Surah Al-Kahf, salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an, seringkali dibaca pada hari Jumat karena hikmah dan pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya. Surah ini menghadirkan empat kisah utama yang sarat makna: kisah Ashabul Kahf (Penghuni Gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir, dan kisah Dzulqarnain. Masing-masing kisah ini memberikan pencerahan tentang berbagai ujian kehidupan, pentingnya iman, kesabaran, dan pengetahuan.
Artikel ini akan berfokus pada bagian akhir dari Surah Al-Kahf, yaitu ayat 84 hingga 110. Rentang ayat ini secara khusus mengupas tuntas kisah Dzulqarnain, seorang penguasa adil yang dianugerahi kekuasaan besar di muka bumi. Kisahnya bukan sekadar narasi sejarah, melainkan sarat dengan pelajaran tentang kepemimpinan, keadilan, kebijaksanaan, dan bagaimana seorang hamba sejati senantiasa mengembalikan segala kemuliaan dan kekuasaan kepada Allah SWT.
Selain kisah Dzulqarnain, ayat-ayat ini juga menyentuh tentang Ya'juj dan Ma'juj, sebuah kaum yang disebutkan akan muncul di akhir zaman sebagai salah satu tanda besar hari Kiamat. Kemudian, transisi narasi membawa kita kepada perenungan tentang Hari Kiamat itu sendiri, balasan bagi orang-orang yang ingkar dan amalannya sia-sia, serta ganjaran surga bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Akhirnya, surah ini ditutup dengan pengingat fundamental tentang keesaan Allah (Tauhid) dan hakikat kenabian Muhammad SAW sebagai manusia biasa yang menerima wahyu, serta inti ajaran Islam: beramal saleh dengan ikhlas hanya karena Allah.
Mempelajari ayat-ayat ini secara mendalam akan membuka cakrawala pemahaman kita tentang bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan, pentingnya keadilan dalam setiap tindakan, kesadaran akan akhirat, dan fondasi iman yang kokoh. Marilah kita selami setiap ayat dengan penuh tadabbur, mengambil hikmah yang terkandung, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah Dzulqarnain adalah salah satu puncak narasi dalam Surah Al-Kahf yang mengajarkan banyak aspek tentang kepemimpinan yang ideal, penggunaan kekuasaan, dan keadilan ilahi. Allah SWT menggambarkan Dzulqarnain sebagai seorang raja atau penguasa yang dianugerahi kemampuan dan sarana untuk melakukan perjalanan besar dan menyelesaikan masalah umat manusia. Identitas spesifik Dzulqarnain—apakah ia adalah Cyrus Agung, Alexander Agung, atau tokoh lain—telah menjadi perdebatan panjang di kalangan sejarawan dan ulama. Namun, yang terpenting bagi pesan Al-Qur'an bukanlah identitas historisnya secara pasti, melainkan sifat-sifat kepemimpinan, keadilan, dan ketaatannya kepada Allah yang menjadi teladan.
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُۥ فِى ٱلْأَرْضِ وَءَاتَيْنَٰهُ مِن كُلِّ شَىْءٍ سَبَبًا
"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." (QS. Al-Kahf: 84)
Ayat pembuka ini memperkenalkan Dzulqarnain sebagai sosok yang istimewa. Allah SWT menegaskan bahwa Dia lah yang "memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi" (مَكَّنَّا لَهُۥ فِى ٱلْأَرْضِ). Ini berarti Dzulqarnain bukan hanya seorang raja dengan wilayah kekuasaan yang besar, tetapi juga memiliki pengaruh, kekuatan militer, dan stabilitas politik yang luar biasa. Kata "makanna" (مَكَّنَّا) sendiri berarti mengokohkan, memberi tempat, atau memberi kemampuan untuk menguasai. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan Dzulqarnain adalah anugerah langsung dari Allah, bukan semata-mata hasil ambisi atau kecerdasannya sendiri.
Selain kekuasaan, Allah juga memberinya "jalan (untuk mencapai) segala sesuatu" (ءَاتَيْنَٰهُ مِن كُلِّ شَىْءٍ سَبَبًا). Frasa ini sangat luas maknanya. Para mufassir menafsirkannya sebagai pemberian ilmu pengetahuan yang mendalam, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, pemahaman strategi perang dan politik, kemampuan logistik, hingga sarana fisik seperti teknologi pembangunan dan transportasi yang canggih pada masanya. Dengan kata lain, Allah membekalinya dengan segala alat dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjalankan misinya di bumi. Ia tidak hanya memiliki kekuasaan, tetapi juga kecakapan untuk menggunakannya secara efektif.
Pelajaran mendalam dari ayat ini adalah bahwa setiap kekuasaan, kemampuan, atau sarana yang kita miliki sejatinya berasal dari Allah. Sebagai manusia, kita hanya diberi amanah untuk menggunakannya di jalan yang benar. Seorang pemimpin sejati, seperti Dzulqarnain, adalah mereka yang menyadari sumber anugerah ini dan menggunakannya untuk kemaslahatan, bukan untuk keangkuhan atau penindasan.
