Mengkaji Hikmah Surah Al-Kahfi Ayat 91

Al-Kahfi Ayat 91: Hikmah Kisah Dzulqarnain dan Ya'juj Ma'juj

Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki posisi istimewa dan kedalaman makna yang luar biasa dalam Al-Qur'an. Dengan 110 ayat, surah Makkiyah ini disajikan sebagai petunjuk dan peringatan bagi umat manusia, terutama dalam menghadapi empat fitnah (ujian) besar kehidupan: fitnah agama, fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan. Keistimewaan surah ini juga terletak pada anjuran Nabi Muhammad SAW untuk membacanya setiap hari Jumat sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal dan penerang kehidupan. Di antara kisah-kisah penuh hikmah yang termuat di dalamnya, kisah Dzulqarnain menempati bagian yang krusial, menggambarkan perjalanan seorang pemimpin yang adil, perkasa, dan bijaksana. Dalam rangkaian kisah ini, Al-Kahfi ayat 91 muncul sebagai penanda penting, membuka babak perjalanan terakhir Dzulqarnain yang akan membawanya berhadapan dengan ancaman besar Ya'juj dan Ma'juj. Ayat yang singkat namun padat makna ini menjadi kunci narasi pembangunan benteng legendaris yang akan menjadi pengekang dua kaum perusak tersebut hingga akhir zaman. Mari kita telaah lebih jauh apa saja makna, konteks, dan pelajaran yang dapat kita petik dari Al-Kahfi ayat 91 ini, serta implikasinya bagi kehidupan kita.

Ilustrasi Pegunungan dan Benteng Dzulqarnain Sebuah ilustrasi sederhana yang menggambarkan benteng (sadd) yang dibangun oleh Dzulqarnain di antara dua gunung, tempat kaum yang terancam Ya'juj dan Ma'juj.

Ilustrasi benteng (sadd) yang dibangun oleh Dzulqarnain di antara dua gunung, tempat kaum yang terancam Ya'juj dan Ma'juj, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Kahfi ayat 91 dan ayat-ayat selanjutnya.

Mengenal Surah Al-Kahfi dan Posisi Ayat 91 dalam Narasi Besar

Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Mekah. Sebagai surah Makkiyah, inti ajarannya berpusat pada penguatan akidah, keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, hari kebangkitan, balasan atas amal perbuatan, serta kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran bagi manusia. Surah ini sangat ditekankan untuk dibaca setiap Jumat, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barangsiapa membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan diterangi cahaya antara dua Jumat." Ini menunjukkan betapa besar hikmah dan perlindungan yang terkandung di dalamnya, khususnya dari fitnah akhir zaman.

Surah Al-Kahfi secara unik menampilkan empat kisah utama yang masing-masing melambangkan empat fitnah besar yang mungkin dihadapi manusia sepanjang hidupnya:

  1. Kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua): Melambangkan fitnah agama. Sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari penguasa zalim demi mempertahankan tauhid mereka, dan ditidurkan oleh Allah di dalam gua selama berabad-abad. Ini mengajarkan keteguhan iman dan keberanian dalam menghadapi penindasan agama.
  2. Kisah Dua Pemilik Kebun: Menggambarkan fitnah harta dan kekayaan. Salah satu pemilik kebun yang sombong dan kufur nikmat karena kekayaannya yang melimpah, sementara yang lain bersyukur dan tawadhu'. Kisah ini menjadi peringatan keras tentang bahaya kesombongan, ketamakan, dan melupakan Sang Pemberi Rezeki.
  3. Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS: Melambangkan fitnah ilmu pengetahuan. Nabi Musa AS, seorang nabi ulul azmi, dipertemukan dengan Nabi Khidir AS untuk belajar hikmah di balik peristiwa-peristiwa yang tampak aneh dan tidak masuk akal. Ini mengajarkan kerendahan hati dalam menuntut ilmu, bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas di hadapan ilmu Allah SWT, dan bahwa ada hikmah tersembunyi di balik setiap takdir.
  4. Kisah Dzulqarnain: Melambangkan fitnah kekuasaan dan kekuatan. Seorang raja yang diberi kekuasaan, sarana, dan kekuatan yang sangat besar oleh Allah untuk berkelana ke penjuru bumi, namun tetap teguh dalam keimanannya, adil dalam keputusannya, dan rendah hati dalam setiap tindakannya. Kisah ini adalah contoh ideal bagaimana kekuasaan seharusnya diemban.

Kisah Dzulqarnain, yang terbentang dari ayat 83 hingga 101, adalah narasi yang kaya akan pelajaran tentang kepemimpinan yang saleh, penggunaan kekuasaan yang bijaksana, dan interaksi dengan berbagai komunitas. Dalam perjalanan ketiga Dzulqarnain, sebuah momen krusial diperkenalkan oleh Al-Kahfi ayat 91. Ayat ini menjadi penanda dimulainya fase paling heroik dari kisahnya, yaitu pertemuannya dengan kaum yang menghadapi ancaman Ya'juj dan Ma'juj, serta pembangunan benteng raksasa yang menjadi pengekang dua kaum perusak tersebut. Dengan demikian, Al-Kahfi ayat 91 bukan sekadar ayat transisi, melainkan fondasi penting yang membuka jalan bagi pemahaman kita tentang keadilan ilahi dan takdir akhir zaman.

