Pendahuluan: Cahaya dan Pelajaran dari Surah Al-Kahf
Surah Al-Kahf, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam. Banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menganjurkan umatnya untuk membacanya pada hari Jumat, menjanjikan perlindungan dari fitnah Dajjal, cahaya yang menerangi antara dua Jumat, dan keberkahan lainnya. Surah ini dikenal mengandung empat kisah utama yang menjadi inti dari berbagai ujian dan godaan hidup: kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua) tentang ujian iman, kisah dua pemilik kebun tentang ujian harta, kisah Nabi Musa dan Khidir tentang ujian ilmu, dan kisah Dzulqarnain tentang ujian kekuasaan. Keempat kisah ini saling terkait, memberikan pelajaran mendalam tentang bagaimana manusia harus menghadapi berbagai fitnah duniawi agar tetap teguh di jalan Allah.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami secara khusus kisah kedua, yaitu kisah dua pemilik kebun, yang terhampar dalam ayat 32 hingga 44. Lebih lanjut, kita akan memfokuskan perhatian pada ayat 36 hingga 45, menyoroti dialog krusial, kehancuran yang tak terhindarkan, serta perumpamaan agung tentang hakikat kehidupan duniawi yang terkandung dalam ayat 45. Kisah ini bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan cerminan abadi tentang sifat manusia, godaan kekayaan, kesombongan, dan pentingnya bersyukur serta menyadari keterbatasan diri di hadapan kekuasaan Allah Yang Maha Esa.
Melalui ayat-ayat ini, Al-Qur'an mengajak kita untuk merenungkan makna sejati kemakmuran dan keberuntungan. Apakah kekayaan materi adalah tolok ukur kesuksesan? Bagaimana seharusnya sikap seorang mukmin terhadap harta benda yang Allah titipkan? Dan yang terpenting, bagaimana kita dapat menjaga hati agar tidak terjerumus dalam tipu daya dunia yang fana, melupakan tujuan akhir penciptaan kita?
Pelajaran dari dua pemilik kebun ini mengajarkan kita tentang bahaya kesombongan dan keangkuhan yang muncul dari harta benda, serta pentingnya kerendahan hati dan selalu mengaitkan setiap nikmat kepada Sang Pemberi Nikmat. Ia juga menggambarkan betapa rapuhnya kebahagiaan yang dibangun di atas dasar duniawi semata, yang dapat hancur dalam sekejap mata. Akhirnya, ayat ke-45 memberikan penutup yang sangat puitis dan penuh hikmah, menyajikan perumpamaan kehidupan dunia sebagai air hujan yang menyuburkan, namun kemudian mengering dan lenyap ditelan angin. Sebuah metafora yang sempurna untuk menggambarkan kefanaan segala yang ada di dunia.
Kisah Dua Pemilik Kebun: Cermin Sifat Manusia
Kisah ini bermula dengan gambaran kontras antara dua orang laki-laki. Salah satunya dianugerahi oleh Allah dengan dua kebun anggur yang subur, dikelilingi oleh pohon kurma, dan di antara keduanya mengalir sungai. Ini adalah gambaran kemewahan dan kemakmuran yang luar biasa pada zamannya. Kebun-kebun ini menghasilkan buah yang melimpah ruah tanpa henti. Sementara itu, sahabatnya, meskipun tidak digambarkan secara eksplisit, memiliki keadaan yang jauh berbeda, mengisyaratkan bahwa ia adalah seorang yang sederhana, mungkin miskin secara materi, namun kaya akan iman dan hikmah.
Al-Qur'an seringkali menggunakan perbandingan semacam ini untuk menyoroti perbedaan antara mereka yang bersyukur dan mereka yang kufur, antara mereka yang meyakini hari akhir dan mereka yang terpaku pada kehidupan dunia. Kisah ini bukan hanya tentang kekayaan fisik, tetapi juga tentang kekayaan spiritual, tentang bagaimana hati merespons karunia Allah.
Latar belakang kisah ini juga relevan dengan konteks Surah Al-Kahf secara keseluruhan. Surat ini diturunkan untuk menenangkan Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya dari tekanan kaum Quraisy, yang menanyakan tentang kisah-kisah kuno untuk menguji kenabian beliau. Salah satu tema utama surat ini adalah ujian harta dan kekuasaan, yang seringkali menjadi penyebab kesombongan dan pengingkaran terhadap kebenaran. Kisah dua kebun ini menjadi ilustrasi nyata bagaimana harta dapat menyesatkan manusia dari jalan yang lurus, kecuali jika diimbangi dengan keimanan yang kokoh dan kesadaran akan hakikat keberadaan Allah sebagai Pemberi Rezeki dan Penguasa segala sesuatu.
