Surah Al-Kahfi: Cahaya di Tengah Ujian Kehidupan

Surah Al-Kahfi adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 110 ayat, dan termasuk golongan surah Makkiyah. Nama Al-Kahfi sendiri berarti "Gua", merujuk pada kisah sentral di dalamnya tentang Ashabul Kahfi, para pemuda yang tidur di gua selama berabad-abad. Surah ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam, terutama karena pesan-pesannya yang mendalam tentang keimanan, ujian hidup, kekuasaan Allah, dan perlindungan dari fitnah Dajjal.

Dalam riwayat hadis, Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk membaca Surah Al-Kahfi, khususnya pada hari Jumat. Keutamaan membaca surah ini pada hari Jumat antara lain adalah akan disinari cahaya antara dua Jumat, diampuni dosa-dosa antara dua Jumat, dan dilindungi dari fitnah Dajjal. Ini menunjukkan betapa pentingnya surah ini sebagai panduan dan pelindung bagi seorang Muslim di tengah berbagai cobaan dunia.

Surah Al-Kahfi secara umum membahas empat kisah utama yang sarat dengan pelajaran dan hikmah:

  1. Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua): Mengisahkan tentang sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari kekejaman raja zalim, lalu ditidurkan Allah di dalam gua selama 309 tahun. Kisah ini mengajarkan tentang kesabaran, keyakinan teguh, dan kekuasaan Allah yang Mahakuasa.
  2. Kisah Pemilik Dua Kebun: Menceritakan dua orang laki-laki, satu kaya raya namun sombong dan kufur nikmat, dan satu lagi miskin namun beriman dan bersyukur. Kisah ini menjadi peringatan akan bahaya kesombongan, kefanaan harta dunia, dan pentingnya bersyukur.
  3. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir: Sebuah perjalanan mencari ilmu dan hikmah yang mengajarkan tentang keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran dalam belajar, dan adanya hikmah tersembunyi di balik setiap peristiwa yang terjadi.
  4. Kisah Dzulqarnain: Menceritakan raja yang adil dan perkasa yang melakukan perjalanan ke berbagai penjuru bumi, membangun tembok penghalang untuk melindungi suatu kaum dari Ya'juj dan Ma'juj. Kisah ini menyoroti pentingnya kepemimpinan yang saleh, penggunaan kekuasaan untuk kebaikan, dan persiapan menghadapi hari akhir.

Keempat kisah ini, meskipun tampak terpisah, sebenarnya memiliki benang merah yang sama: menghadapi fitnah (ujian) dalam kehidupan. Fitnah dalam surah ini digambarkan dalam empat bentuk: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Pemilik Dua Kebun), fitnah ilmu (Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain). Kesemuanya relevan dengan fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu fitnah Dajjal.

Mari kita selami Surah Al-Kahfi ayat demi ayat, lengkap dengan teks Arab, latin, dan terjemahan bahasa Indonesianya, agar kita dapat mengambil pelajaran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ilustrasi Gua Surah Al-Kahfi Gambar sederhana gua batu dengan sedikit cahaya, melambangkan kisah Ashabul Kahfi.

Bacaan Surah Al-Kahfi (Lengkap 110 Ayat)

Pendahuluan dan Pujian Kepada Allah (Ayat 1-8)

Ayat-ayat awal ini mengagungkan Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk lurus tanpa kebengkokan, serta sebagai kabar gembira bagi orang-orang beriman dan peringatan bagi orang-orang kafir.

Ayat 1 اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۗ Al-ḥamdu lillāhillażī anzala ‘alā ‘abdihil-kitāba wa lam yaj‘al lahū ‘iwajā. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.
Ayat 2 قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًا ۙ Qayyimal liyunżira ba'san syadīdam mil ladunhu wa yubasysyiral-mu'minīnallażīna ya'malūnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik,
Ayat 3 مَّاكِثِيْنَ فِيْهِ اَبَدًا ۙ Mākiṡīna fīhi abadā. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Ayat 4 وَّيُنْذِرَ الَّذِيْنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰهُ وَلَدًا ۖ Wa yunżirallażīna qāluttakhażallāhu waladā. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."
Ayat 5 مَّا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ وَّلَا لِاٰبَاۤىِٕهِمْ ۗ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْ ۗ اِنْ يَّقُوْلُوْنَ اِلَّا كَذِبًا Mā lahum bihī min ‘ilmiw wa lā li'ābā'ihim. Kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim. In yaqūlūna illā każibā. Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan.
Ayat 6 فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا Fala‘allaka bākhi‘um nafsaka ‘alā āṡārihim il lam yu'minū bihāżal-ḥadīṡi asafā. Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati mengikuti di belakang mereka, jika mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).
Ayat 7 اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ۗ Innā ja‘alnā mā ‘alal-arḍi zīnatal lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu ‘amalā. Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.
Ayat 8 وَاِنَّا لَجَاعِلُوْنَ مَا عَلَيْهَا صَعِيْدًا جُرُزًا ۗ Wa innā lajā‘ilūna mā ‘alaihā ṣa‘īdan juruzā. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi gersang.

Ayat 7 dan 8 mengingatkan kita bahwa segala kemegahan dunia hanyalah perhiasan dan ujian. Dunia ini fana, dan pada akhirnya akan kembali menjadi tandus. Ini adalah fondasi penting untuk memahami kisah-kisah selanjutnya, yang semuanya terkait dengan ujian dan godaan duniawi.

Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua) (Ayat 9-26)

Inilah kisah yang memberikan nama surah ini. Kisah ini mengajarkan tentang iman yang teguh, keberanian dalam menghadapi penguasa zalim, dan kekuasaan Allah yang melampaui segala logika manusia.

Ayat 9 اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا Am ḥasibta anna aṣḥābal-kahfi war-raqīmi kānū min āyātinā ‘ajabā. Apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?
Ayat 10 اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا Iż awal-fityatu ilal-kahfi faqālū rabbanā ātina mil ladunka raḥmataw wa hayyi' lanā min amrinā rasyadā. (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, "Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)."

Ayat ini menunjukkan keteguhan iman para pemuda yang, meskipun dalam ketakutan, tetap memohon rahmat dan petunjuk kepada Allah, bukan kepada kekuatan duniawi.

Ayat 11 فَضَرَبْنَا عَلٰٓى اٰذَانِهِمْ فِى الْكَهْفِ سِنِيْنَ عَدَدًا ۙ Faḍarabnā ‘alā āżānihim fil-kahfi sinīna ‘adadā. Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama bertahun-tahun.
Ayat 12 ثُمَّ بَعَثْنٰهُمْ لِنَعْلَمَ اَيُّ الْحِزْبَيْنِ اَحْصٰى لِمَا لَبِثُوْٓا اَمَدًا ࣖ Summa ba‘aṡnāhum lina‘lama ayyul-ḥizbaini aḥṣā limā labiṡū amadā. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (di gua).

Allah menidurkan mereka dengan cara yang luar biasa, sebagai bukti kekuasaan-Nya dan agar mereka tidak menyadari waktu yang telah berlalu.

Ayat 13 نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّ ۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًى ۖ Naḥnu naquṣṣu ‘alaika naba'ahum bil-ḥaqq(i), innahum fityatun āmanū birabbihim wa zidnāhum hudā. Kamilah yang menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.
Ayat 14 وَرَبَطْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اِذْ قَامُوْا فَقَالُوْا رَبُّنَا رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَنْ نَّدْعُوَا۟ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلٰهًا لَّقَدْ قُلْنَآ اِذًا شَطَطًا Wa rabaṭnā ‘alā qulūbihim iż qāmū faqālū rabbunā rabbus-samāwāti wal-arḍi lan nad‘uwa min dūnihī ilāhal laqad qulnā iżan syaṭaṭā. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran."