Kisah Dzulqarnain: Manifestasi Kekuatan yang Diberkahi Allah

Sebelum kita menyelam lebih dalam ke dalam makna Al-Kahfi ayat 91, marilah kita pahami lebih dulu latar belakang dan karakter Dzulqarnain. Al-Qur'an tidak memberikan detail spesifik tentang identitas Dzulqarnain, sehingga para mufassir memiliki berbagai pendapat, dari yang mengidentifikasikannya sebagai Alexander Agung, Cyrus Agung, hingga raja Himyar dari Yaman. Namun, identitas historisnya bukanlah fokus utama Al-Qur'an. Yang terpenting adalah sifat-sifatnya sebagai seorang pemimpin yang ideal: ia adalah seorang hamba Allah yang beriman, seorang raja yang adil dan bijaksana, serta seorang yang diberikan kekuatan dan "sarana" atau "jalan" (sababan) oleh Allah untuk mencapai segala sesuatu.

Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." (QS. Al-Kahfi: 84). Ayat ini menegaskan bahwa segala kekuasaan dan kemampuan Dzulqarnain adalah anugerah dari Allah, bukan semata-mata hasil kekuatannya sendiri. Ia menggunakan karunia ini bukan untuk penaklukan demi kepentingan pribadi atau untuk memperluas imperium secara zalim, melainkan untuk menegakkan keadilan, menolong yang lemah, dan menyebarkan kebaikan di muka bumi. Kepemimpinannya adalah model yang memadukan kekuatan fisik dan militer dengan keadilan moral dan spiritual.

Kisah Dzulqarnain digambarkan melalui tiga perjalanan besar:

  1. Perjalanan ke Barat: Dzulqarnain menempuh jalan ke arah terbenamnya matahari. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang hidup di tepi laut, mungkin di wilayah yang terpencil dan kurang beradab. Allah memberinya pilihan: untuk menghukum mereka atau berbuat baik kepada mereka. Dengan bijaksana dan adil, Dzulqarnain memutuskan untuk menghukum orang-orang yang zalim dan berbuat kerusakan, sementara orang-orang yang beriman dan berbuat baik akan mendapatkan balasan yang baik, bahkan janji untuk dimudahkan urusannya. Ini menunjukkan prinsip keadilan yang tegas namun juga penuh rahmat.
  2. Perjalanan ke Timur: Setelah perjalanan ke barat, Dzulqarnain menempuh jalan ke arah terbitnya matahari. Di sana, ia menemukan kaum yang hidup dalam kondisi sangat sederhana, "mereka tidak mempunyai penutup dari cahaya matahari" (QS. Al-Kahfi: 90). Ini bisa diartikan sebagai kondisi geografis yang terik dan tandus, atau bahkan kiasan tentang masyarakat yang primitif dan tidak memiliki peradaban yang maju. Dzulqarnain juga berinteraksi dengan mereka, dan Al-Qur'an menyebutkan bahwa ia "telah mengetahui keadaan mereka" (QS. Al-Kahfi: 91). Ini menyiratkan bahwa Dzulqarnain memiliki kepedulian untuk memahami kondisi rakyatnya dan memberikan solusi yang sesuai, meskipun detail tindakannya tidak dirinci dalam ayat-ayat ini, namun secara umum pasti konsisten dengan keadilan dan kebaikannya.
  3. Perjalanan ke suatu tempat di antara Dua Gunung: Inilah perjalanan ketiga yang secara spesifik dimulai atau ditandai oleh Al-Kahfi ayat 91. Setelah kedua perjalanan sebelumnya, Dzulqarnain melanjutkan petualangannya menuju suatu lokasi yang akan menjadi saksi proyek monumental. Dalam perjalanan inilah ia akan bertemu dengan kaum yang mengeluhkan Ya'juj dan Ma'juj, dan di sanalah ia akan membangun benteng pelindung yang terkenal itu.

Setiap perjalanan Dzulqarnain bukan sekadar ekspedisi geografis, melainkan sebuah manifestasi dari misi ilahiah untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan kebaikan. Ia adalah contoh sempurna bagaimana kekuasaan dan kekuatan yang besar harus digunakan untuk melayani kemanusiaan, bukan untuk menindas atau memperkaya diri. Ini adalah fondasi penting untuk memahami signifikansi Al-Kahfi ayat 91 sebagai pembuka babak terakhir dari kisah kepemimpinan agung ini.

Penjelasan Mendalam Al-Kahfi Ayat 91: Sebuah Titik Perubahan Naratif

Setelah mengisahkan dua perjalanan Dzulqarnain ke barat dan timur, Al-Qur'an kemudian melanjutkan narasi pada perjalanan ketiga yang memuncak pada pembangunan benteng. Al-Kahfi ayat 91 secara eksplisit menyatakan:

كَذَلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا ۝ ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا

Terjemahan ayat 90 dan 91 yang lebih lengkap:

"Demikianlah. Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui semua keadaan yang ada padanya. Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." (QS. Al-Kahfi: 90-91)

Ayat 90 berfungsi sebagai penutup narasi perjalanan ke timur, menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui segala tindakan Dzulqarnain dan semua kondisi yang dihadapinya. Ini adalah bentuk pengakuan ilahi atas keadilan dan hikmah Dzulqarnain. Kemudian, secara langsung mengikuti, datanglah Al-Kahfi ayat 91 yang berbunyi: "ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا" (Tsumma atba'a sababan), yang diterjemahkan menjadi "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." Ayat ini, meskipun sangat ringkas, merupakan jembatan naratif yang esensial dan penuh makna dalam kisah Dzulqarnain.

