وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًاۚ فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا ࣖ ٨٢
Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanan hartanya itu sebagai suatu rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu atas kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 82
Ayat ini mengakhiri penjelasan Khidir mengenai tindakan ketiganya yang misterius, yaitu memperbaiki dinding yang hampir roboh di sebuah negeri yang penduduknya tidak mau menjamu mereka. Nabi Musa sempat mempertanyakan mengapa Khidir tidak meminta upah untuk pekerjaan tersebut, padahal mereka membutuhkan makanan.
Khidir menjelaskan, "Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayah mereka seorang yang saleh." (Wa ammal jidāru fakāna li ghulāmaini yatīmaini fil madīnati wa kāna tahtahū kanzun lahumā wa kāna abūhumā sālihā). Ini adalah kunci dari tindakan Khidir. Dinding itu melindungi harta karun milik dua anak yatim. Jika dinding itu roboh, harta karun itu akan terlihat dan kemungkinan besar diambil oleh penduduk kota yang tidak ramah itu.
Poin penting di sini adalah frasa "dan ayah mereka seorang yang saleh" (wa kāna abūhumā sālihā). Kesalehan ayah ini menjadi sebab Allah melindungi keturunannya. Ini menunjukkan bahwa amal kebaikan seseorang bisa mendatangkan manfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi keturunannya, bahkan setelah ia meninggal dunia. Ini adalah bukti kasih sayang Allah yang meluas kepada keluarga orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Selanjutnya, Khidir melanjutkan, "Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanan hartanya itu sebagai suatu rahmat dari Tuhanmu." (Fa arāda rabbuka an yablugā ashuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā rahmatan mir rabbik). Allah tidak menghendaki harta itu ditemukan saat mereka masih kecil dan tidak berdaya untuk menjaganya. Dengan dinding yang kokoh, harta itu aman hingga mereka dewasa, mampu mengelola dan memanfaatkan hartanya sendiri. Ini adalah rahmat dan pengaturan yang sempurna dari Allah.
Khidir menutup penjelasannya dengan kalimat tegas: "Dan bukanlah aku melakukannya itu atas kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya." (Wa mā fa’altuhū ‘an amrī. Dzālika ta’wīlu mā lam tasti’ ‘alaihi sabrā). Khidir kembali menegaskan bahwa semua tindakannya, melubangi perahu, membunuh anak, dan memperbaiki dinding, bukanlah inisiatif pribadi melainkan berdasarkan wahyu atau ilham dari Allah. Ini mengakhiri semua pertanyaan Nabi Musa dan sekaligus mengakhiri perpisahan mereka.
Pelajaran yang bisa kita petik dari ayat terakhir kisah Musa dan Khidir ini sangat kaya:
- Keberkahan Amal Shalih: Ayat ini menjadi dalil yang kuat bahwa kesalehan orang tua dapat menjadi pelindung dan sebab kebaikan bagi anak cucu mereka. Allah menjaga keturunan orang yang saleh, bahkan memberikan rezeki yang tidak terduga karena kebaikan nenek moyang mereka. Ini mendorong kita untuk senantiasa beramal saleh dan meninggalkan warisan kebaikan bagi generasi mendatang.
- Perlindungan Allah bagi Anak Yatim: Allah sangat peduli terhadap anak yatim dan memerintahkan umat Islam untuk menjaga hak-hak mereka. Dalam kisah ini, Allah secara langsung melindungi harta anak yatim melalui perantaraan Khidir.
- Waktu yang Tepat (Timing Ilahi): Allah memiliki waktu yang sempurna untuk segala sesuatu. Harta itu tidak diungkap saat anak-anak itu masih kecil, melainkan ketika mereka telah dewasa dan siap untuk mengelolanya. Ini mengajarkan kita untuk bersabar dan percaya pada ketetapan waktu Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.
- Rahmat Allah yang Berlimpah: Tindakan Khidir ini adalah manifestasi rahmat Allah. Rahmat itu meliputi perlindungan terhadap kedua orang tua yang shalih (dari anak durhaka), perlindungan harta anak yatim, dan pemberian ilmu kepada Khidir untuk melaksanakan misi Ilahi ini.
- Penekanan pada Ilmu Ladunni: Khidir menekankan bahwa tindakannya bukan atas kemauan sendiri, melainkan perintah Allah. Ini membedakan ilmu yang diberikan kepada Khidir dari syariat yang dibawa Nabi Musa. Nabi Musa memahami hukum lahiriah, sedangkan Khidir memahami hikmah batiniah dari ketentuan Allah.
- Puncak Kesabaran dan Penyerahan Diri: Kisah ini mencapai puncaknya dengan pengakuan Nabi Musa terhadap keterbatasan ilmunya dan pentingnya kesabaran. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk senantiasa merendahkan diri di hadapan ilmu Allah yang tak terhingga dan bersabar menghadapi takdir yang mungkin tidak kita pahami.
Secara keseluruhan, kisah Musa dan Khidir adalah alegori agung tentang hakikat ilmu, batasan akal manusia, kehendak Ilahi yang misterius namun penuh hikmah, serta pentingnya kesabaran dan tawakal (penyerahan diri kepada Allah). Ini adalah pelajaran abadi yang relevan untuk setiap generasi, mengingatkan kita bahwa ada dimensi tak terlihat dalam setiap kejadian yang hanya Allah yang mengetahuinya.
Kisah Dhul-Qarnayn: Pemimpin Adil dan Bijaksana
Ayat 83
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِۗ قُلْ سَاَتْلُوْا عَلَيْكُمْ مِّنْهُ ذِكْرًا ٨٣
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dhul-Qarnayn. Katakanlah, "Akan kubacakan kepadamu kisahnya."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 83
Setelah kisah Musa dan Khidir, Surah Al-Kahfi melanjutkan dengan kisah yang ketiga, yaitu tentang Dhul-Qarnayn. Ayat ini menjadi jembatan dan pembuka kisah tersebut. Frasa "Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dhul-Qarnayn" (Wa yas'alūnaka 'an Dhi al-Qarnayn) menunjukkan bahwa pertanyaan ini diajukan kepada Nabi Muhammad SAW oleh orang-orang Quraisy, kemungkinan atas hasutan kaum Yahudi yang ingin menguji kenabian Muhammad. Mereka bertanya tentang seorang raja besar yang memiliki dua tanduk atau dua masa, yang kisahnya familiar dalam tradisi mereka.
Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan, melainkan sebuah ujian. Kaum Yahudi memiliki pengetahuan tentang kisah-kisah kuno seperti Dhul-Qarnayn (yang beberapa penafsir mengidentifikasinya dengan Cyrus Agung dari Persia, atau Iskandar Agung dari Makedonia, meskipun Al-Qur'an tidak secara spesifik menyebutkan identitas historisnya, melainkan fokus pada karakternya sebagai pemimpin). Jika Nabi Muhammad dapat menjawabnya, itu akan menjadi bukti kenabiannya.
Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menjawab, "Katakanlah, 'Akan kubacakan kepadamu kisahnya.'" (Qul sa-atlū 'alaikum minhu dzikrā). Jawaban ini menunjukkan bahwa kisah Dhul-Qarnayn adalah wahyu dari Allah, bukan sekadar cerita yang diketahui umum. Frasa "akan kubacakan kepadamu kisahnya" juga menyiratkan bahwa Al-Qur'an akan menyajikan esensi dan hikmah dari kisah tersebut, bukan sekadar narasi sejarah yang detail, melainkan pelajaran universal tentang kepemimpinan, keadilan, dan kekuasaan.
Pelajaran dari ayat ini:
- Ujian Kenabian: Pertanyaan ini berfungsi sebagai ujian terhadap Nabi Muhammad. Kemampuan beliau untuk menjawab dengan detail tentang kisah Dhul-Qarnayn yang tidak dikenal luas di kalangan Arab menjadi bukti kenabiannya.
- Sumber Pengetahuan: Nabi Muhammad tidak menjawab dari pengetahuannya sendiri, melainkan dari wahyu Allah. Ini menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah sumber kebenaran dan ilmu yang berasal dari Ilahi.
- Pentingnya Kisah dalam Al-Qur'an: Al-Qur'an seringkali menggunakan kisah-kisah masa lalu sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral, spiritual, dan hukum. Kisah Dhul-Qarnayn akan mengajarkan tentang kepemimpinan yang adil dan beriman.
- Fokus pada Pelajaran, Bukan Identitas Historis: Al-Qur'an tidak terlalu mementingkan siapa Dhul-Qarnayn secara historis, melainkan pada karakteristiknya, tindakannya, dan pelajaran yang dapat diambil darinya. Ini adalah ciri khas gaya penceritaan Al-Qur'an.
