Al-Kahfi Ayat 54-70: Kisah Musa dan Khidir, Pelajaran Hidup Abadi
Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat istimewa dalam Al-Qur'an yang banyak mengandung pelajaran dan hikmah mendalam. Dikenal dengan empat kisah utamanya – kisah Ashabul Kahfi, kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Dzulqarnain – surat ini sering dibaca pada hari Jumat sebagai pengingat akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, serta sebagai pelindung dari fitnah Dajjal. Bagian yang akan kita jelajahi secara mendalam adalah ayat 54 hingga 70, yang menjadi pengantar sekaligus permulaan dari kisah penuh misteri antara Nabi Musa AS dan seorang hamba Allah yang saleh, Khidir AS.
Kisah ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan sebuah metafora agung tentang pencarian ilmu, kesabaran dalam menghadapi takdir yang tidak terduga, dan batas-batas pengetahuan manusia di hadapan pengetahuan ilahi. Dalam bagian ini, Al-Qur'an secara indah menyingkap tabir rahasia di balik peristiwa yang tampak janggal dari perspektif manusia, mengajarkan bahwa ada kebijaksanaan tersembunyi di balik setiap ketetapan Allah.
Melalui perjalanan Nabi Musa, seorang nabi ulul azmi yang memiliki kedudukan tinggi, kita diajarkan tentang kerendahan hati dalam mencari ilmu, pentingnya menahan diri dari prasangka, dan pengakuan bahwa ilmu Allah jauh lebih luas dari apa yang bisa kita pahami. Ini adalah kisah yang menggetarkan jiwa, membuka cakrawala pemikiran, dan menantang asumsi-asumsi kita tentang keadilan, kebaikan, dan keburukan.
Pengantar ke Ayat 54: Manusia dan Watak Berdebatnya
"Dan sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulang-ulang dalam Al-Qur'an ini kepada manusia bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." (QS. Al-Kahfi: 54)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 54
Ayat ke-54 ini adalah pengantar yang sangat relevan sebelum memasuki kisah Nabi Musa dan Khidir. Allah SWT menegaskan bahwa Dia telah menyampaikan berbagai macam perumpamaan, contoh, dan pelajaran dalam Al-Qur'an untuk kemaslahatan umat manusia. Kata "صَرَّفْنَا" (sharrafna) berarti Kami telah mengulang-ulang, menjelaskan dengan berbagai cara, membolak-balik, dan merinci agar manusia dapat memahami kebenaran dengan mudah dan gamblang. Tujuannya agar manusia tidak lagi memiliki alasan untuk menolak atau meragukan ajaran-ajaran-Nya.
Namun, bagian kedua dari ayat ini menyoroti karakteristik mendasar manusia: "وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا" (wa kānal-insānu akṡara syai`in jadalā) – "Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." Ini adalah pengamatan ilahi yang mendalam tentang sifat dasar manusia. Manusia, meskipun telah diberikan petunjuk yang jelas dan perumpamaan yang mudah dipahami, seringkali cenderung berdebat, membantah, dan mencari-cari alasan untuk menolak kebenaran. Debat ini bisa muncul dari kesombongan, keengganan untuk menerima sesuatu yang bertentangan dengan keinginan atau pemahaman mereka, atau sekadar sifat dasar ingin selalu merasa benar.
Mengapa Manusia Suka Berdebat?
Kecenderungan manusia untuk berdebat memiliki beberapa akar:
- Keterbatasan Pengetahuan: Manusia seringkali mengukur segala sesuatu dengan akal dan pengalaman terbatasnya. Ketika dihadapkan pada sesuatu yang melampaui batas pengetahuannya, respons pertama bisa jadi adalah keraguan atau penolakan.
- Kesombongan Intelektual: Merasa telah memiliki cukup ilmu atau pemahaman, sehingga sulit menerima pandangan atau kebenaran baru, apalagi yang datang dari sumber yang dianggap "rendah" atau "berbeda."
- Nafsu dan Keinginan Pribadi: Terkadang, kebenaran menuntut pengorbanan atau perubahan gaya hidup yang tidak disukai nafsu, sehingga manusia berusaha mencari celah atau dalih untuk menolaknya.
- Pengaruh Setan: Iblis selalu membisikkan keraguan dan mendorong manusia untuk menentang kebenaran.
Ayat 55-59: Keengganan Menerima Kebenaran dan Peringatan Ilahi
"Dan tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan mereka memohon ampun kepada Tuhan mereka, kecuali (keinginan menanti) datangnya ketentuan kepada mereka sebagaimana ketentuan yang telah berlaku pada umat-umat yang terdahulu, atau datangnya azab kepada mereka secara langsung." (QS. Al-Kahfi: 55)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 55
Ayat ini merupakan kelanjutan dari sifat manusia yang suka berdebat dan menolak kebenaran. Allah SWT bertanya secara retoris, apa lagi yang menghalangi manusia untuk beriman setelah petunjuk (Al-Qur'an dan ajaran Rasul) datang kepada mereka, dan mengapa mereka tidak memohon ampun atas dosa-dosa mereka? Jawabannya adalah karena mereka menanti datangnya "sunnatul awwalin" (ketentuan yang berlaku bagi umat-umat terdahulu) atau azab yang langsung menimpa mereka.