Analisis Linguistik dan Interpretasi Kata Per Kata dalam Ayat 91

Untuk memahami kedalaman Al-Kahfi ayat 91, kita perlu membedah setiap kata dan implikasinya dalam konteks bahasa Arab dan ajaran Al-Qur'an:

  1. ثُمَّ (Tsumma): Kata ini adalah konjungsi (kata penghubung) yang dalam bahasa Arab berarti "kemudian" atau "selanjutnya". Fungsi utamanya adalah menunjukkan urutan waktu dan kesinambungan narasi, namun juga seringkali menyiratkan adanya jeda atau peralihan dari satu kondisi ke kondisi berikutnya yang mungkin memiliki tingkat kepentingan yang berbeda. Dalam konteks ini, `tsumma` menandai peralihan dari dua perjalanan sebelumnya yang telah diceritakan (ke barat dan ke timur) ke sebuah perjalanan baru yang krusial. Ini bukan sekadar kelanjutan acak, melainkan sebuah "babak baru" dalam misi Dzulqarnain yang akan mengungkap tantangan dan solusi yang lebih besar. Penggunaan `tsumma` di sini menunjukkan bahwa perjalanan ini, meski melanjutkan rangkaian ekspedisi, membawa Dzulqarnain ke wilayah dan peristiwa yang belum pernah ia alami sebelumnya, dengan implikasi yang lebih besar.
  2. أَتْبَعَ (Atba'a): Kata kerja ini berasal dari akar kata تبع (tabi'a) yang berarti mengikuti, menempuh, atau menelusuri. Dalam bentuk `atba'a` (fi'il madhi - kata kerja lampau), ia mengandung makna intensitas atau penekanan bahwa Dzulqarnain *sungguh-sungguh mengikuti* atau *menempuh* jalan tersebut. Ini bukan perjalanan yang kebetulan atau tanpa arah. Sebaliknya, kata ini menyiratkan bahwa Dzulqarnain mengikuti jalan itu dengan tekad, tujuan, dan mungkin juga dengan persiapan yang matang atau bimbingan ilahi. Para mufasir sering menafsirkan bahwa `atba'a` di sini berarti ia "menempuh kembali" atau "melanjutkan dengan cara yang sama" yaitu dengan memanfaatkan sarana dan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Ini menggarisbawahi kegigihan dan kesungguhan Dzulqarnain dalam menjalankan amanah dan misinya.
  3. سَبَبًا (Sababan): Ini adalah kata kunci dengan multi-makna yang sangat kaya. Secara harfiah, `sababan` dapat berarti "jalan", "rute", "arah", "cara", "sarana", atau "sebab". Dalam konteks Al-Kahfi ayat 91, ini merujuk pada "jalan lain" yang ditempuh Dzulqarnain, menunjukkan rute geografis baru. Namun, lebih dari sekadar rute fisik, `sababan` dalam Al-Qur'an juga seringkali merujuk pada "sarana" atau "perantara" yang Allah berikan kepada seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Sebagaimana dalam ayat 84, Allah berfirman: "...dan Kami telah memberikan kepadanya sababan (jalan/sarana) untuk mencapai segala sesuatu." Ini berarti Dzulqarnain tidak hanya menempuh jalan secara fisik, tetapi ia juga menggunakan segala sarana, pengetahuan, kekuatan, dan kemampuan yang telah Allah anugerahkan kepadanya untuk berhasil dalam perjalanan tersebut. Ini bisa mencakup pengetahuannya tentang geografi, strategi, teknik, atau bahkan kemampuan berkomunikasi dengan berbagai kaum.

Dengan demikian, Al-Kahfi ayat 91 secara keseluruhan menyampaikan pesan yang jauh lebih dalam daripada sekadar pernyataan geografis. Ia adalah penegasan akan kontinuitas misi Dzulqarnain yang diberkahi Allah, sebuah perjalanan yang dipandu secara ilahi, menuju tujuan yang telah ditentukan, dengan memanfaatkan segala "sabab" (sarana dan jalan) yang telah Allah SWT persiapkan baginya. Ayat ini secara elegan mempersiapkan pembaca untuk peristiwa luar biasa yang akan terjadi selanjutnya, yaitu pertemuan dengan kaum yang terancam Ya'juj dan Ma'juj, serta pembangunan benteng monumental yang akan mengukir sejarah.

