Hikmah Surah Al-Kahf: Kisah Musa, Khidr, dan Dhul-Qarnayn (Ayat 60-110)

Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an, seringkali dibaca pada hari Jumat karena kandungan hikmah dan pelajaran spiritualnya yang mendalam. Surah ini menghadirkan empat kisah utama yang saling terkait, mengupas tema-tema sentral seperti iman, kesabaran, ujian, pengetahuan, dan kekuasaan Ilahi. Ayat-ayat 60 hingga 110 secara khusus memusatkan perhatian pada dua narasi yang paling memukau dan kaya makna: perjalanan Nabi Musa mencari ilmu bersama Khidr, dan kisah raja bijaksana Dhul-Qarnayn.

Dua kisah ini, meskipun tampak berbeda, sesungguhnya menyajikan pelajaran yang saling melengkapi tentang batas-batas pengetahuan manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir yang tidak terduga, serta bagaimana kekuasaan dan kepemimpinan yang benar harus digunakan di muka bumi. Melalui perjalanan Nabi Musa dan Khidr, kita diperlihatkan bahwa ada dimensi pengetahuan yang melampaui akal dan logika biasa, sebuah ilmu yang berasal langsung dari Ilahi. Sementara itu, kisah Dhul-Qarnayn menggambarkan teladan pemimpin yang adil, rendah hati, dan berorientasi akhirat, yang menggunakan kekuatannya untuk kebaikan dan menjaga ketertiban.

Artikel ini akan mengupas tuntas kedua kisah tersebut, meresapi setiap ayat, menelusuri tafsir dan hikmah di baliknya, serta mengaitkannya dengan pelajaran-pelajaran universal yang relevan bagi kehidupan setiap Muslim. Kita akan melihat bagaimana Al-Qur'an dengan indahnya merangkai narasi-narasi ini untuk menegaskan kebesaran Allah, pentingnya iman, dan janji-Nya bagi orang-orang yang berbuat baik, serta peringatan bagi mereka yang lalai dan ingkar.


Bagian 1: Kisah Nabi Musa dan Khidr (Ayat 60-82)

Mencari Ilmu di Dua Pertemuan Lautan

Kisah ini dimulai dengan Nabi Musa (AS) yang menyatakan bahwa ia tidak akan berhenti berjalan hingga mencapai "pertemuan dua lautan" (Majma' al-Bahrain), suatu titik geografis yang memiliki makna simbolis mendalam. Perjalanan ini adalah sebuah pencarian spiritual dan intelektual, didorong oleh kerendahan hati Musa untuk mengakui bahwa ada ilmu di luar pengetahuannya, bahkan bagi seorang nabi agung seperti dirinya.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahf: 60)

Ayat ini menggambarkan tekad dan kegigihan Nabi Musa dalam mencari ilmu. Ia ditemani oleh Yusha' bin Nun, murid dan pelayannya yang setia. "Pertemuan dua lautan" sering ditafsirkan sebagai tempat di mana air tawar dan air asin bertemu, atau dua jenis ilmu yang berbeda—ilmu lahiriah (syariat) yang diwakili Musa, dan ilmu batiniah (ladunni) yang diwakili Khidr. Tekad Musa untuk berjalan "sampai bertahun-tahun" menunjukkan betapa besar hasratnya akan pengetahuan ilahi.

فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا
Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua (lautan) itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. (Al-Kahf: 61)

Kejadian lupa akan ikan yang dibawa sebagai bekal ini bukanlah sembarang kelalaian. Ia adalah tanda yang telah diberitahukan kepada Musa bahwa di sanalah ia akan bertemu dengan sosok yang dicarinya. Ikan yang hidup kembali dan "melompat mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali" adalah mukjizat, sebuah indikasi bahwa mereka telah mencapai tempat yang dituju.

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا
Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu jauh), Musa berkata kepada pembantunya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahf: 62)

Rasa lelah yang dirasakan Musa setelah melewati tempat mukjizat ikan itu adalah pertanda bahwa ia telah melewati titik pertemuan. Tubuh merespon perjalanan yang panjang, namun jiwanya masih haus akan ilmu. Ini menunjukkan sifat manusiawi para nabi yang juga merasakan letih, lapar, dan dahaga.

قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهِ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَن أَذْكُرَهُ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
Pembantunya menjawab, “Tahukah kamu, ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” (Al-Kahf: 63)

Yusha' akhirnya teringat akan ikan tersebut. Ia menyalahkan setan atas kelupaannya, sebuah pengakuan akan pengaruh setan dalam melalaikan manusia dari tanda-tanda Allah. Kata "ajaiban" (عَجَبًا) menegaskan keanehan dan keajaiban peristiwa itu, sebuah mukjizat yang tidak biasa.

قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا
Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahf: 64)

Musa menyadari bahwa inilah tanda yang ditunggu-tunggu. Tanpa ragu, mereka berbalik kembali mengikuti jejak kaki mereka, menunjukkan ketulusan dan keteguhan hati dalam pencarian ilmu.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Al-Kahf: 65)

Inilah puncak pencarian Musa: pertemuan dengan Khidr (yang namanya disebutkan dalam hadis). Khidr digambarkan sebagai "seorang hamba Kami" yang dianugerahi "rahmat dari sisi Kami" dan "ilmu dari sisi Kami (ilmu ladunni)". Ilmu ladunni adalah ilmu intuitif, ilhamiah, yang langsung datang dari Allah, bukan melalui proses belajar biasa. Ini adalah jenis pengetahuan yang berbeda dari kenabian Musa, menunjukkan bahwa hikmah Allah itu luas dan beragam.

Ilustrasi pertemuan Nabi Musa dan Khidr di Majma' al-Bahrain, digambarkan dengan dua figur berdiri di tepi perairan yang bertemu.

Syarat Perjalanan dan Ujian Kesabaran

Musa, dengan kerendahan hatinya, segera meminta untuk belajar dari Khidr. Namun, Khidr mengajukan syarat yang sangat berat bagi Musa, yaitu kesabaran dan ketiadaan pertanyaan atas tindakan-tindakan Khidr yang akan tampak aneh atau bahkan salah di mata Musa.

قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu kebenaran yang telah diajarkan kepadamu?” (Al-Kahf: 66)

Permintaan Musa adalah sebuah teladan bagi penuntut ilmu. Ia meminta untuk diajarkan "ilmu kebenaran" (rūsyda), menunjukkan bahwa tujuannya adalah mencari petunjuk dan kebijaksanaan, bukan sekadar informasi. Ini adalah kerendahan hati seorang nabi besar di hadapan ilmu yang lebih tinggi.

قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Dia (Khidr) menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” (Al-Kahf: 67)

Khidr tahu betul bahwa ilmu ladunni yang ia miliki seringkali beroperasi di luar kerangka hukum syariat yang Musa pahami. Oleh karena itu, ia meragukan kemampuan Musa untuk bersabar. Ini adalah ujian pertama bagi Musa, sebuah peringatan dini tentang sifat perjalanan ini.

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
Bagaimana engkau dapat bersabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?” (Al-Kahf: 68)

Pernyataan Khidr ini adalah kunci. Kesabaran menjadi sulit ketika seseorang tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tentang suatu masalah. Manusia cenderung menghakimi berdasarkan pengetahuan yang terbatas. Khidr menekankan bahwa tindakannya akan tampak tidak masuk akal karena Musa tidak memiliki informasi lengkap mengenai alasan di baliknya.

قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا
Musa berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (Al-Kahf: 69)

Musa berjanji dengan menyebut nama Allah, menunjukkan kesungguhannya. Namun, janji ini adalah janji seorang manusia yang memiliki keterbatasan. Meskipun niatnya tulus, ia tetap akan diuji oleh naluri kemanusiaannya yang cenderung bertanya dan mencari kejelasan.

قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
Dia (Khidr) berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.” (Al-Kahf: 70)

Khidr menegaskan kembali syarat utama: diam dan tidak bertanya hingga Khidr sendiri yang memberikan penjelasan. Ini bukan berarti menolak pertanyaan secara mutlak, melainkan menuntut kesabaran hingga waktu yang tepat untuk penjelasan tiba.