فَأَتْبَعَ سَبَبًا
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَٰذَا ٱلْقَرْنَيْنِ إِمَّآ أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّآ أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُۥ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِۦ فَيُعَذِّبُهُۥ عَذَابًا نُّكْرًا
"Maka diapun menempuh suatu jalan. Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia dapati di situ segolongan umat. Kami berkata: 'Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka.' Dia berkata: 'Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian ia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.'" (QS. Al-Kahf: 85-87)
Ayat-ayat ini mengisahkan perjalanan pertama Dzulqarnain, yang membawanya "ke tempat terbenam matahari" (مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ). Ini adalah ekspresi yang mengacu pada titik paling barat yang dapat dicapai di permukaan bumi dari sudut pandang pengamat, bukan deskripsi astronomis. Di sana, ia melihat "matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam" (تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍ). Para mufassir menjelaskan bahwa ini adalah pemandangan optik yang terjadi ketika seseorang berada di tepi pantai yang sangat luas atau samudra yang gelap, seolah-olah matahari tenggelam ke dalam air yang gelap atau berlumpur. Ini adalah perspektif visual, bukan pernyataan ilmiah tentang apa yang sebenarnya terjadi pada matahari.
Di wilayah paling barat ini, Dzulqarnain menemukan "segolongan umat." Allah SWT kemudian memberinya wewenang dan pilihan: "kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka." Ini adalah ujian terhadap kebijaksanaan dan keadilannya sebagai seorang penguasa. Ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan yang diberikan kepadanya bersifat independen, namun ia tetap bertanggung jawab di hadapan Allah dalam penggunaannya.
Jawaban Dzulqarnain mencerminkan prinsip keadilan ilahi yang tegas: "Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian ia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya." Dzulqarnain menegakkan keadilan di dunia ini dengan menghukum pelaku kezaliman. Ini bisa berarti ia menghukum para perampok, penjahat, atau mereka yang menolak kebenaran dan melakukan penindasan. Namun, ia juga mengingatkan mereka bahwa hukuman di dunia ini hanyalah permulaan. Azab yang sesungguhnya dan lebih berat menanti mereka di akhirat, di sisi Allah. Ini menunjukkan bahwa keadilan Dzulqarnain berdimensi ganda: duniawi dan ukhrawi.
Pelajaran dari perjalanan ini adalah pentingnya keadilan dalam setiap sendi kehidupan, terutama bagi seorang pemimpin. Kekuasaan harus digunakan untuk memberantas kezaliman dan menegakkan hak, tidak peduli dari golongan mana pun orang tersebut. Selain itu, ada pengingat bahwa azab dunia hanya sebagian kecil dari azab akhirat yang lebih pedih bagi orang-orang yang ingkar dan zalim.
وَأَمَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُۥ جَزَآءً ٱلْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُۥ مِنۡ أَمۡرِنَا يُسۡرًا
"Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya perintah yang mudah dari urusan kami." (QS. Al-Kahf: 88)
Ayat ini adalah kelanjutan dari prinsip keadilan Dzulqarnain. Setelah menetapkan hukuman bagi para pelaku kezaliman, ia beralih kepada ganjaran bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Dzulqarnain menyatakan bahwa bagi mereka, ada "pahala yang terbaik sebagai balasan" (جَزَآءً ٱلْحُسْنَىٰ). Ini mencakup ganjaran di dunia, seperti kehidupan yang damai, keberkahan, dan penghormatan, serta ganjaran yang lebih besar di akhirat, yaitu surga.
Selain itu, ia juga berjanji akan "menitahkan kepadanya perintah yang mudah dari urusan kami" (سَنَقُولُ لَهُۥ مِنۡ أَمۡرِنَا يُسۡرًا). Ini bisa berarti Dzulqarnain akan mempermudah urusan mereka, tidak akan membebani mereka dengan tugas berat, dan akan memperlakukan mereka dengan lembut dan penuh kemudahan dalam administrasi pemerintahannya. Ini adalah bentuk lain dari keadilan: memberikan perlakuan yang baik dan memfasilitasi kemudahan bagi warga negara yang taat dan berbuat baik.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa keadilan sejati adalah keseimbangan antara hukuman bagi yang jahat dan pahala bagi yang baik. Seorang pemimpin yang adil tidak hanya ditakuti karena ketegasannya, tetapi juga dicintai karena kebaikan dan kemudahannya. Ayat ini juga menggarisbawahi pentingnya iman dan amal saleh sebagai kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat.
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur), dia mendapati matahari itu terbit menyinari segolongan rakyat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu pelindung pun dari (cahaya matahari) itu." (QS. Al-Kahf: 89-90)
Setelah misi di barat selesai, Dzulqarnain kembali "menempuh suatu jalan" menuju arah timur (مَطْلِعَ ٱلشَّمْسِ), yaitu titik paling timur yang dapat ia capai. Di sana, ia bertemu dengan segolongan kaum yang kondisinya sangat berbeda dari yang pertama. Mereka digambarkan sebagai kaum yang "Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu pelindung pun dari (cahaya matahari) itu."
Penafsiran ayat ini memiliki beberapa pandangan:
Pelajaran dari perjalanan ini adalah bahwa seorang pemimpin yang sejati harus mampu berinteraksi dan membantu berbagai lapisan masyarakat, termasuk mereka yang paling terpinggirkan, primitif, atau hidup dalam kondisi sulit. Kepemimpinan yang adil dan berbelas kasih adalah universal, berlaku untuk semua manusia tanpa memandang tingkat peradaban atau kondisi geografis mereka.
كَذَٰلِكَ ۚ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ ٱلسَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا
"Demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan." (QS. Al-Kahf: 91-93)
Setelah dua perjalanan ekstrem ke barat dan timur, Dzulqarnain melanjutkan perjalanan ketiga yang lebih menantang: "di antara dua buah gunung" (بَيْنَ ٱلسَّدَّيْنِ), yang secara harfiah berarti antara dua penghalang alami atau dua bukit yang curam. Frasa "Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya" (وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا) pada ayat 91 adalah intervensi ilahi yang mengingatkan bahwa semua tindakan Dzulqarnain, segala ilmu dan sarana yang ia gunakan, berada dalam pengawasan dan pengetahuan Allah SWT. Ini menegaskan kebesaran Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Mengatur.