Sunnatul awwalin merujuk pada hukum kausalitas ilahi yang menimpa umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka. Hukum ini mencakup berbagai bentuk kehancuran, bencana alam, atau kekalahan dalam peperangan. Orang-orang kafir zaman Nabi Muhammad SAW (dan juga pada masa-masa lain) menantang Allah, seolah-olah mengatakan, "Jika benar azab itu ada, datangkanlah sekarang juga!" Ini adalah bentuk kesombongan ekstrem dan ketidakpercayaan yang mendalam.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa penundaan azab bukanlah tanda bahwa Allah tidak berkuasa, melainkan tanda rahmat dan kesempatan bagi manusia untuk bertaubat. Manusia yang bijaksana tidak akan menunggu azab datang sebagai bukti kebenaran, melainkan akan bersegera beriman dan memohon ampunan ketika petunjuk telah tiba.
"Dan tidaklah Kami mengutus para rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan orang-orang kafir membantah dengan (cara) yang batil untuk melenyapkan yang hak (kebenaran) dengan perbantahan itu, dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku serta (peringatan-peringatan) yang diberikan kepada mereka sebagai olok-olokan." (QS. Al-Kahfi: 56)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 56
Ayat ini menjelaskan fungsi utama para rasul: sebagai pembawa kabar gembira (bagi yang beriman dan beramal saleh) dan pemberi peringatan (bagi yang mendustakan). Tugas mereka adalah menyampaikan pesan Allah dengan jelas, bukan untuk memaksakan keimanan.
Namun, orang-orang kafir justru "membantah dengan kebatilan untuk melenyapkan kebenaran." Mereka tidak mencari kebenaran, tetapi mencari cara untuk menolak dan menghancurkan kebenaran yang dibawa para rasul. Argumen-argumen mereka didasarkan pada kebohongan, keraguan, dan penolakan akal sehat. Lebih jauh lagi, mereka "menjadikan ayat-ayat Allah dan peringatan-peringatan sebagai olok-olokan," sebuah tindakan penghinaan yang menunjukkan puncak kekafiran dan kesombongan mereka.
Ayat ini menyoroti bahwa perdebatan dari orang-orang kafir bukanlah pencarian ilmiah atau filosofis, melainkan upaya yang disengaja untuk memadamkan cahaya kebenaran, seringkali melalui ejekan dan penghinaan. Ini adalah ujian bagi orang-orang beriman untuk tetap teguh di jalan kebenaran meskipun menghadapi perlawanan semacam itu.
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu ia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah memasang tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (meletakkan) sumbatan di telinga mereka. Dan jika engkau menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya." (QS. Al-Kahfi: 57)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 57
Ayat ini mendefinisikan bentuk kezaliman tertinggi: orang yang telah diingatkan dengan ayat-ayat Allah tetapi berpaling dan melupakan dosa-dosa yang telah ia perbuat. Kezaliman ini lebih besar karena datang dari pengetahuan, bukan kebodohan. Mereka tahu kebenaran, tetapi memilih untuk mengabaikannya.
Frasa "melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya" (nasiya mā qaddamat yadāh) menunjukkan bahwa mereka lupa akan konsekuensi perbuatan buruk mereka di akhirat, atau mereka sengaja mengabaikan pertanggungjawaban atas dosa-dosa mereka. Akibat dari penolakan dan pengingkaran yang terus-menerus ini adalah Allah menutup hati dan telinga mereka dari kebenaran. "أَكِنَّةً" (akinnah) berarti tutupan, dan "وَقْرًا" (waqran) berarti sumbatan atau ketulian. Ini adalah sanksi ilahi atas pilihan mereka sendiri untuk menolak hidayah. Sebagai akibatnya, "mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya," bukan karena Allah tidak ingin mereka mendapat petunjuk, tetapi karena mereka sendiri yang menutup pintu hidayah bagi diri mereka.
"Dan Tuhanmu Maha Pengampun, memiliki rahmat. Sekiranya Dia hendak menyiksa mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang telah ditentukan, mereka tidak akan menemukan tempat berlindung selain dari-Nya." (QS. Al-Kahfi: 58)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 58
Meskipun ayat sebelumnya menggambarkan kekafiran yang mendalam, ayat ini datang untuk menegaskan sifat Allah yang Maha Pengampun dan Maha Pemberi Rahmat. Allah tidak langsung menghukum hamba-Nya yang durhaka, meskipun Dia berkuasa melakukannya. Jika saja Allah bertindak sesuai dengan keadilan mutlak-Nya, azab pasti akan disegerakan atas dosa-dosa manusia.