Keterkaitan Ayat 91 dengan Ayat Selanjutnya: Sebuah Jembatan Menuju Krisis dan Solusi

Pemahaman terhadap Al-Kahfi ayat 91 tidak akan lengkap tanpa mengaitkannya dengan ayat-ayat setelahnya. Ayat ini adalah gerbang pembuka menuju narasi krisis dan solusi yang akan dipaparkan. Setelah menyatakan bahwa Dzulqarnain "menempuh suatu jalan (yang lain)", ayat-ayat berikutnya (92-93) langsung menjelaskan hasil dari perjalanan tersebut:

حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا

"Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung (yang menghimpit), dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan." (QS. Al-Kahfi: 92-93)

Ayat-ayat ini adalah manifestasi langsung dari "jalan lain" yang ditempuh Dzulqarnain sebagaimana disebutkan dalam Al-Kahfi ayat 91. Ia sampai pada suatu lokasi geografis yang unik: di antara dua benteng alami berupa gunung (bainas saddaini). Di lokasi ini, ia bertemu dengan suatu kaum yang sangat terisolasi, yang Al-Qur'an gambarkan dengan frasa "qauman la yakaduna yafqahuna qaula"—suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan atau perkataan. Keterbatasan komunikasi ini bisa memiliki beberapa interpretasi, yang akan kita bahas lebih lanjut. Namun, intinya adalah kaum ini membutuhkan bantuan dan Dzulqarnain-lah yang ditakdirkan untuk tiba di sana melalui "jalan" yang telah Allah sediakan.

Jadi, Al-Kahfi ayat 91 adalah ayat fundamental yang mengarahkan fokus cerita ke titik pertemuan ini. Tanpa perjalanan baru yang disinggung ayat 91, Dzulqarnain tidak akan pernah mencapai lokasi tersebut, tidak akan bertemu dengan kaum yang tertindas, dan tidak akan membangun benteng untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj. Ini menunjukkan bahwa setiap langkah Dzulqarnain adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar, dan setiap "jalan" yang ia tempuh memiliki tujuan yang telah ditentukan.

Kaum "La Yakaduna Yafqahuna Qaula": Tantangan Komunikasi dan Empati Kepemimpinan

Salah satu detail yang sangat menarik dan sarat makna yang muncul segera setelah Al-Kahfi ayat 91 memperkenalkan perjalanan ketiga Dzulqarnain adalah gambaran kaum yang ia temui di antara dua gunung. Al-Qur'an secara spesifik menyebut mereka sebagai "suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan" (qauman la yakaduna yafqahuna qaula). Frasa ini mengundang berbagai tafsiran dari para ulama tafsir, namun inti pelajarannya tetap konsisten.

Apa makna dari "hampir tidak mengerti pembicaraan"?

Terlepas dari tafsiran yang tepat, poin utamanya adalah adanya hambatan komunikasi yang signifikan. Namun, Dzulqarnain tidak membiarkan hambatan ini menjadi penghalang untuk melaksanakan misinya. Ia menunjukkan kualitas kepemimpinan yang luar biasa: kesabaran, empati, dan kemampuan untuk mencari cara-cara alternatif dalam berkomunikasi dan memahami masalah kaum tersebut. Ia tidak meremehkan mereka karena keterbatasan mereka, melainkan berusaha keras untuk mendengarkan keluhan mereka tentang Ya'juj dan Ma'juj dan menemukan solusi yang konkret.

Fakta bahwa Al-Qur'an memilih untuk menyoroti detail ini setelah Al-Kahfi ayat 91 adalah sangat penting. Ini menunjukkan bahwa perjalanan Dzulqarnain, yang digambarkan sebagai menempuh "jalan lain" dan memanfaatkan "sabab" (sarana), tidak hanya melibatkan penjelajahan geografis, tetapi juga penjelajahan dalam interaksi sosial dan komunikasi yang kompleks. Ini adalah pelajaran berharga bagi setiap pemimpin atau siapa pun yang ingin berbuat kebaikan: bahwa empati dan kesabaran dalam komunikasi adalah kunci, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda latar belakang atau memiliki keterbatasan. Kemampuan Dzulqarnain untuk mengatasi jurang komunikasi ini merupakan bagian integral dari "sabab" (sarana) yang Allah anugerahkan kepadanya, memungkinkan ia untuk memahami kebutuhan mereka dan memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan.

Ya'juj dan Ma'juj: Ancaman yang Diatasi oleh Kebijaksanaan Dzulqarnain

Inti dari krisis yang dihadapi kaum yang ditemui Dzulqarnain setelah menempuh "jalan lain" yang disebut dalam Al-Kahfi ayat 91 adalah ancaman dari Ya'juj dan Ma'juj. Siapakah mereka dan mengapa mereka begitu ditakuti?

Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog dalam tradisi Abrahamik) adalah dua bangsa atau kelompok manusia yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka dikenal sebagai entitas perusak, pengacau, dan pembawa kehancuran di muka bumi. Meskipun Al-Qur'an tidak memberikan deskripsi fisik yang rinci tentang mereka, hadis-hadis Nabi SAW menggambarkan mereka sebagai kaum yang jumlahnya sangat banyak, memiliki kekuatan fisik yang besar, dan memiliki tabiat yang agresif serta merusak. Mereka adalah simbol dari kekuatan destruktif yang dapat mengganggu tatanan sosial, peradaban, dan ketenteraman.

Dalam kisah Surah Al-Kahfi, kaum yang ditemui Dzulqarnain mengadu kepadanya, "Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di bumi, maka dapatkah kami memberimu upah agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kahfi: 94). Keluhan ini menunjukkan bahwa Ya'juj dan Ma'juj adalah ancaman nyata yang telah menyebabkan penderitaan dan kekacauan bagi kaum tersebut. Mereka bukan hanya mitos, melainkan kekuatan yang secara periodik mengancam keamanan dan kehidupan.

