Ilustrasi perjalanan Nabi Musa dan Khidr, simbol dari hikmah ilahi yang melampaui pemahaman manusia.
Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki posisi istimewa dalam Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai 'penawar' dari fitnah Dajjal, cahaya yang menerangi hari Jumat, dan sumber kisah-kisah penuh hikmah yang abadi. Di antara banyak kisah yang terkandung di dalamnya, kisah pertemuan Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang saleh, yang umumnya diyakini sebagai Nabi Khidr AS, adalah salah satu yang paling mendalam dan sarat pelajaran. Kisah ini bukan hanya sekadar narasi petualangan, melainkan sebuah metafora agung tentang batas-batas ilmu manusia, pentingnya kesabaran, dan adanya hikmah tersembunyi di balik setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta.
Di jantung kisah Musa dan Khidr ini, terselip sebuah ayat yang menggetarkan jiwa dan memicu perenungan mendalam: Surah Al-Kahf ayat 73. Ayat ini merekam salah satu puncak ketegangan dalam interaksi antara Nabi Musa yang agung dengan Khidr, sang pemilik ilmu ladunni. Respons spontan Nabi Musa terhadap tindakan Khidr yang tampak tidak adil dan melanggar hukum, menjadi cerminan pergulatan batin antara pemahaman lahiriah manusia dan rahasia takdir Ilahi.
Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam makna Surah Al-Kahf ayat 73, menelusuri konteksnya dalam keseluruhan kisah Musa dan Khidr, menggali implikasi teologis dan filosofisnya, serta menarik pelajaran-pelajaran berharga yang relevan untuk kehidupan modern. Kita akan menguraikan setiap aspek dari ayat ini, dari latar belakang peristiwanya hingga pesan-pesan universal yang terkandung di dalamnya, untuk memahami mengapa kesabaran dan kepercayaan pada hikmah Allah adalah kunci untuk menghadapi misteri kehidupan.
Sebelum kita mendalami ayat 73, penting untuk memahami posisi Surah Al-Kahf secara keseluruhan. Surah ini diturunkan di Mekah dan berfungsi sebagai penguat iman bagi umat Islam yang saat itu menghadapi tekanan berat dari kaum musyrikin. Ia menjawab empat pertanyaan kunci yang diajukan kaum musyrikin atas desakan para rabi Yahudi, yaitu mengenai Ashabul Kahfi (para pemuda penghuni gua), Dzulqarnain, kisah Musa dan Khidr, serta perihal ruh. Dari empat pertanyaan ini, Allah SWT tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga menyelipkan peringatan, janji, dan pelajaran tentang fitnah-fitnah besar yang akan menimpa manusia: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu/kekuasaan (Musa dan Khidr), serta fitnah kekuasaan (Dzulqarnain).
Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan tentang keteguhan iman dan perlindungan Allah bagi mereka yang berpegang teguh pada tauhid di tengah masyarakat yang menyimpang. Kisah pemilik dua kebun mengajarkan tentang fitnah harta dan kesombongan yang bisa menghancurkan. Kisah Dzulqarnain, sang penguasa adil, mengingatkan tentang kekuatan, keadilan, dan pertahanan dari kezaliman, serta tanda-tanda akhir zaman. Dan yang paling relevan dengan pembahasan kita, kisah Nabi Musa dan Khidr, adalah manifestasi dari fitnah ilmu, sebuah ujian terhadap keterbatasan pengetahuan manusia dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat kita.
Keempat kisah ini, meskipun berbeda dalam detailnya, memiliki benang merah yang sama: pentingnya iman, kesabaran, dan kepercayaan penuh kepada Allah SWT. Surah Al-Kahf secara keseluruhan adalah panduan spiritual untuk menghadapi tantangan zaman, yang seringkali dipenuhi dengan kebingungan, godaan, dan ketidakpastian.
Kisah Nabi Musa dan Khidr dimulai ketika Nabi Musa, dalam khutbahnya kepada Bani Israil, ditanya siapakah orang yang paling berilmu. Dengan kepercayaan diri yang lahir dari kedudukannya sebagai seorang Nabi dan Rasul yang telah berbicara langsung dengan Allah, Musa menjawab, "Saya." Allah SWT kemudian menegur Musa, bahwa ada hamba-Nya yang lebih berilmu dari dirinya, yaitu di tempat bertemunya dua laut (Majma'ul Bahrain). Ini adalah titik awal perjalanan Musa yang mengagumkan, sebuah perjalanan yang bukan hanya geografis, tetapi juga spiritual dan intelektual.