Ayat ini berfungsi sebagai pengantar yang menarik, menyiapkan pembaca untuk sebuah narasi epik tentang seorang pemimpin yang bijaksana dan kekuasaan yang digunakan untuk kebaikan.
Ayat 84
اِنَّا مَكَّنَّا لَهٗ فِى الْاَرْضِ وَاٰتَيْنٰهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًاۙ ٨٤
Sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 84
Ayat ini langsung menguraikan karakteristik Dhul-Qarnayn yang membuatnya menjadi sosok penting. Allah SWT berfirman, "Sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi," (Innā makkannā lahū fil-ardi). Kata "makkannā" (Kami telah memberi kekuasaan) menunjukkan bahwa kekuasaan Dhul-Qarnayn bukanlah hasil dari kekuatan pribadinya semata, melainkan anugerah langsung dari Allah. Ini adalah poin penting yang akan terus ditekankan dalam kisah ini: bahwa semua kekuasaan dan kemampuan berasal dari Allah.
Kekuasaan yang diberikan kepadanya sangat luas, mencakup pemerintahan, kemampuan militer, dan pengaruh atas wilayah yang luas. Ini menggambarkan Dhul-Qarnayn sebagai seorang penguasa yang memiliki otoritas besar di muka bumi.
Kemudian, dilanjutkan dengan, "dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." (Wa ātaināhu min kulli syai'in sababā). Frasa "min kulli syai'in sababā" (jalan untuk mencapai segala sesuatu) memiliki makna yang sangat luas. Beberapa penafsir mengartikannya sebagai:
- Sarana Material: Dia diberi kekayaan, pasukan, teknologi (seperti pembuatan tembok), dan logistik yang memadai untuk melakukan ekspedisi dan proyek besar.
- Ilmu dan Pengetahuan: Dia diberi pemahaman tentang geografi, strategi militer, politik, dan bahkan ilmu pengetahuan yang memungkinkan dia untuk mengatasi berbagai tantangan.
- Kemampuan Politik dan Sosial: Dia memiliki karisma dan kemampuan untuk mengatur rakyatnya, meyakinkan mereka, serta mengelola sumber daya manusia dengan efektif.
- Petunjuk Ilahi: Yang paling penting, dia diberi petunjuk dan bimbingan dari Allah dalam setiap langkahnya, memastikan bahwa tindakannya selalu sesuai dengan keadilan dan kebenaran.
Singkatnya, Dhul-Qarnayn dianugerahi segala macam 'sebab' atau 'sarana' yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan-tujuan besar dan mengatasi rintangan yang ia hadapi. Dia bukan hanya memiliki kekuatan, tetapi juga kebijaksanaan dan alat untuk menggunakannya secara efektif.
Pelajaran dari ayat ini:
- Asal Kekuasaan: Semua kekuasaan, kekuatan, dan sarana di dunia ini berasal dari Allah SWT. Seorang pemimpin sejati harus selalu menyadari hal ini dan tidak bersikap sombong atas anugerah yang diterimanya.
- Tanggung Jawab Kekuasaan: Kekuasaan yang besar datang dengan tanggung jawab yang besar. Dhul-Qarnayn diberikan sarana bukan untuk kesenangan pribadi, melainkan untuk menegakkan keadilan dan kebaikan.
- Prinsip Kausalitas (Asbab): Ayat ini menggarisbawahi pentingnya menggunakan 'sebab-seebab' atau sarana yang telah Allah sediakan. Meskipun segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, manusia tetap diperintahkan untuk berusaha dan menggunakan segala kemampuan yang diberikan-Nya. Dhul-Qarnayn adalah contoh pemimpin yang tidak hanya pasrah, tetapi aktif menggunakan 'sebab' untuk mencapai tujuannya.
- Ideal Pemimpin: Dhul-Qarnayn di sini digambarkan sebagai pemimpin ideal yang memiliki dukungan Ilahi (kekuasaan) dan kemampuan praktis (sarana) untuk mewujudkan kebaikan di bumi.
Ayat ini meletakkan dasar bagi kisah Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin yang sangat diistimewakan oleh Allah, namun kekuasaannya selalu disandarkan pada kehendak Ilahi. Ini menjadi kontras yang menarik dengan kisah Fir'aun atau Namrud yang juga memiliki kekuasaan besar namun mengklaim keilahian atau bertindak semena-mena.
Ayat 85
فَاَتْبَعَ سَبَبًا ٨٥
Maka dia menempuh suatu jalan.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 85
Ayat yang singkat ini berfungsi sebagai penghubung antara anugerah kekuasaan dan sarana dari Allah (disebutkan dalam ayat 84) dengan tindakan Dhul-Qarnayn selanjutnya. Frasa "Maka dia menempuh suatu jalan" (Fa atba'a sababā) secara literal berarti "maka dia mengikuti sebuah jalan" atau "maka dia menempuh suatu sebab/sarana".
Ini menunjukkan bahwa Dhul-Qarnayn adalah seorang pemimpin yang aktif, proaktif, dan visioner. Dia tidak berdiam diri setelah diberi kekuasaan dan sarana. Sebaliknya, dia langsung menggunakannya untuk tujuan yang lebih besar. "Jalan" atau "sebab" di sini bisa diartikan sebagai:
- Perjalanan Fisik: Dia memulai ekspedisi atau perjalanan ke berbagai penjuru bumi.
- Strategi dan Metode: Dia menerapkan strategi dan metode tertentu untuk mencapai tujuannya, baik itu dalam penaklukan, pembangunan, atau penegakan keadilan.
- Tujuan Ilahi: Dia menempuh jalan yang telah digariskan atau diilhamkan oleh Allah kepadanya, yaitu untuk menyebarkan keadilan dan kebaikan.
Ayat ini singkat namun padat makna, menekankan sifat Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin yang tidak menyia-nyiakan anugerah Allah. Dia segera bertindak, menggunakan "sebab" yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan. Ini adalah contoh bagaimana seorang pemimpin harus tanggap dan efektif dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya demi kebaikan umat.
Pelajaran dari ayat ini:
- Aksi dan Inisiatif: Seorang pemimpin sejati tidak hanya memiliki visi, tetapi juga mengambil tindakan nyata untuk mewujudkannya. Dhul-Qarnayn adalah sosok yang proaktif.
- Memanfaatkan Anugerah: Anugerah kekuasaan, harta, atau ilmu harus dimanfaatkan untuk tujuan yang positif dan konstruktif. Dhul-Qarnayn menunjukkan bagaimana menggunakan "sebab" secara bertanggung jawab.
- Gerakan dan Dinamisme: Islam mendorong umatnya untuk bergerak, menjelajahi, dan berinteraksi dengan dunia, bukan berdiam diri. Kisah ini menggambarkan ekspansi kebaikan dan keadilan.
Ayat ini mempersiapkan pembaca untuk mengikuti perjalanan Dhul-Qarnayn yang menakjubkan, yang akan membawa kita ke ujung barat bumi.
Ayat 86
حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَّوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًاۗ قُلْنَا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِمَّآ اَنْ تُعَذِّبَ وَاِمَّآ اَنْ تَتَّخِذَ فِيْهِمْ حُسْنًا ٨٦
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana didapatinya suatu kaum (penghuni). Kami berfirman, "Wahai Dhul-Qarnayn! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 86
Ayat ini menceritakan perjalanan pertama Dhul-Qarnayn, yaitu ke arah barat. "Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari," (Hattā iżā balagho maghribasy syamsi). Frasa "tempat terbenam matahari" secara harfiah tidak berarti ia mencapai batas akhir alam semesta atau tempat matahari benar-benar tenggelam. Ini adalah ungkapan kiasan yang lazim dalam bahasa Arab dan banyak bahasa kuno lainnya, merujuk pada titik terjauh di barat yang dapat dijangkau manusia, di mana laut luas membentang seolah-olah matahari masuk ke dalamnya.
Kemudian dilanjutkan, "dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam," (wajadahā taghrubu fī 'ainin hami'atiw). Istilah "laut yang berlumpur hitam" ('ainin hami'ah) bisa diartikan sebagai perairan yang keruh, gelap, atau rawa yang luas. Dari sudut pandang Dhul-Qarnayn yang berada di tepian, dengan cakrawala yang luas dan terhalang oleh uap air atau kabut, matahari memang tampak seperti tenggelam di dalam air berlumpur. Ini adalah penggambaran visual yang realistis dari apa yang akan dilihat oleh pengamat di daratan ketika matahari terbenam di laut luas atau rawa-rawa besar. Ini bukan pernyataan ilmiah tentang fenomena kosmik, melainkan deskripsi visual dari perspektif manusia.