Peran Dzulqarnain dalam menghadapi Ya'juj dan Ma'juj bukanlah untuk memusnahkan mereka secara total, melainkan untuk membangun benteng yang mampu menahan dan mengisolasi mereka. Ini adalah poin yang sangat penting. Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj serta kemunculan mereka pada akhir zaman adalah bagian dari ketetapan Allah yang tidak dapat dihindari. Benteng yang dibangun Dzulqarnain berfungsi sebagai penunda (sementara), bukan penghilang masalah secara permanen. Hal ini mengajarkan kita tentang konsep takdir ilahi dan bahwa setiap peristiwa memiliki waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Pada akhirnya, benteng itu akan runtuh, dan Ya'juj dan Ma'juj akan muncul kembali sebagai salah satu tanda besar Hari Kiamat, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-Anbiya dan berbagai hadis.

Kisah ini, yang bermula dari perjalanan Dzulqarnain yang disebut dalam Al-Kahfi ayat 91, mengajarkan kita tentang kesiapan menghadapi ancaman, pentingnya perlindungan komunitas, dan juga pengenalan terhadap tanda-tanda akhir zaman. Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj adalah ujian bagi umat manusia, dan tindakan Dzulqarnain adalah contoh bagaimana pemimpin yang saleh seharusnya merespons ancaman tersebut dengan kebijaksanaan, kekuatan, dan ketaatan kepada perintah Allah.

Pembangunan Benteng: Keajaiban Teknik, Keimanan, dan Kolaborasi

Setelah Dzulqarnain menempuh "jalan lain" yang diperkenalkan oleh Al-Kahfi ayat 91 dan bertemu dengan kaum yang mengeluhkan Ya'juj dan Ma'juj, ia merespons permintaan mereka dengan sebuah proyek pembangunan yang monumental. Kaum tersebut menawarkan upah, namun Dzulqarnain, dengan keikhlasan dan tawadhu'nya, menolak imbalan materi. Ia menyatakan bahwa karunia yang telah Allah berikan kepadanya jauh lebih baik. Ia hanya meminta bantuan tenaga dan material, bukan kekayaan:

"Apa yang telah dikuasakan Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka." (QS. Al-Kahfi: 95)

Respons Dzulqarnain ini adalah manifestasi dari kepemimpinan yang ideal, yang tidak mencari keuntungan pribadi dari kesulitan rakyatnya, melainkan mendedikasikan kekuatan dan sarana yang diberikan Allah untuk kebaikan umat. Ia kemudian memerintahkan pembangunan benteng dengan material dan metode yang luar biasa, menunjukkan kombinasi antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan keimanan:

  1. Pemilihan Lokasi yang Strategis: Benteng ini dibangun di celah antara dua gunung (bainas saddaini), memanfaatkan formasi alam sebagai bagian integral dari struktur pertahanan. Ini menunjukkan kebijaksanaan Dzulqarnain dalam memanfaatkan lingkungan dan mengintegrasikan solusi rekayasa dengan topografi alami.
  2. Material yang Unggul: Dzulqarnain meminta potongan-potongan besi (zubara al-hadid) dalam jumlah besar. Besi pada zaman itu adalah logam yang sangat kuat dan sulit dikerjakan. Ini menunjukkan teknologi metalurgi yang maju.
  3. Teknik Pembangunan yang Canggih: Setelah besi-besi tersebut terkumpul, ia memerintahkan agar besi itu dipanaskan hingga membara. Kemudian, ia menuangkan lelehan tembaga (qitran) di atas besi yang membara. Kombinasi panas tinggi dan pencampuran dua logam ini menghasilkan struktur yang sangat kokoh, padat, dan tahan lama. Proses ini tidak hanya memperkuat benteng secara fisik, tetapi juga mungkin memberikan efek pencegah tambahan seperti permukaan yang licin atau beracun bagi yang mencoba memanjat atau melubanginya.
  4. Kolaborasi dan Kepemimpinan Efektif: Dzulqarnain tidak membangun benteng ini sendirian. Ia menggerakkan seluruh kaum untuk membantunya, menunjukkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang efektif dalam mengorganisir proyek skala besar. Ini adalah contoh kolaborasi yang sukses antara pemimpin dan rakyat untuk mencapai tujuan bersama.

Hasilnya adalah sebuah benteng yang digambarkan sedemikian kokoh sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu memanjatnya (karena ketinggian dan mungkin kelicinannya), apalagi melubanginya (karena kekuatannya). Ini adalah mukjizat teknik yang diilhamkan Allah kepada Dzulqarnain, hasil dari "sabab" atau sarana dan pengetahuan yang telah diberikan kepadanya, sebagaimana disiratkan dalam Al-Kahfi ayat 91. Benteng ini menjadi simbol perlindungan ilahi yang diwujudkan melalui usaha manusia yang saleh.

Namun, Dzulqarnain sendiri, dengan kerendahan hatinya, menegaskan bahwa benteng ini adalah rahmat dari Tuhannya dan akan hancur pada waktu yang telah ditentukan Allah SWT:

"Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS. Al-Kahfi: 98)

Ayat ini adalah pengingat penting tentang sifat fana segala ciptaan dan kekuasaan manusia. Bahkan proyek raksasa sekalipun memiliki batas waktu. Ini mengajarkan kita untuk tidak sombong dengan pencapaian duniawi dan senantiasa mengakui bahwa segala kekuatan dan keberhasilan datang dari Allah SWT. Ini adalah pelajaran tentang takdir, tentang siklus kehidupan dan kehancuran, serta tentang hari perhitungan di akhirat.

