Tafsir Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 72: Hikmah Kesabaran, Ilmu, dan Takdir Ilahi
Ilustrasi perjalanan Nabi Musa dan Al-Khidr di lautan, simbol dari pencarian ilmu dan hikmah tersembunyi.
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an, sering dibaca setiap hari Jumat karena mengandung berbagai pelajaran berharga dan perlindungan dari fitnah Dajjal. Di antara kisah-kisah penuh hikmah yang terkandung di dalamnya, kisah perjalanan Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang saleh, yang lebih dikenal sebagai Al-Khidr, menonjol sebagai sumber renungan mendalam tentang ilmu, kesabaran, dan takdir ilahi. Kisah ini adalah mahakarya narasi Al-Qur'an yang mengajarkan kita bahwa di balik setiap kejadian yang tampak buruk atau tidak masuk akal, seringkali tersimpan kebaikan dan hikmah yang luar biasa besar, yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Pada inti cerita yang memukau ini, terdapat interaksi antara seorang Nabi agung dengan seorang yang dianugerahi ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah), yang puncaknya terekspresikan dalam beberapa dialog penting. Salah satu dialog tersebut terdapat dalam Surah Al-Kahfi ayat 72, yang akan menjadi fokus pembahasan kita. Ayat ini secara spesifik mencerminkan tantangan kesabaran Nabi Musa dan pengingat dari Al-Khidr tentang batasan kemampuan manusia dalam memahami rahasia takdir Tuhan.
Latar Belakang Kisah Nabi Musa dan Al-Khidr
Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa, salah satu nabi Ulul Azmi yang dianugerahi mukjizat dan Taurat, merasa bahwa ia adalah orang yang paling berilmu di antara kaumnya. Allah SWT kemudian memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba-Nya yang lebih berilmu dari dirinya, yang berada di pertemuan dua lautan (Majma'ul Bahrain). Ini adalah pelajaran pertama yang didapatkan Musa: betapapun tingginya ilmu seseorang, akan selalu ada yang lebih berilmu di atasnya, dan ilmu Allah itu tak terbatas.
Dengan semangat mencari ilmu yang luar biasa, Nabi Musa pun memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang dan melelahkan, ditemani oleh muridnya, Yusya' bin Nun, untuk menemui hamba Allah tersebut. Setelah melalui berbagai rintangan, mereka akhirnya bertemu dengan Al-Khidr. Dialog awal antara keduanya sangat penting. Nabi Musa mengungkapkan keinginannya untuk belajar dari Al-Khidr: "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu yang memberi petunjuk?" (Al-Kahfi: 66).
Al-Khidr, dengan pengetahuannya yang mendalam tentang sifat dan kapasitas manusia, segera menyampaikan sebuah peringatan keras: "Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku." (Al-Kahfi: 67). Ini bukan penolakan, melainkan sebuah pernyataan fakta mengenai perbedaan mendasar antara jenis ilmu yang Musa miliki (syariat, yang tampak) dan ilmu yang Al-Khidr miliki (ladunni, yang tersembunyi). Musa, dengan keyakinan yang tulus, berjanji akan bersabar dan tidak akan menentang perintah Al-Khidr. Al-Khidr kemudian menyetujui, dengan syarat yang sangat penting: "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." (Al-Kahfi: 70). Syarat ini adalah kunci untuk memahami seluruh dinamika cerita selanjutnya.
Insiden Pertama: Perahu yang Dilubangi
Perjalanan Nabi Musa dan Al-Khidr pun dimulai. Mereka menaiki sebuah perahu yang membawa mereka menyeberangi lautan. Tanpa disangka, Al-Khidr melakukan tindakan yang mengejutkan dan tidak dapat diterima secara akal sehat dan syariat Musa: ia melubangi perahu tersebut. Perbuatan ini jelas membahayakan nyawa para penumpang, termasuk mereka sendiri, dan merusak harta benda orang lain.