Di tempat itu, Dhul-Qarnayn "di sana didapatinya suatu kaum (penghuni)." (Wa wajada 'indahā qaumā). Ini menunjukkan bahwa di ujung barat tersebut terdapat masyarakat yang kemungkinan besar belum beradab atau terisolasi, yang hidup di dekat perairan yang digambarkan. Allah kemudian berfirman kepada Dhul-Qarnayn, "Wahai Dhul-Qarnayn! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka." (Qulnā yā Dhal-Qarnaini immā an tu'adzdziba wa immā an tattakhidza fīhim husnā).
Kalimat ini adalah momen krusial yang menunjukkan otoritas dan keadilan Dhul-Qarnayn. Allah memberinya pilihan:
- Menyiksa (tu'adzdziba): Ini bisa berarti menghukum mereka yang zalim, menindas, atau menolak kebenaran.
- Berbuat kebaikan (tattakhidza fīhim husnā): Ini berarti memperlakukan mereka dengan adil, mendidik, atau menyebarkan kebaikan dan keadilan.
Pilihan ini adalah ujian bagi Dhul-Qarnayn sebagai seorang pemimpin. Kekuasaan penuh ada di tangannya, namun ia diberi petunjuk untuk menggunakannya secara bijaksana.
Pelajaran dari ayat ini:
- Perjalanan dan Eksplorasi: Kisah ini mendorong manusia untuk melakukan perjalanan, menjelajahi bumi, dan berinteraksi dengan berbagai masyarakat.
- Penggambaran Visual yang Realistis: Deskripsi matahari terbenam menunjukkan bagaimana Al-Qur'an menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pendengar pada masanya, menggambarkan fenomena alam dari sudut pandang pengamat, bukan penjelasan ilmiah modern.
- Pilihan dan Tanggung Jawab Pemimpin: Dhul-Qarnayn diberi kebebasan untuk memilih bagaimana memperlakukan kaum yang ia temui. Ini menyoroti tanggung jawab besar seorang pemimpin dalam membuat keputusan yang adil dan benar.
- Ujian Kekuasaan: Kekuasaan yang besar seringkali menjadi ujian. Apakah Dhul-Qarnayn akan menyalahgunakannya untuk menindas atau menggunakannya untuk kebaikan?
- Bimbingan Ilahi: Allah tidak meninggalkan Dhul-Qarnayn tanpa petunjuk. Bimbingan-Nya memastikan bahwa keputusannya adalah yang terbaik.
Ayat ini memperkenalkan kita pada prinsip-prinsip kepemimpinan Dhul-Qarnayn yang adil, yang akan terlihat lebih jelas dalam ayat-ayat berikutnya.
Ayat 87
قَالَ اَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهٗ ثُمَّ يُرَدُّ اِلٰى رَبِّهٖ فَيُعَذِّبُهٗ عَذَابًا نُّكْرًا ٨٧
Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, "Barang siapa berbuat zalim, maka akan kami siksa dia, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat pedih."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 87
Ayat ini mengungkapkan jawaban Dhul-Qarnayn terhadap pilihan yang diberikan Allah kepadanya (untuk menyiksa atau berbuat kebaikan). Ini menunjukkan prinsip keadilannya yang tegas. "Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Barang siapa berbuat zalim, maka akan kami siksa dia,'" (Qāla ammā man zhalama fa saufa nu'adzdzibuhū). Dhul-Qarnayn dengan jelas menyatakan bahwa ia akan menghukum mereka yang berbuat zalim. Kezaliman di sini bisa mencakup segala bentuk kejahatan, penindasan, atau kemaksiatan yang terang-terangan.
Hukuman yang Dhul-Qarnayn maksudkan adalah hukuman di dunia ini, yang merupakan konsekuensi langsung dari tindakan kezaliman mereka. Ini mencerminkan tanggung jawab seorang penguasa untuk menegakkan hukum dan ketertiban serta mencegah kejahatan di wilayah kekuasaannya.
Bagian kedua dari jawabannya menunjukkan pemahaman Dhul-Qarnayn tentang Hari Akhir dan kekuasaan Allah yang mutlak: "kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat pedih." (Tsumma yuraddu ilā rabbihī fa yu'adzdzibuhū 'adzāban nukrā). Dhul-Qarnayn tidak hanya menghukum di dunia, tetapi ia juga mengingatkan tentang hukuman yang lebih berat di akhirat. Ini menunjukkan keimanannya yang kuat kepada Allah dan Hari Pembalasan. Azab yang "sangat pedih" ('adzāban nukrā) mengisyaratkan bahwa hukuman Allah di akhirat jauh lebih dahsyat dan tak terbayangkan dibandingkan hukuman di dunia.
Pelajaran dari ayat ini:
- Keadilan yang Tegas: Dhul-Qarnayn adalah pemimpin yang adil dan tegas. Ia tidak ragu untuk menghukum pelaku kezaliman demi menjaga ketertiban dan melindungi yang lemah.
- Penegakan Hukum Duniawi: Ayat ini menggarisbawahi peran negara dan pemimpin dalam menegakkan hukum untuk memastikan keadilan sosial dan keamanan.
- Iman Kepada Akhirat: Jawaban Dhul-Qarnayn menunjukkan keimanannya yang mendalam kepada Allah dan Hari Pembalasan. Dia memahami bahwa hukuman di dunia hanyalah permulaan, dan hukuman abadi menanti di akhirat bagi para pelaku kezaliman.
- Peringatan dan Pencegahan: Dengan menyebutkan azab akhirat, Dhul-Qarnayn memberikan peringatan keras, yang mungkin berfungsi sebagai pencegah bagi potensi pelaku kezaliman.
- Kombinasi Keadilan dan Ketakwaan: Ini adalah contoh ideal seorang pemimpin yang menggabungkan keadilan duniawi dengan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Ilahi.
Sikap Dhul-Qarnayn menunjukkan kebijaksanaannya: dia menegakkan keadilan di dunia, dan pada saat yang sama, ia mengingatkan rakyatnya tentang keadilan yang lebih tinggi di hadapan Allah.
Ayat 88
وَاَمَّا مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهٗ جَزَاۤءًۨ الْحُسْنٰىۚ وَسَنَقُوْلُ لَهٗ مِنْ اَمْرِنَا يُسْرًا ٨٨
Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia akan mendapat balasan yang terbaik sebagai pahala, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 88
Setelah menjelaskan bagaimana ia akan memperlakukan orang-orang zalim, Dhul-Qarnayn kemudian menjelaskan perlakuan yang ia berikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. "Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia akan mendapat balasan yang terbaik sebagai pahala," (Wa ammā man āmana wa 'amila sālihan fa lahū jazā'an al-husnā).
Ini adalah kontras yang jelas. Bagi mereka yang beriman kepada Allah dan melakukan perbuatan baik, mereka akan menerima "balasan yang terbaik" (jazā'an al-husnā). "Al-Husnā" dalam konteks ini berarti surga dan segala kenikmatan di dalamnya. Dhul-Qarnayn tidak hanya berjanji balasan di akhirat, tetapi juga akan memberikan kemudahan di dunia.
Bagian kedua dari ayat ini menjelaskan perlakuan Dhul-Qarnayn di dunia: "dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah." (Wa sanaqūlu lahū min amrinā yusrā). Ini bisa diartikan sebagai:
- Kemudahan dalam Tata Kelola: Dhul-Qarnayn akan memberikan kemudahan dalam hidup mereka, tidak memberatkan dengan pajak atau tugas yang sulit, serta memberikan keringanan dalam aturan hukum.
- Bimbingan dan Petunjuk: Ia akan memberikan bimbingan yang baik, mengajarinya hal-hal yang benar, dan membimbing mereka ke jalan kebaikan.
- Penghargaan dan Pemberdayaan: Orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan diberdayakan, diberikan posisi yang layak, dan didukung untuk terus melakukan kebaikan.
Singkatnya, Dhul-Qarnayn akan memperlakukan mereka dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, membuat hidup mereka nyaman dan mendukung pertumbuhan spiritual dan material mereka.
Pelajaran dari ayat ini:
- Keadilan yang Berimbang: Dhul-Qarnayn menunjukkan keadilan yang seimbang: keras terhadap kezaliman dan lembut terhadap kebaikan. Ini adalah prinsip kepemimpinan yang ideal.