Teguran dari Allah ini adalah pelajaran pertama bagi Nabi Musa: betapapun tingginya ilmu seseorang, selalu ada yang lebih tinggi, dan puncak kebijaksanaan adalah pengakuan akan keterbatasan diri. Ini adalah pelajaran kerendahan hati yang esensial bagi setiap pencari ilmu. Nabi Musa, dengan segala keagungannya, diperintahkan untuk mencari ilmu dari sumber yang bahkan tidak ia duga, dari seseorang yang memiliki jenis ilmu yang berbeda, ilmu yang tidak diperoleh melalui metode konvensional.
Musa ditemani oleh muridnya, Yusya' bin Nun, dengan membawa bekal ikan yang telah dipanggang. Petunjuk Allah adalah bahwa di tempat di mana ikan tersebut hidup kembali dan melompat ke laut, di sanalah mereka akan bertemu dengan hamba Allah yang dimaksud. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, mereka akhirnya tiba di lokasi yang dijanjikan. Ikan yang mereka bawa benar-benar hidup kembali dan melompat ke laut, sebuah mukjizat kecil yang menjadi penanda bahwa mereka telah sampai di persimpangan antara dunia yang terlihat dan dunia yang tersembunyi.
Ketika mereka akhirnya bertemu dengan Khidr, Musa dengan rendah hati menyatakan keinginannya untuk berguru, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu yang menjadi petunjuk?" (QS. Al-Kahf: 66). Khidr pun menjawab dengan keraguan, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku. Bagaimana kamu akan sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS. Al-Kahf: 67-68). Pernyataan Khidr ini bukan penolakan, melainkan peringatan akan sifat khusus dari ilmu yang akan diajarkan, yang menuntut tingkat kesabaran dan kepercayaan yang luar biasa, melampaui logika dan pemahaman umum.
Musa bersumpah akan bersabar dan tidak akan membantah. Khidr pun setuju, tetapi dengan satu syarat krusial: "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." (QS. Al-Kahf: 70). Syarat ini adalah inti dari ujian kesabaran dan kepercayaan yang harus dilewati Musa. Ini adalah perjanjian untuk tidak menghakimi berdasarkan penampilan lahiriah, untuk menangguhkan penilaian, dan untuk menunggu penjelasan dari sang guru.
Perjalanan Musa dan Khidr pun dimulai. Mereka melakukan tiga peristiwa yang masing-masing semakin menguji kesabaran dan pemahaman Nabi Musa. Ketiga peristiwa ini adalah pilar-pilar cerita yang akan mengarahkan kita pada inti pelajaran dari Surah Al-Kahf ayat 73.
Mereka menaiki sebuah perahu di laut. Di tengah perjalanan, Khidr melakukan tindakan yang mengejutkan Musa: ia merusak perahu tersebut dengan melubanginya. Bagi Musa, ini adalah tindakan yang tidak masuk akal dan berbahaya. Perahu adalah sarana hidup bagi pemiliknya, seorang nelayan miskin. Merusak perahu sama saja dengan merampas rezeki dan bahkan membahayakan nyawa. Musa yang terbiasa dengan hukum syariat yang jelas, yang melarang merusak harta benda orang lain apalagi tanpa alasan yang jelas, tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَلْفَاهَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَلْخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا
"Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidr melubanginya. Musa berkata: 'Mengapa engkau melubangi perahu itu yang akibatnya engkau menenggelamkan penumpangnya?' Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar." (QS. Al-Kahf: 71)
Musa pun ditegur oleh Khidr, mengingatkannya pada janji untuk tidak bertanya. Namun, Musa beralasan bahwa ia lupa dan meminta maaf, serta meminta kesempatan lagi.
Setelah peristiwa perahu, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka bertemu dengan sekelompok anak-anak yang sedang bermain. Di sana, Khidr melakukan tindakan yang jauh lebih mengguncang jiwa Musa: ia membunuh salah satu anak kecil itu, seorang anak yang tampak tidak bersalah.