Nabi Musa, sebagai seorang Nabi yang mengajarkan keadilan dan kebaikan, serta sangat menjunjung tinggi syariat, tidak dapat menahan diri. Naluri kenabian dan kemanusiaannya memberontak melihat tindakan yang ia anggap keji dan merugikan. Ia pun langsung bertanya dengan nada terkejut dan keberatan:
Musa berkata: "Mengapa engkau melubangi perahu itu, yang akibatnya engkau menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar. (Al-Kahfi: 71)
Pertanyaan Musa ini wajar adanya. Dari sudut pandang syariat, melubangi perahu tanpa alasan yang jelas adalah perbuatan yang tercela, bahkan dosa besar karena membahayakan nyawa dan merusak harta. Musa telah berjanji untuk bersabar, namun melihat kemungkaran yang nyata di hadapannya, ia tidak bisa tinggal diam. Ini menunjukkan bahwa kesabaran memiliki batas ketika berkaitan dengan prinsip kebenaran yang fundamental.
Fokus Utama: Al-Kahfi Ayat 72
Menanggapi pertanyaan dan keberatan Nabi Musa, Al-Khidr kemudian mengingatkan janji Musa dan sekaligus menegaskan prediksinya yang telah ia sampaikan di awal pertemuan. Inilah ayat yang menjadi inti pembahasan kita:
Dia (Khidir) berkata: "Bukankah aku telah katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (Al-Kahfi: 72)
Analisis Ayat 72: Makna dan Konteks
Ayat 72 ini adalah puncak dari ketegangan awal antara Musa dan Al-Khidr. Mari kita bedah lebih dalam:
- قَالَ (Qāla): "Dia (Khidr) berkata". Menunjukkan bahwa ini adalah respons langsung dari Al-Khidr.
- أَلَمْ أَقُلْ (Alam aqul): "Bukankah aku telah katakan". Ini adalah bentuk pertanyaan retoris yang berfungsi sebagai penegasan atau pengingat. Al-Khidr tidak benar-benar bertanya karena ingin tahu jawabannya, melainkan untuk mengingatkan Musa tentang peringatan yang telah diberikannya sebelumnya di ayat 67: "Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku."
- إِنَّكَ (Innaka): "Sesungguhnya kamu". Penekanan pada Musa sebagai subjek.
- لَنْ تَسْتَطِيعَ (Lan tastaṭī'a): "Tidak akan dapat/sanggup". Kata "لن (lan)" dalam bahasa Arab adalah partikel penafian yang kuat, menunjukkan ketidakmampuan yang mutlak atau sangat kuat. Ini bukan hanya "mungkin tidak bisa," tetapi "pasti tidak bisa" atau "tidak akan pernah bisa."
- مَعِيَ (Ma'iya): "Bersamaku". Menunjukkan bahwa ketidaksanggupan sabar itu terkait dengan mengikuti dan mengamati tindakan Al-Khidr.
- صَبْرًا (Ṣabran): "Sabar/kesabaran". Ini adalah bentuk nomina masdar (kata benda yang menunjukkan perbuatan) dari kata kerja "ṣabara" (bersabar). Penekanan pada kemampuan untuk mempertahankan kesabaran dalam jangka waktu yang lama, menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan akal atau syariat yang tampak.
Dengan demikian, ayat 72 bukan hanya sekadar pengingat, melainkan juga penegasan terhadap prediksi Al-Khidr. Ini menunjukkan bahwa Al-Khidr memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi hati dan akal Musa, serta sifat dari ilmu yang akan ia ajarkan. Kesabaran yang dituntut Al-Khidr adalah kesabaran mutlak untuk tidak bertanya atau menghakimi tindakan yang dilihatnya, betapapun aneh atau salahnya tindakan itu di mata Musa, sampai penjelasan diberikan. Ini adalah ujian yang sangat berat bagi seorang Nabi seperti Musa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran yang tampak.
Mengapa Musa Sulit Bersabar?
Ketidaksabaran Nabi Musa bukanlah kekurangan dalam karakter kenabiannya, melainkan konsekuensi dari tugasnya sebagai Nabi pembawa syariat. Nabi Musa adalah seorang yang adil, tegas dalam menegakkan kebenaran, dan sangat peka terhadap kemungkaran. Perannya adalah mengajarkan hukum-hukum Allah yang jelas dan tampak. Oleh karena itu, ketika melihat tindakan Al-Khidr yang secara lahiriah tampak salah dan merugikan (melubangi perahu), ia merasa wajib untuk menegur. Ini adalah wujud dari fitrah kenabiannya untuk amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Di sisi lain, Al-Khidr bertindak berdasarkan ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah yang melampaui logika dan syariat yang tampak. Tindakan Al-Khidr didasarkan pada hikmah yang tersembunyi, yang hanya akan terungkap kemudian. Konflik ini adalah representasi dari perbedaan antara dua jenis ilmu: ilmu syariat (zhahir) dan ilmu hakikat (bathin).