Ini adalah inti dari keberanian Ashabul Kahfi: deklarasi tauhid yang jelas dan tegas di hadapan kekafiran. Allah menguatkan hati mereka untuk mengucapkan kebenaran, sekalipun menghadapi bahaya besar.

Ayat 15 هٰٓؤُلَاۤءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً ۗ لَوْلَا يَأْتُوْنَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطٰنٍۢ بَيِّنٍ ۗ فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا ۗ Hā'ulā'i qaumunattakhażū min dūnihī ālihah(tan), laulā ya'tūna ‘alaihim bisulṭānim bayyin(in), faman aẓlamu mimmaniftarā ‘alallāhi każibā. Kaum kami ini telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?
Ayat 16 وَاِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ فَأْوُوْٓا اِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهٖ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِّنْ اَمْرِكُمْ مِّرْفَقًا Wa iżi‘tazaltumūhum wa mā ya‘budūna illallāha fa'wū ilal-kahfi yansyur lakum rabbukum mir raḥmatihī wa yuhayyi' lakum min amrikum mirfaqā. Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.

Mereka memutuskan untuk mengisolasi diri dari masyarakat yang sesat, mencari perlindungan kepada Allah di dalam gua. Ini adalah salah satu bentuk hijrah demi mempertahankan iman.

Ayat 17 وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزٰوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ ۗ مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۚ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا ࣖ Wa tarasy-syamsa iżā ṭala‘at tazāwaru ‘an kahfihim żātāl-yamīni wa iżā garabat taqriḍuhum żātasy-syimāli wa hum fī fajwatim minh(u), żālika min āyātillāh(i), may yahdillāhu fa huwal-muhtad(i), wa may yuḍlil falan tajida lahū waliyyam mursyidā. Dan engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila matahari itu terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam tempat yang lapang di dalamnya. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Allah mengatur alam semesta sedemikian rupa sehingga mereka terlindung dari sengatan matahari langsung, menunjukkan perlindungan ilahi yang sempurna.

Ayat 18 وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌ ۖ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيْدِ ۗ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَّلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا Wa taḥsabuhum ayqāẓaw wa hum ruqūd(un), wa nuqallibuhum żātāl-yamīni wa żātasy-syimāli wa kalbuhum bāsiṭun żirā‘aihī bil-waṣīd(i), lawiṭṭala‘ta ‘alaihim lawallaita minhum firāraw wa lamuli'ta minhum ru‘bā. Dan engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu. Sekiranya kamu melihat mereka, tentu kamu akan berpaling melarikan diri dari mereka, dan pasti kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.

Detail tentang anjing mereka yang setia dan keadaan mereka yang seolah-olah bangun, menambah keajaiban kisah ini. Allah membalikkan tubuh mereka agar tidak rusak, dan menanamkan rasa takut pada siapa pun yang mencoba mendekat.

Ayat 19 وَكَذٰلِكَ بَعَثْنٰهُمْ لِيَتَسَاۤءَلُوْا بَيْنَهُمْ ۗ قَالَ قَاۤىِٕلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۗ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۗ قَالُوْا رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوْٓا اَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هٰذِهٖٓ اِلَى الْمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ اَيُّهَآ اَزْكٰى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ اَحَدًا Wa każālika ba‘aṡnāhum liyatāsa'alū bainahum. Qāla qā'ilum minhum kam labiṡtum? Qālū labiṡnā yauman au ba‘ḍa yaum(in). Qālū rabbukum a‘lamu bimā labiṡtum fa'ba‘aṡū aḥadakum biwariqikum hāżihī ilal-madīnati falyaẓur ayyuhā azkā ṭa‘āman falya'tikum birizqim minhu walyatalṭṭaf wa lā yusy‘iranna bikum aḥadā. Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Salah seorang di antara mereka berkata, "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari." Mereka (yang lain) berkata, "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat makanan apa yang lebih baik, lalu membawa sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun.

Kesadaran mereka setelah berabad-abad hanya seperti tidur siang menunjukkan keajaiban Allah. Perhatian mereka langsung tertuju pada makanan halal dan kewaspadaan terhadap dunia luar yang mungkin masih memusuhi mereka.

Ayat 20 اِنَّهُمْ اِنْ يَّظْهَرُوْا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوْكُمْ اَوْ يُعِيْدُوْكُمْ فِيْ مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوْٓا اِذًا اَبَدًا Innahum iy yaẓharū ‘alaikum yarjumūkum au yu‘īdūkum fī millatihim wa lan tufliḥū iżan abadā. Sesungguhnya jika mereka (penduduk kota) menemukanmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau mengembalikan kamu kepada agama mereka; dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya."
Ayat 21 وَكَذٰلِكَ اَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوْٓا اَنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّاَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيْهَا ۚ اِذْ يَتَنَازَعُوْنَ بَيْنَهُمْ اَمْرَهُمْ فَقَالُوْا ابْنُوْا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۗ رَبُّهُمْ اَعْلَمُ بِهِمْ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوْا عَلٰٓى اَمْرِهِمُ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا Wa każālika a‘ṡarnā ‘alaihim liya‘lamū anna wa‘dallāhi ḥaqquw wa annas-sā‘ata lā raiba fīhā. Iż yatanāza‘ūna bainahum amrahum faqālūbnū ‘alaihim bunyānā(n), rabbuhum a‘lamu bihim. Qālallażīna galabū ‘alā amrihim lanattakhiżanna ‘alaihim masjidā. Dan demikian (pula) Kami memperlihatkan (kepada manusia) tentang keadaan mereka, agar mereka tahu bahwa janji Allah benar, dan bahwa hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka (penduduk kota) berselisih tentang urusan (para pemuda itu), mereka berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya."

Pembangkitan Ashabul Kahfi menjadi bukti nyata bagi manusia tentang kebenaran janji Allah dan Hari Kebangkitan. Perdebatan tentang berapa lama mereka tidur dan bagaimana menghormati mereka menunjukkan keragaman pandangan bahkan di tengah mukjizat.

Ayat 22 سَيَقُوْلُوْنَ ثَلٰثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ وَيَقُوْلُوْنَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا ۢ بِالْغَيْبِ ۚ وَيَقُوْلُوْنَ سَبْعَةٌ وَّثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۗ قُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَّا يَعْلَمُهُمْ اِلَّا قَلِيْلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيْهِمْ اِلَّاظَاهِرًا وَّلَا تَسْتَفْتِ فِيْهِمْ مِّنْهُمْ اَحَدًا ࣖ Sayakūlūna ṡalāṡatur rābi‘uhum kalbuhum, wa yaqūlūna khamsatun sādisuhum kalbuhum rajmam bil-gaib(i), wa yaqūlūna sab‘atuw wa ṡāminuhum kalbuhum. Qul rabbī a‘lamu bi‘iddatihim mā ya‘lamuhum illā qalīl(un), falā tumāri fīhim illā ẓāhiraw wa lā tastafti fīhim minhum aḥadā. Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, "(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya," dan (yang lain) mengatakan, "(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, "(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit." Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja, dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (kepada seorang pun) di antara mereka.

Allah menegur tentang perdebatan yang tidak perlu mengenai detail yang tidak penting, seperti jumlah pasti Ashabul Kahfi. Yang terpenting adalah pelajaran dari kisah tersebut, bukan angka-angkanya.

Ayat 23 وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًا ۙ Wa lā taqūlanna lisyai'in innī fā‘ilun żālika gadā. Dan jangan sekali-kali engkau mengucapkan tentang sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok,"
Ayat 24 اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖ وَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰٓى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَقْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا Illā ay yasyā'allāh(u), ważkur rabbaka iżā nasīta wa qul ‘asā ay yahdiyani rabbī li'aqraba min hāżā rasyadā. Kecuali (dengan mengucapkan), "Insya Allah." Dan ingatlah Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini."