Hikmah dan Pelajaran Fundamental dari Al-Kahfi Ayat 91 dan Kisahnya

Ayat 91 dari Surah Al-Kahfi, meski sederhana dalam struktur kalimatnya, adalah titik tolak menuju segudang hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah Dzulqarnain. Dari perjalanan "jalan lain" ini dan keseluruhan narasi pembangunan benteng, kita dapat merenungkan beberapa pelajaran berharga yang tetap relevan hingga saat ini:

1. Pentingnya Kontinuitas dalam Upaya dan Pencarian Solusi

Frasa "ثم أتبع سببا" (Tsumma atba'a sababan - Kemudian dia menempuh suatu jalan lain) dalam Al-Kahfi ayat 91 adalah simbol kegigihan dan inisiatif. Dzulqarnain tidak berhenti setelah menyelesaikan dua perjalanan awalnya yang sukses. Ia terus mencari "jalan lain" untuk menunaikan amanah yang lebih besar. Ini mengajarkan kita bahwa seorang pemimpin, atau individu yang bertanggung jawab, tidak boleh cepat berpuas diri dengan pencapaian yang sudah ada. Sebaliknya, harus ada semangat untuk terus bergerak maju, mencari peluang baru, dan menghadapi tantangan yang lebih besar demi kebaikan bersama.

Dalam konteks kehidupan modern, pelajaran ini sangat relevan. Kita diajarkan untuk memiliki mentalitas pertumbuhan, tidak berhenti belajar, berinovasi, dan terus mencari solusi kreatif untuk permasalahan yang terus berkembang. Baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, maupun ekonomi, semangat "menempuh jalan lain" adalah kunci untuk kemajuan dan mengatasi stagnasi. Ini juga mencerminkan sikap proaktif dalam menghadapi masalah, tidak menunggu masalah datang, tetapi pergi mencarinya untuk diselesaikan.

2. Model Kepemimpinan yang Adil, Amanah, dan Berbasis Tauhid

Kisah Dzulqarnain secara keseluruhan, yang diawali dengan perjalanan yang disinggung dalam Al-Kahfi ayat 91, adalah contoh kepemimpinan yang paripurna. Dzulqarnain adalah pemimpin yang:

Model kepemimpinan seperti ini, yang mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi, menjalankan kekuasaan dengan keadilan, dan selalu menyandarkan diri kepada Allah SWT, adalah cetak biru bagi para pemimpin di setiap zaman. Ini adalah panggilan untuk menolak korupsi, tirani, dan penyalahgunaan kekuasaan.

3. Empati dan Kemampuan Mengatasi Hambatan Komunikasi

Pertemuan Dzulqarnain dengan kaum "yang hampir tidak mengerti pembicaraan" setelah ia menempuh "jalan lain" (disebut dalam Al-Kahfi ayat 91) adalah pelajaran fundamental tentang komunikasi antarbudaya dan empati. Dalam menghadapi perbedaan bahasa, budaya, atau bahkan tingkat pemahaman, Dzulqarnain tidak menyerah. Ia berusaha keras untuk memahami permasalahan mereka dan menyampaikan solusinya. Ini mengajarkan kita:

Di era globalisasi, di mana interaksi lintas budaya semakin intens, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan empati adalah kunci untuk membangun jembatan pemahaman, mengurangi konflik, dan memupuk kerja sama global.

4. Penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Kesejahteraan Umat

Pembangunan benteng dengan menggunakan teknologi metalurgi canggih pada masanya (besi dan tembaga) oleh Dzulqarnain menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah anugerah Allah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Dzulqarnain tidak menggunakan kekuatan teknologi untuk kehancuran atau penindasan, melainkan untuk membangun perlindungan dan keamanan bagi kaum yang lemah. Ia adalah insinyur sekaligus pemimpin yang saleh, yang memadukan kekuatan ilmu dengan tujuan yang mulia.

Dalam dunia yang digerakkan oleh teknologi informasi dan inovasi sains, pelajaran ini sangat vital. Kita dituntut untuk memastikan bahwa setiap kemajuan teknologi diarahkan untuk memecahkan masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan, penyakit, dan kerusakan lingkungan, bukan untuk menciptakan senjata perang, memperlebar kesenjangan sosial, atau merusak etika. Kekuatan seperti yang diberikan kepada Dzulqarnain, yang diisyaratkan oleh `sababan` dalam Al-Kahfi ayat 91, harus digunakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab moral.

5. Konsep Takdir, Keterbatasan Kekuatan Manusia, dan Ketergantungan pada Allah

Meskipun benteng yang dibangun Dzulqarnain sangat perkasa, ia sendiri dengan kerendahan hati menyatakan bahwa benteng itu adalah "rahmat dari Tuhanku" dan akan hancur pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Ini adalah pengingat mendalam bahwa segala kekuatan, pencapaian, dan struktur yang dibangun manusia pada akhirnya fana. Hanya Allah SWT yang Maha Kekal dan Maha Kuasa. Benteng ini menunda kemunculan Ya'juj dan Ma'juj, bukan menghapuskannya. Ini adalah bagian dari rencana ilahi dan tanda-tanda Kiamat yang akan datang.