- Penghargaan Bagi Kebaikan: Seorang pemimpin yang baik harus menghargai dan memfasilitasi warganya yang beriman dan beramal saleh, memberikan mereka insentif dan dukungan untuk terus berbuat baik.
- Penerapan Syariat yang Moderat: Perintah yang "mudah-mudah" mencerminkan prinsip kemudahan dalam Islam, di mana pemimpin harus menghindari memberatkan rakyatnya dengan aturan yang tidak perlu atau terlalu kaku.
- Visi Dunia dan Akhirat: Dhul-Qarnayn memiliki visi yang mencakup kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan akhirat bagi rakyatnya. Ia memahami bahwa kebahagiaan sejati meliputi keduanya.
- Membentuk Masyarakat Idaman: Dengan prinsip ini, Dhul-Qarnayn berusaha membangun masyarakat yang berlandaskan keimanan, amal saleh, keadilan, dan kemudahan.
Kedua ayat ini (87 dan 88) secara bersama-sama membentuk piagam kepemimpinan Dhul-Qarnayn yang sangat progresif dan Islami, jauh sebelum datangnya Islam. Ini adalah model bagi setiap pemimpin untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan kebaikan.
Ayat 89
ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا ٨٩
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain).
Tafsir dan Penjelasan Ayat 89
Ayat ini, serupa dengan ayat 85, sangat singkat namun penting sebagai penanda transisi dalam kisah Dhul-Qarnayn. "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." (Tsumma atba'a sababā). Setelah menyelesaikan urusannya di barat dan menerapkan prinsip keadilannya, Dhul-Qarnayn tidak berpuas diri. Ia melanjutkan perjalanannya, menjelajahi bagian lain dari bumi.
Frasa "menempuh suatu jalan" kembali menunjukkan karakternya yang dinamis dan proaktif. Ia terus menggunakan sarana dan kekuasaan yang telah Allah anugerahkan kepadanya untuk tujuan yang lebih besar, kali ini ke arah yang berbeda.
Pelajaran dari ayat ini:
- Kontinuitas Usaha: Kebaikan dan keadilan adalah perjalanan yang berkelanjutan. Seorang pemimpin yang baik tidak pernah berhenti berjuang untuk kebaikan.
- Eksplorasi dan Pengembangan: Ayat ini menginspirasi untuk terus menjelajahi, belajar, dan mengembangkan wilayah atau masyarakat yang berbeda.
- Ketidakpuasan terhadap Keadaan: Dhul-Qarnayn tidak berdiam diri setelah mencapai kesuksesan di satu tempat; ia terus mencari peluang untuk menyebarkan kebaikan dan keadilan di tempat lain.
Ayat ini menyiapkan panggung untuk perjalanan Dhul-Qarnayn berikutnya, kali ini ke arah timur.
Ayat 90
حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلٰى قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَلْ لَّهُمْ مِّنْ دُوْنِهَا سِتْرًا ٩٠
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari, (di sana) didapatinya matahari bersinar di atas suatu kaum yang tidak Kami jadikan suatu pelindung bagi mereka dari (cahaya)nya.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 90
Ini adalah deskripsi perjalanan kedua Dhul-Qarnayn, kali ini menuju timur. "Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari," (Hattā iżā balagho mathli'asy syamsi). Sama seperti "tempat terbenam matahari," frasa ini merujuk pada titik terjauh di timur yang dapat dijangkau, di mana matahari mulai tampak terbit. Ini juga merupakan ungkapan kiasan geografis yang lazim.
Di sana, Dhul-Qarnayn "(di sana) didapatinya matahari bersinar di atas suatu kaum yang tidak Kami jadikan suatu pelindung bagi mereka dari (cahaya)nya." (Wajadahā tathlu'u 'alā qaumin lam naj'al lahum min dūnihā sitrā). Deskripsi ini sangat menarik. "Tidak Kami jadikan suatu pelindung bagi mereka dari (cahaya)nya" bisa diartikan dalam beberapa cara:
- Kurangnya Peradaban/Teknologi: Mereka tidak memiliki pakaian yang cukup, tempat tinggal yang kokoh (misalnya, tanpa atap atau dinding), atau teknologi untuk berlindung dari teriknya matahari. Ini menggambarkan mereka sebagai masyarakat yang sangat primitif atau hidup dalam kondisi yang keras.
- Geografis Khusus: Mungkin mereka tinggal di dataran terbuka yang sangat luas tanpa pepohonan atau pegunungan sebagai peneduh alami, sehingga langsung terpapar cahaya matahari sepanjang hari.
- Kondisi Sosial/Spiritual: Ada pula penafsiran bahwa mereka tidak memiliki pelindung spiritual, yaitu tidak ada kenabian atau petunjuk Ilahi yang melindungi mereka dari kesesatan, sehingga mereka hidup dalam kegelapan spiritual. Namun, konteks ayat lebih mengarah pada kondisi fisik dan sosial.
Apapun interpretasinya, kondisi kaum ini menunjukkan keterbelakangan atau kesulitan hidup. Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin yang adil, kemungkinan besar memberikan bantuan atau petunjuk kepada mereka sebagaimana ia lakukan di barat, meskipun Al-Qur'an tidak merinci interaksinya di sini.
Pelajaran dari ayat ini:
- Keberagaman Manusia: Perjalanan Dhul-Qarnayn menunjukkan betapa beragamnya kondisi kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Ada yang maju, ada yang terbelakang.
- Empati Pemimpin: Kisah ini menyiratkan perlunya seorang pemimpin untuk memahami dan merespons kebutuhan masyarakat yang berbeda, terutama mereka yang rentan atau kurang beruntung.
- Anugerah Peradaban: Ayat ini secara tidak langsung mengingatkan kita akan pentingnya peradaban dan teknologi (pakaian, tempat tinggal) sebagai sarana untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidup.
- Tanggung Jawab Universal: Dhul-Qarnayn tidak hanya fokus pada rakyatnya sendiri, tetapi memiliki pandangan universal untuk membantu umat manusia di manapun ia berada.
Perjalanan ke timur ini memperluas cakrawala pemahaman Dhul-Qarnayn tentang dunia dan menambah pengalamannya dalam menghadapi berbagai kondisi masyarakat.
Ayat 91
كَذٰلِكَۗ وَقَدْ اَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا ٩١
Demikianlah. Dan sungguh, Kami mengetahui segala sesuatu yang ada padanya (Dhul-Qarnayn).
Tafsir dan Penjelasan Ayat 91
Ayat ini berfungsi sebagai sisipan dari Allah SWT setelah menceritakan dua perjalanan Dhul-Qarnayn. "Demikianlah. Dan sungguh, Kami mengetahui segala sesuatu yang ada padanya (Dhul-Qarnayn)." (Kadzālik. Wa qad ahatnā bimā ladaihi khubrā).
Frasa "Demikianlah" (Kadzālik) merujuk pada kebenaran kisah yang baru saja diceritakan, bahwa Dhul-Qarnayn memang melakukan perjalanan seperti itu dan menghadapi situasi seperti itu. Ini menegaskan keotentikan narasi Al-Qur'an.
Bagian kedua, "Dan sungguh, Kami mengetahui segala sesuatu yang ada padanya (Dhul-Qarnayn)" (Wa qad ahatnā bimā ladaihi khubrā), adalah penegasan tentang kemahatahuan Allah. Ini berarti Allah mengetahui sepenuhnya semua yang Dhul-Qarnayn miliki (kekuatan, sarana, harta), semua tindakannya (perjalanan, keputusan, interaksi), dan semua niatnya. Frasa "ahathnā" (Kami meliputi/mengetahui secara menyeluruh) dan "khubrā" (dengan pengetahuan yang mendalam) menekankan luasnya pengetahuan Allah.
Penyisipan ayat ini pada titik ini memiliki beberapa hikmah:
- Penegasan Kekuasaan Allah: Meskipun Dhul-Qarnayn adalah pemimpin yang sangat berkuasa, ayat ini mengingatkan bahwa kekuasaan absolut adalah milik Allah, dan Allah mengawasi setiap gerak-geriknya.
- Motivasi Pemimpin: Ini adalah pengingat bagi setiap pemimpin bahwa setiap tindakan, baik besar maupun kecil, diketahui oleh Allah. Ini harus memotivasi pemimpin untuk selalu bertindak dengan keadilan dan ketakwaan.
- Konteks Narasi: Ayat ini juga bisa berarti bahwa Allah telah memberikan informasi yang cukup tentang Dhul-Qarnayn untuk tujuan kisah ini. Meskipun detail kecil mungkin tidak disebutkan, inti dari karakternya dan pelajaran dari perjalanannya sudah disampaikan.