Ayat ini adalah peringatan penting untuk selalu mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) ketika berjanji atau merencanakan sesuatu di masa depan, sebagai pengakuan atas kekuasaan dan kehendak Allah. Ini juga menjadi pengingat untuk selalu berzikir dan memohon petunjuk ketika lupa.

Ayat 25 وَلَبِثُوْا فِيْ كَهْفِهِمْ ثَلٰثَ مِائَةٍ سِنِيْنَ وَازْدَادُوْا تِسْعًا Wa labiṡū fī kahfihim ṡalāṡa mi'atin sinīna wazdādū tis‘ā. Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Ayat 26 قُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوْا ۚ لَهٗ غَيْبُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْ ۗ مَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهٖٓ اَحَدًا ࣖ Qulillāhu a‘lamu bimā labiṡū, lahū gaibus-samāwāti wal-arḍ(i), abṣir bihī wa asmi‘, mā lahum min dūnihī miw waliyyiw wa lā yusyriku fī ḥukmihī aḥadā. Katakanlah (Muhammad), "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); milik-Nya semua yang gaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan."

Penegasan tentang waktu tidur mereka, yang merupakan pengetahuan Allah semata, kembali menekankan keesaan dan kekuasaan-Nya. Allah adalah satu-satunya Pelindung dan Pembuat keputusan.

Pentingnya Al-Qur'an dan Ketaatan (Ayat 27-31)

Bagian ini menegaskan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan menjauhi orang-orang yang berpaling dari kebenaran.

Ayat 27 وَاتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنْ كِتٰبِ رَبِّكَ ۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُوْنِهٖ مُلْتَحَدًا Watlu mā ūḥiya ilaika min kitābi rabbik(a), lā mubaddila likalimātihī wa lan tajida min dūnihī multaḥadā. Dan bacakanlah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia.
Ayat 28 وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا Waṣbir nafsaka ma‘allażīna yad‘ūna rabbahum bil-gadāwti wal-‘asyiyyi yurīdūna wajhahū wa lā ta‘du ‘aināka ‘anhum turīdu zīnatāl-ḥayātiddunyā, wa lā tuṭi‘ man agfalnā qalbahu ‘an żikrinā wattaba‘a hawāhu wa kāna amruhū furuṭā. Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.

Ayat ini adalah nasihat penting bagi Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya untuk senantiasa bergaul dengan orang-orang saleh yang hanya mencari ridha Allah, serta menjauhi mereka yang lalai dan terpedaya oleh dunia.

Ayat 29 وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْ ەۗ اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًا اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَ ۗ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاۤءَتْ مُرْتَفَقًا Wa qulil-ḥaqqu mir rabbikum faman syā'a falyu'miw wa man syā'a falyakfur. Innā a‘tadnā liẓẓālimīna nāran aḥāṭa bihim surādiqūhā, wa iy yastagīṡū yugāṡū bimā'in kal-muhli yasywīl-wujūh(a), bi'sasysyarābu wa sā'at murtafaqā. Dan katakanlah (Muhammad), "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir." Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Ayat ini menegaskan kebebasan memilih dalam beragama, namun dengan konsekuensi yang jelas: iman membawa kepada surga, sedangkan kekafiran membawa kepada azab neraka yang pedih.

Ayat 30 اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اِنَّا لَا نُضِيْعُ اَجْرَ مَنْ اَحْسَنَ عَمَلًا ۚ Innallażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti innā lā nuḍī‘u ajra man aḥsana ‘amalā. Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik itu.
Ayat 31 اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُ يُحَلَّوْنَ فِيْهَا مِنْ اَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَّيَلْبَسُوْنَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّنْ سُنْدُسٍ وَّاِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِـِٕيْنَ فِيْهَا عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِۗ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا ࣖ Ulā'ika lahum jannātu ‘adnīn tajrī min taḥtihimul-anhāru yuḥallau fīhā min asāwira min żahabiw wa yalbasyūna ṡiyāban khuḍram min sundusiw wa istabraqim muttakī'īna fīhā ‘alal-arā'ik(i), ni‘maṡ-ṡawābu wa ḥasunat murtafaqā. Mereka itulah yang memperoleh surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dalam (surga) itu mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutra halus dan sutra tebal, sedang mereka duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah.

Kontras yang tajam antara balasan bagi orang zalim dan balasan bagi orang beriman ini menegaskan prinsip keadilan ilahi.

Ilustrasi Kebun Subur Gambar dua pohon yang subur, melambangkan kisah pemilik dua kebun.

Kisah Pemilik Dua Kebun (Ayat 32-44)

Kisah ini merupakan peringatan tentang bahaya fitnah harta dan kesombongan. Dua orang dengan nasib berbeda, satu kaya namun ingkar, yang lain miskin namun bersyukur, mengajarkan kita tentang prioritas hidup.

Ayat 32 وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِاَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ اَعْنَابٍ وَّحَفَفْنٰهُمَا بِنَخْلٍ وَّجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا ۗ Waḍrib lahum maṡalar rajulaini ja‘alnā li'aḥadihimā jannataini min a‘nābiw wa ḥafafnāhumā binakhliw wa ja‘alnā bainahumā zar‘ā. Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang (kafir) Kami beri dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang.
Ayat 33 كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ اٰتَتْ اُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِّنْهُ شَيْـًٔا وَّفَجَّرْنَا خِلٰلَهُمَا نَهَرًا ۙ Kiltāl-jannataini ātat ukulahā wa lam taẓlim minhu syai'aw wa fajjarnā khilālahumā naharā. Kedua kebun itu menghasilkan buahnya dan tidak kurang sedikit pun, dan di celah-celah kedua kebun itu Kami alirkan sungai.
Ayat 34 وَكَانَ لَهٗ ثَمَرٌ ۚ فَقَالَ لِصَاحِبِهٖ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَنَا۠ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَّاَعَزُّ نَفَرًا ۗ Wa kāna lahū ṡamar(un), faqāla liṣāḥibihī wa huwa yuḥāwiruhū ana akṡaru minka mālaw wa a‘azzu nafarā. Dan dia memiliki kekayaan besar, lalu dia berkata kepada temannya (yang beriman) ketika bercakap-cakap dengan dia, "Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat."

Kekayaan melimpah membuat pemilik kebun yang kafir itu sombong dan meremehkan temannya yang beriman. Ia lupa bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah.

Ayat 35 وَدَخَلَ جَنَّتَهٗ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚ قَالَ مَآ اَظُنُّ اَنْ تَبِيْدَ هٰذِهٖٓ اَبَدًا ۙ Wa dakhala jannatahū wa huwa ẓālimul linafsih(ī), qāla mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadā. Dan dia memasuki kebunnya dengan sikap menzalimi dirinya sendiri (karena kufur), dia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,"
Ayat 36 وَمَآ اَظُنُّ السَّاعَةَ قَاۤىِٕمَةً وَّلَىِٕنْ رُّدِدْتُّ اِلٰى رَبِّيْ لَاَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنْقَلَبًا ۗ Wa mā aẓunnus-sā‘ata qā'imataw wa la'ir rudittū ilā rabbī la'ajidanna khairam minhā munqalabā. Dan aku tidak mengira hari Kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun ini.

Kesombongannya mencapai puncak ketika ia meragukan hari kiamat dan menganggap bahwa bahkan jika ada hari akhirat, ia tetap akan mendapatkan yang lebih baik karena kekayaannya di dunia.