Namun, karena rahmat-Nya yang luas, Allah memberi mereka tenggang waktu. "Tetapi bagi mereka ada waktu yang telah ditentukan" (bal lahum maw'idul lan yajidū min dūnihī maw`ilā). Ini adalah kesempatan bagi mereka untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Waktu yang ditentukan ini bisa berarti ajal mereka di dunia, atau hari Kiamat. Ketika waktu itu tiba, tidak ada tempat berlindung lain bagi mereka selain Allah. Ayat ini menyeimbangkan antara keadilan dan rahmat Allah, menekankan bahwa penundaan hukuman adalah bentuk rahmat, bukan kelemahan.
"Dan (penduduk) negeri-negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan Kami telah menentukan waktu untuk kebinasaan mereka." (QS. Al-Kahfi: 59)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 59
Ayat ini melanjutkan peringatan dengan merujuk pada nasib umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan. Allah mengingatkan bahwa kehancuran mereka bukanlah tanpa sebab atau tanpa waktu yang ditentukan. Mereka dibinasakan "ketika mereka berbuat zalim," yaitu ketika mereka melampaui batas dalam kekufuran dan dosa. Ini adalah penegasan kembali "sunnatul awwalin" yang disebutkan dalam ayat 55.
Kata "zalim" di sini mencakup kekufuran, penolakan kebenaran, penindasan, dan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak Allah dan hak sesama manusia. Allah tidak menghancurkan mereka secara semena-mena, melainkan setelah mereka berulang kali menolak petunjuk dan mencapai titik di mana tidak ada lagi harapan untuk perbaikan. Meskipun ada tenggang waktu, ada batas akhir yang telah ditentukan untuk kebinasaan mereka, yang tidak dapat mereka tunda atau hindari. Ini adalah peringatan keras bagi generasi mana pun untuk mengambil pelajaran dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Transisi ke Kisah Musa dan Khidir
Setelah pengantar tentang sifat manusia yang cenderung membantah kebenaran, dan peringatan akan konsekuensi kezaliman, Al-Qur'an kemudian mengalihkan perhatian kita pada sebuah kisah yang sarat makna. Kisah ini adalah tentang Nabi Musa AS dan perjalanannya mencari ilmu dari seorang hamba Allah yang memiliki pengetahuan istimewa, yang kemudian dikenal sebagai Khidir AS. Kisah ini menjadi kontras yang menarik; sementara ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang orang-orang yang menolak petunjuk, kisah Musa menampilkan seorang nabi besar yang dengan rendah hati mencari ilmu di luar batas-batas pengetahuannya yang sudah luas.
Kisah ini merupakan salah satu narasi paling menarik dan misterius dalam Al-Qur'an. Ini bukan hanya cerita petualangan, tetapi juga pelajaran mendalam tentang batas-batas pengetahuan manusia, pentingnya kesabaran, dan adanya dimensi kebijaksanaan ilahi yang seringkali tidak terjangkau oleh akal kita yang terbatas.
Ayat 60-64: Perjalanan dan Lupa di Dua Lautan
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, 'Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.'" (QS. Al-Kahfi: 60)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 60
Ayat ini membuka kisah pencarian ilmu Nabi Musa. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Musa ditanya oleh Bani Israil, "Siapakah orang yang paling berilmu di bumi ini?" Musa menjawab, "Akulah orangnya." Karena jawaban ini, Allah menegur Musa bahwa ada hamba-Nya yang lebih berilmu darinya. Musa kemudian bertanya, "Di mana aku bisa menemukannya, ya Tuhanku?" Allah berfirman, "Di pertemuan dua lautan (majma’ al-bahrain)."
Musa pun bertekad untuk menemukan hamba Allah tersebut. Ia berkata kepada pembantunya (Yusha' bin Nun), "Aku tidak akan berhenti berjalan sampai aku sampai di pertemuan dua lautan itu, atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun lamanya." Tekad Musa menunjukkan semangat yang luar biasa dalam mencari ilmu. Frasa "أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا" (aw amḍiya ḥuqūbā) berarti ia siap berjalan bertahun-tahun jika diperlukan. Ini mengisyaratkan betapa pentingnya ilmu yang ingin ia raih dan keteguhan hatinya dalam menempuh jalan yang sulit demi mencari kebenayaan.
Pelajaran dari Tekad Musa:
- Kerendahan Hati Seorang Ilmuwan: Meskipun Musa adalah seorang nabi yang mulia dan memiliki banyak ilmu, ia tidak malu untuk mencari ilmu dari sumber lain yang diutus Allah. Ini menunjukkan bahwa pencari ilmu sejati harus selalu rendah hati dan haus akan pengetahuan.
- Semangat Pantang Menyerah: Kesediaan Musa untuk berjalan "bertahun-tahun" adalah simbol dari keseriusan dan ketabahan yang dibutuhkan dalam menuntut ilmu. Ilmu yang berharga tidak didapat dengan mudah.