Di antara dua gunung ini, Dzulqarnain bertemu dengan "suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan" (لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا). Ini bisa diartikan dalam beberapa cara:
Pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya empati dan kesabaran dalam berkomunikasi, terutama dengan mereka yang memiliki latar belakang atau kemampuan yang berbeda. Seorang pemimpin atau seorang Muslim harus berusaha keras untuk memahami orang lain dan menyampaikan pesan kebenaran dengan cara yang paling efektif, mengatasi segala hambatan.
قَالُوا۟ يَٰذَا ٱلْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰٓ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
قَالَ مَا مَكَّنِّى فِيهِ رَبِّى خَيْرٌ فَأَعِينُونِى بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا
ءَاتُونِى زُبَرَ ٱلْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ ٱلصَّدَفَيْنِ قَالَ ٱنفُخُوا۟ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارًا قَالَ ءَاتُونِىٓ أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
"Mereka berkata: 'Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu upah kepadamu, agar kamu membuat dinding antara kami dan mereka?' Dzulqarnain berkata: 'Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi.' Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: 'Tiuplah (api itu).' Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata: 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.'" (QS. Al-Kahf: 94-96)
Inilah inti dari misi Dzulqarnain di antara dua gunung. Kaum yang sulit berkomunikasi itu berhasil menyampaikan masalah terbesar mereka: ancaman Ya'juj dan Ma'juj, yang mereka sebut sebagai kaum "yang membuat kerusakan di muka bumi" (مُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ). Ini menunjukkan bahwa Ya'juj dan Ma'juj bukan hanya mitos, melainkan ancaman nyata yang menyebabkan penderitaan dan kehancuran bagi masyarakat sekitar. Mereka menawarkan "upah" (خَرْجًا) kepada Dzulqarnain untuk membangun "dinding" (سَدًّا) yang akan melindungi mereka dari Ya'juj dan Ma'juj.
Respon Dzulqarnain adalah teladan tertinggi dalam kepemimpinan dan keikhlasan. Ia menolak upah, menyatakan: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik (daripada upahmu)" (مَا مَكَّنِّى فِيهِ رَبِّى خَيْرٌ). Ini menunjukkan bahwa ia tidak termotivasi oleh kekayaan atau keuntungan pribadi, melainkan oleh ketaatan kepada Allah dan keinginan untuk melayani. Namun, ia meminta kerja sama: "maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat)" (فَأَعِينُونِى بِقُوَّةٍ). Ini adalah prinsip penting dalam pembangunan masyarakat: pemimpin menyediakan visi dan keahlian, sementara rakyat memberikan tenaga dan sumber daya.
Proses pembangunan penghalang ini menunjukkan kecanggihan pengetahuan dan teknologi yang digunakan Dzulqarnain:
Pelajaran dari sini adalah bahwa pemimpin sejati bekerja untuk kemaslahatan umat tanpa mengharapkan balasan duniawi, tetapi dengan melibatkan rakyat dalam upaya pembangunan. Solusi terhadap masalah besar seringkali membutuhkan kolaborasi, ilmu pengetahuan, dan penggunaan sumber daya secara optimal.
فَمَا ٱسْطَٰعُوٓا۟ أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا ٱسْتَطَٰعُوا۟ لَهُۥ نَقْبًا
قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّى ۖ فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ رَبِّى جَعَلَهُۥ دَكَّآءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّى حَقًّا
"Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya. Dzulqarnain berkata: 'Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.'" (QS. Al-Kahf: 97-98)
Setelah selesai dibangun, penghalang tersebut terbukti sangat efektif. Ya'juj dan Ma'juj "tidak dapat mendakinya" (فَمَا ٱسْطَٰعُوٓا۟ أَن يَظْهَرُوهُ), artinya mereka tidak bisa memanjat atau melewati bagian atasnya, "dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya" (وَمَا ٱسْتَطَٰعُوا۟ لَهُۥ نَقْبًا), menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menembusnya dari bawah atau melalui celah. Ini adalah bukti kekuatan dan ketahanan struktur yang luar biasa, memberikan perlindungan yang efektif bagi kaum yang terancam.
Namun, yang paling penting dari kisah ini adalah ucapan Dzulqarnain setelah kesuksesan besar ini: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku" (هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّى). Ia tidak menyombongkan diri atau mengklaim pencapaian itu sebagai miliknya semata. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati, ia mengembalikan segala pujian dan keberhasilan kepada Allah SWT. Ini adalah ciri khas pemimpin yang saleh, yang memahami bahwa setiap anugerah dan kekuatan adalah pemberian dari Sang Pencipta.
Kemudian, Dzulqarnain memberikan pelajaran eskatologis yang mendalam: "maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar" (فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ رَبِّى جَعَلَهُۥ دَكَّآءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّى حَقًّا). Ini merujuk pada akhir zaman, ketika penghalang ini akan hancur dan Ya'juj dan Ma'juj akan dilepaskan kembali sebagai salah satu tanda besar hari Kiamat. Ini menegaskan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali Allah. Setiap upaya manusia, sekuat apapun, akan tunduk pada kehendak dan janji Allah. Dzulqarnain menyadari bahwa perannya hanyalah sebagai alat dalam rencana Allah, dan bahkan karyanya yang monumental pun memiliki batas waktu.
