Muslim. Ayat ini mengajak kita untuk merenung dan mengoreksi kembali tujuan serta cara kita berinteraksi dengan harta benda.
Ayat ini mengajarkan bahwa seorang mukmin sejati menjadikan akhirat sebagai prioritas utamanya. Ketika seseorang berinfak dengan niat يَتَزَكَّىٰ (membersihkan diri) dan ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ (mencari keridaan Allah), itu menunjukkan bahwa ia tidak terpedaya oleh gemerlap dunia. Ia memahami bahwa harta adalah fana, dan investasi terbaik adalah yang ditanam untuk kehidupan setelah kematian. Ini adalah perwujudan dari firman Allah:
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-An'am: 32)
Dengan berinfak secara ikhlas, seseorang melepaskan keterikatan pada dunia dan mengalihkan fokusnya pada persiapan untuk hari perhitungan.
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah tentang keikhlasan. Tanpa niat yang murni karena Allah, infak sebesar apapun bisa menjadi amal yang sia-sia di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Lail Ayat 18 dan ayat-ayat selanjutnya menjadi penegasan Al-Qur'an terhadap prinsip ini. Seorang hamba yang sejati tidak berinfak untuk dipuji, disebut dermawan, atau mengharapkan balasan dari manusia. Ia hanya berharap agar amalnya diterima di sisi Allah dan menjadi bekal untuk menyelamatkan dirinya di akhirat.
Ayat ini secara implisit mengingatkan kita bahwa harta yang kita miliki adalah amanah dari Allah. Kita adalah pengelola, bukan pemilik mutlak. Konsep يُؤْتِى مَالَهُۥ (memberikan hartanya) menunjukkan bahwa kita memiliki kebebasan untuk mengelola amanah ini, namun dengan tanggung jawab. Infak adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban kita atas amanah tersebut. Dengan menginfakkan harta, kita mengakui kekuasaan Allah dan kepemilikan-Nya atas segala sesuatu, termasuk harta yang ada di tangan kita.
Ayat 18 ini datang setelah Allah mengkritik keras orang-orang yang kikir dan merasa cukup (ayat 8-10). Ini menunjukkan bahwa infak yang tulus adalah penawar terbaik untuk penyakit hati berupa kekikiran. Sifat kikir adalah penyakit yang dapat merusak jiwa, mengotori hati, dan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Dengan membiasakan diri berinfak, seseorang melatih jiwanya untuk menjadi dermawan, peduli, dan berbagi, yang merupakan sifat-sifat mulia dalam Islam. Proses تَزَكِّي (pembersihan diri) melalui infak ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan kecintaan berlebihan terhadap dunia.
Meskipun Ayat 18 itu sendiri berfokus pada tindakan dan niat, kelanjutannya dalam Ayat 21 menjanjikan وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ (dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan). Ini adalah janji yang sangat kuat dari Allah SWT. Kepuasan di sini bukan hanya tentang kenikmatan surga, tetapi yang lebih utama adalah keridaan Allah atas hamba-Nya. Ketika Allah ridha, maka segala urusan menjadi mudah, hati menjadi tenang, dan kebahagiaan menjadi sempurna. Ini adalah motivasi tertinggi bagi seorang mukmin untuk beramal kebaikan.
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan harta sepenuhnya, tetapi mengajarkan cara mengelolanya agar menjadi sarana peningkatan spiritualitas. Harta bisa menjadi fitnah (ujian) atau berkah, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Infak adalah cara mengubah harta dari potensi fitnah menjadi sumber pahala dan pembersih jiwa.
Praktik infak yang konsisten dengan niat tulus akan membentuk karakter seorang Muslim menjadi pribadi yang peduli, empati, tidak egois, bersyukur, dan selalu mengingat Allah. Ini adalah fondasi akhlak mulia yang diajarkan Islam. Dengan demikian, Al-Lail Ayat 18 adalah panduan komprehensif untuk mencapai kesempurnaan moral dan spiritual melalui pengelolaan harta.
Secara keseluruhan, hikmah dari Al-Lail Ayat 18 adalah ajakan untuk memahami bahwa infak bukan sekadar memberi, tetapi adalah investasi spiritual yang menguntungkan di dunia dan akhirat. Ia adalah proses penyucian diri, penguatan iman, dan pengejaran keridaan Allah semata, yang akan berujung pada kebahagiaan abadi.