Ini adalah titik puncak ketegangan. Bagi Nabi Musa, seorang nabi yang telah membawa syariat tentang pentingnya menjaga jiwa, tindakan ini sama sekali tidak dapat diterima. Pembunuhan jiwa yang tidak bersalah adalah dosa besar, pelanggaran hukum Allah yang paling mendasar. Bagaimana mungkin seorang hamba Allah yang saleh melakukan tindakan sekeji ini? Pemahaman Musa terhadap keadilan dan syariat secara langsung bertabrakan dengan tindakan Khidr yang brutal dan tidak terduga ini.
Pada momen inilah, kemarahan dan kebingungan Musa memuncak, dan ia melontarkan teguran keras yang diabadikan dalam Surah Al-Kahf ayat 73:
قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُّكْرًا
“Dia (Musa) berkata, ‘Mengapa engkau membunuh jiwa yang suci, bukan karena ia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar (keji).’” (QS. Al-Kahf: 73)
Reaksi Nabi Musa dalam ayat 73 ini sangat manusiawi dan dapat dimengerti. Sebagai seorang Nabi yang diberi tugas menegakkan keadilan dan syariat, ia tidak bisa tinggal diam melihat pembunuhan terhadap jiwa yang tidak bersalah. Responsnya mencerminkan:
Ini adalah ujian terbesar bagi Musa. Pembunuhan anak kecil, sebuah tindakan yang berlawanan dengan setiap prinsip moral dan hukum yang diyakininya, membuatnya tidak bisa lagi menahan diri. Janjinya kepada Khidr, untuk tidak bertanya, pun kembali dilanggar. Namun, pelanggaran kali ini jauh lebih kuat, karena melibatkan nyawa manusia yang suci. Teguran Musa sangat keras, menunjukkan bahwa ia merasa tindakan Khidr adalah sebuah kekejian yang tak terampuni, setidaknya dari sudut pandang pengetahuannya yang terbatas.
Setelah Musa kembali ditegur oleh Khidr atas pelanggaran janji kedua kalinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di sebuah negeri yang penduduknya kikir dan tidak mau menjamu mereka. Di sana, mereka menemukan sebuah dinding yang hampir roboh. Alih-alih mengabaikannya atau bahkan merobohkannya, Khidr justru dengan sukarela mendirikan kembali dinding tersebut.
Musa kembali tidak habis pikir. Mengapa Khidr bersusah payah membantu orang-orang yang tidak ramah dan bahkan menolak memberi makan mereka? Mengapa tidak meminta upah? Ini adalah tindakan yang tampak tidak strategis dan tidak logis dari sudut pandang manusia yang mengharapkan timbal balik. Kembali, Musa tak dapat menahan diri untuk bertanya:
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Dia (Musa) berkata, ‘Sekiranya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.’” (QS. Al-Kahf: 77)
Kali ini, teguran Musa lebih lembut daripada dua sebelumnya, hanya menunjukkan keheranan akan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan upah dari tindakan kebaikan. Namun, ini adalah pelanggaran janji untuk ketiga kalinya.
Tiga pelanggaran janji Musa ini menjadi batas akhir bagi kesabaran Khidr. Ia kemudian menyatakan bahwa ini adalah akhir dari kebersamaan mereka, tetapi sebelum berpisah, ia akan menjelaskan semua tindakan yang telah ia lakukan, yang begitu membingungkan Musa.
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
"Khidr berkata: 'Inilah perpisahan antara aku dan kamu; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS. Al-Kahf: 78)
Penjelasan Khidr adalah puncak dari seluruh kisah ini, saat tabir hikmah tersembunyi disingkapkan, mengubah pandangan Musa dan menjadi pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia.
Khidr menjelaskan bahwa perahu itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Di hadapan mereka ada seorang raja zalim yang suka merampas setiap perahu yang baik. Dengan merusak perahu itu, Khidr sejatinya sedang menyelamatkannya dari perampasan sang raja. Setelah perahu itu tampak rusak, raja akan mengabaikannya, dan pemiliknya dapat memperbaikinya kembali dengan mudah. Ini adalah tindakan yang tampak buruk di permukaan, tetapi menyelamatkan kebaikan yang lebih besar di kemudian hari.