Mari kita selami lebih dalam dialog dan peristiwa yang terjadi, dimulai dari ayat 36.
Ayat 36: Kesombongan dan Pengingkaran Hari Akhir
Ayat ini adalah puncak dari kesombongan pemilik kebun yang kaya. Setelah memamerkan kemewahannya kepada sahabatnya, ia tidak hanya kufur nikmat, tetapi juga melangkah lebih jauh dengan menolak kebenaran Hari Kiamat. Kalimatnya, "Aku tidak mengira hari Kiamat itu akan datang," menunjukkan penolakan terang-terangan terhadap salah satu rukun iman. Ini adalah manifestasi dari ghurur, yaitu perasaan tertipu oleh kenikmatan duniawi sehingga melupakan atau bahkan mengingkari kehidupan setelah mati.
Sikap ini bukan hanya pengingkaran terhadap akidah, tetapi juga cerminan dari logikanya yang dangkal. Karena ia merasa nyaman dan berlimpah di dunia ini, ia menyimpulkan bahwa keadaannya akan selalu baik, bahkan di akhirat. Ia beranggapan bahwa jika pun ada kehidupan lain, Allah pasti akan memberinya yang lebih baik, karena ia sudah 'terbukti' berhasil dan 'berhak' di dunia. Ini adalah pemikiran yang keliru dan berbahaya, yang mengabaikan konsep keadilan Ilahi dan hisab (perhitungan amal).
Kesombongan sang pemilik kebun tidak berhenti pada pengingkaran hari kiamat. Ia bahkan merasa yakin bahwa posisinya di sisi Allah akan tetap istimewa, seandainya memang ada akhirat. "Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari kebun itu." Keyakinan ini menunjukkan bahwa ia mengukur keridhaan Allah dengan standar kekayaan duniawi. Ia berpikir bahwa karena Allah memberinya banyak harta di dunia, itu berarti Allah mencintainya dan akan memberinya yang lebih baik di akhirat. Pemahaman ini keliru, karena Allah memberikan kekayaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, baik kepada orang mukmin maupun kafir, sebagai ujian atau sebagai karunia semata, bukan selalu sebagai tanda keridhaan abadi.
Pikiran seperti ini sangat umum di kalangan orang-orang yang terlena oleh kekayaan. Mereka cenderung mengira bahwa kesuksesan materi adalah bukti dari kebenaran jalan mereka atau keridhaan Allah terhadap mereka. Mereka gagal memahami bahwa harta adalah ujian, dan bisa menjadi istidraj (pemberian nikmat bertubi-tubi yang justru menjauhkan dari Allah), bukan selalu tanda kemuliaan hakiki.
Ayat ini juga menyingkap bahaya besar dari keterikatan hati pada dunia. Ketika hati seseorang sepenuhnya terikat pada harta dan kemegahan dunia, ia akan sulit menerima konsep hari akhir, hisab, dan pertanggungjawaban. Dunia menjadi realitas satu-satunya baginya, dan ia enggan membayangkan adanya akhir dari kenikmatan yang ia rasakan. Ini adalah penyakit hati yang serius, yang dapat menghancurkan iman seseorang.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah bahwa seorang mukmin harus selalu waspada terhadap godaan harta. Harta bisa menjadi berkah jika digunakan di jalan Allah, tetapi bisa juga menjadi bencana jika menyebabkan kesombongan, pengingkaran terhadap hari akhir, dan melupakan hakikat diri sebagai hamba Allah.
Ayat 37-38: Hikmah dari Sahabat yang Beriman
Setelah mendengar perkataan temannya yang angkuh dan kafir, sahabatnya yang beriman tidak tinggal diam. Dengan penuh hikmah dan ketenangan, ia mulai berdialog, mencoba menyentuh hati temannya dengan mengingatkan asal-usulnya. Pertanyaannya, "Apakah engkau kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, lalu dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?" adalah sebuah pertanyaan retoris yang menggugah.
Reminder ini sangat fundamental. Ia mengajak si kaya untuk merenungkan dari mana ia berasal. Dari setetes air mani, kemudian dari tanah – sebuah asal-usul yang sangat rendah dan hina. Bagaimana bisa seseorang yang diciptakan dari materi serapuh dan serendah itu menjadi begitu sombong? Bagaimana ia bisa melupakan kekuasaan Tuhan yang membentuknya dari ketiadaan menjadi makhluk yang sempurna?