Insiden Kedua: Pembunuhan Anak Laki-Laki
Setelah pengingat dari Al-Khidr, Nabi Musa pun berjanji kembali untuk tidak mengulangi kesalahannya. Mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan seorang anak laki-laki. Di luar dugaan, Al-Khidr tanpa ragu membunuh anak itu. Ini adalah tindakan yang jauh lebih mengejutkan dan mengerikan daripada melubangi perahu.
Bagi Musa, seorang Nabi yang ditugaskan untuk melindungi nyawa dan menegakkan keadilan, tindakan ini adalah dosa besar yang tak terampuni. Bagaimana mungkin seseorang membunuh jiwa yang tak berdosa? Musa tidak dapat menahan diri lagi, dan dengan amarah yang lebih besar, ia berkata:
Musa berkata: "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar." (Al-Kahfi: 74)
Kali ini, kemarahan Musa lebih besar, dan ucapannya lebih keras, karena ini menyangkut nyawa. Ia telah melanggar janjinya untuk kedua kalinya. Sekali lagi, Al-Khidr pun mengingatkannya dengan ucapan yang sama persis, hanya saja kali ini ia menambahkan penekanan bahwa jika Musa masih terus bertanya, maka ia tidak boleh lagi menyertainya:
Dia (Khidir) berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku?" (Al-Kahfi: 75)
Perhatikan bahwa di ayat 75 ini, Al-Khidr menambahkan "لَكَ" (lakā) setelah "أَقُلْ" (aqul), yang berarti "kepadamu". Ini bisa diartikan sebagai penekanan pribadi, seolah-olah Al-Khidr berkata, "Sudah *kukatakan kepadamu* secara khusus, bahwa kamu tidak akan sanggup." Ini menandakan bahwa kesabaran Musa semakin diuji dan batas kesabaran Al-Khidr pun semakin tipis. Musa menyadari kesalahannya dan berkata: "Jika aku bertanya kepadamu lagi tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan uzur (alasan) kepadaku." (Al-Kahfi: 76).
Insiden Ketiga: Dinding yang Didirikan Kembali
Perjalanan mereka berlanjut hingga tiba di suatu perkampungan yang penduduknya sangat kikir dan tidak mau menjamu mereka. Di perkampungan itu, Al-Khidr menemukan sebuah dinding yang hampir roboh. Dengan tangannya sendiri, ia membangun kembali dinding tersebut tanpa meminta imbalan sedikit pun. Tindakan ini, meskipun tidak melanggar syariat, tetap menimbulkan pertanyaan bagi Musa, mengingat keengganan penduduk desa untuk menjamu mereka. Musa menganggap tindakan Al-Khidr sebagai sesuatu yang tidak adil, setidaknya dari sisi perlakuan yang mereka terima dari penduduk desa.
Musa berkata: "Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta upah untuk itu." (Al-Kahfi: 77)
Pertanyaan Musa kali ini bukan lagi berupa protes atas kemungkaran, melainkan pertanyaan tentang ketiadaan kompensasi atas kebaikan yang dilakukan kepada orang-orang yang tidak ramah. Meskipun ini bukan pelanggaran syariat, Al-Khidr menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap syarat untuk tidak bertanya. Ini adalah ketiga kalinya Musa gagal dalam ujian kesabaran, dan saatnya Al-Khidr memberikan penjelasan atas semua tindakannya.
Penjelasan Al-Khidr: Mengungkap Hikmah Tersembunyi
Akhirnya, Al-Khidr menjelaskan makna di balik setiap tindakannya yang misterius, yang menunjukkan keluasan ilmu ladunni yang ia miliki dan betapa terbatasnya pandangan manusia terhadap takdir dan hikmah ilahi.