Pelajaran ini mengajarkan kita tentang kerendahan hati, tidak sombong dengan kekuasaan atau pencapaian duniawi, dan selalu menyandarkan diri pada Allah SWT. Segala sesuatu adalah ujian dan anugerah-Nya. Bahkan setelah menempuh "jalan lain" yang besar dan berhasil membangun benteng yang megah, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Al-Kahfi ayat 91, Dzulqarnain tetap sadar bahwa kekuasaannya terbatas dan segala sesuatu adalah karunia dari Allah semata, yang pada akhirnya akan kembali kepada ketetapan-Nya. Ini menguatkan konsep tawakal (berserah diri kepada Allah) setelah berusaha semaksimal mungkin.

6. Kesiapan Menghadapi Ancaman dan Berbagai Bentuk Fitnah

Kisah Ya'juj dan Ma'juj adalah simbol abadi dari ancaman dan kekuatan perusak yang akan selalu ada di muka bumi hingga akhir zaman. Mereka melambangkan kejahatan, kerusakan, dan kekacauan yang dapat mengganggu ketenteraman dan kebaikan. Tindakan Dzulqarnain yang membangun benteng adalah metafora untuk kesiapan umat manusia dalam menghadapi berbagai bentuk kejahatan dan kerusakan. Ini bisa berarti:

Dalam konteks modern, "Ya'juj dan Ma'juj" bisa diartikan secara kiasan sebagai kekuatan-kekuatan yang merusak tatanan sosial, ekonomi, politik, atau lingkungan. Kisah ini mendorong kita untuk senantiasa waspada, proaktif, dan bekerja sama dalam membangun "benteng" pelindung bagi diri, keluarga, dan masyarakat kita dari segala bentuk kerusakan.

Al-Kahfi Ayat 91 dalam Kontemplasi Kontemporer: Relevansi yang Abadi

Di tengah hiruk pikuk dan kompleksitas dunia modern, pelajaran dari Al-Kahfi ayat 91 dan kisah Dzulqarnain yang mengikutinya tetap relevan dan mendalam. Hikmah-hikmah ini memberikan panduan berharga bagi kita dalam menghadapi berbagai tantangan zaman:

Kepemimpinan Global yang Responsif dan Beretika

Kisah Dzulqarnain, yang menempuh berbagai "jalan" (seperti yang disiratkan dalam Al-Kahfi ayat 91) untuk mencapai tujuan keadilan dan perlindungan, menantang para pemimpin kontemporer. Di era globalisasi, masalah tidak lagi terbatas pada batas negara. Kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, konflik antarnegara, krisis kesehatan global seperti pandemi, dan migrasi massal adalah masalah global yang membutuhkan pemimpin dengan visi Dzulqarnain: pemimpin yang berani menjelajahi "jalan-jalan lain" untuk mencari solusi inovatif, bekerja tanpa pamrih, dan dengan fokus pada kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan hanya kepentingan pribadi, kelompok, atau nasional sempit. Kepemimpinan yang adil, transparan, beretika, dan berorientasi pada kesejahteraan global adalah esensi dari pelajaran ini, mendorong para pemimpin untuk melampaui kepentingan diri sendiri demi kebaikan yang lebih besar.

Mengatasi Hambatan Komunikasi dan Polarisasi di Era Digital

Meskipun kita memiliki teknologi komunikasi yang canggih yang menghubungkan miliaran orang dalam hitungan detik, kesalahpahaman, polarisasi, dan konflik narasi masih merajalela. Kaum "yang hampir tidak mengerti pembicaraan" (setelah Dzulqarnain menempuh jalan yang disebutkan dalam Al-Kahfi ayat 91) adalah metafora yang kuat untuk jurang komunikasi yang dapat muncul karena perbedaan budaya, ideologi politik, latar belakang sosial-ekonomi, atau bahkan tingkat literasi digital. Kita perlu mengembangkan empati, kesabaran, dan kemampuan mendengarkan yang aktif untuk menjembatani perbedaan ini. Menggunakan platform digital dengan bijak untuk mempromosikan dialog konstruktif, bukan untuk menyebarkan kebencian atau disinformasi, adalah kunci. Ini berarti belajar untuk memahami perspektif yang berbeda, mencari bahasa universal untuk mencapai konsensus, dan membangun jembatan daripada tembok dalam interaksi daring maupun luring.

Membangun Benteng Moral dan Etika di Tengah Arus Informasi

Jika Ya'juj dan Ma'juj adalah simbol kekuatan perusak yang meneror suatu kaum, maka di era digital ini, kita menghadapi "arus informasi" yang tak terbendung, yang dapat menjadi perusak jika tidak difilter dan diproses dengan baik. Berita palsu (hoax), ujaran kebencian, cyberbullying, pornografi, dan konten merusak lainnya adalah bentuk-bentuk "Ya'juj dan Ma'juj" modern yang dapat merusak tatanan sosial, kesehatan mental, dan nilai-nilai moral. Pembangunan benteng oleh Dzulqarnain mengajarkan kita untuk secara proaktif membangun "benteng moral dan etika" dalam diri kita, keluarga, dan masyarakat. Ini termasuk pendidikan kritis tentang media, literasi digital, penguatan nilai-nilai agama dan moral, serta kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang bermanfaat dari yang merusak. Benteng ini, seperti yang dibangun Dzulqarnain, memerlukan upaya kolektif, komitmen yang kuat dari setiap individu dan lembaga pendidikan, serta kesadaran spiritual yang tinggi.