Pengingat ini seharusnya membangkitkan rasa rendah hati. Ia menegaskan bahwa segala kemuliaan, kekuatan, dan bahkan keberadaan dirinya sendiri adalah semata-mata anugerah dari Allah. Tanpa kekuasaan Allah, ia hanyalah tanah dan setetes air yang tak berarti. Kekayaan dan kebun yang ia banggakan adalah pemberian, bukan hasil dari kekuatan intrinsiknya yang tak terbatas. Ayat ini secara halus menyinggung bahwa kekayaan itu hanyalah tambahan, bukan esensi dirinya.
Kemudian, sang sahabat yang beriman melanjutkan dengan menyatakan keyakinannya yang teguh: "Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhanku." Pernyataan ini menunjukkan kontras yang tajam antara dirinya dengan sahabatnya yang sombong. Sementara si kaya terbuai oleh kekayaannya dan mengabaikan Allah, si miskin justru mengukuhkan tauhidnya. Ia tidak membiarkan kemiskinan atau kesederhanaan hidupnya mengurangi keimanannya sedikit pun. Justru, dalam keterbatasannya, ia semakin menyadari keagungan dan kekuasaan Allah.
Kalimat "aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhanku" adalah deklarasi tauhid yang murni. Ini berarti ia tidak mengaitkan keberuntungan atau kesialan kepada selain Allah. Ia tidak mengagungkan hartanya (jika ada) atau kekuasaan manusiawi, tetapi hanya mengagungkan Allah. Ini adalah fondasi iman yang kuat, yang seharusnya menjadi pegangan bagi setiap mukmin, baik dalam keadaan kaya maupun miskin.
Pelajaran dari ayat ini sangat penting. Pertama, ia mengajarkan pentingnya dakwah dengan hikmah. Sahabat yang beriman tidak mencaci maki atau menghakimi, tetapi ia mengingatkan dengan argumen yang kuat dan menyentuh akal sehat. Kedua, ia menekankan pentingnya refleksi diri. Mengingat asal-usul kita dari tanah dan air mani adalah cara yang efektif untuk memadamkan api kesombongan dalam hati. Ketiga, ayat ini menunjukkan keindahan tauhid dan keteguhan iman di tengah godaan dunia. Harta bisa datang dan pergi, tetapi iman kepada Allah Yang Maha Esa adalah harta yang abadi dan tak ternilai.
Sikap sahabat yang beriman ini patut dicontoh. Ia tidak iri terhadap kekayaan temannya, tidak pula putus asa dengan keadaannya sendiri. Fokusnya adalah pada kebenaran dan nasehat yang tulus, dengan harapan temannya dapat kembali kepada jalan yang benar. Ia menunjukkan bahwa nilai seorang manusia tidak diukur dari seberapa banyak harta yang ia miliki, tetapi dari seberapa teguh imannya dan seberapa dekat ia dengan Allah.
Ayat 39-41: Nasihat Kerendahan Hati dan Ancaman Ilahi
Sahabat yang beriman melanjutkan nasihatnya dengan lebih spesifik. Ia menunjukkan kekurangan fatal dalam sikap temannya: tidak mengucapkan zikir "Masya Allah, la quwwata illa billah" ketika melihat nikmat Allah. Ungkapan ini berarti, "Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." Ini adalah pengakuan mutlak terhadap kekuasaan dan kehendak Allah sebagai satu-satunya sumber segala sesuatu. Dengan mengucapkan zikir ini, seorang hamba menyandarkan semua nikmat yang ia miliki kepada Allah, mengakui bahwa tanpa kehendak-Nya, tidak ada yang dapat terwujud, dan tanpa kekuatan-Nya, tidak ada yang dapat bertahan.
Nasihat ini mengandung pelajaran penting tentang pentingnya bersyukur dan merendahkan diri. Orang yang mengucapkan zikir ini ketika melihat nikmat, baik yang ia miliki maupun yang dimiliki orang lain, telah menjaga hatinya dari kesombongan, iri hati, dan perasaan tertipu oleh dunia. Ia sadar bahwa segala sesuatu adalah pinjaman dari Allah, dan hanya dengan pertolongan-Nyalah ia dapat mempertahankan dan menggunakannya.