-
Perahu yang Dilubangi:
Al-Khidr menjelaskan bahwa perahu itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Di hadapan mereka ada seorang raja yang zalim yang merampas setiap perahu yang masih sempurna. Dengan melubangi perahu itu, Al-Khidr sebenarnya "merusaknya" agar tidak dirampas oleh raja zalim tersebut, sehingga para pemiliknya bisa memperbaikinya nanti dan terus mencari nafkah. Tindakan yang tampak merusak itu justru menyelamatkan mata pencarian keluarga miskin.
-
Anak Laki-laki yang Dibunuh:
Al-Khidr menjelaskan bahwa kedua orang tua anak itu adalah orang-orang mukmin yang saleh. Sedangkan anak itu, kelak akan tumbuh menjadi seorang yang durhaka dan kafir, dan akan membebani serta menyesatkan kedua orang tuanya dengan kekafiran dan kedurhakaannya. Dengan mengambil nyawanya saat kecil, Allah menggantinya dengan anak lain yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih berbakti. Ini adalah contoh ekstrem dari takdir ilahi yang mencegah keburukan besar di masa depan demi kebaikan yang lebih besar.
-
Dinding yang Didirikan Kembali:
Al-Khidr menerangkan bahwa dinding itu adalah milik dua orang anak yatim di kota tersebut, dan di bawah dinding itu tersimpan harta karun untuk mereka. Ayah mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar kedua anak yatim itu mencapai dewasa dan mengeluarkan harta karun mereka sebagai rahmat dari Tuhanmu. Jika dinding itu roboh sekarang, harta karun itu bisa diketahui orang lain dan diambil. Dengan membangun kembali dinding itu, Al-Khidr melindungi harta mereka sampai mereka cukup dewasa untuk mengambilnya sendiri.
Setelah penjelasan ini, Al-Khidr menutup dengan pernyataan penting: "Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Al-Kahfi: 82). Ini menunjukkan bahwa semua tindakan Al-Khidr adalah atas perintah dan ilham dari Allah SWT, bukan dari kehendak pribadinya. Ia hanyalah perantara takdir ilahi.
Hikmah dan Pelajaran dari Kisah Musa dan Al-Khidr
Kisah ini, terutama dengan fokus pada ayat 72 dan interaksi kesabaran Musa, memberikan kita beragam pelajaran yang sangat mendalam dan relevan dalam kehidupan:
1. Keterbatasan Akal dan Ilmu Manusia
Pelajaran terbesar adalah bahwa ilmu manusia, bahkan ilmu seorang Nabi sekalipun, sangatlah terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah SWT. Ada dimensi ilmu yang disebut Ilmu Ladunni (ilmu yang langsung dari sisi Allah) yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia biasa, bahkan dengan logika syariat sekalipun. Allah memiliki rencana dan hikmah di balik setiap peristiwa, yang seringkali tidak kita pahami pada awalnya. Apa yang tampak buruk di mata kita, bisa jadi adalah kebaikan yang besar di kemudian hari.
2. Hakikat Kesabaran yang Sejati
Ayat 72 berulang kali mengingatkan Musa tentang ketidaksabarannya. Ini bukan berarti Musa adalah pribadi yang tidak sabar secara umum; ia adalah seorang Nabi yang sabar menghadapi Firaun dan kaumnya selama bertahun-tahun. Namun, kesabaran yang dituntut Al-Khidr adalah jenis kesabaran yang berbeda: kesabaran untuk tidak menghakimi atau mempertanyakan hal-hal yang tampak bertentangan dengan akal atau syariat yang dipahami secara zahir, sebelum mengetahui hakikatnya. Ini adalah kesabaran dalam menghadapi misteri takdir dan kebijaksanaan ilahi.
- Kesabaran dalam mencari ilmu: Musa harus bersabar untuk menerima kebenaran yang tidak ia pahami.
- Kesabaran dalam menghadapi cobaan: Banyak kejadian dalam hidup kita yang awalnya tampak sebagai musibah, namun ternyata membawa hikmah atau kebaikan di kemudian hari.
- Kesabaran dalam menerima takdir: Menerima bahwa Allah adalah sebaik-baik perencana, meskipun kita tidak mengerti alurnya.