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
"Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu." (QS. Al-Kahf: 79)
Dari sini, kita belajar bahwa terkadang, kehilangan atau kerusakan kecil adalah pencegahan dari kerugian yang jauh lebih besar. Sebuah 'musibah' yang tampaknya merugikan justru bisa menjadi penyelamat dari bahaya yang tidak kita ketahui. Hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru menghakimi, karena Allah bisa saja sedang melindungi kita dengan cara yang tidak kita pahami.
Inilah penjelasan yang paling mengejutkan dan mencerahkan, yang menjadi jawaban atas kegelisahan Musa dalam ayat 73. Khidr menjelaskan bahwa anak yang ia bunuh itu adalah anak dari orang tua yang beriman dan saleh. Namun, Allah mengetahui bahwa jika anak itu tumbuh dewasa, ia akan menjadi seorang yang sangat durhaka, zalim, dan ingkar (kafir), bahkan bisa menyesatkan kedua orang tuanya yang saleh. Allah berkehendak untuk menggantinya dengan anak lain yang lebih baik, lebih suci, dan lebih dekat kepada kasih sayang.
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
"Adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami menghendaki, agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)." (QS. Al-Kahf: 80-81)
Penjelasan ini membuka dimensi baru tentang "jiwa yang suci" (نَفْسًا زَكِيَّةً) yang disebut Musa. Dalam pandangan Musa, anak itu suci secara lahiriah karena belum baligh dan belum berdosa. Namun, dalam pandangan Khidr (yang berasal dari ilmu Allah), anak itu memiliki potensi kejahatan yang luar biasa di masa depan, yang akan menghancurkan keimanan orang tuanya dan membawa kerusakan. Jadi, kematiannya, meskipun tragis di permukaan, adalah sebuah rahmat dan perlindungan bagi orang tuanya, serta pencegahan dari kejahatan yang lebih besar.
Beberapa poin penting dari penjelasan ini:
Pelajaran yang terkandung di sini sangat mendalam. Ia menantang pemahaman kita tentang keadilan, takdir, dan kasih sayang Tuhan. Betapa seringnya kita melihat suatu musibah dan menganggapnya sebagai kezaliman atau ketidakadilan, padahal di baliknya tersembunyi rencana Ilahi yang jauh lebih agung dan penuh rahmat. Kematian seorang anak yang tampak tidak bersalah, yang sangat menguji iman, ternyata adalah bagian dari rencana yang lebih besar untuk melindungi keluarga dan masyarakat dari kejahatan yang lebih parah. Ini adalah manifestasi dari nama Allah, Al-Hakeem (Maha Bijaksana) dan Ar-Rahman (Maha Pengasih).
Ayat 73, dengan segala ketegangannya, menjadi pintu gerbang menuju pemahaman bahwa keadilan Ilahi seringkali tidak dapat diukur dengan standar akal dan emosi manusia semata. Bahwa ada dimensi keadilan dan hikmah yang hanya dapat dijangkau melalui penyerahan diri total dan kesabaran tiada batas.
Terakhir, Khidr menjelaskan alasan di balik pembangunan kembali dinding yang roboh. Dinding itu, katanya, milik dua anak yatim piatu di kota tersebut. Di bawah dinding itu tersembunyi harta karun mereka. Ayah mereka adalah seorang yang saleh. Allah menghendaki agar harta itu tetap terlindungi sampai kedua anak itu dewasa dan dapat mengambil harta mereka sendiri, sebagai rahmat dari Tuhan mereka.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
"Adapun dinding itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta simpanan bagi mereka berdua, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai suatu rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahf: 82)
Peristiwa ini mengajarkan kita tentang bagaimana amal saleh orang tua bisa memberikan manfaat kepada keturunan mereka. Juga, tentang bagaimana Allah menjaga rezeki hamba-Nya yang saleh dan keturunannya, bahkan melalui cara-cara yang tidak terduga. Dan yang paling penting, semua tindakan Khidr bukanlah atas kehendak pribadinya, melainkan atas perintah dan petunjuk dari Allah SWT. Ini menekankan bahwa ia hanyalah perantara dari kehendak Ilahi.