Kemudian, sahabat itu membandingkan dirinya dengan temannya. Meskipun ia lebih sedikit harta dan keturunan, ia tidak kehilangan harapan. Justru ia menegaskan keyakinannya bahwa Allah Mahakuasa untuk memberikan yang lebih baik kepadanya. Ini adalah bentuk tawakkul (penyerahan diri) yang sempurna kepada Allah. Ia tidak iri dengan kekayaan temannya, tetapi ia tahu bahwa rezeki Allah luas dan tidak terbatas.
Puncaknya, sahabat itu memberikan peringatan keras kepada temannya tentang kemungkinan azab Allah. "Maka mudah-mudahan Tuhanku, jika Dia menghendaki, akan memberiku kebun yang lebih baik dari kebunmu (itu); dan Dia mengirimkan badai dari langit kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin." Ancaman ini adalah gambaran konkret tentang kehancuran total. Badai dari langit dapat berupa petir, hujan es, atau bencana alam lainnya yang menghancurkan. Kebun yang subur dan megah itu dapat berubah menjadi "tanah yang licin," yaitu tanah yang tidak dapat ditanami lagi, gersang, dan tandus.
Tidak hanya itu, ancaman kedua adalah "Atau airnya menjadi kering, sehingga engkau tidak akan dapat mencarinya lagi." Air adalah sumber kehidupan bagi kebun. Jika airnya mengering atau surut ke dalam tanah, maka kebun itu akan mati secara perlahan. Ini adalah gambaran azab yang datang secara bertahap, namun sama mematikannya. Dalam kedua skenario ini, kekayaan yang dibanggakan akan lenyap, dan pemiliknya tidak dapat berbuat apa-apa.
Peringatan ini menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa untuk menarik kembali nikmat yang telah Dia berikan kapan saja Dia kehendaki. Kekayaan, kemegahan, dan kemakmuran hanyalah sementara. Mereka dapat lenyap dalam sekejap mata jika Allah berkehendak. Hal ini seharusnya menjadi pengingat bagi setiap orang yang dikaruniai kekayaan untuk tidak pernah sombong dan selalu bersyukur, serta mengaitkan setiap nikmat kepada Allah.
Nasihat ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Ia mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan hati dengan zikirullah, menjauhkan diri dari kesombongan, dan senantiasa berharap hanya kepada Allah. Ia juga menunjukkan bahwa ancaman azab Allah itu nyata dan dapat datang kapan saja, sebagai konsekuensi dari sikap kufur nikmat dan pengingkaran terhadap kebenaran.
Ayat 42-44: Penyesalan dan Hakikat Kekuasaan Ilahi
Kisah ini mencapai puncaknya dengan kenyataan pahit yang menimpa si pemilik kebun yang sombong. Ancaman yang dilontarkan sahabatnya benar-benar terwujud. "Dan kebunnya dibinasakan," – dalam sekejap mata, semua kemegahan, kemakmuran, dan kebanggaan yang ia miliki lenyap. Musibah ini datang secara menyeluruh, tidak menyisakan apa pun.
Kemudian Al-Qur'an menggambarkan reaksi si pemilik kebun yang hancur hatinya: "lalu dia bolak-balikkan kedua telapak tangannya (menyesali perbuatannya) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang ia roboh bersama para penyangganya." Gerakan membolak-balikkan telapak tangan adalah isyarat universal dari penyesalan yang mendalam, rasa putus asa, dan kekecewaan yang tak terkira. Ia menyesali semua investasi, tenaga, dan harapannya yang telah ia curahkan untuk kebun yang kini hanya tinggal puing. Kebun yang pernah menjadi simbol kekuasaannya kini roboh bersama penyangga-penyangganya, menunjukkan kehancuran total yang tidak dapat diperbaiki.
Dalam keadaan putus asa dan penyesalan yang memuncak, ia menyadari kesalahannya yang paling mendasar: "dan dia berkata, 'Alangkah baiknya kalau aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.'" Di sinilah ia mengakui kesalahan tauhidnya. Ia menyadari bahwa kesombongan dan keterikatannya pada harta telah membuatnya lupa kepada Allah, bahkan seolah mempersekutukan-Nya dengan menjadikan hartanya sebagai tuhan. Namun, penyesalan ini datang terlambat. Penyesalan di dunia, setelah azab menimpa, seringkali tidak lagi bermanfaat untuk mengubah takdir.
Ayat selanjutnya menegaskan ketiadaan daya dan upaya baginya di saat genting: "Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan dia tidak akan dapat menolong dirinya sendiri." Selama ini, mungkin ia merasa kuat karena memiliki banyak pengikut, harta, atau pengaruh. Namun, ketika azab Allah datang, semua itu tidak berguna. Para pengikutnya tidak dapat membantunya, harta kekayaannya tidak dapat menyelamatkannya, dan bahkan dirinya sendiri tidak memiliki kekuatan untuk menghalau bencana. Ini adalah gambaran nyata tentang betapa rapuhnya kekuatan manusiawi di hadapan kekuasaan Ilahi.