3. Perbedaan Ilmu Syariat dan Ilmu Hakikat
Kisah ini menggambarkan perbedaan antara Ilmu Syariat (pengetahuan tentang hukum-hukum Allah yang jelas dan terperinci, yang berdasarkan wahyu dan nalar) dan Ilmu Hakikat/Ladunni (pengetahuan tentang rahasia dan hikmah di balik peristiwa, yang hanya diberikan kepada sebagian hamba Allah secara langsung). Nabi Musa adalah representasi ilmu syariat, sedangkan Al-Khidr adalah representasi ilmu hakikat. Keduanya penting, namun hakikat memiliki jangkauan yang lebih dalam terhadap takdir ilahi. Penting untuk diingat bahwa ilmu ladunni Al-Khidr tidak berarti ia melanggar syariat, melainkan tindakannya adalah pengejawantahan dari syariat yang lebih tinggi atau khusus yang diperintahkan Allah kepadanya.
4. Pentingnya Tawakal (Berserah Diri) kepada Allah
Kisah ini mengajarkan kita untuk sepenuhnya bertawakal kepada Allah. Kita mungkin melihat kesulitan, musibah, atau ketidakadilan di dunia, dan merasa frustasi atau tidak mengerti. Namun, kisah ini mengingatkan kita bahwa ada "tangan" takdir ilahi yang bekerja di balik layar, mengarahkan segala sesuatu menuju kebaikan yang lebih besar, meskipun kita tidak dapat melihatnya. Memiliki keyakinan ini akan memberikan ketenangan jiwa dan kekuatan untuk menghadapi hidup.
5. Kerendahan Hati dalam Mencari Ilmu
Nabi Musa, seorang Nabi Ulul Azmi, dengan rendah hati mencari ilmu dari Al-Khidr. Ini menunjukkan betapa pentingnya kerendahan hati dalam mencari ilmu, bahwa ilmu tidak mengenal batas usia, pangkat, atau status. Seseorang harus selalu merasa butuh akan ilmu dan hikmah baru, bahkan dari sumber yang mungkin tampak "lebih rendah" secara hirarki duniawi.
6. Keadilan Ilahi yang Menyeluruh
Di balik setiap tindakan Al-Khidr, terdapat keadilan dan rahmat Allah. Perahu dilubangi untuk menyelamatkan mata pencarian kaum miskin dari perampasan raja zalim. Anak laki-laki dibunuh untuk menyelamatkan keimanan orang tua mukmin dari kekafiran anaknya. Dinding didirikan untuk melindungi harta anak yatim dari penjarahan. Semua ini menunjukkan bahwa keadilan Allah tidak hanya bersifat duniawi dan tampak, tetapi juga meliputi dimensi masa depan dan spiritual yang tidak terlihat oleh mata manusia.
7. Memandang Jauh ke Depan (Jangka Panjang)
Tindakan Al-Khidr selalu memiliki konsekuensi jangka panjang yang positif. Ini mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada hasil instan atau jangka pendek, tetapi untuk berpikir dan merencanakan dengan pandangan yang lebih luas, sebagaimana Allah merencanakan takdir hamba-Nya.
Relevansi Kisah Al-Kahfi Ayat 72 dalam Kehidupan Modern
Di era informasi yang serba cepat ini, manusia seringkali tergesa-gesa dalam menilai dan menghakimi segala sesuatu berdasarkan apa yang tampak di permukaan. Kisah Nabi Musa dan Al-Khidr, khususnya pesan dari ayat 72, menjadi sangat relevan:
- Menahan Diri dari Penghakiman Cepat: Betapa sering kita melihat suatu peristiwa, langsung membuat kesimpulan, dan bahkan menyebarkan informasi tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Kisah ini mengajarkan kita untuk menahan diri, bersabar, dan mencari tahu kebenaran yang lebih dalam sebelum menghakimi.
- Mengelola Ekspektasi: Hidup seringkali tidak berjalan sesuai rencana atau harapan kita. Ketika menghadapi kegagalan atau musibah, mudah bagi kita untuk putus asa. Kisah ini mengajarkan kita bahwa di balik setiap 'kegagalan' atau 'kerusakan', mungkin ada hikmah dan kebaikan yang lebih besar yang sedang Allah siapkan untuk kita.