- Pencarian Ilmu Adalah Perintah Ilahi: Pencarian Musa bukanlah keinginan pribadi semata, melainkan atas petunjuk langsung dari Allah SWT. Ini menegaskan kemuliaan dan nilai tinggi dari pencarian ilmu.
"Maka ketika mereka sampai di pertemuan dua (lautan) itu, mereka lupa akan ikannya, lalu (ikan itu) melompat mengambil jalannya ke laut secara aneh (dan ajaib)." (QS. Al-Kahfi: 61)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 61
Musa dan Yusha' terus berjalan hingga tiba di "majma’ bainihimā" (pertemuan di antara keduanya), yaitu pertemuan dua lautan yang telah ditetapkan sebagai tanda keberadaan Khidir. Namun, saat mereka tiba, mereka "lupa akan ikannya." Ikan ini adalah bekal makanan mereka yang telah mereka panggang dan dimasukkan ke dalam keranjang. Allah telah menjadikan ikan ini sebagai tanda. Ketika ikan itu hidup kembali dan melompat ke laut, Musa dan pembantunya lupa memperhatikannya.
Kata "سَرَبًا" (saraban) berarti jalan rahasia atau terowongan. Ikan itu melompat ke laut dengan cara yang ajaib, seolah-olah membuat jalan sendiri di air atau berenang dalam terowongan yang mengering sesaat. Peristiwa ini adalah mukjizat, tanda yang telah Allah janjikan sebagai penanda tempat pertemuan dengan Khidir.
Simbolisme Ikan dan Pelajaran Lupa:
- Tanda dari Allah: Ikan yang hidup kembali adalah mukjizat yang berfungsi sebagai penanda lokasi. Ini mengajarkan bahwa Allah bisa menggunakan hal-hal sederhana sebagai tanda kebesaran-Nya.
- Ujian Lupa: Baik Musa maupun pembantunya lupa akan ikan tersebut. Ini adalah ujian bagi Musa, seorang nabi besar, untuk menunjukkan bahwa manusia, betapapun tingginya derajatnya, bisa saja lupa atau lalai. Lupa ini juga menjadi sebab kelanjutan kisah, yang menunjukkan hikmah di balik setiap kejadian.
- Korelasi dengan Ilmu: Lupa akan tanda bisa diartikan sebagai kelalaian dalam memperhatikan petunjuk yang sudah jelas. Dalam pencarian ilmu, kelalaian sekecil apa pun bisa membuat kita melewatkan poin penting.
"Maka ketika mereka melewati (tempat itu lebih jauh), Musa berkata kepada pembantunya, 'Bawakanlah makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.'" (QS. Al-Kahfi: 62)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 62
Mereka melanjutkan perjalanan melewati titik pertemuan dua lautan tersebut. Setelah beberapa lama, Musa mulai merasakan kelelahan yang luar biasa dari perjalanan panjang mereka. Ia kemudian meminta makan kepada pembantunya. Frasa "نَصَبًا" (nasaban) menggambarkan kelelahan yang ekstrem, menunjukkan bahwa perjalanan ini memang sangat menguras tenaga.
Permintaan Musa ini menunjukkan bahwa ia belum menyadari bahwa mereka telah melewati tempat yang mereka cari. Kelelahan fisik dapat mengganggu fokus dan daya ingat, yang menjadi alasan mengapa Musa tidak langsung menyadari tanda yang telah mereka saksikan.
Pelajaran dari Kelelahan Musa:
- Kemanusiaan Para Nabi: Meskipun Musa adalah seorang nabi, ia tetaplah manusia yang merasakan lapar, haus, dan lelah. Ini mengingatkan kita akan sifat kemanusiaan para rasul, yang meskipun mulia, tetap memiliki kebutuhan dan keterbatasan fisik.
- Signifikansi Momen: Permintaan makanan ini menjadi pemicu bagi Yusha' untuk mengingat kembali kejadian ikan yang melompat ke laut, yang seharusnya menjadi tanda bagi mereka. Kelelahan Musa mungkin menjadi alasan mengapa ia tidak menyadarinya lebih awal.
"Pembantunya menjawab, 'Tahukah engkau, tatkala kita mencari tempat berlindung di batu itu, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu, dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh dan ajaib.'" (QS. Al-Kahfi: 63)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 63
Mendengar permintaan Musa, barulah Yusha' teringat akan kejadian ikan itu. Ia menceritakan kembali peristiwa tersebut kepada Musa, sambil menyalahkan setan atas kelupaannya. "Tidak ada yang membuat aku lupa kecuali setan" (wa mā ansānīhu illasy-syaiṭānu an ażkurahū). Ini menunjukkan pengakuan akan pengaruh setan dalam membuat manusia lalai dari hal-hal penting. Ikan itu, sekali lagi ditegaskan, mengambil jalannya ke laut "dengan cara yang aneh dan ajaib" (`ajabā), memperkuat kesan mukjizat yang terjadi.