Ini adalah pelajaran berharga bahwa satu-satunya pertolongan hakiki adalah dari Allah. Manusia, dengan segala kekuatan dan hartanya, adalah makhluk yang lemah. Ketergantungan pada selain Allah, atau bahkan merasa diri cukup dengan apa yang dimiliki, adalah kesesatan yang nyata.
Ayat 44 kemudian menutup kisah ini dengan pernyataan fundamental tentang hakikat kekuasaan dan pertolongan: "Di sana pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan Yang Maha Benar. Dialah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi akibat." Frasa "Di sana" merujuk pada kondisi atau keadaan yang genting dan tak berdaya seperti yang dialami si pemilik kebun. Dalam kondisi seperti itu, atau bahkan dalam setiap keadaan, hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung dan memohon pertolongan. Dialah Al-Haqq, Yang Maha Benar, yang keadilan-Nya mutlak dan janji-Nya pasti.
Pernyataan "Dialah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi akibat" mengandung makna ganda. Bagi mereka yang beriman dan bersyukur, Allah adalah sebaik-baik pemberi pahala atas ketaatan mereka. Namun, bagi mereka yang ingkar dan sombong, Allah adalah sebaik-baik pemberi akibat (balasan) yang setimpal atas kesombongan dan kekafiran mereka. Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu berakhir pada Allah. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang abadi, dan keburukan akan dibalas dengan azab yang pedih. Ini adalah penegasan tentang keadilan dan kedaulatan mutlak Allah.
Kisah ini adalah pengingat keras bagi setiap manusia untuk tidak terbuai oleh gemerlap dunia, tidak sombong dengan kekayaan, dan selalu menyandarkan diri kepada Allah. Penyesalan di akhirat tidak akan ada gunanya, dan pertolongan dari selain Allah adalah sia-sia. Hanya iman yang teguh dan amal saleh yang akan menjadi bekal sejati.
Ayat 45: Perumpamaan Kehidupan Dunia
Setelah kisah konkret tentang kehancuran kebun, Al-Qur'an beralih ke perumpamaan yang lebih umum dan universal tentang hakikat kehidupan duniawi. Ayat 45 ini adalah salah satu perumpamaan paling kuat dan sering dikutip dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan kefanaan dunia. Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk "buatkanlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia ini." Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman tentang hakikat dunia agar manusia tidak terjerumus ke dalam godaan dan kesesatan.
Perumpamaan yang diberikan adalah tentang air hujan yang turun dari langit. Air ini adalah simbol kehidupan dan berkah. Ketika air hujan membasahi bumi, "maka tumbuhlah tanaman-tanaman di bumi dengan subur." Ini menggambarkan fase awal kehidupan dunia: keindahan, kesuburan, pertumbuhan, dan kemegahan. Segala sesuatu tampak hijau, segar, dan menjanjikan. Manusia melihat kekayaan, kekuasaan, kecantikan, kesehatan, dan segala kenikmatan dunia seolah-olah akan abadi dan terus berkembang. Ini adalah masa muda, masa kejayaan, masa di mana segala ambisi dan impian bisa diwujudkan.
Namun, perumpamaan itu tidak berhenti di situ. Fase berikutnya adalah "kemudian menjadi kering yang diterbangkan oleh angin." Setelah masa kejayaan dan kesuburan, tanaman-tanaman itu berubah menjadi "hasyim," yaitu kering, rapuh, dan hancur. Kemudian, angin dengan mudah menerbangkannya ke segala arah. Ini adalah metafora yang sempurna untuk menggambarkan betapa cepatnya kehidupan dunia ini berubah. Kekuatan akan melemah, kecantikan akan memudar, kesehatan akan merosot, kekayaan dapat hilang, dan kehidupan itu sendiri akan berakhir. Segala kemegahan yang pernah ada, dalam sekejap mata, dapat lenyap tanpa bekas, seperti daun kering yang diterbangkan angin.
Perumpamaan ini memiliki beberapa lapisan makna:
- Kefanaan Segalanya: Tidak ada kekayaan, kekuasaan, atau kemuliaan dunia yang abadi. Semuanya akan berakhir, sebagaimana tanaman yang subur pasti akan mengering.