Surah Al-Lail adalah surah yang kuat dalam menyajikan dualisme. Ayat 18, yang menjelaskan karakteristik golongan yang memberi dan membersihkan diri, menjadi sangat bermakna ketika dibandingkan dengan golongan yang berkebalikan, yaitu golongan yang kikir dan mendustakan kebaikan. Perbandingan ini bukanlah untuk menghakimi, melainkan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang konsekuensi dari pilihan hidup yang berbeda.
Ciri-ciri golongan ini, dengan fokus pada Ayat 18-21:
Sebaliknya, Surah Al-Lail juga menggambarkan golongan yang lain:
Perbandingan ini menunjukkan pesan yang sangat kuat dan jelas:
Al-Lail Ayat 18, oleh karena itu, bukan hanya sebuah deskripsi, tetapi sebuah ajakan. Ia memanggil kita untuk menimbang diri, ke arah mana kita sedang berjalan, dan memastikan bahwa kita termasuk dalam golongan yang berinfak dengan niat membersihkan diri, semata-mata mencari keridaan Allah, agar dimudahkan jalan kita menuju kemudahan dan kepuasan abadi.
Ayat 18 Surah Al-Lail tidak hanya teori, tetapi telah banyak diwujudkan dalam praktik oleh para Muslim sepanjang sejarah, terutama oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi Muhammad SAW. Kisah-kisah mereka menjadi teladan nyata bagaimana prinsip "menginfakkan harta untuk membersihkan diri" diimplementasikan dalam kehidupan.
Salah satu contoh paling fenomenal dari kedermawanan yang total dan niat yang sangat bersih adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa riwayat yang menceritakan bagaimana Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya demi Islam.
Salah satu kisah yang paling terkenal adalah ketika Nabi SAW menganjurkan para sahabat untuk berinfak dalam persiapan Perang Tabuk. Umar bin Khattab saat itu berniat untuk mengungguli Abu Bakar dalam berinfak. Umar membawa setengah dari hartanya dan bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?" Umar menjawab, "Aku tinggalkan setengahnya untuk mereka." Kemudian datanglah Abu Bakar, dan ketika ditanya hal yang sama, ia menjawab, "Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya." Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya, dan hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya sebagai penopang bagi keluarganya.
Tindakan Abu Bakar ini adalah manifestasi sempurna dari يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ dan إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ. Tidak ada sedikit pun keraguan atau keinginan untuk mendapatkan pujian manusia. Motivasi beliau murni untuk mencari keridaan Allah dan mendukung agama-Nya. Karena keikhlasan dan kedermawanan luar biasa inilah, Abu Bakar mendapatkan gelar Ash-Shiddiq, "Yang Membenarkan," karena ia selalu membenarkan Rasulullah SAW dalam setiap aspek, termasuk dalam perintah berinfak.
Utsman bin Affan, khalifah ketiga dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, juga dikenal sebagai "Dzun Nurain" (Pemilik Dua Cahaya) dan seorang yang sangat dermawan. Kekayaannya yang melimpah selalu digunakan untuk kepentingan umat Islam.
Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam persiapan Perang Tabuk, sama seperti kisah Abu Bakar. Ketika pasukan Muslim menghadapi kesulitan logistik dan perlengkapan, Utsman menyumbangkan 300 unta lengkap dengan pelana dan perlengkapannya, serta 1.000 dinar emas. Riwayat lain menyebutkan beliau menyumbang hingga sepertiga dari total kebutuhan pasukan. Rasulullah SAW mendoakan beliau dengan sabdanya: "Tidak akan membahayakan Utsman apa yang ia perbuat setelah hari ini." Ini menunjukkan betapa besar nilai infak Utsman di sisi Allah.
Kisah lainnya adalah ketika kaum Muslimin di Madinah kesulitan air. Satu-satunya sumber air tawar adalah sumur Raumah, yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan dijual mahal. Utsman membeli sumur tersebut dengan harga yang sangat tinggi (ada yang menyebut 35.000 dirham) dan mewakafkannya untuk kaum Muslimin agar bisa diakses secara gratis. Infak ini adalah contoh nyata bagaimana harta digunakan untuk membersihkan diri dan masyarakat, serta mencari wajah Allah, karena manfaatnya terus mengalir hingga hari ini.
Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat yang kaya raya. Namun, kekayaan tidak membuatnya lupa akan kewajiban kepada Allah. Sejak awal masuk Islam, ia selalu menggunakan hartanya untuk membantu kaum Muslimin.