Pelajaran dari sini adalah pentingnya tawadhu' (kerendahan hati) dan syukur atas setiap keberhasilan, serta kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah fana. Kita harus melakukan yang terbaik dengan kemampuan yang Allah berikan, namun tetap tawakal dan menyerahkan hasil akhir kepada-Nya, dengan keyakinan bahwa janji Allah tentang akhirat adalah kebenaran yang pasti.
Kisah Dzulqarnain tak terpisahkan dari Ya'juj dan Ma'juj, dua nama yang membangkitkan rasa ingin tahu dan seringkali disalahpahami. Dalam Al-Qur'an, Ya'juj dan Ma'juj digambarkan sebagai kaum yang "membuat kerusakan di muka bumi". Mereka adalah ancaman yang nyata bagi masyarakat yang ditemui Dzulqarnain, sehingga pembangunan penghalang menjadi sangat vital. Namun, siapakah sebenarnya Ya'juj dan Ma'juj ini, dan apa relevansi mereka bagi umat Islam?
Dalam tradisi Islam, Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog dalam tradisi Abrahamik lainnya) adalah dua suku manusia yang sangat besar jumlahnya dan memiliki kekuatan yang dahsyat. Mereka dikenal suka berbuat kerusakan, menjarah, dan menghancurkan peradaban. Banyak hadits sahih yang menguatkan keberadaan mereka dan menyebutkan bahwa mereka akan muncul kembali di akhir zaman sebagai salah satu tanda besar hari Kiamat, setelah terlepasnya penghalang yang dibangun Dzulqarnain.
Identitas historis dan geografis mereka telah menjadi bahan perdebatan panjang. Beberapa ulama mengaitkan mereka dengan bangsa-bangsa nomaden di Asia Tengah, seperti Mongol atau Tartar, yang pada masa lampau pernah melakukan invasi besar-besaran dan menimbulkan kerusakan luas. Namun, pandangan ini kurang konsisten dengan deskripsi Al-Qur'an dan Hadits yang menyatakan bahwa mereka "terkurung" di balik penghalang dan akan keluar secara massal di akhir zaman. Pandangan yang lebih dominan adalah bahwa mereka adalah entitas manusia nyata, keturunan Nabi Nuh, yang telah diasingkan dan tersembunyi di suatu tempat di bumi hingga waktu yang ditentukan Allah. Lokasi pasti penghalang tersebut tetap menjadi misteri ilahi, dan Al-Qur'an tidak memberikan detail yang spesifik, menekankan bahwa fokus utama adalah pada pelajaran yang terkandung, bukan pada lokasi geografis yang tepat.
Keluarnya Ya'juj dan Ma'juj akan menjadi salah satu peristiwa besar yang mendahului Hari Kiamat. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa mereka akan keluar setelah penghalang runtuh, membanjiri bumi dalam jumlah yang sangat besar, meminum habis air dan sungai, serta menimbulkan kerusakan dan kekacauan yang tak terhingga. Tidak ada kekuatan manusia yang mampu menandingi mereka. Umat Muslim saat itu akan berlindung di tempat tinggi, dan Nabi Isa AS, yang telah turun ke bumi, akan berdoa kepada Allah untuk membinasakan mereka. Atas doa Nabi Isa, Allah akan mengirimkan sejenis ulat yang akan menyerang leher Ya'juj dan Ma'juj, menyebabkan kematian mereka secara massal, dan bumi akan dipenuhi bangkai mereka sebelum Allah membersihkannya.
Pelajaran utama dari kisah Ya'juj dan Ma'juj adalah pengingat akan adanya kekuatan jahat yang dapat merusak tatanan dunia, baik secara fisik maupun moral. Penghalang Dzulqarnain adalah simbol upaya manusia untuk menahan kejahatan, namun pada akhirnya, semua penghalang akan hancur di hadapan kehendak Allah. Ini mengajarkan kita bahwa kekuasaan manusia memiliki batas, dan pada akhirnya, pertolongan sejati datang dari Allah. Kisah ini juga menegaskan konsep bahwa dunia ini hanyalah persinggahan sementara, dan ada peristiwa-peristiwa besar yang akan terjadi sebelum Hari Kiamat tiba, yang semuanya berada dalam pengetahuan dan kendali Allah SWT. Ini memotivasi umat Muslim untuk selalu mempersiapkan diri menghadapi akhirat dan memohon perlindungan dari Allah dari segala fitnah.
Setelah mengakhiri kisah Dzulqarnain dan penghalang Ya'juj dan Ma'juj, narasi Surah Al-Kahf beralih secara dramatis ke peristiwa-peristiwa akhir zaman dan Hari Kiamat. Transisi ini sangat penting karena menghubungkan upaya manusia dalam menghadapi kezaliman di dunia dengan takdir universal yang menanti seluruh umat manusia. Kekuatan dan keadilan Dzulqarnain di dunia hanyalah gambaran kecil dari keadilan mutlak Allah di akhirat.
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِى بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَجَمَعْنَٰهُمْ جَمْعًا
"Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, dan ditiuplah sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya." (QS. Al-Kahf: 99)
Ayat ini merujuk pada masa setelah penghalang Ya'juj dan Ma'juj runtuh dan mereka dilepaskan. Frasa "Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain" (وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِى بَعْضٍ) menggambarkan kondisi dunia yang kacau balau ketika Ya'juj dan Ma'juj menyebar di antara manusia. Kata "yamuju" (يَمُوجُ) yang berarti "bergejolak" atau "bergelombang" menggambarkan kekacauan dan jumlah mereka yang tak terhingga, seperti ombak laut yang tak ada habisnya. Ini adalah gambaran sebuah era di mana tatanan sosial, keamanan, dan peradaban akan runtuh akibat serangan dan kerusakan yang mereka timbulkan.