- Kecepatan Perubahan: Proses dari subur ke kering dan kemudian lenyap terjadi begitu cepat. Ini mengingatkan manusia akan singkatnya hidup dan betapa cepatnya keadaan dapat berbalik.
- Ketidakberdayaan Manusia: Sama seperti tanaman yang tidak dapat menolak proses pengeringan dan diterbangkan angin, manusia juga tidak dapat menolak takdir kematian dan kehancuran.
- Godaan dan Ujian: Keindahan dunia di awal adalah ujian. Mereka yang terlena oleh keindahan sementara ini akan menyesal ketika semuanya lenyap.
Ayat ini ditutup dengan penegasan yang sangat penting: "Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." Frasa ini adalah pengingat bahwa di balik semua perubahan dan kefanaan dunia, ada Kekuatan Yang Mahakuasa yang mengatur segalanya. Dia-lah yang menumbuhkan, dan Dia pula yang mengeringkan. Dia-lah yang memberi hidup, dan Dia pula yang mematikan. Kekuasaan Allah tidak terbatas oleh waktu atau ruang, dan tidak ada yang dapat menentang kehendak-Nya. Kalimat penutup ini mengembalikan fokus kepada Allah sebagai satu-satunya Realitas yang kekal dan mutlak.
Perumpamaan ini relevan tidak hanya bagi si pemilik kebun yang sombong, tetapi bagi seluruh umat manusia. Ia mengajak kita untuk tidak terperangkap dalam jebakan duniawi yang fana, melainkan untuk menggunakan kehidupan singkat ini sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi di akhirat. Ia adalah seruan untuk meletakkan harapan dan cita-cita pada sesuatu yang lebih kekal, yaitu keridhaan Allah dan pahala di surga.
Ketika kita merenungkan ayat ini, kita diajak untuk melihat lebih dari sekadar permukaan. Di balik kilauan kekayaan, kekuatan, dan kesuksesan dunia, ada kenyataan pahit tentang kefanaan. Hanya dengan memahami hakikat ini, seorang mukmin dapat menjaga hatinya tetap teguh, tidak terpengaruh oleh godaan dunia, dan senantiasa berorientasi pada kehidupan akhirat.
Pelajaran Mendalam dari Kisah Ini
Kisah dua pemilik kebun, yang mencapai klimaksnya dalam ayat 36-45 Surah Al-Kahf, adalah sebuah hikayat yang kaya akan pelajaran moral, spiritual, dan etika. Kisah ini mengajarkan kita banyak hal, bukan hanya tentang hubungan manusia dengan harta, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan Penciptanya dan sesama manusia.
1. Bahaya Kesombongan dan Kufur Nikmat
Pelajaran paling mencolok adalah tentang bahaya kesombongan (kibr) dan kufur nikmat. Pemilik kebun yang kaya melupakan asal-usulnya yang hina dan mengaitkan kemakmuran kebunnya pada dirinya sendiri, seolah-olah itu adalah hasil mutlak dari usahanya tanpa campur tangan Ilahi. Sikap ini berujung pada pengingkaran Hari Kiamat, karena orang sombong cenderung merasa dirinya independen dan tidak bertanggung jawab kepada siapapun. Kesombongan dan kufur nikmat adalah pintu gerbang menuju berbagai dosa lain, termasuk syirik kecil (mengagungkan selain Allah) dan menolak kebenaran.
2. Pentingnya Bersyukur dan Mengingat Allah (Zikir)
Sahabat yang beriman mengingatkan pentingnya mengucapkan "Masya Allah, la quwwata illa billah." Zikir ini bukan sekadar ucapan lisan, melainkan manifestasi dari keyakinan mendalam bahwa segala daya dan kekuatan hanya berasal dari Allah. Mengucapkan zikir ini melindungi hati dari kesombongan ketika melihat nikmat dan dari rasa iri ketika melihat nikmat orang lain. Ia juga merupakan bentuk rasa syukur yang mengembalikan segala keutamaan kepada Sang Pemberi Nikmat.
3. Hakikat Kehidupan Duniawi yang Fana
Ayat 45 memberikan perumpamaan yang luar biasa tentang kefanaan dunia. Kehidupan dunia, dengan segala kemegahan dan keindahannya, digambarkan seperti tanaman yang subur namun pada akhirnya akan mengering dan lenyap diterbangkan angin. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa segala yang ada di dunia ini bersifat sementara dan tidak kekal. Harta, kedudukan, kecantikan, dan bahkan kehidupan itu sendiri akan berakhir. Pemahaman ini seharusnya memotivasi manusia untuk tidak terlalu terikat pada dunia dan fokus pada bekal untuk akhirat yang abadi.