Ayat ini menegaskan prinsip fundamental Islam tentang Tauhid (keesaan Allah) dan kemahatahuan-Nya, bahkan dalam konteks kisah seorang pemimpin duniawi yang agung.
Ayat 92
ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا ٩٢
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain).
Tafsir dan Penjelasan Ayat 92
Sekali lagi, ayat yang singkat ini menandai dimulainya perjalanan ketiga Dhul-Qarnayn. "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." (Tsumma atba'a sababā). Konsistensi dalam penggunaan frasa ini (ayat 85, 89, 92) menunjukkan bahwa Dhul-Qarnayn adalah sosok yang gigih, tidak pernah berhenti berusaha, dan terus memanfaatkan "sebab-sebab" yang Allah berikan kepadanya. Setiap perjalanan adalah sebuah misi, sebuah upaya untuk menyebarkan kebaikan atau mengatasi masalah.
Pelajaran dari ayat ini:
- Ketekunan dan Kegigihan: Dhul-Qarnayn adalah contoh pemimpin yang tekun dan gigih dalam menjalankan tugasnya, tidak mudah lelah atau menyerah.
- Pemanfaatan Potensi Maksimal: Ia terus-menerus menggunakan semua potensi dan sarana yang diberikan Allah untuk kemaslahatan umum.
- Dinamisme Kepemimpinan: Seorang pemimpin sejati harus dinamis, selalu mencari cara baru atau tempat baru di mana ia bisa memberikan kontribusi.
Ayat ini mengantar kita ke bagian kisah Dhul-Qarnayn yang paling terkenal, yaitu pertemuannya dengan kaum yang membutuhkan perlindungan dari Yajuj dan Majuj.
Ayat 93
حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمَا قَوْمًاۙ لَّا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ قَوْلًا ٩٣
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua gunung, dia mendapati di belakang kedua (gunung) itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 93
Ini adalah awal dari perjalanan ketiga dan paling penting Dhul-Qarnayn. "Hingga apabila dia telah sampai di antara dua gunung," (Hattā iżā balagha bainas saddaini). Frasa "bainas saddaini" bisa diartikan sebagai "antara dua penghalang" atau "dua pegunungan". Ini menunjukkan sebuah celah atau lembah sempit yang diapit oleh dua formasi geografis besar, kemungkinan pegunungan yang terjal.
Di lokasi geografis yang sulit dijangkau ini, Dhul-Qarnayn "dia mendapati di belakang kedua (gunung) itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan." (wajada min dūnihimā qauman lā yakādūna yafqahūna qaulā). Deskripsi "hampir tidak mengerti pembicaraan" (lā yakādūna yafqahūna qaulā) bisa diartikan dalam beberapa cara:
- Hambatan Bahasa: Mereka berbicara bahasa yang sangat asing dan sulit dipahami oleh Dhul-Qarnayn dan pasukannya. Ini adalah masalah komunikasi yang umum dalam eksplorasi.
- Keterbelakangan Intelektual: Mereka mungkin memiliki tingkat pemahaman atau kecerdasan yang rendah karena isolasi dan kurangnya pendidikan.
- Gaya Bahasa: Bisa juga berarti mereka adalah kaum yang primitif, menggunakan bahasa yang kasar dan sederhana sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi dalam tingkatan yang lebih kompleks.
Apapun interpretasinya, poin pentingnya adalah bahwa kaum ini berada dalam kondisi yang terisolasi dan mungkin rentan, dan mereka membutuhkan bantuan Dhul-Qarnayn untuk berkomunikasi dan memahami masalah mereka.
Pelajaran dari ayat ini:
- Keragaman Lingkungan dan Manusia: Kisah ini terus menampilkan keragaman geografis dan masyarakat, dari barat yang luas hingga timur yang terpapar dan kini ke daerah pegunungan yang terisolasi.
- Tantangan Komunikasi: Hambatan bahasa dan budaya adalah tantangan nyata dalam berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda. Seorang pemimpin harus menemukan cara untuk mengatasinya.
- Mencari Solusi untuk yang Lemah: Dhul-Qarnayn, dengan kekuasaannya, selalu bertemu dengan kaum yang membutuhkan bantuannya, menekankan perannya sebagai pelindung yang lemah.
- Lokasi Yajuj dan Majuj: Ayat ini secara tidak langsung memberi petunjuk tentang lokasi Yajuj dan Majuj, yaitu di balik sebuah celah pegunungan yang sulit dijangkau.
Ayat ini membuka pintu bagi kisah Yajuj dan Majuj, makhluk perusak yang menjadi fokus utama dalam perjalanan Dhul-Qarnayn kali ini.
Ayat 94
قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا ٩٤
Mereka berkata, "Wahai Dhul-Qarnayn! Sungguh, Ya'juj dan Ma'juj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu suatu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?"
Tafsir dan Penjelasan Ayat 94
Setelah Dhul-Qarnayn tiba dan mengatasi hambatan komunikasi (kemungkinan melalui penerjemah atau dengan kesabaran), kaum tersebut menyampaikan masalah mereka. "Mereka berkata, 'Wahai Dhul-Qarnayn! Sungguh, Ya'juj dan Ma'juj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi,'" (Qālū yā Dhal-Qarnaini inna Ya'jūja wa Ma'jūja mufsidūna fil-ardhi). Ini adalah pengenalan tentang Yajuj dan Majuj (Gog dan Magog).
Kaum tersebut mengidentifikasi Yajuj dan Majuj sebagai "mufsidoona fil-ardhi", yaitu makhluk yang berbuat kerusakan di muka bumi. Kerusakan ini bisa berupa perampokan, penjarahan, pembunuhan, dan segala bentuk kekacauan. Mereka adalah ancaman serius bagi kaum yang terisolasi ini.
Karena Dhul-Qarnayn dikenal sebagai pemimpin yang adil dan perkasa, mereka mengajukan permohonan bantuan: "maka bolehkah kami membayarmu suatu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?" (fa hal naj'alu laka kharjan 'alā an taj'ala bainanā wa bainahum saddā). Kata "kharjan" berarti upah, imbalan, atau semacam pajak/cukai. Ini menunjukkan bahwa kaum tersebut bersedia membayar Dhul-Qarnayn dengan harta atau tenaga sebagai ganti atas pembangunan "dinding penghalang" (saddā) yang kokoh untuk melindungi mereka dari ancaman Yajuj dan Majuj.
Permintaan ini sangat signifikan:
- Ini adalah ekspresi keputusasaan mereka terhadap ancaman yang tidak dapat mereka atasi sendiri.
- Ini menunjukkan kepercayaan mereka terhadap kemampuan dan keadilan Dhul-Qarnayn.
- Ini adalah tawaran kolaborasi antara pemimpin dan rakyat untuk mencapai tujuan bersama.
Siapa Yajuj dan Majuj? Al-Qur'an tidak merinci identitas historis mereka, tetapi menyebutkan karakteristik mereka sebagai perusak. Dalam hadis, mereka disebutkan akan muncul di akhir zaman sebagai salah satu tanda Kiamat Besar, menyebarkan kekacauan di seluruh dunia setelah dinding penghalang yang dibangun Dhul-Qarnayn runtuh.
Pelajaran dari ayat ini:
- Ancaman Perusakan (Fasad): Ayat ini menyoroti keberadaan kekuatan-kekuatan perusak di dunia (Yajuj dan Majuj sebagai metafora atau kenyataan), yang mengancam keamanan dan kedamaian masyarakat.
- Peran Pemimpin sebagai Pelindung: Ini menegaskan peran esensial seorang pemimpin untuk melindungi rakyatnya dari kejahatan dan ancaman eksternal.
- Kolaborasi Masyarakat: Masyarakat yang membutuhkan bantuan harus bersedia berkontribusi dalam upaya perlindungan diri mereka, baik dengan harta maupun tenaga.
- Pentingnya Pertahanan: Pembangunan penghalang fisik untuk pertahanan adalah strategi yang diakui dalam Al-Qur'an untuk melindungi diri dari musuh.
- Nubuwwah Akhir Zaman: Kisah Yajuj dan Majuj memiliki dimensi kenabian tentang peristiwa akhir zaman, meskipun dalam konteks ini adalah masalah kontemporer bagi kaum tersebut.
Ayat ini mengatur panggung untuk proyek monumental Dhul-Qarnayn: pembangunan tembok raksasa yang akan menjadi perlindungan bagi kaum yang lemah ini.