Ayat 37 قَالَ لَهٗ صَاحِبُهٗ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَكَفَرْتَ بِالَّذِيْ خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوّٰىكَ رَجُلًا ۗ Qāla lahū ṣāḥibuhū wa huwa yuḥāwiruhū akafarta billażī khalaqaka min turābin ṡumma min nuṭfatin ṡumma sawwāka rajulā. Temannya (yang mukmin) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, "Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, lalu dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?
Ayat 38 لٰكِنَّا۠ هُوَ اللّٰهُ رَبِّيْ وَلَآ اُشْرِكُ بِرَبِّيْٓ اَحَدًا ۗ Lākinnā huwa Allāhu rabbī wa lā usyriku birabbī aḥadā. Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanmu dengan sesuatu pun.

Temannya yang beriman berusaha menyadarkannya dengan mengingatkannya pada asal-usul penciptaan manusia dan pentingnya mengesakan Allah.

Ayat 39 وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۚ اِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًا ۚ Wa lau lā iż dakhalta jannataka qulta mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh(i), in taranī ana aqalla minka mālaw wa waladā. Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, "Mā Syā Allāh, Lā Quwwata Illā Billāh" (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah). Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit harta dan keturunan daripadamu,

Sangat dianjurkan untuk mengucapkan "Ma Sya Allah, La Quwwata Illa Billah" ketika melihat sesuatu yang mengagumkan, sebagai pengakuan bahwa semua itu hanya karena kehendak dan kekuatan Allah.

Ayat 40 فَعَسٰى رَبِّيْٓ اَنْ يُّؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّنْ جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَتُصْبِحَ صَعِيْدًا زَلَقًا ۙ Fa‘asā rabbī ay yu'tiyani khairam min jannatika wa yursila ‘alaihā ḥusbānam minas-samā'i fatuṣbiḥa ṣa‘īdan zalaqā. Maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan Dia mengirimkan ketetapan (bencana) dari langit ke kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
Ayat 41 اَوْ يُصْبِحَ مَاۤؤُهَا غَوْرًا فَلَنْ تَسْتَطِيْعَ لَهٗ طَلَبًا Au yuṣbiḥa mā'uhā gauran falan tastaṭī‘a lahū ṭalabā. Atau airnya menjadi kering, sehingga engkau tidak akan dapat mencarinya lagi."

Temannya mengingatkannya akan kemungkinan hilangnya semua nikmat itu jika Allah berkehendak, sebagai azab atas kekufurannya.

Ayat 42 وَاُحِيْطَ بِثَمَرِهٖ فَاَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلٰى مَآ اَنْفَقَ فِيْهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَا وَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُشْرِكْ بِرَبِّيْٓ اَحَدًا Wa uḥīṭa biṡamarihī fa'aṣbaḥa yuqallibu kaffaihi ‘alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā wa yaqūlu yā laitanī lam usyrik birabbī aḥadā. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (para-para) lalu dia berkata, "Wahai, kiranya dulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun."

Penyesalan datang terlambat setelah kekayaannya hancur, dan baru saat itulah ia menyadari kesalahannya yang fatal: syirik (mempersekutukan Allah) dan kufur nikmat.

Ayat 43 وَلَمْ تَكُنْ لَّهٗ فِئَةٌ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًا ۗ Wa lam takul lahū fi'atuy yanṣurūnahū min dūnillāhi wa mā kāna muntaṣirā. Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah; dan dia pun tidak dapat membela dirinya.
Ayat 44 هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلّٰهِ الْحَقِّ ۗ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ عُقْبًا ࣖ Hunālikal-wilāyatu lillāhil-ḥaqq(i), huwa khairun ṡawābāw wa khairun ‘uqbā. Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah Yang Mahabenar. Dialah (Allah) sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.

Pelajaran utama adalah bahwa kekuasaan, pertolongan, dan segala sesuatu ada di tangan Allah semata. Harta dan pengikut tidak akan bisa menolong ketika azab Allah datang.

Perbandingan Dunia dan Akhirat (Ayat 45-50)

Bagian ini kembali menegaskan kefanaan kehidupan dunia dan pentingnya memprioritaskan akhirat.

Ayat 45 وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ فَاَصْبَحَ هَشِيْمًا تَذْرُوْهُ الرِّيٰحُ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātiddunyā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥ(u), wa kānallāhu ‘alā kulli syai'im muqtadirā. Dan buatkanlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Perumpamaan air hujan dan tanaman yang kemudian kering adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan betapa cepatnya kehidupan dunia berlalu dan betapa mudahnya kemegahannya sirna.

Ayat 46 اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا ࣖ Al-mālu wal-banūna zīnatul-ḥayātiddunyā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun ‘inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang kekal adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Ayat ini mengajarkan bahwa harta dan anak adalah perhiasan, namun amal saleh yang kekal jauh lebih berharga dan menjadi investasi terbaik untuk akhirat.

Ayat 47 وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْاَرْضَ بَارِزَةً وَّحَشَرْنٰهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ اَحَدًا ۗ Wa yauma nusayyirul-jibāla wa taral-arḍa bārizataw wa ḥasyarnāhum falam nugādir minhum aḥadā. Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau melihat bumi rata dan Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.
Ayat 48 وَعُرِضُوْا عَلٰى رَبِّكَ صَفًّا ۗ لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۢ بَلْ زَعَمْتُمْ اَلَّنْ نَّجْعَلَ لَكُمْ مَّوْعِدًا Wa ‘uriḍū ‘alā rabbika ṣaffā(n), laqad ji'tumūnā kamā khalaqnākum awwala marrah(tin), bal za‘amtum allan naj‘ala lakum mau‘idā. Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Allah berfirman), "Sungguh, kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada pertama kali. Bahkan kamu mengira, bahwa Kami tidak akan menjadikan bagi kamu waktu tertentu (hari berbangkit)."

Gambaran hari kiamat dan pengadilan Allah yang akan datang menegaskan kembali janji dan ancaman yang telah disampaikan sebelumnya.

Ayat 49 وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَا ۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا ࣖ Wa wuḍi‘al-kitābu fataral-mujrimīna musyfiqīna mimmā fīhi wa yaqūlūna yā wailatanā māli hāżal-kitābi lā yugādiru ṣagīrataw wa lā kabīratan illā aḥṣāhā, wa wajadū mā ‘amilū ḥāḍirā(n), wa lā yaẓlimu rabbuka aḥadā. Dan diletakkanlah Kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa (yang tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Celakalah kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil maupun yang besar melainkan tercatat semuanya," dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.

Setiap amal perbuatan, besar maupun kecil, akan tercatat dan dipertanggungjawabkan. Ini adalah penegasan tentang keadilan sempurna Allah.

Ayat 50 وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ اَمْرِ رَبِّهٖ ۗ اَفَتَتَّخِذُوْنَهٗ وَذُرِّيَّتَهٗٓ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۗ بِئْسَ لِلظّٰلِمِيْنَ بَدَلًا Wa iż qulnā lil-malā'ikatisjudū li'ādama fasajadū illā iblīs(a), kāna minal-jinni fafasaqa ‘an amri rabbihī, afattattakhiżūnahū wa żurriyyatahū auliyā'a min dūnī wa hum lakum ‘aduww(un), bi'sa liẓẓālimīna badalā. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam," maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari (golongan) jin, maka dia mendurhakai perintah Tuhannya. Pantaskah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu? Sangat buruklah (Iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang yang zalim.

Kisah Iblis yang menolak sujud kepada Adam adalah peringatan abadi tentang bahaya kesombongan dan ketaatan kepada musuh Allah. Ini adalah awal dari fitnah dan kesesatan yang akan terus menjangkiti manusia.

Ilustrasi Tongkat dan Air Gambar tongkat yang di atasnya ada air mengalir, melambangkan kisah Nabi Musa dan Khidir.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir (Ayat 51-82)

Kisah ini adalah tentang batas-batas ilmu manusia dan pentingnya kesabaran serta kepercayaan pada hikmah Allah yang tersembunyi. Musa, seorang Nabi besar, belajar dari Khidir, seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu khusus.