4. Nilai Iman dan Tawakkul Lebih Tinggi dari Harta
Kisah ini dengan jelas menunjukkan bahwa kekayaan sejati bukanlah pada harta benda, melainkan pada iman yang kokoh dan tawakkul (penyerahan diri) kepada Allah. Sahabat yang miskin secara materi, tetapi kaya akan iman, adalah contoh teladan. Ia tidak putus asa dengan keadaannya, tidak iri dengan temannya, dan tidak goyah keyakinannya. Sebaliknya, pemilik kebun yang kaya, dengan segala kemewahannya, berakhir dengan kehancuran dan penyesalan.
5. Fungsi Nasihat yang Tulus
Sahabat yang beriman tidak mencaci atau menghakimi, melainkan menasihati dengan penuh hikmah, mengingatkan temannya tentang asal-usulnya dan kekuasaan Allah. Meskipun nasihatnya ditolak, itu menunjukkan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dengan cara yang baik, bahkan kepada orang yang sombong dan ingkar. Tugas seorang mukmin adalah menyampaikan kebenaran, hasil akhirnya adalah di tangan Allah.
6. Keadilan dan Kekuasaan Mutlak Allah
Akhir dari kisah ini menegaskan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan keadilan-Nya mutlak. Dia berhak mencabut nikmat dari siapa saja yang Dia kehendaki, sebagai bentuk azab bagi yang kufur atau ujian bagi yang beriman. Tidak ada kekuatan, kekuasaan, atau sekutu yang dapat menolong manusia dari kehendak Allah. Pertolongan sejati hanya datang dari-Nya, dan Dialah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi akibat.
7. Penyesalan yang Terlambat
Penyesalan si pemilik kebun yang datang setelah kehancuran kebunnya adalah pelajaran penting tentang penyesalan yang tidak berguna. Dalam banyak kasus, manusia baru menyadari kesalahannya setelah musibah menimpa. Islam mengajarkan pentingnya bertaubat dan menyadari kesalahan sebelum terlambat, sebelum ajal menjemput atau azab Allah datang. Penyesalan yang bermanfaat adalah yang mendorong perubahan perilaku dan kembali kepada Allah sebelum datangnya musibah.
Relevansi Kisah di Era Modern
Meskipun kisah ini terjadi di masa lalu, pelajaran yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan kehidupan kita di era modern. Justru, di tengah kemajuan teknologi dan materialisme yang kian merajalela, godaan kekayaan dan kesombongan menjadi semakin kuat dan kompleks. Bagaimana kisah ini dapat membimbing kita hari ini?
1. Godaan Materialisme dan Konsumerisme
Di era modern, masyarakat seringkali didorong untuk mengidentifikasi nilai diri mereka dengan kekayaan, harta benda, dan status sosial. Iklan-iklan gencar mempromosikan gaya hidup mewah, media sosial menjadi ajang pamer, dan banyak orang berlomba-lomba mengumpulkan harta tanpa memikirkan sumbernya dan penggunaannya. Kisah dua kebun ini adalah peringatan keras bahwa keterikatan berlebihan pada materialisme dapat membutakan hati dari hakikat keberadaan dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Kekayaan yang disalahgunakan dapat membawa kehancuran, bukan kebahagiaan sejati.
2. Kesombongan Digital dan Media Sosial
Media sosial telah menciptakan platform baru untuk kesombongan. Orang dapat dengan mudah memamerkan kekayaan, kesuksesan, atau gaya hidup mewah mereka, seringkali dengan sedikit atau tanpa kesadaran tentang dari mana semua itu berasal atau bagaimana itu bisa lenyap. Sikap "Aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang" dapat termanifestasi dalam perilaku acuh tak acuh terhadap nilai-nilai spiritual, fokus berlebihan pada citra diri, dan mengabaikan pertanggungjawaban di hadapan Allah.
3. Melupakan Asal-Usul dan Kekuasaan Ilahi
Di tengah hiruk pikuk kesibukan dunia, manusia modern sering lupa merenungkan asal-usul penciptaan dirinya dan kekuasaan Allah. Sains dan teknologi seringkali dianggap sebagai sumber utama kekuatan dan solusi, menggeser peran Tuhan dalam pikiran sebagian orang. Kisah ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap penemuan dan kemajuan, ada kekuasaan Allah yang fundamental. Mengingat bahwa kita diciptakan dari tanah dan setetes air mani adalah antidote yang ampuh untuk kesombongan dan keangkuhan.