Ayat 95
قَالَ مَا مَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّيْ خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ اَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا ٩٥
Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, "Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding penghalang yang kokoh antara kamu dan mereka."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 95
Ayat ini adalah jawaban Dhul-Qarnayn terhadap tawaran imbalan dari kaum yang terancam Yajuj dan Majuj. "Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu),'" (Qāla mā makkanī fīhi Rabbī khairun). Dhul-Qarnayn menolak imbalan materi. Ini menunjukkan kerendahan hati dan ketakwaan yang luar biasa dari seorang penguasa besar.
Ia menyadari bahwa kekuasaan, kekayaan, dan segala sarana yang ia miliki adalah anugerah dari Allah, dan anugerah Allah itu jauh lebih berharga daripada imbalan duniawi yang ditawarkan oleh kaum tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa motivasinya dalam membantu bukan karena mencari keuntungan pribadi, melainkan karena keimanan dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang adil.
Meskipun menolak imbalan materi, Dhul-Qarnayn tetap meminta partisipasi mereka: "maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding penghalang yang kokoh antara kamu dan mereka." (Fa a'īnūnī bi quwwatin aj'al bainakum wa bainahum radmā). Permintaan "bantuan dengan kekuatan" (bi quwwatin) ini sangat penting. Ini berarti mereka harus menyediakan tenaga kerja, alat, dan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun tembok.
Kata "radmā" (dinding penghalang yang kokoh) menunjukkan bahwa Dhul-Qarnayn berencana membangun sesuatu yang jauh lebih kuat dan permanen dibandingkan "saddā" (dinding penghalang) yang diminta semula. "Radmā" memiliki konotasi tembok atau bendungan yang sangat besar dan sulit ditembus, dibangun dengan teknik yang canggih.
Pelajaran dari ayat ini:
- Ketaatan dan Keikhlasan Pemimpin: Dhul-Qarnayn adalah teladan pemimpin yang ikhlas, tidak serakah, dan menyadari bahwa semua anugerah berasal dari Allah. Motivasinya murni untuk mencari ridha Allah dan membantu sesama.
- Pengakuan atas Anugerah Ilahi: Pemimpin yang bertakwa selalu mengembalikan segala pencapaian dan kekuasaan kepada Allah.
- Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan: Meskipun Dhul-Qarnayn memiliki kekuasaan dan sarana, ia melibatkan rakyatnya dalam proyek besar ini. Ini menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.
- Efisiensi dan Sumber Daya: Dhul-Qarnayn menunjukkan kepemimpinan yang cerdas dalam pengelolaan sumber daya. Ia meminta apa yang tidak ia miliki secara lokal (tenaga kerja dan bahan dasar) untuk menyelesaikan proyek.
- Visi Jangka Panjang: Pemilihan kata "radmā" menunjukkan bahwa ia merencanakan solusi yang permanen dan kokoh, bukan sekadar penambalan sementara.
Ayat ini menggambarkan Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin yang ideal: rendah hati, ikhlas, berwawasan jauh, dan mampu menggerakkan rakyatnya untuk berpartisipasi dalam proyek kebaikan.
Ayat 96
اٰتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِۗ حَتّٰىٓ اِذَا سَاوٰى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْاۗ حَتّٰىٓ اِذَا جَعَلَهٗ نَارًا قَالَ اٰتُوْنِيْٓ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا ٩٦
Berilah aku potongan-potongan besi!" Hingga apabila (potongan-potongan besi) itu telah (menumpuk) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia berkata, "Tiuplah (api itu)!" Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu)."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 96
Ayat ini merinci metode konstruksi yang inovatif dan canggih yang digunakan Dhul-Qarnayn untuk membangun dinding penghalang. Ini menunjukkan kemampuannya dalam bidang teknik dan pengelolaan proyek.
Dhul-Qarnayn memulai dengan perintah, "Berilah aku potongan-potongan besi!" (Ātūnī zubaral hadīd). Kata "zubaral hadīd" berarti potongan-potongan besi besar atau balok-balok besi. Ini menunjukkan bahwa ia membutuhkan bahan dasar yang kuat dalam jumlah besar.
Kemudian, ia memerintahkan proses pembangunan: "Hingga apabila (potongan-potongan besi) itu telah (menumpuk) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu," (Hattā iżā sāwā bainas sadafaini). Ini menggambarkan bahwa mereka mengisi celah antara dua gunung dengan tumpukan besi, membangun dasar yang kokoh hingga mencapai ketinggian yang sama dengan kedua puncak gunung di sekitarnya. Ini menunjukkan skala proyek yang sangat besar.
Setelah itu, Dhul-Qarnayn memerintahkan, "dia berkata, 'Tiuplah (api itu)!'" (qālanfukhū). Mereka meniupkan api ke tumpukan besi itu dengan tujuan memanaskannya hingga berpijar. Ini adalah langkah krusial dalam metalurgi kuno, di mana pemanasan yang intensif diperlukan untuk memurnikan dan mengolah logam.
Proses ini berlanjut "Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api," (Hattā iżā ja'alahū nāran). Ini menunjukkan bahwa besi tersebut telah mencapai suhu sangat tinggi, hampir meleleh, menjadi pijar merah menyala. Pada titik inilah logam menjadi sangat plastis dan siap untuk dicetak atau digabungkan.
Akhirnya, Dhul-Qarnayn memberikan perintah terakhir: "dia pun berkata, 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).'" (qāla ātūnī ufrigh 'alaihi qithrā). Kata "qithrā" secara umum diartikan sebagai tembaga cair atau kuningan cair. Dengan menuangkan tembaga cair di atas tumpukan besi pijar, Dhul-Qarnayn menciptakan sebuah struktur yang sangat padat, keras, dan tidak dapat ditembus. Tembaga cair akan mengisi celah-celah di antara potongan besi, mengikatnya menjadi satu kesatuan yang monolitik. Teknik ini, yang dikenal sebagai dumping atau grouting logam cair, sangat canggih untuk masanya.
Pelajaran dari ayat ini:
- Kecerdasan Teknologi Dhul-Qarnayn: Ayat ini menunjukkan Dhul-Qarnayn memiliki pengetahuan yang mendalam dalam bidang metalurgi, teknik sipil, dan pengelolaan proyek skala besar. Ini adalah bukti dari "sebab-sebab" yang Allah berikan kepadanya.
- Pemanfaatan Ilmu untuk Kebaikan: Ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika digunakan dengan benar dan atas niat yang baik, dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk melindungi masyarakat dan menciptakan kemaslahatan.
- Kerja Sama dan Disiplin: Pembangunan proyek sebesar ini membutuhkan kerja sama yang terkoordinasi dan disiplin dari banyak orang, mengikuti instruksi pemimpin dengan cermat.
- Kekuatan Struktur: Hasil dari proses ini adalah sebuah tembok yang sangat kuat, tahan terhadap upaya penghancuran dan penembusan.
- Inovasi: Teknik menggabungkan besi dengan tembaga cair ini mungkin merupakan inovasi yang luar biasa pada masanya, menunjukkan pemikiran Dhul-Qarnayn yang maju.
Pembangunan tembok ini adalah puncak dari kepemimpinan Dhul-Qarnayn, sebuah mahakarya teknik yang dibangun atas dasar keimanan, keadilan, dan kasih sayang kepada rakyatnya.
Ayat 97
فَمَا اسْطَاعُوْٓا اَنْ يَّظْهَرُوْهُ وَمَا اسْتَطَاعُوْا لَهٗ نَقْبًا ٩٧
Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak mampu mendakinya dan tidak mampu (pula) melubanginya.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 97
Ayat ini menjelaskan keberhasilan pembangunan dinding penghalang yang kokoh. "Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak mampu mendakinya dan tidak mampu (pula) melubanginya." (Famāstaṭā'ū an yazhharūhu wa mastatā'ū lahū naqbā).
Frasa "tidak mampu mendakinya" (fāmāstaṭā'ū an yazhharūhu) berarti Yajuj dan Majuj tidak bisa memanjat atau melewati tembok tersebut dari atas. Ini menunjukkan ketinggian dan mungkin juga kelicinan atau desain tembok yang mencegah pendakian. Tembok itu begitu tinggi dan mungkin rata permukaannya sehingga tidak ada pegangan bagi mereka untuk memanjatnya.
Sedangkan "dan tidak mampu (pula) melubanginya" (wa mastatā'ū lahū naqbā) berarti mereka tidak bisa menembus atau merusak tembok itu dengan melubanginya. Ini adalah bukti kekuatan dan ketahanan material tembok yang terbuat dari campuran besi dan tembaga. Metode konstruksi yang canggih membuat tembok ini menjadi struktur yang hampir tidak dapat dihancurkan oleh kekuatan Yajuj dan Majuj pada saat itu.