Kemudian, ayat ini melanjutkan dengan peristiwa besar berikutnya: "dan ditiuplah sangkakala" (وَنُفِخَ فِى ٱلصُّورِ). Dalam Islam, tiupan sangkakala (sur) oleh Malaikat Israfil menandai permulaan peristiwa Hari Kiamat. Ada dua atau tiga tiupan sangkakala yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Tiupan pertama adalah tiupan kebinasaan (nafkhah ash-sa'q), yang akan mematikan semua makhluk hidup kecuali yang dikehendaki Allah. Tiupan kedua adalah tiupan kebangkitan (nafkhah al-ba'ts), yang akan membangkitkan semua yang telah mati. Ayat ini secara spesifik menyebutkan "lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya" (فَجَمَعْنَٰهُمْ جَمْعًا), yang merujuk pada pengumpulan seluruh umat manusia dari awal hingga akhir zaman, untuk dihisab di Padang Mahsyar.
Transisi ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia, termasuk upaya perlindungan seperti dinding Dzulqarnain, adalah sementara. Kekuatan manusia terbatas, dan pada akhirnya, semua akan kembali kepada Allah untuk dipertanggungjawabkan. Ini adalah pengingat akan fana-nya dunia dan kekalnya akhirat, serta keniscayaan Hari Kiamat yang akan datang. Keluarnya Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu indikator kuat dari dekatnya peristiwa besar ini.
وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَٰفِرِينَ عَرْضًا
"Dan Kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas." (QS. Al-Kahf: 100)
Setelah pengumpulan di Padang Mahsyar, ayat ini menggambarkan salah satu pemandangan paling menakutkan bagi orang-orang kafir: neraka Jahannam akan "dinampakkan" atau "diperlihatkan dengan jelas" (عَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَٰفِرِينَ عَرْضًا) kepada mereka. Kata "ardhan" (عَرْضًا) menunjukkan penampakan yang gamblang, nyata, dan tanpa keraguan, seolah-olah neraka didatangkan dan dipamerkan di hadapan mata mereka.
Bagi orang kafir, pemandangan ini menjadi bukti nyata dari ancaman yang selalu mereka ingkari atau remehkan selama hidup di dunia. Ini adalah titik balik dalam narasi, dari kisah duniawi yang sarat pelajaran kepemimpinan menjadi peringatan tentang akhirat dan balasan yang menunggu setiap jiwa. Penampakan Jahannam ini adalah bagian dari proses hisab dan menunjukkan bahwa tidak ada jalan untuk lari dari konsekuensi perbuatan. Kengerian yang akan mereka saksikan akan menimbulkan ketakutan dan penyesalan yang mendalam atas perbuatan kufur dan penolakan mereka terhadap kebenaran di dunia.
Pelajaran dari kedua ayat ini adalah untuk senantiasa mengingat akhirat, mempersiapkan diri untuk pertanggungjawaban di hadapan Allah, dan memahami bahwa kehidupan dunia ini adalah ladang amal untuk kehidupan yang kekal. Tanda-tanda akhir zaman dan penampakan neraka seharusnya menjadi motivasi kuat bagi setiap Muslim untuk meningkatkan iman dan amal saleh, serta menjauhi kekufuran dan kesyirikan.
Setelah menggambarkan Hari Kiamat dan penampakan Jahannam, Al-Qur'an secara spesifik menguraikan siapa saja yang termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi dan mengapa mereka pantas mendapatkan balasan neraka. Ayat-ayat ini memberikan gambaran tentang mentalitas dan tindakan yang menjauhkan seseorang dari ridha Allah, sekaligus menjadi peringatan keras bagi kita semua.
ٱلَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى وَكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا
"(Yaitu) orang-orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar (ajaran Al-Qur'an)." (QS. Al-Kahf: 101)
Ayat ini mendeskripsikan ciri pertama orang-orang kafir yang merugi: mata dan hati mereka "dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku" (فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى). Frasa "mata (hati)nya" menunjukkan bahwa ini bukan kebutaan fisik, melainkan kebutaan spiritual atau metafora. Mereka memiliki mata, tetapi tidak melihat ayat-ayat Allah (tanda-tanda kekuasaan-Nya) yang terpampang jelas di alam semesta (ayat-ayat kauniyyah) – seperti penciptaan langit, bumi, siklus siang malam, kehidupan dan kematian – maupun ayat-ayat dalam Al-Qur'an (ayat-ayat qauliyyah) yang berisi petunjuk dan peringatan.
Selain itu, mereka "tidak sanggup mendengar (ajaran Al-Qur'an)" (وَكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا). Ini bukan berarti mereka tuli secara fisik, melainkan mereka menolak untuk mendengarkan seruan kebenaran, nasihat, dan peringatan yang disampaikan oleh para nabi dan rasul. Hati mereka mengeras, pikiran mereka tertutup, sehingga kebenaran tidak dapat masuk dan menyentuh jiwa mereka. Kondisi ini disebabkan oleh kesombongan, keangkuhan, dan penolakan yang disengaja terhadap hidayah yang telah jelas di hadapan mereka.
Pelajaran yang bisa kita ambil adalah pentingnya menjaga hati dan pikiran agar selalu terbuka terhadap kebenaran. Kita harus senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur'an maupun yang terhampar di alam semesta, dan berlapang dada untuk menerima petunjuk. Kebutaan spiritual adalah kondisi yang sangat berbahaya, karena menghalangi seseorang dari jalan keselamatan.
أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا
"Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir." (QS. Al-Kahf: 102)
Ayat ini menyoroti kesesatan fatal orang-orang kafir, yaitu praktik syirik. Mereka "menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku" (أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ). Ini merujuk pada praktik di mana mereka menyembah berhala, patung, malaikat, nabi (seperti mengkultuskan Nabi Isa), orang-orang saleh, atau bahkan jin, dan menjadikan mereka sebagai pelindung, perantara, atau sumber pertolongan selain Allah. Mereka berkeyakinan bahwa entitas-entitas ini memiliki kekuatan untuk memberi manfaat atau menolak bahaya, padahal kekuasaan mutlak hanyalah milik Allah semata. Ini adalah pelanggaran paling mendasar terhadap prinsip tauhid (keesaan Allah).
Allah kemudian menegaskan konsekuensi dari perbuatan ini: "Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir" (إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا). Kata "nuzulan" (نُزُلًا) berarti tempat persinggahan atau akomodasi yang disiapkan untuk tamu. Namun, di sini digunakan secara ironis untuk menggambarkan "akomodasi" yang mengerikan bagi mereka yang menolak kebenaran dan memilih sekutu selain Allah. Ini adalah penegasan bahwa syirik adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni jika seseorang meninggal dalam keadaan tersebut, dan balasannya adalah neraka Jahannam.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah pengukuhan tauhid. Hanya Allah SWT yang berhak disembah dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan. Mengaitkan selain Allah dalam ibadah atau meminta pertolongan kepada selain-Nya adalah dosa syirik yang akan membatalkan seluruh amal kebaikan seseorang dan berujung pada azab neraka.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
"Katakanlah: 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahf: 103-104)
Ayat-ayat ini memperkenalkan kategori orang yang "paling merugi perbuatannya" (ٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا). Ini adalah orang-orang yang amal perbuatan mereka "sia-sia dalam kehidupan dunia ini" (ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا), artinya segala usaha dan jerih payah mereka tidak membuahkan hasil di sisi Allah, bahkan tidak ada pahala yang mereka dapatkan. Namun, paradoksnya adalah mereka "menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya" (وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا). Ini adalah deskripsi yang sangat menyedihkan tentang orang-orang yang berjuang, bekerja keras, dan mungkin melakukan banyak hal yang tampak baik di mata manusia—seperti berderma, menjaga perdamaian, atau berinovasi—tetapi semua itu tidak memiliki nilai di sisi Allah karena dasar yang salah.
Mengapa amal mereka sia-sia? Karena mereka kurang dalam dua pilar utama penerimaan amal:
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahaya dari kesesatan dan kesombongan yang membuat seseorang merasa benar padahal berada dalam kesalahan fatal. Penting bagi seorang Muslim untuk senantiasa mengoreksi niat, memastikan amalnya didasari oleh keimanan yang benar kepada Allah yang Maha Esa, dan melaksanakannya dengan ikhlas hanya demi mencari ridha-Nya. Ini juga menekankan bahwa kebaikan sejati adalah yang diterima oleh Allah, bukan semata-mata yang diakui oleh manusia.
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا
"Mereka itu adalah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat." (QS. Al-Kahf: 105)
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut alasan mengapa amal mereka sia-sia dan mereka termasuk orang yang paling merugi: mereka "kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia" (كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ). Kekafiran terhadap ayat-ayat Allah mencakup menolak kebenaran Al-Qur'an, menolak tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, dan menolak ajaran para nabi dan rasul yang jelas. Sementara itu, kekafiran terhadap "perjumpaan dengan Dia" berarti tidak percaya akan adanya Hari Kiamat, hari perhitungan, kebangkitan setelah mati, dan balasan di akhirat. Ini adalah inti dari kekafiran yang menyebabkan seluruh amal mereka menjadi "hapus" (فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ), artinya gugur, batal, dan tidak bernilai sedikit pun di sisi Allah.
Konsekuensi paling mengerikan adalah "Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat" (فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا). Ini berarti amal perbuatan mereka tidak akan memiliki bobot atau nilai sama sekali di timbangan amal pada Hari Kiamat. Meskipun di dunia mereka mungkin dianggap 'baik' atau 'bermoral', tanpa iman yang benar dan keikhlasan yang tulus, amal itu tak lebih dari debu yang berterbangan dan tidak akan menghasilkan pahala di sisi Allah. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang mengira kebaikan tanpa iman dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa iman yang benar kepada Allah dan Hari Akhir adalah prasyarat mutlak bagi diterimanya amal. Tanpa dasar keimanan ini, segala jerih payah di dunia akan menjadi sia-sia di hari perhitungan.
ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا
"Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan." (QS. Al-Kahf: 106)
Ayat ini merangkum balasan bagi orang-orang yang merugi: "neraka Jahannam" (جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ). Alasan utama balasan ini adalah kekafiran mereka (بِمَا كَفَرُوا۟), yaitu penolakan terhadap kebenaran yang dibawa oleh Allah. Kekafiran ini diperparah oleh sikap mereka yang "menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan" (وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا). Mengejek, meremehkan, atau menghina ayat-ayat Allah (baik Al-Qur'an maupun tanda-tanda kebesaran-Nya di alam) dan para rasul-Nya adalah bentuk kekafiran yang sangat serius. Ini bukan sekadar ketidakpercayaan, tetapi permusuhan, kesombongan ekstrem, dan penghinaan terhadap apa yang sakral di hadapan Allah.