4. Pentingnya Tawakkul dalam Ketidakpastian Ekonomi
Era modern sering diwarnai oleh ketidakpastian ekonomi, krisis finansial, dan volatilitas pasar. Orang bisa kehilangan kekayaannya dalam semalam karena berbagai faktor. Dalam konteks ini, pelajaran tentang tawakkul dan keyakinan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu menjadi sangat relevan. Daripada menggantungkan harapan sepenuhnya pada sistem ekonomi atau investasi yang rapuh, seorang mukmin diajarkan untuk menyandarkan hati kepada Allah, seraya tetap berikhtiar semaksimal mungkin.
5. Menjadi Sahabat yang Beriman di Lingkungan Sekuler
Di banyak lingkungan modern yang cenderung sekuler atau materialistis, menjadi "sahabat yang beriman" membutuhkan keberanian dan hikmah. Bagaimana kita dapat menasihati teman, keluarga, atau rekan kerja yang terbuai oleh dunia tanpa menggurui atau menghakimi? Kisah ini mengajarkan pendekatan yang lembut namun tegas, mengingatkan pada kebenaran fundamental dan mengedepankan tauhid.
6. Prioritas Hidup: Dunia atau Akhirat?
Perumpamaan kehidupan dunia sebagai tanaman yang mengering adalah panggilan untuk meninjau kembali prioritas hidup. Apakah kita menghabiskan waktu, tenaga, dan harta untuk hal-hal yang fana atau untuk bekal abadi? Di tengah godaan konsumsi yang tak terbatas, ayat ini mendorong kita untuk hidup secara sadar, berinvestasi pada amal saleh, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati. Ini bukan berarti menolak dunia, tetapi menempatkan dunia pada perspektif yang benar: sebagai ladang untuk menanam benih-benih kebaikan yang akan dipanen di akhirat.
Singkatnya, kisah dua pemilik kebun dan perumpamaan kehidupan dunia dalam Surah Al-Kahf adalah panduan abadi bagi manusia di setiap zaman. Ia adalah mercusuar yang menerangi jalan di tengah kegelapan godaan duniawi, mengingatkan kita untuk selalu rendah hati, bersyukur, dan meletakkan kepercayaan penuh hanya kepada Allah Yang Maha Esa.
Kesimpulan: Cahaya Kebenaran yang Abadi
Surah Al-Kahf, khususnya ayat 36 hingga 45, menyajikan sebuah narasi yang mendalam dan perumpamaan yang universal, mengajarkan kita tentang hakikat kehidupan duniawi dan pentingnya perspektif akhirat. Kisah dua pemilik kebun adalah cerminan abadi tentang sifat manusia yang cenderung sombong ketika dianugerahi kekayaan, dan betapa rapuhnya kebahagiaan yang dibangun di atas dasar duniawi semata.
Dari kisah si pemilik kebun yang angkuh, kita belajar bahaya besar dari kesombongan, kufur nikmat, dan pengingkaran terhadap Hari Kiamat. Kekayaan, tanpa diimbangi dengan iman dan rasa syukur, dapat menjadi penyebab kehancuran diri. Sebaliknya, dari sahabatnya yang beriman, kita melihat teladan kerendahan hati, keteguhan tauhid, dan keberanian dalam menyampaikan nasihat yang benar, bahkan di hadapan keangkuhan.
Ayat 45 memberikan penutup yang puitis namun menggetarkan, menyajikan perumpamaan kehidupan dunia sebagai tanaman yang subur namun akhirnya mengering dan lenyap diterbangkan angin. Ini adalah pengingat yang tak tergoyahkan tentang kefanaan segala yang ada di dunia, dan betapa cepatnya perubahan dapat terjadi. Dengan kesadaran ini, seorang mukmin diajak untuk tidak terperdaya oleh gemerlap dunia, melainkan menjadikannya jembatan menuju kehidupan abadi di akhirat.
Kisah ini menegaskan kembali kedaulatan mutlak Allah, bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Pertolongan sejati hanya dari-Nya, dan Dialah sebaik-baik pemberi pahala bagi mereka yang beriman serta sebaik-baik pemberi akibat bagi mereka yang ingkar. Pelajaran dari ayat-ayat ini relevan di setiap era, khususnya di zaman modern yang sarat dengan godaan materialisme dan kesombongan. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari Surah Al-Kahf ini, menjadikan setiap nikmat sebagai sarana untuk bersyukur, dan setiap ujian sebagai kesempatan untuk kembali kepada Allah Yang Maha Esa.