Tiga Peristiwa Aneh dan Hikmahnya

1. Melubangi Perahu

فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَلْخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا
Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Musa berkata, “Mengapa engkau melubanginya sehingga menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.” (Al-Kahf: 71)

Peristiwa pertama langsung menguji kesabaran Musa. Bagaimana mungkin seorang yang bijaksana justru merusak perahu yang mereka tumpangi? Tindakan Khidr melubangi perahu tampak seperti tindakan yang merugikan dan membahayakan nyawa. Musa, sebagai seorang nabi dan pembawa syariat, sangat terkejut dan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Logika akal sehat dan nilai-nilai moral yang Musa pahami menolak tindakan tersebut.

قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Dia (Khidr) berkata, “Bukankah sudah kukatakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat bersabar bersamaku?” (Al-Kahf: 72)

Khidr segera mengingatkan Musa akan janjinya, menyoroti sulitnya manusia untuk menahan diri ketika menyaksikan sesuatu yang tampaknya bertentangan dengan keadilan atau kebenaran yang mereka yakini.

قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا
Musa berkata, “Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku kesulitan dalam urusanku.” (Al-Kahf: 73)

Musa mengakui kesalahannya dan meminta maaf, berjanji untuk lebih bersabar di kemudian hari. Ini menunjukkan kerendahan hati Musa dan komitmennya untuk melanjutkan pencarian ilmu ini, meskipun sulit.

2. Membunuh Anak Muda

فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُّكْرًا
Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka Khidr membunuhnya. Musa berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.” (Al-Kahf: 74)

Peristiwa kedua jauh lebih mengejutkan dan mengerikan bagi Musa. Pembunuhan seorang anak muda yang tidak bersalah adalah pelanggaran hukum Ilahi yang sangat besar dalam syariat Musa. Reaksi Musa adalah reaksi alami setiap orang yang beriman dan menjunjung tinggi kehidupan. Ia tidak bisa lagi menahan diri, karena tindakan ini melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan yang ia pahami dan ajarkan.

قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Dia (Khidr) berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat bersabar bersamaku?” (Al-Kahf: 75)

Khidr kembali mengingatkan Musa, kali ini dengan penekanan yang lebih kuat, karena Musa telah melanggar janjinya untuk kedua kalinya. Ini menunjukkan betapa sulitnya kesabaran di hadapan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang paling mendasar.

قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي ۖ قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّي عُذْرًا
Musa berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan uzur (alasan) kepadaku.” (Al-Kahf: 76)

Musa menyadari bahwa ia telah mencapai batasnya. Ia memberikan ultimatum pada dirinya sendiri: jika ia bertanya lagi, maka Khidr berhak untuk mengakhiri perjalanan mereka. Ini adalah bentuk penyesalan yang mendalam dan pengakuan akan kegagalannya untuk sepenuhnya menaati syarat yang diberikan.

3. Membangun Dinding Roboh

فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, lalu Khidr menegakkannya. Musa berkata, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta upah untuk itu.” (Al-Kahf: 77)

Peristiwa ketiga terjadi di sebuah desa yang penduduknya sangat pelit dan tidak ramah, bahkan menolak menjamu Nabi Musa dan Khidr yang kelelahan dan lapar. Meskipun demikian, Khidr justru dengan sukarela memperbaiki dinding yang hampir roboh di desa tersebut. Tindakan ini, sekali lagi, tampak bertentangan dengan logika Musa. Mengapa harus berbuat baik kepada orang-orang yang tidak mau berbuat baik? Musa merasa tindakan ini seharusnya setidaknya dibayar, terutama mengingat mereka butuh makanan.

قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Dia (Khidr) berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu takwil (penjelasan) perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat bersabar terhadapnya.” (Al-Kahf: 78)

Setelah tiga kali Musa melanggar janjinya, tibalah saatnya perpisahan. Khidr memenuhi janjinya untuk menjelaskan hikmah di balik setiap tindakan. Ini adalah momen krusial di mana tabir ilmu ladunni mulai disingkap.