Ia dikenal sering menyumbangkan karavan dagangnya untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Bahkan, menjelang wafatnya, ia meninggalkan wasiat yang besar untuk para janda Nabi SAW dan kaum Muslimin secara umum. Kekayaannya justru menjadi jalan baginya untuk meraih pahala yang besar, bukan menjerumuskannya pada kesombongan.
Yang menarik dari Abdurrahman bin Auf adalah bagaimana ia menyeimbangkan antara menjadi pedagang sukses yang cerdas dan seorang mukmin yang sangat dermawan. Hartanya selalu berputar dalam bisnis, namun sebagian darinya selalu disisihkan untuk infak, membersihkan diri dan hartanya.
Dalam sebuah khutbah Idul Fitri atau Idul Adha, Rasulullah SAW pernah mengajak para wanita untuk bersedekah. Saat itu, Bilal bin Rabah meletakkan kain di hadapan Nabi, dan para wanita mulai melemparkan anting-anting, kalung, dan cincin mereka ke atas kain tersebut. Mereka berinfak tanpa ragu, bahkan perhiasan yang sangat mereka cintai, demi mencari keridaan Allah.
Kisah ini menunjukkan bahwa infak yang tulus tidak terbatas pada laki-laki atau orang-orang kaya saja. Setiap Muslim, dari segala lapisan masyarakat, memiliki kesempatan untuk membersihkan diri melalui kedermawanan, bahkan dengan apa yang paling mereka sayangi.
Kisah-kisah ini adalah bukti nyata dari makna Al-Lail Ayat 18:
Kisah-kisah teladan ini harus menjadi pemicu bagi kita untuk mengamalkan Al-Lail Ayat 18 dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan infak sebagai kebiasaan yang dilandasi niat tulus untuk meraih keridaan Allah SWT.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Lail Ayat 18—menginfakkan harta untuk membersihkan diri dan mencari keridaan Allah—tetap relevan dan dapat diimplementasikan secara konkret dalam kehidupan modern. Meskipun bentuk harta dan cara berinfak mungkin telah berubah seiring waktu, esensi dan niatnya tetap sama.
Implementasi pertama dan utama dari يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ adalah menunaikan zakat. Zakat adalah kewajiban yang telah Allah tetapkan untuk membersihkan harta dan jiwa. Dalam konteks modern, sistem pengelolaan zakat telah berkembang pesat dengan adanya lembaga amil zakat yang terpercaya. Seorang Muslim harus memastikan bahwa ia menghitung dan menunaikan zakatnya secara rutin, baik zakat mal, zakat profesi, maupun zakat fitrah.
Dengan menunaikan zakat, seseorang tidak hanya memenuhi rukun Islam, tetapi juga membersihkan hartanya dari hak-hak orang lain yang telah Allah tentukan, serta membersihkan dirinya dari sifat kekikiran dan keserakahan. Ini adalah langkah fundamental menuju تَزَكِّي (pembersihan diri).
Selain zakat yang wajib, seorang Muslim didorong untuk membiasakan diri berinfak dan bersedekah secara sukarela. Ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk:
Yang terpenting dari semua ini adalah niat. Setiap infak dan sedekah harus dilandasi niat murni untuk mencari keridaan Allah, tanpa mengharapkan balasan, pujian, atau pengakuan dari manusia. Ini adalah wujud nyata dari يَتَزَكَّىٰ.
Dalam masyarakat modern yang seringkali didorong oleh materialisme dan konsumerisme, ajaran Al-Lail Ayat 18 menjadi semakin penting. Harta seringkali menjadi ukuran kesuksesan dan sumber kebahagiaan. Namun, ayat ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati terletak pada keridaan Allah, yang dicapai melalui pemanfaatan harta di jalan-Nya.
Implementasinya adalah dengan melatih diri untuk tidak terlalu terikat pada harta benda. Tidak boros, tidak berlebihan dalam membeli barang-barang yang tidak perlu, dan menyadari bahwa setiap rupiah yang kita belanjakan akan dipertanggungjawabkan. Dengan mengurangi pengeluaran yang tidak esensial, kita bisa menyisihkan lebih banyak untuk infak, sehingga membersihkan diri dari sifat tamak dan cinta dunia yang berlebihan.
Di era modern, banyak lembaga infak dan sedekah yang beroperasi. Untuk memastikan bahwa infak kita benar-benar sampai kepada yang berhak dan digunakan sesuai syariat, penting bagi seorang Muslim untuk memilih lembaga yang transparan, akuntabel, dan memiliki rekam jejak yang baik. Ini juga merupakan bagian dari upaya membersihkan diri, karena kita berusaha memastikan bahwa amal kita dilakukan dengan cara yang terbaik.