Ayat ini menegaskan efektivitas dan keberhasilan proyek Dhul-Qarnayn dalam melindungi kaum yang lemah dari ancaman Yajuj dan Majuj. Ini adalah bukti nyata dari anugerah "sebab-sebab" (sarana) yang Allah berikan kepada Dhul-Qarnayn, yang digunakannya untuk tujuan yang mulia.
Pelajaran dari ayat ini:
- Efektivitas Perencanaan dan Pelaksanaan: Proyek Dhul-Qarnayn berhasil sepenuhnya karena perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang cermat.
- Perlindungan yang Efektif: Tembok tersebut memberikan perlindungan yang efektif dan jangka panjang bagi masyarakat yang terancam.
- Kekuatan dan Ketahanan: Gabungan besi dan tembaga menciptakan struktur yang memiliki kekuatan dan ketahanan luar biasa, mampu menahan serangan dari makhluk perusak.
- Peran Teknologi dalam Pertahanan: Sekali lagi, kisah ini menunjukkan bagaimana teknologi dan keahlian teknik dapat dimanfaatkan untuk tujuan pertahanan dan keamanan masyarakat.
- Kekuatan Allah di Balik Segalanya: Keberhasilan ini, pada akhirnya, adalah berkat dan pertolongan dari Allah SWT, yang memberikan ilmu dan kemampuan kepada Dhul-Qarnayn.
Ayat ini adalah konfirmasi visual dari kesuksesan Dhul-Qarnayn, mengakhiri ancaman langsung Yajuj dan Majuj bagi kaum tersebut untuk sementara waktu.
Ayat 98
قَالَ هٰذَا رَحْمَةٌ مِّنْ رَّبِّيْۚ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ رَبِّيْ جَعَلَهٗ دَكَّاۤءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّيْ حَقًّا ٩٨
Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, "Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar."
Tafsir dan Penjelasan Ayat 98
Setelah berhasil membangun tembok yang tak tertembus, Dhul-Qarnayn tidak lantas sombong atau mengklaim keberhasilan itu sebagai miliknya. Sebaliknya, ia menunjukkan kerendahan hati dan ketakwaan yang mendalam. "Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku,'" (Qāla hādzā rahmatun mir Rabbī). Ia secara eksplisit mengaitkan kesuksesan proyek ini dengan rahmat Allah, bukan dengan kehebatan dirinya sendiri. Ini adalah puncak dari prinsip kepemimpinan yang beriman.
Mengakui bahwa semua pencapaian adalah anugerah dari Allah adalah ciri khas hamba yang bertakwa. Ini membedakan Dhul-Qarnayn dari penguasa tiran yang sering mengklaim kekuasaan atau prestasi sebagai hasil dari kekuatan atau kecerdasan pribadi mereka semata.
Kemudian, Dhul-Qarnayn juga menunjukkan pengetahuannya tentang masa depan yang diwahyukan kepadanya: "maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar." (Fa iżā jā'a wa'du Rabbī ja'alahū dakkā. Wa kāna wa'du Rabbī haqqā). Frasa "janji Tuhanku datang" merujuk pada waktu yang telah Allah tentukan, yaitu menjelang Hari Kiamat. Pada saat itu, tembok yang kokoh ini akan "dihancurluluhkannya" (ja'alahū dakkā), artinya diratakan dengan tanah atau dihancurkan menjadi berkeping-keping.
Ini adalah referensi langsung pada kemunculan Yajuj dan Majuj di akhir zaman sebagai salah satu tanda Kiamat Besar, seperti yang dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka akan keluar dari balik tembok ini setelah Allah mengizinkan tembok tersebut hancur, dan mereka akan menyebarkan kerusakan besar di muka bumi.
Kalimat penutup "dan janji Tuhanku itu benar" (Wa kāna wa'du Rabbī haqqā) menekankan kepastian janji Allah. Baik itu janji perlindungan melalui Dhul-Qarnayn maupun janji kehancuran tembok dan kemunculan Yajuj dan Majuj di akhir zaman, semuanya pasti akan terjadi sesuai kehendak Allah.
Pelajaran dari ayat ini:
- Kerendahan Hati dan Pengakuan Tawhid: Dhul-Qarnayn adalah teladan kerendahan hati. Ia tidak bangga dengan prestasinya, melainkan mengembalikannya kepada Allah sebagai rahmat-Nya. Ini adalah inti dari Tawhid rububiyah.
- Keterbatasan Segala Sesuatu: Tembok sekuat apapun, tidak abadi. Segala sesuatu di dunia ini fana dan akan berakhir sesuai kehendak Allah. Ini mengingatkan kita pada sifat sementara dunia.
- Iman kepada Hari Kiamat dan Tanda-tandanya: Ayat ini menjadi dalil Al-Qur'an tentang kemunculan Yajuj dan Majuj sebagai salah satu tanda besar Kiamat.
- Kepastian Janji Allah: Janji Allah selalu benar dan pasti akan terjadi, baik itu janji tentang perlindungan, kehancuran, maupun hari pembalasan.
- Wawasan Jauh ke Depan: Dhul-Qarnayn tidak hanya memecahkan masalah saat ini tetapi juga memiliki wawasan tentang masa depan, menunjukkan kebijaksanaan yang melampaui zamannya.
Ayat ini adalah kesimpulan filosofis dari kisah Dhul-Qarnayn, mengingatkan kita bahwa segala kekuatan dan perlindungan di dunia ini bersifat sementara, dan hanya kekuasaan Allah yang abadi.
Ayat 99
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ يَّمُوْجُ فِيْ بَعْضٍ وَّنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَجَمَعْنٰهُمْ جَمْعًا ٩٩
Dan pada hari itu Kami biarkan sebagian mereka (Ya'juj dan Ma'juj) bergelombang antara satu dengan yang lain, dan ditiuplah sangkakala, maka Kami kumpulkan mereka semua.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 99
Ayat ini adalah transisi dari kisah Dhul-Qarnayn ke gambaran umum tentang Hari Kiamat, khususnya momen kebangkitan dan perkumpulan seluruh umat manusia. Ini adalah kelanjutan dari "janji Tuhanku datang" yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.
"Dan pada hari itu Kami biarkan sebagian mereka (Ya'juj dan Ma'juj) bergelombang antara satu dengan yang lain," (Wa taraknā ba'dhahum yauma'idzin yamūju fī ba'dhīn). Frasa "pada hari itu" (yauma'idzin) merujuk pada hari ketika tembok Dhul-Qarnayn runtuh dan Yajuj dan Majuj keluar. "Bergelombang antara satu dengan yang lain" (yamūju fī ba'dhīn) menggambarkan keadaan mereka yang sangat banyak, bergerak secara acak dan berdesak-desakan, menyebar dengan cepat dan menciptakan kekacauan di seluruh bumi.
Deskripsi ini menunjukkan kengerian dan kepanikan yang ditimbulkan oleh kemunculan Yajuj dan Majuj. Jumlah mereka sangat besar, gerakan mereka tidak teratur, dan tujuan mereka adalah menyebarkan kerusakan. Ini adalah salah satu tanda besar Kiamat yang mengerikan.
Setelah itu, ayat ini beralih ke peristiwa yang lebih besar: "dan ditiuplah sangkakala, maka Kami kumpulkan mereka semua." (Wa nufikha fis sūri fa jama'nāhum jam'ā). "Ditiuplah sangkakala" (nufikha fis sūri) adalah momen kunci dalam eskatologi Islam, yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia dan dimulainya kebangkitan. Tiupan sangkakala yang pertama akan mematikan semua makhluk hidup, dan tiupan kedua akan membangkitkan mereka dari kubur.
Kemudian, Allah berfirman, "maka Kami kumpulkan mereka semua." (Fa jama'nāhum jam'ā). Ini merujuk pada peristiwa Mahsyar, di mana seluruh umat manusia, dari Adam hingga manusia terakhir, akan dikumpulkan di satu tempat untuk dihisab. Pengumpulan ini bersifat total dan menyeluruh, tidak ada satu pun yang tertinggal.
Pelajaran dari ayat ini:
- Kehancuran dan Kekacauan Akhir Zaman: Kemunculan Yajuj dan Majuj digambarkan sebagai periode kekacauan dan kehancuran yang tak terhindarkan sebelum Kiamat sepenuhnya tiba.
- Tanda-tanda Besar Kiamat: Ayat ini menegaskan salah satu tanda besar Hari Kiamat, yaitu kemunculan Yajuj dan Majuj dan kehancuran tembok Dhul-Qarnayn.