Penjelasan Khidr dan Hikmah di Baliknya

Takwil Peristiwa Pertama: Perahu

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu yang baik (yang masih utuh). (Al-Kahf: 79)

Khidr menjelaskan bahwa perahu itu milik orang-orang miskin. Tindakan merusak perahu itu adalah untuk menyelamatkannya dari raja zalim yang suka merampas perahu-perahu yang bagus. Dengan sedikit cacat, perahu itu akan luput dari perhatian raja dan tetap menjadi sumber nafkah bagi pemiliknya. Ini adalah contoh bagaimana kerusakan kecil dapat mencegah kerusakan yang lebih besar, dan bagaimana keburukan di permukaan bisa menyimpan kebaikan yang tersembunyi. Khidr bertindak atas perintah Allah untuk melindungi hak orang miskin.

Takwil Peristiwa Kedua: Anak Muda

وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
Adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (Al-Kahf: 80)

فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
Maka kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya). (Al-Kahf: 81)

Penjelasan Khidr tentang pembunuhan anak muda itu adalah yang paling mengejutkan dan mengajarkan tentang takdir. Anak itu, meskipun sekarang tampak tidak bersalah, ditakdirkan akan tumbuh menjadi seorang yang durhaka dan kafir, serta akan menyeret kedua orang tuanya yang beriman pada kesesatan. Allah, dengan ilmu-Nya yang Maha Luas, mengetahui masa depan. Tindakan Khidr adalah untuk mencegah penderitaan yang lebih besar bagi orang tua saleh itu dan untuk menggantinya dengan anak yang lebih baik dan lebih berbakti. Ini adalah pelajaran tentang campur tangan ilahi yang melampaui pemahaman manusia, di mana suatu keburukan yang nyata di dunia ini bisa jadi adalah kebaikan yang besar di sisi Allah.

Takwil Peristiwa Ketiga: Dinding Roboh

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayah mereka adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan hartanya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah takwil perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat bersabar terhadapnya. (Al-Kahf: 82)

Dinding yang diperbaiki itu milik dua anak yatim yang ayahnya adalah seorang yang saleh. Di bawah dinding itu tersimpan harta karun peninggalan sang ayah. Jika dinding itu roboh, harta itu mungkin akan ditemukan dan diambil oleh orang lain. Dengan memperbaikinya, Khidr melindungi harta itu hingga kedua anak yatim itu dewasa dan mampu mengambil hak mereka. Tindakan ini adalah rahmat dari Allah, sebagai penghormatan atas kesalehan ayah mereka. Poin penting yang Khidr tekankan di akhir adalah: "Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri." Ini menegaskan bahwa semua tindakannya adalah atas perintah dan ilham dari Allah SWT.

Pelajaran dari Kisah Musa dan Khidr

Kisah ini kaya akan pelajaran berharga:


Bagian 2: Kisah Dhul-Qarnayn (Ayat 83-101)

Raja yang Berkuasa dan Adil

Setelah kisah Musa dan Khidr yang berpusat pada ilmu dan takdir, Al-Qur'an beralih ke kisah Dhul-Qarnayn, seorang raja yang diberi kekuasaan besar di bumi. Kisah ini mengajarkan tentang kepemimpinan yang saleh, penggunaan kekuasaan yang benar, keadilan, dan ketaatan kepada Allah.

وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dhul-Qarnayn. Katakanlah, “Akan kubacakan kepadamu kisahnya.” (Al-Kahf: 83)

Ayat ini menunjukkan bahwa kisah Dhul-Qarnayn adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW, kemungkinan oleh kaum Yahudi atau musyrikin Mekah untuk menguji kenabian beliau. Nama "Dhul-Qarnayn" berarti "pemilik dua tanduk" atau "pemilik dua masa/generasi" atau "pemilik dua kekuatan". Ada banyak spekulasi tentang identitasnya (misalnya, Alexander Agung, Cyrus Agung), namun yang terpenting adalah pelajaran dari karakternya, bukan identitas historisnya secara pasti.