Kisah Nabi Musa dan Khidr, khususnya yang berpuncak pada Surah Al-Kahf ayat 73 dan penjelasannya, adalah sumber hikmah yang tak terbatas. Berikut adalah beberapa pelajaran inti yang dapat kita petik:
Ini adalah tema sentral. Khidr berulang kali mengingatkan Musa tentang ketidakmampuannya untuk bersabar. Kesabaran di sini bukan hanya menahan diri dari protes, tetapi juga kesabaran dalam menghadapi misteri, ketidakpastian, dan peristiwa yang bertentangan dengan logika atau harapan kita. Dalam kehidupan, kita akan sering dihadapkan pada situasi yang tampaknya tidak adil, menyakitkan, atau tidak masuk akal. Kisah ini mengajarkan kita untuk bersabar, menangguhkan penilaian, dan percaya bahwa ada hikmah yang lebih besar di balik semua itu.
Sabar di sini berarti memiliki kapasitas untuk menunda penilaian, menerima bahwa ada pengetahuan yang melampaui jangkauan kita, dan membiarkan waktu atau pencerahan ilahi mengungkap kebenaran. Tanpa kesabaran, kita akan selalu terperangkap dalam keputusasaan dan ketidakpuasan terhadap takdir.
Nabi Musa, salah seorang Rasul Ulul Azmi, dengan ilmu syariatnya yang luas, tetap tidak dapat memahami hikmah di balik tindakan Khidr. Ini menunjukkan betapa terbatasnya ilmu manusia dibandingkan dengan ilmu Allah yang Maha Luas. Ilmu kita hanya mencakup apa yang tampak, sedangkan ilmu Allah mencakup apa yang tersembunyi, masa lalu, dan masa depan. Kita seringkali terperangkap dalam perspektif kita yang sempit, mengukur segala sesuatu dengan standar kita sendiri, tanpa menyadari adanya dimensi lain yang tidak kita ketahui.
Kisah ini adalah pengingat yang kuat bahwa sebagai manusia, kita hanya diberikan sedikit ilmu. Pengakuan atas keterbatasan ini adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan sejati dan kerendahan hati di hadapan kebesaran Ilahi. Ini mendorong kita untuk selalu belajar, tetapi juga untuk menyadari batas kemampuan kita dan menyerahkan urusan yang di luar jangkauan kita kepada Allah.
Setiap tindakan Khidr, yang pada awalnya tampak merugikan atau keji, ternyata memiliki hikmah dan kebaikan yang jauh lebih besar. Perahu yang dilubangi menyelamatkan pemiliknya, anak yang dibunuh melindungi orang tuanya dari kesesatan, dan dinding yang didirikan menjaga harta anak yatim. Ini adalah prinsip fundamental dalam Islam: bahwa di balik setiap kesulitan, ada kemudahan; di balik setiap musibah, ada pelajaran atau perlindungan; di balik setiap peristiwa yang tampak buruk, ada hikmah dan kebaikan yang tersembunyi.
Konsep ini sangat penting untuk membangun optimisme dan ketabahan. Daripada meratap dan menyalahkan takdir, kita diajarkan untuk mencari hikmah, untuk percaya bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu kepada hamba-Nya kecuali ada kebaikan di dalamnya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Ini mengubah cara pandang kita terhadap kesulitan, dari beban menjadi ujian, dari kutukan menjadi peluang untuk tumbuh dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ketika manusia menyadari keterbatasan ilmunya dan adanya hikmah Ilahi yang melampaui pemahamannya, ia akan sampai pada tingkat tawakkal yang tinggi. Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha terbaik, dengan keyakinan bahwa Allah akan mengatur yang terbaik, bahkan jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan atau tampak merugikan.
Kisah ini mengajarkan bahwa tawakkal adalah kunci ketenangan jiwa. Ketika kita tidak bisa memahami mengapa sesuatu terjadi, kita dapat menyerahkannya kepada Allah, percaya bahwa Dia Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Ini membebaskan kita dari kecemasan, kekhawatiran, dan keinginan untuk mengontrol segala sesuatu.
Ayat 73 adalah pertarungan antara keadilan yang dipahami manusia (berdasarkan syariat lahiriah, sebab-akibat langsung) dan keadilan Ilahi (yang transenden, mencakup takdir, masa depan, dan hikmah yang lebih luas). Keadilan manusia adalah terbatas dan berdasarkan informasi yang tersedia, sedangkan keadilan Allah sempurna dan meliputi segala sesuatu.