Ayat 51 مَآ اَشْهَدْتُّهُمْ خَلْقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَا خَلْقَ اَنْفُسِهِمْ وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّيْنَ عَضُدًا Mā asyhattuhum khalqas-samāwāti wal-arḍi wa lā khalqa anfusihim wa mā kuntu muttakhiżal-muḍillīna ‘aḍudā. Aku tidak menghadirkan mereka (Iblis dan keturunannya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan Aku tidak menjadikan orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.
Ayat 52 وَيَوْمَ يَقُوْلُ نَادُوْا شُرَكَاۤءِيَ الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَهُمْ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ مَّوْبِقًا Wa yauma yaqūlu nādū syurakā'iyallażīna za‘amtum fada‘auhum falam yastajībū lahum wa ja‘alnā bainahum maubiqā. Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia berfirman, "Panggillah olehmu sekutu-sekutu-Ku yang kamu sangka itu." Lalu mereka memanggilnya, tetapi sekutu-sekutu itu tidak menyahut (panggilan) mereka, dan Kami jadikan di antara mereka tempat kebinasaan (pemisah).

Ayat-ayat ini adalah peringatan tentang kesesatan menyekutukan Allah dan betapa sia-sianya pertolongan dari selain-Nya.

Ayat 53 وَرَاَ الْمُجْرِمُوْنَ النَّارَ فَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ مُّوَاقِعُوْهَا وَلَمْ يَجِدُوْا عَنْهَا مَصْرِفًا ࣖ Wa ra'al-mujrimūnan-nāra faẓannū annahum muwāqi‘ūhā wa lam yajidū ‘anhā maṣrifā. Dan orang yang berdosa melihat neraka, lalu mereka yakin bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya.
Ayat 54 وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِيْ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ ۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا Wa laqad ṣarrafnā fī hāżal-qur'āni linnāsi min kulli maṡal(in), wa kānal-insānu akṡara syai'in jadalā. Dan sungguh, dalam Al-Qur'an ini telah Kami (Allah) jelaskan berulang-ulang kepada manusia bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

Meskipun Al-Qur'an telah memberikan berbagai perumpamaan dan penjelasan, manusia seringkali masih suka membantah dan meragukan kebenaran.

Ayat 55 وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنْ يُّؤْمِنُوْٓا اِذْ جَاۤءَهُمُ الْهُدٰى وَيَسْتَغْفِرُوْا رَبَّهُمْ اِلَّآ اَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ اَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا Wa mā mana‘an-nāsa ay yu'minū iż jā'ahumul-hudā wa yastagfirū rabbahum illā an ta'tiyahum sunnatul-awwalīna au ya'tiyahumul-‘ażābu qubulā. Dan tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan tidak (pula) untuk memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya kebiasaan (azab Allah yang berlaku pada) umat-umat yang terdahulu atau datangnya azab atas mereka secara langsung.
Ayat 56 وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِيْنَ اِلَّا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۚ وَيُجَادِلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوْا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَمَآ اُنْذِرُوْا هُزُوًا Wa mā nursilul-mursalīna illā mubasysyirīna wa munżirīn(a), wa yujādilullażīna kafarū bil-bāṭili liyuḍḥiḍū bihil-ḥaqqa wattakhażū āyātī wa mā unżirū huzuwā. Dan tidaklah Kami mengutus para rasul melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan (cara) yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak (kebenaran), dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan apa yang diperingatkan kepada mereka sebagai olok-olokan.
Ayat 57 وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِاٰيٰتِ رَبِّهٖ فَاَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ ۗ اِنَّا جَعَلْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اَكِنَّةً اَنْ يَّفْقَهُوْهُ وَفِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرًا ۗ وَاِنْ تَدْعُهُمْ اِلَى الْهُدٰى فَلَنْ يَّهْتَدُوْٓا اِذًا اَبَدًا Wa man aẓlamu mimman żukkira bi'āyāti rabbihī fa'a‘raḍa ‘anhā wa nasiya mā qaddamat yadāh(u), innā ja‘alnā ‘alā qulūbihim akinnatan ay yafqahūhu wa fī āżānihim waqrā(n), wa in tad‘uhum ilal-hudā falan yahtadū iżan abadā. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan kedua tangannya? Sungguh, Kami telah meletakkan penutup di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka. Sekalipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.

Ayat-ayat ini menjelaskan kerasnya hati orang-orang kafir yang menolak kebenaran meskipun bukti-bukti sudah jelas. Allah telah menutup hati dan pendengaran mereka karena pilihan mereka sendiri.

Ayat 58 وَرَبُّكَ الْغَفُوْرُ ذُو الرَّحْمَةِ ۗ لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوْا لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ ۗ بَلْ لَّهُمْ مَّوْعِدٌ لَّنْ يَّجِدُوْا مِنْ دُوْنِهٖ مَوْىِٕلًا Wa rabbukal-gafūru żur-raḥmah(ti), lau yu'ākhiżuhum bimā kasabū la‘ajjala lahumul-‘ażāb(a), bal lahum mau‘idul lay yajidū min dūnihī mau'ilā. Dan Tuhanmu Maha Pengampun, memiliki rahmat. Sekiranya Dia hendak menyiksa mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan siksa bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu tertentu (untuk mendapat azab) yang sekali-kali mereka tidak akan menemukan tempat berlindung dari-Nya.
Ayat 59 وَتِلْكَ الْقُرٰىٓ اَهْلَكْنٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوْا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَّوْعِدًا ࣖ Wa tilkal-qurā ahlaknāhum lammā ẓalamū wa ja‘alnā limahlikihim mau‘idā. Dan (penduduk) negeri-negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu untuk kebinasaan mereka.

Allah Maha Pengampun, namun azab-Nya pasti datang bagi kaum yang zalim pada waktu yang telah ditetapkan. Ini adalah peringatan bagi semua umat manusia.

Ayat 60 وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰىٓ اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا Wa iż qāla Mūsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluġa majma‘al-baḥraini au amḍiya ḥuqubā. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun."

Awal kisah Musa dan Khidir, menunjukkan tekad Nabi Musa untuk mencari ilmu meskipun harus menempuh perjalanan yang sangat panjang.

Ayat 61 فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوْتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيْلَهٗ فِى الْبَحْرِ سَرَبًا Falammā balagā majma‘a bainihimā nasiyā ḥūtahumā fattakhaża sabīlahū fil-baḥri sarabā. Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua lautan itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu meluncur menempuh jalannya ke laut itu.
Ayat 62 فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتٰىهُ اٰتِنَا غَدَاۤءَنَا لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هٰذَا نَصَبًا Falammā jāwazā qāla lifatāhu ātinā gadā'anā laqad laqīnā min safarinā hāżā naṣabā. Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, "Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."
Ayat 63 قَالَ اَرَاَيْتَ اِذْ اَوَيْنَآ اِلَى الصَّخْرَةِ فَاِنِّيْ نَسِيْتُ الْحُوْتَ ۖ وَمَآ اَنْسٰنِيْهُ اِلَّا الشَّيْطٰنُ اَنْ اَذْكُرَهٗ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيْلَهٗ فِى الْبَحْرِ عَجَبًا Qāla ara'aita iż awainā ilaṣ-ṣakhrati fa'innī nasītul-ḥūt(a), wa mā ansānīhu illasy-syaiṭānu an ażkurahū, wattakhaża sabīlahū fil-baḥri ‘ajabā. Dia (pembantunya) menjawab, "Tahukah engkau, ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu, dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."

Ikan yang hidup kembali adalah tanda yang dijanjikan, namun lupa diceritakan oleh pembantunya karena godaan setan. Ini menunjukkan bahwa bahkan hal-hal kecil dapat menjadi ujian.