Sikap ini menunjukkan hati yang telah tertutup rapat dari hidayah dan tidak memiliki rasa hormat sedikit pun terhadap kebenaran ilahi. Oleh karena itu, balasan neraka Jahannam adalah konsekuensi yang adil bagi mereka yang tidak hanya menolak, tetapi juga melecehkan kebenaran yang datang dari Allah.
Keseluruhan bagian ini (ayat 101-106) adalah peringatan yang sangat kuat tentang pentingnya iman yang murni (tauhid), menjauhi syirik, dan memastikan bahwa setiap amal perbuatan didasari oleh niat yang benar dan sesuai dengan tuntunan syariat. Tanpa fondasi iman yang kokoh, semua upaya manusia, sekecil apapun, akan sia-sia di hadapan Allah, dan azab neraka menanti mereka.
Setelah menggambarkan nasib buruk orang-orang kafir dan yang amalannya sia-sia, Al-Qur'an kemudian beralih ke kontras yang indah: ganjaran yang menanti orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Bagian ini berfungsi sebagai motivasi dan harapan bagi mereka yang meniti jalan kebenaran, menunjukkan bahwa ketaatan dan kesungguhan akan dibalas dengan kebaikan yang tak terhingga dari Allah SWT.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal." (QS. Al-Kahf: 107)
Ayat ini dengan jelas menyebutkan dua kriteria utama untuk mendapatkan balasan terbaik dari Allah:
Menggunakan kata "nuzulan" (نُزُلًا) yang berarti 'tempat tinggal' atau 'persinggahan' di sini, seperti yang digunakan untuk neraka di ayat 102, memberikan ironi yang kuat. Jika neraka adalah 'persinggahan' yang mengerikan bagi orang kafir, maka Firdaus adalah 'persinggahan' yang penuh kenikmatan abadi, kehormatan, dan kebahagiaan bagi orang beriman. Ini menunjukkan betapa Allah SWT menyiapkan tempat yang paling indah, paling mewah, dan paling mulia bagi para kekasih-Nya sebagai wujud rahmat dan karunia-Nya yang tak terbatas.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa tujuan hidup seorang Muslim bukan hanya melakukan kebaikan semata, tetapi melakukan kebaikan yang dilandasi iman yang benar dan keikhlasan. Balasan dari Allah jauh melampaui imajinasi manusia, dan Firdaus adalah puncak dari segala kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi, motivasi terkuat untuk terus berjuang di jalan Allah.
خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
"Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya." (QS. Al-Kahf: 108)
Ayat ini menambahkan dua karakteristik penting dari ganjaran di surga, yang semakin menegaskan keutamaan dan kesempurnaan kenikmatan di dalamnya:
Setelah membahas tentang balasan bagi orang kafir dan mukmin, Surah Al-Kahf beralih ke sebuah ayat yang luar biasa, menegaskan kebesaran dan keluasan ilmu Allah SWT. Ayat ini seringkali dikutip untuk menunjukkan keterbatasan akal dan pengetahuan manusia di hadapan keagungan Sang Pencipta, serta untuk mengakhiri pembahasan tentang berbagai kisah dan kejadian dengan penegasan kekuasaan Allah yang mutlak.
قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا
"Katakanlah: 'Kalaulah lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'" (QS. Al-Kahf: 109)
Ayat ini adalah metafora yang sangat kuat dan indah untuk menggambarkan kebesaran ilmu Allah yang tak terbatas. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan (قُلْ) kepada manusia bahwa jika seluruh lautan di dunia dijadikan tinta (ٱلْبَحْرُ مِدَادًا) untuk menulis "kalimat-kalimat Tuhanku" (لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى), niscaya lautan itu akan habis (لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ) sebelum kalimat-kalimat Allah habis. Bahkan jika ditambahkan lagi lautan sebanyak itu, yaitu "meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا), hasilnya akan tetap sama: lautan tinta akan habis, tetapi kalimat-kalimat Allah tidak akan pernah ada habisnya.
"Kalimat-kalimat Tuhanku" di sini merujuk pada ilmu Allah, kebijaksanaan-Nya, perintah-perintah-Nya, firman-firman-Nya (termasuk Al-Qur'an), tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta (seperti penciptaan, pengaturan alam semesta, hukum-hukum fisika), sejarah masa lalu, peristiwa masa kini, dan segala yang telah serta akan terjadi. Ini adalah manifestasi dari ilmu Allah yang tidak terbatas dan tidak terhingga. Manusia, dengan segala kecerdasan, penemuan, dan akumulasi pengetahuannya sepanjang sejarah, hanya mampu menggaruk sedikit dari permukaan samudera ilmu ilahi yang Maha Luas.
Imam Al-Qurthubi dan para mufassir lainnya menjelaskan bahwa ayat ini berfungsi sebagai penutup yang menegaskan bahwa kisah-kisah yang telah disebutkan sebelumnya dalam Surah Al-Kahf (Ashabul Kahf, Musa dan Khidir, Dzulqarnain), beserta segala hikmah dan pelajaran di dalamnya, hanyalah sebagian kecil dari tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Ilmu manusia terbatas dalam memahami hakikat dan hikmah di balik setiap peristiwa, namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu secara sempurna dan menyeluruh.