Penting untuk dicatat bahwa Yusha' mengakui kesalahannya dan menyalahkan setan, namun tidak sepenuhnya lepas dari tanggung jawab. Ini menunjukkan pentingnya introspeksi diri dan pengakuan atas kelalaian, sambil memahami bahwa setan memang berperan dalam membisikkan kelupaan.
Pelajaran dari Ingatan Yusha' dan Peran Setan:
- Pengaruh Setan dalam Kelupaan: Ayat ini secara eksplisit menyebutkan peran setan dalam membuat manusia lupa akan hal-hal penting, terutama yang berkaitan dengan kebenaran atau petunjuk. Ini adalah pengingat untuk selalu waspada terhadap bisikan setan.
- Kesadaran dan Penyadaran: Kejadian ini menunjukkan bahwa terkadang kita memerlukan pemicu atau pertanyaan dari orang lain untuk mengingat kembali sesuatu yang penting yang telah kita lupakan.
- Pentingnya Tanda: Ikan tersebut bukan hanya tanda lokasi, tetapi juga pengingat akan kebesaran Allah. Melupakan tanda ini berarti melupakan momen penting dalam perjalanan spiritual.
"Musa berkata, 'Itulah tempat yang kita cari.' Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka yang semula." (QS. Al-Kahfi: 64)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 64
Mendengar penjelasan Yusha' tentang ikan yang hidup dan melompat ke laut, Musa langsung menyadari bahwa itulah tanda yang dimaksud Allah. "Itulah tempat yang kita cari" (żālika mā kunnā nabgī). Tanpa ragu, mereka berdua "kembali mengikuti jejak mereka yang semula" (fartaddā `alā āṡārihimā qaṣaṣā), yaitu menelusuri kembali langkah-langkah mereka sampai ke tempat kejadian ikan itu. Ini menunjukkan ketegasan Musa dalam mencari kebenaran dan kesediaannya untuk memperbaiki kesalahan.
Kejadian ini menekankan bahwa terkadang dalam perjalanan hidup atau pencarian ilmu, kita mungkin melewati tanda-tanda penting. Keberanian untuk kembali dan menelusuri jejak adalah kualitas yang krusial bagi seorang pencari kebenaran.
Pelajaran dari Kembali ke Jejak:
- Pengakuan dan Koreksi: Musa dengan cepat mengakui bahwa mereka telah melewati tanda tersebut dan segera berbalik. Ini adalah sifat terpuji bagi seorang pemimpin dan pencari ilmu.
- Pentingnya Lokasi: Tempat di mana ikan itu hidup kembali adalah lokasi yang spesifik dan penuh berkah, tempat di mana pengetahuan ilahi akan diturunkan.
- Kesabaran dalam Perjalanan: Meskipun harus kembali menelusuri jejak, Musa tidak mengeluh. Ini semakin menegaskan keseriusannya dalam misi pencarian ilmu.
Ayat 65-70: Pertemuan dengan Khidir dan Syarat Kesabaran
Setelah menelusuri kembali jejak mereka, Musa dan Yusha' akhirnya tiba di tempat yang tepat. Di sanalah Musa bertemu dengan sosok yang telah dijanjikan Allah, seorang hamba-Nya yang istimewa, yang memiliki pengetahuan langsung dari sisi-Nya.
"Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. Al-Kahfi: 65)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 65
Di pertemuan dua lautan itu, Musa dan Yusha' menemukan "seorang hamba di antara hamba-hamba Kami." Hamba ini kemudian dikenal sebagai Khidir (Khadir). Al-Qur'an menggambarkan Khidir dengan dua sifat utama:
- Dianugerahi rahmat dari sisi Allah: "آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا" (ātaynāhu raḥmatan min `indinā). Rahmat ini bisa berarti kenabian (meskipun ini adalah salah satu pandangan ulama yang berbeda pendapat), kewalian yang tinggi, atau kasih sayang khusus dari Allah yang memungkinkannya melaksanakan tugas-tugas ilahi yang tidak biasa.
- Diajarkan ilmu langsung dari sisi Allah: "وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا" (wa `allamnāhu mil ladunnā `ilmā). Ini adalah ilmu khusus, ilmu laduni, yang tidak didapatkan melalui proses belajar biasa, tetapi melalui ilham dan wahyu langsung dari Allah. Ilmu ini memungkinkan Khidir memahami dimensi batin dari peristiwa-peristiwa yang tidak terlihat oleh pengetahuan lahiriah manusia, bahkan para nabi seperti Musa.
Siapa Khidir?
Identitas Khidir telah menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama. Ada beberapa pandangan utama:
- Nabi: Sebagian ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang nabi. Argumentasinya adalah seorang nabi seperti Musa tidak akan mencari ilmu dari seorang yang bukan nabi, dan tindakan Khidir yang menghukum mati anak kecil adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan atas dasar wahyu ilahi, bukan semata-mata sebagai wali.