Meskipun kita diperintahkan untuk menegakkan keadilan di muka bumi sesuai syariat, kisah ini mengingatkan kita untuk tidak menghakimi takdir Allah dengan standar terbatas kita. Ada tingkatan keadilan yang melampaui kemampuan akal kita untuk memahami. Ini bukan berarti kita tidak boleh menolak kezaliman, tetapi justru sebaliknya, kita harus percaya bahwa Allah Maha Adil dan segala perbuatan-Nya adalah manifestasi dari keadilan yang hakiki.
Kisah ini menyoroti perbedaan antara dua jenis ilmu: ilmu syariat (yang dimiliki Musa, diperoleh melalui wahyu dan pembelajaran) dan ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah, yang dianugerahkan langsung kepada Khidr, tanpa perantara, dan mencakup pengetahuan gaib serta hikmah tersembunyi). Keduanya adalah karunia dari Allah, namun memiliki fungsi dan cara kerja yang berbeda.
Ilmu syariat adalah panduan bagi kehidupan sehari-hari dan untuk menegakkan hukum Allah di bumi. Ilmu ladunni adalah pengetahuan khusus yang diberikan kepada sebagian hamba-Nya untuk tujuan tertentu, seringkali untuk menunjukkan keagungan takdir dan hikmah Ilahi. Keduanya tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Kisah ini mengajarkan bahwa manusia harus selalu berusaha mencari ilmu syariat, tetapi juga harus menyadari bahwa ada dimensi ilmu dan hikmah yang lebih tinggi yang hanya Allah yang mengetahuinya.
Pelajaran dari kisah dinding dan anak yatim menunjukkan bahwa amal saleh orang tua dapat menjadi pelindung dan keberkahan bagi keturunan mereka. Ayah yang saleh menjadi alasan bagi Allah untuk menjaga harta anak-anaknya. Ini mendorong kita untuk selalu berbuat baik, karena kebaikan yang kita lakukan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bisa meluas kepada generasi setelah kita.
Meskipun kisah Musa dan Khidr terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari Surah Al-Kahf ayat 73 dan seluruh konteksnya tetap relevan hingga hari ini, bahkan mungkin lebih relevan di tengah hiruk pikuk kehidupan modern.
Di dunia yang penuh dengan perubahan cepat, krisis global, dan ketidakpastian ekonomi serta sosial, kita sering dihadapkan pada situasi yang tampaknya tidak adil atau di luar kendali kita. Pandemi, bencana alam, kehilangan pekerjaan, atau kesulitan pribadi bisa membuat kita bertanya, "Mengapa ini terjadi?" Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak panik dan percaya bahwa ada tujuan Ilahi di balik setiap ujian. Setiap "perahu yang dilubangi" atau "anak yang terbunuh" dalam hidup kita mungkin adalah bagian dari rencana perlindungan atau peningkatan derajat dari Allah.
Musa adalah seorang nabi, tetapi ia tetap manusia dengan emosi dan reaksi spontan. Kemarahannya atas pembunuhan anak adalah wajar dari sudut pandang manusia. Ini mengajarkan kita tentang pentingnya manajemen emosi dan menahan diri dari penghakiman cepat. Di era media sosial, di mana informasi menyebar dengan cepat dan opini terbentuk dalam sekejap, kemampuan untuk "menangguhkan penilaian" dan mencari kebenaran yang lebih dalam menjadi sangat krusial. Hukuman hati dan komentar yang tergesa-gesa seringkali didasarkan pada informasi yang tidak lengkap atau perspektif yang terbatas.
Hubungan guru-murid antara Khidr dan Musa adalah model untuk setiap hubungan yang membutuhkan kepercayaan. Guru seringkali harus memberikan tugas atau pelajaran yang tidak langsung dipahami oleh murid, yang mungkin terasa sulit atau tidak masuk akal. Murid harus percaya pada kebijaksanaan guru. Dalam keluarga, orang tua seringkali membuat keputusan yang tidak dipahami anak-anak, demi kebaikan jangka panjang. Kisah ini mengajarkan pentingnya membangun kepercayaan dan keyakinan pada otoritas yang lebih berilmu.