Ayat 64 قَالَ ذٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۗ فَارْتَدَّا عَلٰٓى اٰثَارِهِمَا قَصَصًا Qāla żālika mā kunnā nabg(i), fartaddā ‘alā āṡārihimā qaṣaṣā. Dia (Musa) berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.
Ayat 65 فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا Fawajadā ‘abdam min ‘ibādinā ātaināhu raḥmatam min ‘indinā wa ‘allamnāhu mil ladunnā ‘ilmā. Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Inilah perkenalan dengan Khidir, hamba Allah yang istimewa dengan ilmu laduni (ilmu yang langsung dari Allah).

Ayat 66 قَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا Qāla lahū Mūsā hal attabi‘uka ‘alā an tu‘allimani mimmā ‘ullimta rursydā. Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) petunjuk yang telah diajarkan kepadamu?"
Ayat 67 قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ۗ Qāla innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā. Dia (Khidir) menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku."
Ayat 68 وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا Wa kaifa taṣbiru ‘alā mā lam tuḥiṭ bihī khubrā. Bagaimana engkau akan sanggup bersabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?

Khidir tahu Musa tidak akan sabar karena ilmu yang dimiliki Khidir berbeda dengan ilmu Musa, yang berdasarkan syariat yang tampak. Ini adalah ujian bagi Musa tentang kesabaran dan kerendahan hati dalam mencari ilmu.

Ayat 69 قَالَ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ صَابِرًا وَّلَآ اَعْصِيْ لَكَ اَمْرًا Qāla satajidunī in syā'allāhu ṣābiraw wa lā a‘ṣī laka amrā. Dia (Musa) berkata, "Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun."

Musa berjanji dengan mengucapkan "Insya Allah", menunjukkan kesungguhannya.

Ayat 70 قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰىٓ اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ࣖ Qāla fa'inittaba‘tanī falā tas'alnī ‘an syai'in ḥattā uḥdiṡa laka minhu żikrā. Dia (Khidir) berkata, "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu."

Khidir memberikan syarat penting: kesabaran tanpa bertanya sampai ia sendiri yang menjelaskan. Ini adalah adab dalam mencari ilmu yang sulit dipahami.

Ayat 71 فَانْطَلَقَا ۗ حَتّٰٓى اِذَا رَكِبَا فِى السَّفِيْنَةِ خَرَقَهَا ۗ قَالَ اَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ اَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا اِمْرًا Fanṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā. Qāla akharaqtahā litugriqa ahlahā laqad ji'ta syai'an imrā. Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia (Khidir) melubanginya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau melubangi perahu itu, untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar."

Peristiwa pertama: Khidir melubangi perahu. Musa, sebagai nabi yang memegang syariat yang jelas, tidak bisa menahan diri untuk bertanya, karena perbuatan itu secara lahiriah tampak salah dan membahayakan.

Ayat 72 قَالَ اَلَمْ اَقُلْ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا Qāla alam aqul innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā. Dia (Khidir) berkata, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?"
Ayat 73 قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا نَسِيْتُ وَلَا تُرْهِقْنِيْ مِنْ اَمْرِيْ عُسْرًا Qāla lā tu'ākhiżnī bimā nasītu wa lā turhiqnī min amrī ‘usrā. Dia (Musa) berkata, "Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku kesulitan dalam urusanku."

Musa memohon maaf, mengakui kelalaiannya dalam memegang janji.

Ayat 74 فَانْطَلَقَا ۗ حَتّٰٓى اِذَا لَقِيَا غُلٰمًا فَقَتَلَهٗ ۗ قَالَ اَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً ۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُّكْرًا Fanṭalaqā, ḥattā iżā laqiyā gulāman faqatalahū. Qāla aqataltan nafsan zakiyyatām bigairi nafsin laqad ji'ta syai'an nukrā. Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang anak muda, lalu dia (Khidir) membunuhnya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar."

Peristiwa kedua: Khidir membunuh seorang anak muda. Ini adalah tindakan yang jauh lebih mengejutkan dan melanggar hukum syariat, sehingga Musa tidak dapat menahan diri untuk bertanya lagi.

Ayat 75 قَالَ اَلَمْ اَقُلْ لَّكَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا Qāla alam aqul laka innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā. Dia (Khidir) berkata, "Bukankah sudah aku katakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?"
Ayat 76 قَالَ اِنْ سَاَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍۢ بَعْدَهَا فَلَا تُصٰحِبْنِيْ ۚ قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَّدُنِّيْ عُذْرًا ࣖ Qāla in sa'altuka ‘an syai'im ba‘dahā falā tuṣāḥibnī, qad balagta mil ladunnī ‘użrā. Dia (Musa) berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau mengizinkanku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasanku."

Musa berjanji untuk tidak bertanya lagi, dengan batas terakhir kali ia boleh melanggar perjanjian. Ini menunjukkan betapa sulitnya kesabaran di hadapan hal-hal yang tidak dapat dipahami.

Ayat 77 فَانْطَلَقَا ۗ حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَيَآ اَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَآ اَهْلَهَا فَاَبَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا Fanṭalaqā, ḥattā iżā atayā ahla qaryatinistaṭ‘amā ahlahā fa'abaw ay yuḍayyifūhumā fawajadā fīhā jidāray yurīdu ay yanqaḍḍa fa'aqāmahū. Qāla lau syi'ta lattakhażta ‘alaihi ajrā. Kemudian keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan di sana dinding rumah yang hampir roboh, lalu dia (Khidir) menegakkannya. Dia (Musa) berkata, "Sekiranya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu."

Peristiwa ketiga: Mereka tiba di suatu negeri yang tidak ramah, namun Khidir malah membangun kembali dinding yang hampir roboh tanpa meminta upah. Musa kembali tidak dapat memahami dan bertanya lagi.

Ayat 78 قَالَ هٰذَا فِرَاقُ بَيْنِيْ وَبَيْنِكَ ۚ سَاُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيْلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا Qāla hāżā firāqu bainī wa bainik(a), sa'unabbi'uka bita'wīli mā lam tastaṭi‘ ‘alaihi ṣabrā. Dia (Khidir) berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya."

Karena Musa melanggar janjinya yang ketiga, tibalah saatnya perpisahan. Khidir kemudian menjelaskan makna tersembunyi dari setiap tindakan yang telah dilakukannya.

Ayat 79 اَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسٰكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَاَرَدْتُّ اَنْ اَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاۤءَهُمْ مَّلِكٌ يَّأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا Ammās-safīnatu fakānat limasākīna ya‘malūna fil-baḥri fa'arattū an a‘ībahā wa kāna warā'ahum malikuy ya'khużu kulla safīnatin gaṣbā. Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang sehat).

Pelajaran dari perahu: kerusakan yang tampak adalah kebaikan yang tersembunyi. Untuk menyelamatkan perahu dari raja zalim, Khidir merusaknya sedikit agar tidak dirampas, sehingga pemilik miskin masih bisa memperbaikinya.

Ayat 80 وَاَمَّا الْغُلٰمُ فَكَانَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ اَنْ يُّرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَّكُفْرًا ۚ Wa ammal-gulāmu fakāna abawāhu mu'minaini fakhasyīnā ay yurhiqahumā ṭugyānaw wa kufrā. Dan adapun anak muda itu (yang dibunuh Khidir), kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

Pelajaran dari anak muda: Khidir membunuh anak itu karena Allah tahu ia akan menjadi sumber kesesatan dan kekafiran bagi kedua orang tuanya yang beriman. Ini adalah contoh hikmah ilahi yang tidak bisa dipahami dengan akal manusia semata.

Ayat 81 فَاَرَدْنَآ اَنْ يُّبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكٰوةً وَّاَقْرَبَ رُحْمًا Fa'aradnā ay yubdilahumā rabbuhumā khairam minhu zakātaw wa aqraba ruḥmā. Kemudian Kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (anak) lain yang lebih baik kesuciannya dari (anak) itu dan lebih sayang (kepada kedua orang tuanya).