- Wali yang Saleh: Mayoritas ulama berpendapat Khidir adalah seorang wali (kekasih Allah) yang sangat saleh, bukan nabi. Ilmu laduni yang dimilikinya adalah karunia khusus dari Allah yang tidak menjadikannya nabi.
- Masih Hidup: Pandangan populer di kalangan sebagian umat Islam adalah Khidir masih hidup hingga kini, namun pandangan ini tidak memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur'an maupun hadis sahih.
"Musa berkata kepadanya, 'Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu kebenaran yang telah diajarkan kepadamu?'" (QS. Al-Kahfi: 66)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 66
Musa, dengan kerendahan hati yang luar biasa, mengajukan permintaannya kepada Khidir. Ia tidak memerintah, melainkan bertanya dengan sopan, "Hukah at-tabi'uka" (Bolehkah aku mengikutimu?). Ia mengakui bahwa ilmu Khidir adalah "ilmu kebenaran" (rusydā) yang telah diajarkan langsung oleh Allah. Permintaan Musa adalah untuk diajarkan "sebagian" dari ilmu itu, menunjukkan pengakuan akan luasnya ilmu Khidir dan kerendahan hatinya.
Ini adalah teladan sempurna bagi seorang pencari ilmu: kerendahan hati di hadapan guru, pengakuan akan keunggulan ilmu guru, dan kesadaran akan keterbatasan ilmu sendiri. Musa adalah seorang rasul yang memiliki mukjizat, membelah laut, berbicara langsung dengan Allah, membawa Taurat, namun ia tetap tunduk dan sopan dalam mencari ilmu dari Khidir.
"Dia (Khidir) menjawab, 'Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.'" (QS. Al-Kahfi: 67)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 67
Jawaban Khidir mengejutkan dan langsung ke inti masalah: "Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." Ini bukan penolakan kasar, tetapi peringatan akan sifat khusus dari ilmu yang akan diajarkan dan bagaimana ilmu itu akan diungkapkan. Khidir tahu bahwa tindakan-tindakannya akan tampak janggal, bahkan salah, bagi akal dan syariat lahiriah Musa. Kesabaran yang diperlukan bukanlah kesabaran fisik, melainkan kesabaran intelektual dan spiritual untuk tidak menghakimi berdasarkan pengetahuan yang terbatas.
Pernyataan Khidir ini mengandung hikmah mendalam: ada tingkatan ilmu yang menuntut kesabaran ekstra, di mana seseorang harus menangguhkan penilaiannya dan percaya pada guru serta takdir ilahi, meskipun hal-hal yang disaksikan terasa tidak masuk akal atau bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah dikenal.
"Bagaimana mungkin engkau akan sabar terhadap sesuatu yang engkau belum mengetahuinya secara sempurna?" (QS. Al-Kahfi: 68)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 68
Khidir melanjutkan penjelasannya dengan sebuah pertanyaan retoris yang menggugah: "Bagaimana mungkin engkau akan sabar terhadap sesuatu yang engkau belum mengetahuinya secara sempurna?" Ini adalah inti dari tantangan kesabaran. Musa, sebagai seorang nabi, terbiasa dengan keadilan, kebaikan, dan syariat yang jelas. Tindakan Khidir yang akan datang akan melanggar prinsip-prinsip itu dari sudut pandang lahiriah.
Kata "خُبْرًا" (khubrā) berarti pengetahuan yang mendalam, rinci, dan komprehensif. Musa tidak memiliki pengetahuan ini tentang hikmah di balik tindakan Khidir. Oleh karena itu, Khidir memprediksi bahwa Musa tidak akan bisa menahan diri untuk tidak bertanya atau menghakimi. Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran sejati dalam mencari ilmu adalah kemampuan untuk menahan diri dari menghakimi sebelum seluruh informasi dan konteks terungkap sepenuhnya.
Pentingnya Kesabaran dalam Ilmu:
- Kesabaran Melawan Prasangka: Kita seringkali cepat menghakimi berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Kisah ini mengajarkan untuk menunda penilaian.
- Batas Akal Manusia: Ilmu Khidir berada di luar jangkauan akal normal Musa. Ini adalah pengakuan akan keterbatasan akal manusia di hadapan ilmu ilahi yang lebih luas.
- Kepercayaan kepada Guru: Kesabaran juga berarti menaruh kepercayaan pada guru yang memiliki ilmu lebih tinggi, bahkan ketika ajarannya terasa janggal.
"Musa berkata, 'Insya Allah, engkau akan mendapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.'" (QS. Al-Kahfi: 69)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 69
Meskipun diperingatkan, Musa tetap optimis dan yakin akan kemampuannya. Ia berkata, "Insya Allah, engkau akan mendapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun." Penyebutan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) menunjukkan pengakuan Musa akan kebergantungan pada kehendak Allah untuk bisa memenuhi janjinya. Ini adalah adab yang mulia bagi seorang Muslim.