Kisah ini adalah sumber optimisme yang tak ada habisnya. Ketika kita kehilangan sesuatu yang berharga, seperti yang dialami orang tua anak yang terbunuh, kita diyakinkan bahwa Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Ketika kita menghadapi kesulitan, kita tahu bahwa ada 'harta karun' yang mungkin menunggu di balik 'dinding yang roboh'. Ini mendorong kita untuk selalu memiliki harapan, berprasangka baik kepada Allah (husnuzan), dan melihat setiap tantangan sebagai peluang.
Dalam masyarakat modern yang serba rasional dan mengedepankan kontrol manusia, konsep takdir seringkali disalahpahami atau bahkan ditolak. Kisah ini menegaskan kembali bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi yang mengatur alam semesta, bahwa ada takdir yang telah ditetapkan. Memahami ini bukan berarti pasif, melainkan menyadari batas kemampuan kita dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah setelah kita berikhtiar semaksimal mungkin.
Ini membantu kita melepaskan beban yang tidak perlu dan menerima bahwa beberapa hal memang di luar kendali kita. Dengan demikian, kita dapat fokus pada apa yang bisa kita kontrol – yaitu upaya, sikap, dan respons kita terhadap takdir.
Di era informasi yang melimpah, godaan untuk merasa tahu segalanya sangat besar. Kisah ini adalah tamparan lembut bagi intelektual mana pun, termasuk mereka yang memiliki pengetahuan luas, untuk tetap rendah hati. Selalu ada dimensi pengetahuan yang belum kita ketahui, selalu ada hikmah yang lebih dalam yang mungkin tersembunyi. Kerendahan hati intelektual ini penting untuk terus belajar, untuk menerima perbedaan pandangan, dan untuk mengakui bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah.
Kisah Musa dan Khidr, dengan inti Surah Al-Kahf ayat 73, tidak berdiri sendiri. Ia terjalin dengan benang merah dari tiga kisah lainnya dalam surah ini, membentuk sebuah kesatuan pesan yang luar biasa:
Dari semua kisah ini, pesan utama Surah Al-Kahf adalah tentang pentingnya iman yang teguh (Ashabul Kahfi), menjauhi kesombongan harta (Dua Kebun), mencari ilmu dan hikmah yang lebih tinggi (Musa dan Khidr), serta menggunakan kekuasaan untuk kebaikan (Dzulqarnain). Semuanya memerlukan kesabaran, kepercayaan kepada Allah, dan kesadaran akan keterbatasan diri.
Surah Al-Kahf ayat 73 dan kisah Musa-Khidr adalah permata kebijaksanaan dalam Al-Qur'an. Ia bukan sekadar cerita lama, melainkan peta jalan spiritual bagi setiap mukmin untuk menavigasi kompleksitas kehidupan. Ia mengajarkan kita bahwa dunia ini penuh dengan misteri, bahwa banyak hal tidak seperti yang terlihat, dan bahwa di balik setiap kesulitan atau 'kezaliman' yang tampak, ada tangan Ilahi yang bekerja dengan hikmah dan kasih sayang yang tak terbatas.
Pesan utamanya adalah undangan untuk memperluas perspektif kita, untuk melihat melampaui permukaan, untuk mengembangkan kesabaran yang mendalam, dan untuk menumbuhkan kepercayaan yang kokoh kepada Allah SWT. Ketika kita dihadapkan pada situasi yang membuat kita bertanya, "Mengapa?" atau "Bagaimana mungkin?", ingatlah pelajaran dari Musa dan Khidr. Mungkin, kita hanya melihat 'perahu yang dilubangi', 'anak yang terbunuh', atau 'dinding yang diperbaiki', tanpa menyadari raja zalim, potensi durhaka, atau harta karun yang tersembunyi. Mari kita belajar untuk bersabar, berprasangka baik kepada Allah, dan percaya bahwa setiap takdir yang menimpa kita adalah bagian dari rencana agung-Nya yang Maha Bijaksana.
Dengan merenungi ayat 73 ini dan seluruh kisah yang mengitarinya, semoga kita semua dapat menjadi hamba yang lebih rendah hati, lebih sabar, lebih berprasangka baik kepada Allah, dan lebih mendalam dalam memahami hikmah-Nya. Semoga setiap ujian menjadi sarana untuk meningkatkan iman, dan setiap misteri menjadi pintu menuju pengenalan yang lebih dalam akan kebesaran Ilahi. Inilah esensi dari Surah Al-Kahf, sebuah cahaya yang menerangi jalan kita menuju kebenaran sejati.