- Pentingnya Perspektif Spiritual: Dalam menghadapi masalah pribadi, keluarga, atau bahkan masalah global, seringkali kita hanya melihat dari perspektif materi atau politik. Kisah ini mengingatkan kita untuk selalu melibatkan dimensi spiritual dan keyakinan akan takdir ilahi, bahwa ada kekuatan yang Maha Bijaksana di atas segalanya.
- Pelajaran bagi Pemimpin dan Pengajar: Bagi para pemimpin, kisah ini mengajarkan untuk tidak jumawa dengan ilmu dan kekuasaan yang dimiliki, serta senantiasa bersedia belajar dari siapa pun. Bagi pengajar, pentingnya mengajarkan kesabaran, kerendahan hati, dan pandangan yang luas kepada para murid.
- Menjaga Iman di Tengah Fitnah: Surah Al-Kahfi secara keseluruhan dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal. Kisah Musa dan Al-Khidr ini, dengan penekanannya pada rahasia takdir dan ilmu yang tersembunyi, membantu memperkuat iman agar tidak mudah terguncang oleh tipuan duniawi yang tampak menakjubkan namun mengandung kebatilan.
Merenungkan Konsep Qada dan Qadar (Takdir Ilahi)
Kisah ini secara fundamental mengajarkan kita tentang konsep Qada dan Qadar dalam Islam. Qada adalah ketetapan Allah yang azali, sedangkan Qadar adalah perwujudan Qada dalam realitas. Tindakan Al-Khidr adalah perwujudan dari Qadarullah (takdir Allah) yang telah ditetapkan. Melubangi perahu, membunuh anak, dan memperbaiki dinding adalah bagian dari rencana ilahi yang tidak bisa dipahami oleh Musa dengan ilmunya yang terbatas. Ini bukan berarti kita pasrah tanpa usaha, melainkan setelah berusaha maksimal, kita menyerahkan hasilnya kepada Allah, percaya bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik dalam pandangan-Nya yang Maha Luas.
Para ulama juga mengajarkan bahwa kisah ini menunjukkan pentingnya membedakan antara tindakan yang dilakukan oleh Allah secara langsung atau melalui hamba-Nya yang diwahyukan (seperti Al-Khidr dengan ilmu ladunninya) dan tindakan manusia biasa yang terikat pada hukum syariat. Kita tidak boleh meniru tindakan Al-Khidr, karena kita tidak memiliki ilmu ladunni yang sama dengannya. Kita tetap terikat pada syariat yang zahir, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Musa adalah seorang nabi yang mengajarkan syariat, yang harus ditaati oleh umatnya. Apa yang dilakukan Al-Khidr adalah pengecualian yang diizinkan oleh Allah dalam rangka menunjukkan hikmah. Ini penting untuk dipahami agar tidak ada kesalahpahaman bahwa kita bisa bertindak semau kita dengan alasan "ilmu hakikat". Syariat tetaplah tolok ukur utama bagi tindakan seorang Muslim.
Kesimpulan
Surah Al-Kahfi ayat 72, "Dia (Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?'", adalah sebuah titik balik dalam kisah Nabi Musa dan Al-Khidr. Ayat ini bukan hanya pengingat akan janji yang dilanggar, melainkan juga cerminan mendalam tentang hakikat ilmu, batasan akal manusia, dan kebijaksanaan takdir ilahi yang seringkali tersembunyi dari pandangan kita.
Kisah ini adalah pengingat abadi bagi setiap hamba Allah untuk senantiasa rendah hati di hadapan ilmu Allah yang tak terhingga, bersabar dalam menghadapi ujian dan misteri kehidupan, serta bertawakal sepenuhnya kepada-Nya. Apa yang tampak buruk, bisa jadi adalah kebaikan yang tersembunyi. Apa yang tampak tidak masuk akal, mungkin adalah bagian dari rencana sempurna Sang Maha Perencana.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah agung ini, memperkuat keimanan dan kesabaran kita, serta senantiasa mencari hikmah di balik setiap peristiwa dalam hidup kita. Dengan demikian, kita akan lebih mampu menjalani hidup dengan ketenangan dan keyakinan, percaya bahwa setiap langkah kita, baik suka maupun duka, berada dalam genggaman kebijaksanaan Allah SWT.