Keseimbangan Antara Kemajuan Materi dan Pertumbuhan Spiritual

Dzulqarnain diberi "sarana" atau "jalan" (sababan) oleh Allah, yang dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan, kekuasaan, dan teknologi. Ia menggunakannya untuk tujuan mulia: melindungi yang lemah dan membangun sesuatu yang bermanfaat. Ini mengajarkan kita pentingnya menyeimbangkan kemajuan materi dan ilmu pengetahuan dengan pertumbuhan spiritual dan etika. Teknologi harus menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, melayani sesama, dan meningkatkan kualitas hidup secara holistik, bukan untuk kesombongan, konsumerisme yang berlebihan, atau kerusakan lingkungan. Setiap inovasi, setiap proyek pembangunan besar, harus dilandasi oleh kesadaran bahwa itu adalah anugerah dari Allah dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Kisah ini, yang bermula dari perjalanan yang diuraikan dalam Al-Kahfi ayat 91, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati berasal dari Allah, dan segala upaya manusia hanyalah "sabab" (sebab atau sarana) yang harus digunakan dengan kebijaksanaan, kerendahan hati, dan rasa syukur.

Kisah Dzulqarnain juga menginspirasi kita untuk merenungkan bahwa di balik setiap kesulitan, ada peluang untuk berbuat kebaikan. Kaum yang terancam Ya'juj dan Ma'juj adalah simbol dari komunitas mana pun yang tertindas atau menghadapi ancaman, baik itu kemiskinan, ketidakadilan, atau bencana. Sikap Dzulqarnain untuk segera bertindak dan membangun solusi mengajarkan kita tentang tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Ini adalah panggilan untuk tidak pasif di hadapan penderitaan, melainkan untuk menggunakan setiap karunia yang diberikan Allah — baik itu kekuasaan, kekayaan, ilmu, atau keterampilan — untuk menjadi agen perubahan yang positif di dunia. Setiap individu, sekecil apapun perannya, dapat menjadi "Dzulqarnain" dalam lingkupnya sendiri, menempuh "jalan lain" untuk menyelesaikan masalah dan menyebarkan kebaikan, dengan keyakinan penuh bahwa Allah akan memberikan "sabab" (jalan dan sarana) bagi mereka yang tulus berjuang di jalan-Nya.

Kesimpulan: Cahaya Hikmah yang Tak Padam dari Al-Kahfi Ayat 91

Al-Kahfi ayat 91, meskipun tampak sederhana dengan frasa "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)", adalah sebuah titik awal yang fundamental dan sangat signifikan dalam salah satu kisah paling inspiratif dan sarat pelajaran dalam Al-Qur'an. Ayat ini mengisyaratkan kontinuitas misi Dzulqarnain yang diberkahi oleh Allah, menandai permulaan perjalanan ketiganya menuju sebuah tujuan yang lebih besar, yaitu perlindungan umat manusia dari kekuatan perusak Ya'juj dan Ma'juj. Ia adalah jembatan naratif yang menghubungkan perjalanan awal Dzulqarnain dengan puncak kepemimpinannya dalam membangun benteng yang legendaris.

Dari perjalanan yang disiratkan dalam Al-Kahfi ayat 91 hingga puncaknya dalam pembangunan benteng, kita belajar banyak hal: pentingnya kepemimpinan yang adil, visioner, dan tanpa pamrih; kekuatan empati dan komunikasi efektif dalam mengatasi perbedaan; penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan umat; serta kerendahan hati di hadapan takdir ilahi yang menetapkan batas bagi segala pencapaian manusia. Kisah ini bukan hanya catatan sejarah masa lalu, melainkan sebuah cermin yang memantulkan tantangan dan peluang yang kita hadapi di masa kini, menawarkan panduan moral dan etika yang abadi.

Semoga dengan merenungkan makna dari Al-Kahfi ayat 91 dan seluruh kisah Dzulqarnain, kita dapat mengambil pelajaran berharga untuk menjadi individu yang lebih baik, pemimpin yang lebih adil dan bertanggung jawab, serta anggota masyarakat yang lebih peduli dan proaktif. Benteng yang dibangun Dzulqarnain adalah simbol universal dari upaya manusia untuk menjaga kebaikan, keadilan, dan keamanan di tengah ancaman kejahatan dan kerusakan. Ini adalah upaya yang harus terus kita lakukan dengan keyakinan penuh kepada Allah SWT, yang senantiasa menganugerahkan "sabab" (jalan dan sarana) bagi mereka yang tulus berjuang di jalan-Nya.

Mengakhiri pembahasan mendalam ini, marilah kita jadikan Surah Al-Kahfi sebagai sumber inspirasi tak berujung, terutama ayat-ayat yang mengisahkan Dzulqarnain. Dengan memahami, merenungkan, dan mengamalkan hikmah di baliknya, kita berharap dapat selalu berada dalam lindungan dan bimbingan Allah SWT, melewati berbagai fitnah dunia dengan keimanan dan ketakwaan, hingga tiba saatnya Hari Kiamat, ketika segala rahasia akan tersingkap dan benteng Dzulqarnain pun akan hancur lebur sesuai janji Allah SWT. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa mencari ilmu, berbuat kebaikan, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang abadi.

🏠 Homepage