Allah menggantinya dengan anak yang lebih baik dan lebih berbakti.

Ayat 82 وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚ فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ ۗ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْ ۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا ࣖ Wa ammal-jidāru fakāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahū kanzul lahumā wa kāna abūhumā ṣāliḥā(n), fa'arāda rabbuka ay yabluġā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik(a), wa mā fa‘altuhū ‘an amrī, żālika ta'wīlu mā lam tasṭi‘ ‘alaihi ṣabrā. Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayah mereka adalah orang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.

Pelajaran dari dinding: Khidir menegakkan dinding untuk melindungi harta anak yatim, karena ayah mereka adalah orang yang saleh. Ini menunjukkan bahwa kesalehan seseorang dapat membawa berkah bagi keturunannya, dan Allah melindungi hamba-Nya melalui berbagai cara yang tidak terduga.

Ilustrasi Dinding Pertahanan Gambar tembok kokoh, melambangkan pembangunan tembok Dzulqarnain untuk Ya'juj dan Ma'juj.

Kisah Dzulqarnain (Ayat 83-99)

Kisah Dzulqarnain menggambarkan seorang pemimpin yang adil dan perkasa, yang menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan dan menegakkan keadilan, membangun sebuah tembok untuk melindungi kaum yang lemah dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj.

Ayat 83 وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِ ۗ قُلْ سَاَتْلُوْا عَلَيْكُمْ مِّنْهُ ذِكْرًا ۗ Wa yas'alūnaka ‘an żil-qarnaini, qul sa'atlū ‘alaikum minhu żikrā. Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, "Aku akan bacakan kepadamu kisahnya."
Ayat 84 اِنَّا مَكَّنَّا لَهٗ فِى الْاَرْضِ وَاٰتَيْنٰهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا ۙ Innā makkannā lahū fil-arḍi wa ātaināhu min kulli syai'in sababā. Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan telah Kami berikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.

Allah memberikan kekuatan dan sarana kepada Dzulqarnain untuk mencapai tujuannya, menunjukkan bahwa kekuasaan sejati berasal dari Allah.

Ayat 85 فَاَتْبَعَ سَبَبًا Fa'atba‘a sababā. Maka dia pun menempuh suatu jalan.
Ayat 86 حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَّوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِمَّآ اَنْ تُعَذِّبَ وَاِمَّآ اَنْ تَتَّخِذَ فِيْهِمْ حُسْنًا Ḥattā iżā balaga magribasy-syamsi wajadahā tagrubu fī ‘ainin ḥami'atiw wa wajada ‘indahā qaumā(n), qulnā yā żal-qarnaini immā an tu‘ażżiba wa immā an tattakhiża fīhim ḥusnā. Hingga apabila dia sampai di tempat terbenam matahari, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana didapatinya suatu kaum. Kami berfirman, "Wahai Zulkarnain! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka."

Dzulqarnain diberikan pilihan untuk bertindak atas kaum yang ditemuinya, menunjukkan tanggung jawab besar seorang pemimpin.

Ayat 87 قَالَ اَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهٗ ثُمَّ يُرَدُّ اِلٰى رَبِّهٖ فَيُعَذِّبُهٗ عَذَابًا نُّكْرًا Qāla ammā man ẓalama fasaufa nu‘ażżibuhū ṡumma yuraddu ilā rabbihī fa yu‘ażżibuhū ‘ażāban nukrā. Dia (Zulkarnain) berkata, "Barang siapa berbuat zalim, kami akan menyiksanya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksa yang sangat keras."
Ayat 88 وَاَمَّا مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهٗ جَزَاۤءً ۨالْحُسْنٰىۚ وَسَنَقُوْلُ لَهٗ مِنْ اَمْرِنَا يُسْرًا ۗ Wa ammā man āmana wa ‘amila ṣāliḥan falahū jazā'al-ḥusnā, wa sanaqūlu lahū min amrinā yusrā. Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat balasan yang terbaik sebagai tempat kembali, dan akan kami katakan kepadanya (perintah) kami yang mudah-mudah."

Kebijakan Dzulqarnain yang adil: menghukum yang zalim dan memberi kemudahan bagi yang beriman. Ini adalah contoh pemimpin yang berpegang pada keadilan ilahi.

Ayat 89 ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا ۙ Summa atba‘a sababā. Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain).
Ayat 90 حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلٰى قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَلْ لَّهُمْ مِّنْ دُوْنِهَا سِتْرًا ۙ Ḥattā iżā balaga maṭli‘asy-syamsi wajadahā taṭlu‘u ‘alā qaumil lam naj‘al lahum min dūnihā sitrā. Hingga apabila dia sampai di tempat terbit matahari (Timur) dia mendapati matahari itu terbit menyinari suatu kaum yang tidak Kami buatkan bagi mereka suatu penutup untuk melindunginya dari (panas) matahari.
Ayat 91 كَذٰلِكَ ۗ وَقَدْ اَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا ࣖ Każālik(a), wa qad aḥaṭnā bimā ladaihi khubrā. Demikianlah. Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya (Zulkarnain).

Perjalanan Dzulqarnain ke timur dan bagaimana Allah mengetahui segala perbuatannya.

Ayat 92 ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا ۙ Summa atba‘a sababā. Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).
Ayat 93 حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ قَوْلًا Ḥattā iżā balaga bainas-saddaini wajada min dūnihimā qaumal lā yakādūna yafqahūna qaulā. Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, didapatinya di belakang (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.

Di sinilah Dzulqarnain bertemu dengan kaum yang membutuhkan perlindungan dari Ya'juj dan Ma'juj.

Ayat 94 قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا Qālū yā żal-qarnaini inna ya'jūja wa ma'jūja mufsidūna fil-arḍi fahal naj‘alu laka kharjan ‘alā an taj‘ala bainanā wa bainahum saddā. Mereka berkata, "Wahai Zulkarnain! Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj adalah pembuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?"

Kaum tersebut meminta bantuan Dzulqarnain untuk membangun penghalang dari kaum perusak, Ya'juj dan Ma'juj, yang akan muncul di akhir zaman sebagai salah satu tanda Kiamat.

Ayat 95 قَالَ مَا مَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّيْ خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ اَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا ۙ Qāla mā makkannī fīhi rabbī khairun fa'a‘īnūnī biquwwatin aj‘al bainakum wa bainahum radmā. Dia (Zulkarnain) berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan, agar aku membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka."

Dzulqarnain menolak imbalan materi, menunjukkan ketulusan dan bahwa ia bekerja semata karena Allah. Ia hanya meminta bantuan tenaga dan material.

Ayat 96 اٰتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِ ۗ حَتّٰىٓ اِذَا سَاوٰى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا ۗ حَتّٰىٓ اِذَا جَعَلَهٗ نَارًا قَالَ اٰتُوْنِيْٓ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا ۗ Ātūnī zubaral-ḥadīd(i), ḥattā iżā sāwā bainaṣ-ṣadafaini qālanfukhū, ḥattā iżā ja‘alahū nāran qāla ātūnī ufrig ‘alaihi qiṭrā. "Berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Zulkarnain) berkata, "Tiup (api itu)." Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu)."

Proses pembangunan tembok dengan teknologi canggih saat itu: besi dan tembaga cair, menunjukkan kecerdasan dan kemampuan Dzulqarnain yang luar biasa.

Ayat 97 فَمَا اسْطَاعُوْٓا اَنْ يَّظْهَرُوْهُ وَمَا اسْتَطَاعُوْا لَهٗ نَقْبًا Famastaṭī‘ū ay yaẓharūhu wa mastaṭā‘ū lahū naqbā. Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.
Ayat 98 قَالَ هٰذَا رَحْمَةٌ مِّنْ رَّبِّيْ ۚ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ رَبِّيْ جَعَلَهٗ دَكَّاۤءَ ۚ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّيْ حَقًّا ۗ Qāla hāżā raḥmatum mir rabbī, fa'iżā jā'a wa‘du rabbī ja‘alahū sakkā'a, wa kāna wa‘du rabbī ḥaqqā. Dia (Zulkarnain) berkata, "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu benar."