- Realitas Kebangkitan: Tiupan sangkakala dan pengumpulan seluruh umat manusia adalah inti dari keyakinan akan Hari Kebangkitan. Ini adalah peristiwa yang pasti akan terjadi.
- Kemahakuasaan Allah: Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk mengakhiri kehidupan, membangkitkan kembali, dan mengumpulkan semua makhluk-Nya.
- Tujuan Hidup dan Pertanggungjawaban: Mengingat hari pengumpulan ini, manusia harus menyadari bahwa hidup di dunia adalah persiapan untuk pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat keras tentang realitas akhirat dan bahwa semua kisah di dunia ini, termasuk kisah Dhul-Qarnayn dan Yajuj dan Majuj, mengarah pada hari besar tersebut.
Ayat 100
وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَىِٕذٍ لِّلْكٰفِرِيْنَ عَرْضًا ۙ ١٠٠
Dan pada hari itu Kami perlihatkan neraka Jahanam kepada orang-orang kafir secara terang-terangan.
Tafsir dan Penjelasan Ayat 100
Ayat ini menutup rangkaian kisah Dhul-Qarnayn dan pengantar Hari Kiamat dengan gambaran yang menakutkan tentang nasib orang-orang kafir di akhirat. "Dan pada hari itu Kami perlihatkan neraka Jahanam kepada orang-orang kafir secara terang-terangan." (Wa 'aradhnā jahannama yauma'idzin lil kāfirīna 'ardhā).
Frasa "pada hari itu" (yauma'idzin) merujuk pada Hari Kebangkitan, Hari Perhitungan, setelah semua manusia dikumpulkan. Pada hari itu, neraka Jahanam akan "diperlihatkan" ('aradhnā) atau ditampakkan secara visual dan sangat jelas kepada orang-orang kafir. Frasa "'ardhā" (secara terang-terangan) menekankan bahwa ini bukan sekadar pengetahuan atau dugaan, melainkan penampakan yang nyata dan tak terhindarkan. Mereka akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, dengan segala kengerian dan kedahsyatannya.
Penyebutan "orang-orang kafir" (lil kāfirīna) secara spesifik menunjukkan bahwa mereka adalah target utama dari ancaman ini. Orang-orang kafir adalah mereka yang menolak kebenaran, mendustakan para nabi, ingkar kepada Allah, dan berbuat zalim di dunia. Bagi mereka, penampakan Jahanam ini adalah puncak dari penyesalan dan keputusasaan.
Ayat ini berfungsi sebagai puncak peringatan dalam Surah Al-Kahfi. Setelah berbagai kisah tentang ujian keimanan, pengetahuan, kekuasaan, dan waktu, akhirnya Al-Qur'an mengingatkan tentang tujuan akhir dari semua ujian ini: pertanggungjawaban di akhirat dan konsekuensi dari pilihan-pilihan hidup manusia.
Pelajaran dari ayat ini:
- Realitas Neraka Jahanam: Ayat ini menegaskan bahwa neraka Jahanam adalah realitas yang mengerikan, bukan sekadar ancaman kosong. Ia akan ditampakkan secara fisik kepada para penghuninya.
- Konsekuensi Kekafiran: Ini adalah peringatan keras tentang konsekuensi akhir bagi mereka yang memilih jalan kekafiran dan menolak kebenaran.
- Keadilan Ilahi yang Mutlak: Allah itu Maha Adil. Mereka yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan (seperti janji Dhul-Qarnayn kepada orang beriman), dan mereka yang berbuat zalim dan kafir akan dibalas dengan azab yang pedih.
- Puncak Peringatan: Ayat ini adalah klimaks dari peringatan dalam Surah Al-Kahfi, mengajak setiap pembaca untuk merenungi pilihan hidupnya dan bersiap menghadapi Hari Akhir.
- Fokus pada Akhirat: Meskipun kisah-kisah dalam Surah Al-Kahfi terjadi di dunia, pelajaran utamanya selalu mengarah pada persiapan untuk kehidupan akhirat.
Dengan ayat ini, Surah Al-Kahfi mengingatkan kita bahwa meskipun ada janji perlindungan dan kekuasaan di dunia (seperti tembok Dhul-Qarnayn), semua itu fana. Yang abadi adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah dan konsekuensi abadi di Akhirat, baik surga maupun neraka. Ini menutup bagian kisah Dhul-Qarnayn dengan pesan yang kuat dan mendalam tentang pentingnya iman dan amal saleh.
Kesimpulan: Pelajaran Abadi dari Al-Kahfi 81-100
Rangkaian ayat 81 hingga 100 dari Surah Al-Kahfi telah mengantarkan kita pada sebuah perjalanan spiritual dan intelektual yang mendalam. Dari penutup kisah Nabi Musa dan Khidir hingga kisah epik Dhul-Qarnayn, Al-Qur'an menyajikan pelajaran-pelajaran yang relevan sepanjang masa, membentuk karakter individu dan pandangan hidup masyarakat.
Dari kisah Musa dan Khidir (ayat 81-82), kita belajar tentang batas-batas pengetahuan manusia dan superioritas ilmu ladunni dari Allah SWT. Nabi Musa yang agung pun harus menundukkan egonya dan bersabar di hadapan takdir yang tidak ia pahami. Pelajaran pembunuhan anak dan perbaikan dinding mengajarkan kita bahwa di balik setiap takdir yang tampak tragis atau tidak masuk akal, seringkali tersimpan rahmat dan hikmah Ilahi yang jauh lebih besar. Kesalehan orang tua dapat melindungi anak keturunannya, dan Allah Maha Tahu waktu yang paling tepat untuk setiap peristiwa. Ini adalah panggilan untuk menumbuhkan kesabaran, tawakal (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah), dan pengakuan atas kemahatahuan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.
Kemudian, kisah Dhul-Qarnayn (ayat 83-100) menyajikan model kepemimpinan yang ideal. Dhul-Qarnayn, seorang penguasa perkasa yang dianugerahi kekuasaan dan sarana oleh Allah, menunjukkan bagaimana kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan menyebarkan kebaikan, bukan untuk kesombongan atau penindasan. Perjalanan-perjalanannya ke barat, timur, dan antara dua gunung menyoroti:
- Keadilan Tegas dan Berimbang: Dia menghukum yang zalim namun memuliakan yang beriman dan beramal saleh, bahkan memberikan kemudahan dalam hidup mereka.
- Kerendahan Hati: Meskipun memiliki kekuatan besar, ia selalu menyandarkan semua anugerah dan keberhasilannya kepada Allah, bukan kepada dirinya sendiri. Ini adalah puncak ketakwaan seorang pemimpin.
- Pemanfaatan Ilmu dan Teknologi: Dhul-Qarnayn menggunakan pengetahuan dan keahlian tekniknya (dalam membangun tembok besi-tembaga) untuk memecahkan masalah besar masyarakat, yaitu ancaman Yajuj dan Majuj. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat yang harus dimanfaatkan demi kemaslahatan umat.
- Keterbatasan Duniawi dan Visi Akhirat: Meskipun temboknya sangat kokoh, Dhul-Qarnayn menyadari bahwa ia tidak abadi dan akan hancur pada waktu yang telah Allah tentukan. Ini adalah pengingat bahwa semua yang ada di dunia ini fana, dan tujuan akhir setiap Muslim haruslah mempersiapkan diri untuk Hari Akhir.
Ayat-ayat penutup (99-100) mengaitkan kisah-kisah ini dengan realitas Hari Kiamat, kemunculan Yajuj dan Majuj, tiupan sangkakala, pengumpulan seluruh manusia di Padang Mahsyar, dan penampakan Neraka Jahanam bagi orang-orang kafir. Ini adalah peringatan kuat yang menyelaraskan semua pelajaran sebelumnya: bahwa setiap tindakan di dunia ini memiliki konsekuensi di akhirat, dan keadilan Ilahi akan ditegakkan sepenuhnya.
Secara keseluruhan, Surah Al-Kahfi ayat 81-100 adalah peta jalan bagi seorang Mukmin yang ingin menjalani hidup dengan penuh makna. Ia mengajarkan kita untuk senantiasa mencari ilmu dengan rendah hati, bersabar menghadapi takdir yang tidak kita pahami, menggunakan anugerah Allah (kekuasaan, harta, ilmu) dengan bijaksana dan ikhlas untuk kebaikan, serta selalu mengingat Hari Pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari ayat-ayat ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi hamba yang beriman, berilmu, dan beramal saleh.