Meskipun Al-Lail Ayat 18 secara eksplisit menyebut "harta" (mālahū), konsep تَزَكِّي (pembersihan diri) dapat diperluas ke bentuk-bentuk infak non-materi. Sedekah tidak hanya berupa uang, tetapi juga ilmu, tenaga, waktu, bahkan senyuman. Memberikan ilmu yang bermanfaat, meluangkan waktu untuk membantu orang lain, atau menggunakan kemampuan dan keahlian untuk kebaikan umat, semuanya adalah bentuk "infak" yang dapat membersihkan diri dan mendekatkan kepada Allah.
Contoh: Seorang profesional yang memberikan konsultasi gratis untuk yayasan nirlaba, seorang guru yang mengajar dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan duniawi yang besar, atau seorang pemuda yang menjadi relawan di kegiatan sosial.
Mengimplementasikan Al-Lail Ayat 18 secara luas juga berarti menyebarkan kesadaran tentang pentingnya infak dan keikhlasan. Mengedukasi keluarga, teman, dan masyarakat tentang makna mendalam ayat ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk berinfak dengan niat yang benar, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih dermawan dan peduli.
Pada akhirnya, implementasi Al-Lail Ayat 18 dalam kehidupan modern adalah tentang menciptakan kesadaran bahwa harta adalah alat, bukan tujuan. Alat untuk membersihkan diri, meraih keridaan Allah, dan membangun masyarakat yang lebih baik. Dengan niat yang lurus dan tindakan yang konsisten, setiap Muslim dapat menjadi bagian dari golongan yang dijanjikan kemudahan dan kepuasan abadi.
Surah Al-Lail Ayat 18 (ٱلَّذِى يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ) adalah permata berharga dalam Al-Qur'an yang menjelaskan esensi sejati dari kedermawanan dalam Islam. Ayat ini tidak hanya menganjurkan kita untuk berinfak atau bersedekah, tetapi yang lebih fundamental, ia menggarisbawahi motivasi dan tujuan di balik tindakan tersebut: yaitu untuk membersihkan diri (yatazakkā). Pembersihan diri di sini mencakup penyucian jiwa dari dosa, kekikiran, dan keterikatan dunia, sekaligus membersihkan harta dari hak-hak orang lain, serta menumbuhkan pahala di sisi Allah.
Ayat ini, yang merupakan bagian dari narasi besar Surah Al-Lail tentang dua golongan manusia yang kontras, memperjelas bahwa amal kebaikan yang sejati adalah yang dilandasi oleh niat yang tulus. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya (19-21), infak yang diterima di sisi Allah adalah yang dilakukan hanya karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi (illa ibtigha'a wajhi Rabbihil A'lā), tanpa mengharap balasan dari siapa pun di dunia. Bagi mereka yang mencapai tingkat keikhlasan ini, Allah menjanjikan balasan yang sempurna: mereka benar-benar akan mendapat kepuasan (walasawfa yardā), yaitu surga dan keridaan Allah yang merupakan puncak kebahagiaan abadi.
Pelajaran utama dari Al-Lail Ayat 18 adalah bahwa harta adalah amanah, dan bagaimana kita mengelolanya menentukan arah spiritual kita. Infak yang ikhlas adalah sarana transformatif untuk meraih ketenangan hati, keberkahan hidup, dan kebahagiaan di akhirat. Ia adalah penawar bagi sifat kikir, pembentuk karakter mulia, dan bukti nyata keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir.
Dalam konteks kehidupan modern, implementasi ayat ini menuntut kita untuk senantiasa menunaikan zakat, membiasakan diri berinfak dan bersedekah secara sunnah dengan niat yang murni, mengatasi godaan materialisme, serta menjadi teladan dalam kedermawanan. Kisah-kisah inspiratif dari para sahabat seperti Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf menjadi bukti konkret bahwa janji Allah itu benar dan dapat dicapai melalui pengorbanan harta di jalan-Nya.
Marilah kita jadikan Al-Lail Ayat 18 sebagai kompas dalam mengarungi kehidupan ini. Semoga setiap infak yang kita keluarkan, besar maupun kecil, senantiasa dilandasi niat untuk membersihkan diri dan meraih keridaan Allah SWT, sehingga kita termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang dimudahkan jalannya menuju kemudahan dan kepuasan abadi. Aamiin.