Musa bersungguh-sungguh ingin mendapatkan ilmu tersebut, sehingga ia berjanji akan sepenuhnya patuh dan sabar, tidak akan bertanya atau menentang. Janji ini menunjukkan tekad yang kuat dari Musa, namun kita akan melihat bagaimana janji ini diuji dalam perjalanan mereka.
"Dia (Khidir) berkata, 'Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.'" (QS. Al-Kahfi: 70)
Penjelasan dan Tafsir Ayat 70
Setelah Musa berjanji, Khidir kemudian menetapkan syarat. "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu." Ini adalah syarat mutlak yang harus dipatuhi Musa. Artinya, Musa harus menjadi pengamat pasif tanpa interupsi, menangguhkan semua pertanyaan dan penilaian sampai Khidir sendiri yang berkehendak untuk memberikan penjelasan. Syarat ini menekankan pentingnya kepercayaan mutlak kepada guru dan kehendak Allah dalam proses pembelajaran ilmu laduni.
Syarat ini sangat berat bagi seorang nabi seperti Musa, yang terbiasa dengan keadilan dan kebenaran yang tampak. Namun, ini adalah satu-satunya cara untuk memahami ilmu yang melampaui akal sehat dan syariat lahiriah. Ini adalah ujian kesabaran yang sesungguhnya.
Pelajaran dari Syarat Khidir:
- Kepercayaan Mutlak pada Guru: Dalam pencarian ilmu spiritual, terkadang ada tahap di mana murid harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada bimbingan guru.
- Menahan Diri dari Pertanyaan: Terkadang, pertanyaan yang terlalu cepat dapat menghalangi pemahaman yang lebih dalam. Ada waktu untuk bertanya, dan ada waktu untuk mengamati dan menunggu.
- Ilmu yang Tidak Biasa: Syarat ini menegaskan bahwa ilmu Khidir adalah ilmu yang sangat berbeda, dan pendekatannya pun harus berbeda.
Hikmah dan Pelajaran Universal dari Ayat 54-70
Bagian awal surat Al-Kahfi ini, khususnya ayat 54-70, menyajikan spektrum luas pelajaran yang relevan bagi kehidupan setiap Muslim, bahkan bagi seluruh umat manusia. Dari sifat dasar manusia yang suka membantah hingga kisah epik tentang pencarian ilmu dan kesabaran, ayat-ayat ini mengukir cetak biru bagi perjalanan spiritual dan intelektual kita.
1. Mengenali Sifat Manusia: Debat dan Penolakan (Ayat 54-59)
Allah SWT memulai dengan mengungkapkan sifat dasar manusia yang "paling banyak membantah." Ini adalah cermin bagi kita untuk introspeksi diri. Apakah kita membantah kebenaran karena kesombongan, keterbatasan pengetahuan, atau nafsu? Ayat ini mengingatkan bahwa Al-Qur'an telah datang dengan segala macam perumpamaan dan penjelasan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak beriman. Kebenaran telah terang benderang. Sikap menunda keimanan sambil menanti azab (sebagaimana umat terdahulu) adalah puncak kesombongan dan kezaliman.
Pelajaran penting di sini adalah untuk selalu membuka hati terhadap petunjuk ilahi, menerima kebenaran dengan rendah hati, dan tidak membiarkan ego atau keraguan membendung aliran hidayah. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Dia memberikan waktu bagi kita untuk bertaubat, tetapi ada batas waktu yang telah ditentukan, sebagaimana umat-umat terdahulu yang binasa karena kezaliman mereka.
2. Kerendahan Hati dalam Mencari Ilmu (Ayat 60)
Kisah Nabi Musa dan Khidir dibuka dengan teladan luar biasa tentang kerendahan hati. Musa, seorang rasul Ulul Azmi, yang telah berbicara langsung dengan Allah, diutus untuk mencari ilmu dari hamba-Nya yang lain. Ini adalah pengingat bahwa tidak peduli seberapa tinggi kedudukan atau seberapa luas ilmu seseorang, selalu ada ilmu di atas ilmu, dan selalu ada orang yang lebih berilmu.
Sikap Musa yang "tidak akan berhenti berjalan sampai ke pertemuan dua laut, atau akan berjalan terus sampai bertahun-tahun" adalah inspirasi bagi setiap pencari ilmu. Ilmu sejati menuntut pengorbanan, kegigihan, dan kesediaan untuk menempuh jalan yang sulit. Tidak ada ilmu yang berharga datang tanpa perjuangan.
3. Tanda-Tanda Ilahi dan Kelalaian Manusia (Ayat 61-64)
Peristiwa ikan yang hidup kembali dan melompat ke laut adalah tanda yang jelas dari Allah, namun Musa dan pembantunya melupakannya. Kejadian ini mengajarkan kita beberapa hal:
- Kehadiran Tanda di Sekeliling Kita: Alam semesta dan peristiwa hidup kita dipenuhi dengan tanda-tanda kebesaran Allah, namun seringkali kita terlalu sibuk atau lalai untuk memperhatikannya.