Pelajaran mendalam dari ayat ini adalah untuk senantiasa rendah hati di hadapan ilmu Allah, mengakui keterbatasan akal dan pengetahuan kita, serta terus-menerus mencari ilmu dengan keyakinan bahwa apa yang kita ketahui hanyalah setetes air di lautan yang tak bertepi. Ini juga merupakan pengingat bahwa Al-Qur'an, sebagai firman Allah, adalah sumber ilmu dan petunjuk yang tak ada habisnya. Setiap kali manusia mencoba memahami lebih dalam, mereka akan menemukan kedalaman makna dan hikmah yang baru, yang menunjukkan kebesaran dan keagungan Sang Pencipta.
Surah Al-Kahf ditutup dengan sebuah ayat yang merupakan rangkuman dari seluruh inti ajaran Islam, sebuah pesan universal yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Ayat ini secara langsung mengarahkan Nabi Muhammad SAW untuk memberikan penekanan pada hakikat kenabian beliau dan inti dari risalah yang dibawanya, yang sekaligus menjadi kesimpulan dari seluruh surah ini.
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
"Katakanlah: 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.' Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahf: 110)
Ayat terakhir Surah Al-Kahf ini sangat fundamental dan merupakan salah satu ayat paling komprehensif dalam Al-Qur'an yang merangkum dasar-dasar akidah dan syariat Islam. Dimulai dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan (قُلْ) kepada umatnya: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu" (إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ).
Pernyataan ini sangat krusial dalam Islam. Ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa, bukan Tuhan, bukan malaikat, dan tidak memiliki sifat ketuhanan. Beliau makan, minum, tidur, berkeluarga, merasakan sakit dan senang, serta menghadapi tantangan hidup seperti manusia lainnya. Tujuannya adalah untuk menghindari pengkultusan individu yang berlebihan, yang dapat mengarah pada syirik, dan untuk menjaga kemurnian tauhid (keesaan Allah) sebagai fondasi utama agama Islam. Beliau adalah teladan terbaik bagi manusia, tetapi beliau tetaplah hamba Allah.
Namun, yang membedakan beliau dari manusia lainnya adalah bahwa beliau "diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa" (يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ). Ini adalah inti dari risalah Islam: Tauhid (keesaan Allah). Semua nabi dan rasul diutus dengan pesan dasar yang sama: menyembah Allah yang Maha Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Ayat ini merangkum seluruh esensi akidah Islam, menegaskan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Dialah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi rezeki.
Setelah menegaskan Tauhid, ayat ini kemudian memberikan panduan praktis tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya hidup, yaitu dengan dua pilar utama:
Dari kisah Dzulqarnain hingga penutup surah yang penuh hikmah, rentang ayat 84-110 dari Surah Al-Kahf menyajikan mozaik pelajaran yang relevan bagi setiap individu dan masyarakat. Ayat-ayat ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan petunjuk abadi yang terus relevan hingga akhir zaman. Berikut adalah rangkuman hikmah dan pelajaran penting yang dapat kita petik:
Secara keseluruhan, bagian akhir Surah Al-Kahf ini adalah panduan komprehensif tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim yang sadar akan tujuan hidupnya, bertanggung jawab atas kekuasaannya, adil dalam tindakannya, rendah hati dalam kesuksesannya, dan senantiasa berorientasi pada akhirat dengan iman yang murni dan amal saleh yang ikhlas.
Dari pembahasan mendalam tentang ayat 84 hingga 110 dari Surah Al-Kahf ini, kita telah menyelami lautan hikmah yang terkandung dalam firman-firman Allah SWT. Kisah Dzulqarnain bukan hanya narasi heroik tentang seorang penguasa agung, melainkan cermin refleksi bagi setiap pemimpin dan individu tentang bagaimana kekuasaan harus diemban dengan keadilan, kebijaksanaan, dan kerendahan hati. Pelajaran tentang Ya'juj dan Ma'juj mengingatkan kita akan fitnah akhir zaman dan bahwa segala bentuk perlindungan manusiawi akan hancur di hadapan kehendak Allah yang mutlak.
Transisi ke gambaran Hari Kiamat dan nasib orang-orang yang beriman serta orang-orang yang ingkar menjadi pengingat yang tegas akan keniscayaan pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Ini menegaskan bahwa hidup di dunia ini adalah perjalanan singkat menuju kehidupan yang kekal, dan bekal terbaik adalah iman yang kokoh serta amal saleh yang tulus. Ini juga menjadi motivasi agar kita tidak menjadi golongan yang merugi, yang amalannya sia-sia karena kekufuran dan kesyirikan, melainkan menjadi golongan yang beruntung dengan surga Firdaus sebagai tempat kembali.
Puncak dari Surah Al-Kahf ini adalah penegasan fundamental tentang keesaan Allah (Tauhid) dan hakikat kenabian Muhammad SAW sebagai manusia yang menerima wahyu. Ayat penutup, Al-Kahf 110, merangkum seluruh esensi agama Islam: beriman kepada Allah Yang Maha Esa, beramal saleh dengan ikhlas, dan menjauhi segala bentuk syirik. Ini adalah peta jalan yang jelas bagi setiap jiwa yang merindukan perjumpaan dengan Rabb-nya dalam keadaan diridhai, dan untuk mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat.
Marilah kita jadikan pelajaran-pelajaran berharga dari Surah Al-Kahf ini sebagai lentera penerang dalam kegelapan dunia, sebagai kompas penunjuk arah di tengah badai kehidupan, dan sebagai pengingat abadi akan tujuan utama kita di alam semesta ini. Dengan memahami dan mengamalkan hikmah-hikmah Al-Qur'an dalam setiap aspek kehidupan, semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita, memantapkan langkah kita di jalan-Nya, dan menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Amin ya Rabbal 'alamin.