Dzulqarnain menyadari bahwa keberhasilan ini adalah rahmat dari Allah, dan tembok tersebut akan hancur pada waktu yang telah ditetapkan Allah, yaitu menjelang Hari Kiamat, saat Ya'juj dan Ma'juj akan keluar.

Ayat 99 وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ يَّمُوْجُ فِيْ بَعْضٍ وَّنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَجَمَعْنٰهُمْ جَمْعًا ۙ Wa taraknā ba‘ḍahum yauma'iżiy yamūju fī ba‘ḍiw wa nufikha fiṣ-ṣūri fajama‘nāhum jam‘ā. Dan pada hari itu Kami biarkan sebagian mereka (Ya'juj dan Ma'juj) berbaur dengan sebagian yang lain, dan (apabila) sangkakala ditiup (sekali lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya.

Ayat ini kembali mengaitkan kisah Dzulqarnain dengan tanda-tanda Kiamat dan hari kebangkitan.

Peringatan dan Kesimpulan (Ayat 100-110)

Ayat-ayat penutup ini merangkum pelajaran-pelajaran dari seluruh surah, menekankan pentingnya iman, amal saleh, dan mengingat hari akhirat.

Ayat 100 وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَىِٕذٍ لِّلْكٰفِرِيْنَ عَرْضًا ۙ Wa ‘araḍnā jahannama yauma'iżil lil-kāfirīna ‘arḍā. Dan pada hari itu Kami perlihatkan neraka Jahanam kepada orang kafir dengan jelas,
Ayat 101 الَّذِيْنَ كَانَتْ اَعْيُنُهُمْ فِيْ غِطَاۤءٍ عَنْ ذِكْرِيْ وَكَانُوْا لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ سَمْعًا Allażīna kānat a‘yunuhum fī giṭā'in ‘an żikrī wa kānū lā yastaṭī‘ūna sam‘ā. (Yaitu) orang-orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar.

Ayat ini kembali menggambarkan keadaan orang-orang kafir yang lalai dan buta akan tanda-tanda kebesaran Allah.

Ayat 102 اَفَحَسِبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ يَّتَّخِذُوْا عِبَادِيْ مِنْ دُوْنِيْٓ اَوْلِيَاۤءَ ۗ اِنَّآ اَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكٰفِرِيْنَ نُزُلًا Afaḥasiballażīna kafarū ay yattakhiżū ‘ibādī min dūnī auliyā'(a), innā a‘tadnā jahannama lil-kāfirīna nuzulā. Maka apakah orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.

Peringatan keras bagi mereka yang mencari pelindung selain Allah, menempatkan iblis atau berhala sebagai sesembahan.

Ayat 103 قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ Qul hal nunabbi'ukum bil-akhsarīna a‘mālā. Katakanlah (Muhammad), "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?"
Ayat 104 اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا ۗ Allażīna ḍalla sa‘yuhum fil-ḥayātiddunyā wa hum yaḥsabūna annahum yuḥsinūna ṣun‘ā. (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Ini adalah definisi "orang yang paling merugi": mereka yang berbuat di dunia namun tanpa iman dan petunjuk yang benar, sehingga amal mereka sia-sia di sisi Allah.

Ayat 105 اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا Ulā'ikallażīna kafarū bi'āyāti rabbihim wa liqā'ihī faḥabiṭat a‘māluhum falā nuqīmu lahum yaumal-qiyāmati waznā. Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (ingkar) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan penimbangan (pahala) bagi mereka pada hari Kiamat.
Ayat 106 ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا ۗ Żālika jazā'uhum jahannamu bimā kafarū wattakhażū āyātī wa rusulī huzuwā. Demikianlah balasan bagi mereka itu neraka Jahanam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan.

Konsekuensi dari kekafiran adalah kerugian di akhirat dan balasan neraka Jahanam.

Ayat 107 اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنّٰتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا ۙ Innallażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti kānat lahum jannātul-firdausi nuzulā. Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal,
Ayat 108 خٰلِدِيْنَ فِيْهَا لَا يَبْغُوْنَ عَنْهَا حِوَلًا ۗ Khālidīna fīhā lā yabgūna ‘anhā ḥiwalā. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana.

Kembali, Allah menegaskan balasan bagi orang beriman: surga Firdaus yang kekal.

Ayat 109 قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا Qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī wa lau ji'nā bimiṡlihī madadā. Katakanlah (Muhammad), "Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."

Ayat ini menekankan keagungan dan keluasan ilmu serta firman Allah yang tak terbatas.

Ayat 110 قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ Qul innamā ana basyarum miṡlukum yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid(un), faman kāna yarjū liqā'a rabbihī falya‘mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi‘ibādati rabbihī aḥadā. Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa." Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."

Ayat penutup ini adalah kesimpulan dari seluruh surah: Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia biasa yang diwahyukan tauhid. Pesan utama bagi semua manusia adalah beriman kepada Allah Yang Esa, mengerjakan amal saleh, dan tidak menyekutukan-Nya. Ini adalah kunci untuk menghadapi segala fitnah dunia dan mencapai kebahagiaan abadi.

Hikmah dan Pelajaran Utama dari Surah Al-Kahfi

Surah Al-Kahfi tidak hanya sekadar kumpulan cerita, tetapi merupakan panduan komprehensif untuk menghadapi berbagai ujian (fitnah) kehidupan:

Surah Al-Kahfi dan Keterkaitannya dengan Dajjal

Salah satu keutamaan besar membaca Surah Al-Kahfi adalah perlindungan dari fitnah Dajjal. Dajjal akan muncul di akhir zaman sebagai fitnah terbesar bagi umat manusia, membawa berbagai godaan dan tipu daya:

Membaca dan merenungkan Surah Al-Kahfi membantu seorang Muslim untuk membentengi diri dengan tauhid yang kuat, kesadaran akan kefanaan dunia, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan pemahaman tentang hikmah ilahi, sehingga tidak mudah terpedaya oleh tipu daya Dajjal.

Pentingnya Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, niscaya dia akan disinari cahaya antara dua Jumat." (HR. An-Nasa'i, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim)

Hadis lain menyebutkan:

"Barangsiapa membaca sepuluh ayat pertama dari Surah Al-Kahfi, dia akan dilindungi dari (fitnah) Dajjal." (HR. Muslim)

Beberapa riwayat juga menyebutkan perlindungan dari sepuluh ayat terakhir. Keutamaan-keutamaan ini menunjukkan betapa besar nilai Surah Al-Kahfi sebagai benteng spiritual bagi umat Islam. Membacanya pada hari Jumat adalah amalan sunah yang sangat dianjurkan, baik dari segi pahala maupun perlindungan dari fitnah-fitnah dunia dan akhirat.

Kesimpulan

Surah Al-Kahfi adalah salah satu permata Al-Qur'an yang kaya akan pelajaran hidup. Melalui kisah-kisah Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Musa dan Khidir, serta Dzulqarnain, kita diajari tentang hakikat iman, kekayaan, ilmu, dan kekuasaan. Semua ini adalah bentuk-bentuk ujian dari Allah. Dengan memahami dan merenungkan surah ini, kita diharapkan dapat membentengi diri dari berbagai fitnah dan godaan dunia, serta senantiasa kembali kepada Allah sebagai satu-satunya tujuan dan sandaran hidup.

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa membaca, memahami, dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Surah Al-Kahfi, sehingga mendapatkan perlindungan dan petunjuk dari Allah SWT.

🏠 Homepage