- Pengaruh Setan: Setan selalu berusaha membuat kita lalai dan lupa akan hal-hal penting, terutama yang berkaitan dengan petunjuk dan kebenaran. Kita harus senantiasa waspada.
- Pentingnya Koreksi Diri: Ketika Musa menyadari kelalaiannya, ia tidak ragu untuk kembali dan menelusuri jejaknya. Ini adalah sikap yang harus dimiliki setiap Muslim: berani mengakui kesalahan dan segera memperbaikinya.
4. Ilmu Laduni dan Batas Pengetahuan Manusia (Ayat 65)
Pertemuan dengan Khidir mengungkap adanya dimensi ilmu yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia biasa atau bahkan melalui syariat lahiriah. Khidir dianugerahi "rahmat dari sisi Kami" dan "ilmu dari sisi Kami (laduni)". Ilmu laduni adalah pengetahuan langsung dari Allah, yang memungkinkan Khidir memahami hikmah di balik peristiwa yang tampak janggal atau bahkan bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum.
Ini mengajarkan kita untuk mengakui keterbatasan pengetahuan kita sendiri dan meyakini bahwa ada kebijaksanaan ilahi yang tersembunyi di balik setiap peristiwa, meskipun kita tidak dapat memahaminya secara langsung. Tidak semua hal bisa dijelaskan oleh logika atau ilmu lahiriah.
5. Adab Murid Terhadap Guru dan Ujian Kesabaran (Ayat 66-70)
Dialog antara Musa dan Khidir adalah pelajaran adab murid terhadap guru. Musa bertanya dengan sopan, "Bolehkah aku mengikutimu...?" dan berjanji akan sabar dan tidak akan menentang. Kerendahan hati Musa, meskipun ia seorang nabi besar, adalah contoh nyata bagaimana seorang pencari ilmu sejati harus bersikap di hadapan guru yang lebih tinggi ilmunya.
Namun, Khidir juga memberikan peringatan tegas: "Engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Bagaimana mungkin engkau akan sabar terhadap sesuatu yang engkau belum mengetahuinya secara sempurna?" Ini adalah ujian kesabaran yang luar biasa, menuntut Musa untuk menangguhkan penilaiannya dan tidak bertanya sampai Khidir sendiri yang memberikan penjelasan. Pelajaran ini mengajarkan:
- Kesabaran dalam Belajar: Terutama dalam ilmu-ilmu yang kompleks atau spiritual, dibutuhkan kesabaran untuk tidak cepat menghakimi atau menyimpulkan sebelum memahami konteks secara keseluruhan.
- Kepercayaan pada Proses: Terkadang, kita harus percaya pada proses pembelajaran dan bimbingan guru, meskipun tahap-tahap awal terasa tidak masuk akal.
- Menahan Diri dari Prasangka: Banyak kesalahpahaman muncul karena kita terlalu cepat berprasangka atau menghakimi tanpa informasi yang lengkap. Kisah ini adalah obat penawar bagi sifat tersebut.
Relevansi Kontemporer
Pelajaran dari Al-Kahfi ayat 54-70 ini tetap sangat relevan di era modern. Dalam dunia yang serba cepat dan informasi instan, manusia seringkali cepat menghakimi, menyebarkan berita tanpa verifikasi, dan enggan menerima sudut pandang yang berbeda. Sifat "paling banyak membantah" yang disebutkan dalam ayat 54 semakin terlihat dalam perdebatan di media sosial, di mana orang lebih tertarik untuk membuktikan diri benar daripada mencari kebenaran.
Kisah Musa dan Khidir juga menawarkan solusi. Ini adalah seruan untuk melatih kesabaran, kerendahan hati intelektual, dan kesediaan untuk melihat melampaui apa yang tampak di permukaan. Dalam masyarakat yang seringkali menekankan hasil instan, kisah ini mengingatkan kita bahwa pemahaman sejati dan kebijaksanaan memerlukan waktu, ketekunan, dan seringkali, menangguhkan penilaian cepat. Ketika kita dihadapkan pada "ketidakadilan" atau "keanehan" dalam hidup, mungkin ada "ilmu laduni" di baliknya yang hanya akan terungkap jika kita memiliki kesabaran dan kepercayaan kepada takdir Allah.
Pencarian ilmu tidak pernah berhenti, bahkan bagi seorang nabi. Ini adalah dorongan bagi setiap Muslim untuk terus belajar, mencari pengetahuan, dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah diketahui. Dengan menerapkan pelajaran-pelajaran ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih bijaksana, lebih sabar, dan lebih rendah hati dalam menghadapi misteri kehidupan dan kebesaran ilmu Allah SWT.