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (Al-Kahf: 84)

Allah menganugerahkan Dhul-Qarnayn kekuasaan dan sarana (sebab-sebab) untuk mencapai tujuannya. Ini menunjukkan bahwa kesuksesannya bukan semata karena kemampuannya sendiri, melainkan karena karunia dan pertolongan Allah. Kekuasaan dan fasilitas yang diberikan kepadanya adalah ujian dan amanah.

فَأَتْبَعَ سَبَبًا
Maka ia pun menempuh suatu jalan. (Al-Kahf: 85)

Dengan segala sarana yang ada, Dhul-Qarnayn menggunakan kebijaksanaannya untuk menempuh jalan yang benar, yaitu jalan keadilan dan kebaikan.

Perjalanan ke Barat

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana didapatinya suatu kaum. Kami berkata, “Wahai Dhul-Qarnayn, engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka.” (Al-Kahf: 86)

Dhul-Qarnayn melakukan perjalanan jauh ke barat, hingga mencapai "tempat terbenamnya matahari". Ungkapan ini tidak berarti bahwa matahari secara harfiah terbenam dalam lumpur, melainkan menggambarkan titik terjauh yang bisa ia capai di barat, dari sudut pandang pengamat, seolah-olah matahari menghilang di cakrawala lautan yang keruh. Di sana ia bertemu dengan suatu kaum. Allah memberinya pilihan: apakah ia akan menghukum mereka atau berbuat baik. Ini adalah ujian kekuasaan dan keadilan.

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا
Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, “Adapun orang yang zalim, maka akan kami siksa, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksaan yang lebih pedih.” (Al-Kahf: 87)

Dhul-Qarnayn memilih jalan keadilan. Ia menegaskan bahwa orang yang zalim akan dihukum di dunia ini olehnya, dan kelak di akhirat akan menerima azab yang lebih pedih dari Allah. Ini menunjukkan imannya pada hari pembalasan.

وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami mudahkan baginya urusannya.” (Al-Kahf: 88)

Bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Dhul-Qarnayn berjanji akan memberi pahala terbaik dan mempermudah urusan mereka. Ini adalah contoh kepemimpinan yang membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan memberi penghargaan bagi kebajikan.

Perjalanan ke Timur

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain). (Al-Kahf: 89)

Setelah mengamankan wilayah barat, Dhul-Qarnayn melanjutkan perjalanannya.

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا
Hingga apabila dia telah sampai di tempat terbitnya matahari, dia mendapatinya (matahari) bersinar di atas suatu kaum yang Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu penutup pun dari (terik) matahari itu. (Al-Kahf: 90)

Ia mencapai "tempat terbitnya matahari", yaitu wilayah timur terjauh. Di sana ia menemukan suatu kaum yang tidak memiliki pelindung dari terik matahari, mungkin karena kondisi geografis (padang pasir luas tanpa pohon atau bangunan) atau karena keterbelakangan peradaban mereka. Ini menunjukkan kondisi kehidupan yang keras dan primitif.

كَذَٰلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا
Demikianlah. Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya (Dhul-Qarnayn). (Al-Kahf: 91)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui segala tindakan Dhul-Qarnayn dan kondisi kaum yang ia temui. Ini juga menyiratkan bahwa Dhul-Qarnayn tetap bertindak adil meskipun berhadapan dengan kaum yang sederhana ini.

Pembangunan Dinding Penghalang Ya'juj dan Ma'juj

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). (Al-Kahf: 92)

Dhul-Qarnayn melanjutkan perjalanannya ke arah lain.

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua (gunung) itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. (Al-Kahf: 93)

Ia sampai di antara dua gunung, mungkin di suatu celah sempit. Di sana ia bertemu dengan kaum yang bahasanya sangat sulit dimengerti, menandakan perbedaan budaya dan bahasa yang signifikan.

قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
Mereka berkata, “Wahai Dhul-Qarnayn! Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu (adalah kaum) yang berbuat kerusakan di muka bumi, maka bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan dinding antara kami dan mereka?” (Al-Kahf: 94)

Kaum tersebut mengeluhkan tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog), makhluk-makhluk perusak yang mengganggu ketentraman mereka. Mereka menawarkan upah kepada Dhul-Qarnayn agar membangun dinding penghalang. Ini menunjukkan keputusasaan mereka dan harapan mereka kepada Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin yang kuat.

قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا
Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, “Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (dari imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga), agar aku dapat membuatkan dinding penutup antara kamu dan mereka.” (Al-Kahf: 95)

Dhul-Qarnayn menolak imbalan materi. Ia tahu bahwa kekayaan dan kekuasaan yang Allah berikan sudah lebih dari cukup. Ia hanya meminta bantuan tenaga kerja dari mereka. Ini adalah tanda kerendahan hati dan ketulusan niatnya dalam berbuat baik demi Allah, bukan demi keuntungan pribadi.

آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انفُخُوا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
Berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga apabila (potongan) besi itu telah sama (rata) dengan kedua puncak gunung itu, dia berkata, “Tiuplah (api itu)!” Hingga ketika besi itu menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).” (Al-Kahf: 96)

Dhul-Qarnayn menunjukkan kepiawaian dalam rekayasa. Ia meminta potongan-potongan besi, menumpuknya hingga setinggi puncak gunung, kemudian memanaskannya dengan api hingga merah membara. Setelah itu, ia menuangkan tembaga cair di atasnya. Metode ini menciptakan dinding yang sangat kokoh dan tak tertembus, menggabungkan kekuatan besi dengan kekerasan tembaga.

فَمَا اسْطَاعُوا أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا
Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya. (Al-Kahf: 97)

Dinding itu begitu kuat sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak bisa memanjatnya maupun melubanginya. Ini adalah mukjizat yang Allah berikan melalui Dhul-Qarnayn, sebuah perlindungan bagi kaum yang lemah.

قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي ۖ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا
Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku telah datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.” (Al-Kahf: 98)

Setelah pembangunan selesai, Dhul-Qarnayn tidak membanggakan dirinya. Sebaliknya, ia mengakui bahwa dinding itu adalah "rahmat dari Tuhanku". Ia juga mengingatkan tentang takdir: bahwa pada akhirnya, di akhir zaman, dinding itu akan hancur luluh sesuai janji Allah. Ini menunjukkan imannya yang kuat pada kekuasaan Allah dan hari kiamat.

Ilustrasi dinding kokoh yang dibangun Dhul-Qarnayn di antara dua gunung, menghalangi Ya'juj dan Ma'juj.

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا
Dan pada hari itu Kami biarkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) berbaur antara satu dengan yang lain, dan (apabila) sangkakala ditiup (dan) Kami kumpulkan mereka semuanya. (Al-Kahf: 99)

Ayat ini berpindah ke gambaran hari kiamat, ketika Ya'juj dan Ma'juj akan dibiarkan keluar dari penghalang mereka, menimbulkan kekacauan di bumi, sebelum akhirnya semua makhluk dikumpulkan untuk penghisaban.

وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَافِرِينَ عَرْضًا
Dan Kami perlihatkan Jahanam kepada orang-orang kafir pada hari itu dengan jelas. (Al-Kahf: 100)

Pada hari itu, neraka Jahanam akan ditampakkan secara jelas kepada orang-orang kafir, sebagai realisasi dari ancaman Allah.

الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ عَن ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا
(Yaitu) orang yang mata (hati) mereka dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar. (Al-Kahf: 101)

Ayat ini menjelaskan mengapa orang kafir pantas menerima azab Jahanam: karena mereka secara sengaja menutup mata dan telinga hati mereka dari tanda-tanda kebesaran Allah dan seruan kebenaran.

Pelajaran dari Kisah Dhul-Qarnayn

Kisah Dhul-Qarnayn juga memberikan banyak hikmah:


Bagian 3: Penutup dan Pelajaran Umum (Ayat 102-110)

Nasib Orang yang Lalai dan Berbuat Syirik

Ayat-ayat penutup Surah Al-Kahf ini menyatukan pelajaran dari semua kisah sebelumnya dan memberikan peringatan keras kepada orang-orang kafir yang mengira perbuatan mereka adalah kebaikan, serta janji bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.

أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِن دُونِي أَوْلِيَاءَ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا
Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir. (Al-Kahf: 102)

Allah mengecam mereka yang menyekutukan-Nya dengan menyembah atau meminta pertolongan kepada selain Allah (berhala, wali, atau manusia). Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada pelindung atau penolong sejati selain Allah. Ancaman neraka Jahanam adalah balasan bagi kesyirikan dan kekafiran.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
Katakanlah (Muhammad), “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (Al-Kahf: 103)

Ayat ini menarik perhatian pendengar untuk mengetahui siapa golongan yang paling merugi di akhirat.

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Al-Kahf: 104)

Ini adalah golongan yang paling rugi: mereka yang berusaha keras di dunia, mungkin mencapai kesuksesan material atau bahkan melakukan 'kebaikan' menurut pandangan mereka, tetapi tanpa dasar iman yang benar atau niat karena Allah. Perbuatan mereka menjadi sia-sia di hadapan Allah karena tidak memenuhi syarat keimanan. Mereka tertipu oleh sangkaan bahwa mereka telah berbuat baik, padahal di sisi Allah itu adalah kebatilan.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan-Nya, maka sia-sia seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan (amal) bagi mereka pada hari Kiamat. (Al-Kahf: 105)

Ayat ini menjelaskan akar permasalahan mereka: kekafiran terhadap ayat-ayat Allah dan penolakan terhadap hari kebangkitan. Karena tidak ada iman, amal mereka tidak memiliki bobot di sisi Allah. Timbangan amal mereka akan kosong, menandakan kerugian total.

ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا
Demikianlah balasan bagi mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan. (Al-Kahf: 106)

Neraka Jahanam adalah balasan yang adil bagi kekafiran mereka, terutama karena mereka memperolok-olokkan tanda-tanda kebesaran Allah dan para utusan-Nya. Ini adalah peringatan bagi siapa saja yang meremehkan kebenaran Ilahi.

Janji bagi Orang Beriman dan Beramal Saleh

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah Surga Firdaus sebagai tempat tinggal. (Al-Kahf: 107)

Berbeda dengan nasib orang-orang kafir, Surah Al-Kahf juga memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Surga Firdaus adalah tingkatan surga tertinggi, sebagai bentuk kemuliaan dan penghargaan dari Allah bagi mereka yang teguh dalam iman dan konsisten dalam perbuatan baik.

خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana. (Al-Kahf: 108)

Keindahan dan kenikmatan Surga Firdaus begitu sempurna sehingga penghuninya tidak akan pernah ingin meninggalkannya. Kekekalan ini adalah puncak kebahagiaan sejati.

Keagungan Ilmu Allah

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahf: 109)

Ayat ini adalah salah satu ayat teragung yang menggambarkan kebesaran dan keluasan ilmu serta firman Allah. Bahkan jika seluruh lautan di dunia dijadikan tinta, dan pohon-pohon di dunia dijadikan pena, kalimat-kalimat hikmah, pengetahuan, dan kehendak Allah tidak akan pernah habis tertulis. Ini adalah penekanan luar biasa pada sifat tak terbatas ilmu Ilahi, sebuah kontras dengan pengetahuan manusia yang sangat terbatas, sebagaimana digambarkan dalam kisah Musa dan Khidr.

Ilustrasi samudra luas sebagai tinta dan sebuah gulungan kertas atau buku terbuka, melambangkan kebesaran dan tak terbatasnya ilmu Allah.

Pesan Terakhir: Inti Ajaran Islam

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.’ Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahf: 110)

Ayat terakhir ini adalah ringkasan inti ajaran Islam dan kesimpulan dari seluruh Surah Al-Kahf. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyatakan kemanusiaannya, menolak segala bentuk pengkultusan, dan menegaskan bahwa ia hanyalah penerima wahyu. Wahyu utama yang ia sampaikan adalah tauhid: bahwa Tuhan adalah Esa. Kemudian, ayat ini merumuskan dua pilar utama ibadah:

  1. Amal Saleh: Melakukan perbuatan baik sesuai syariat, dengan niat yang ikhlas. Ini mencakup segala bentuk ketaatan, kebajikan, dan perbaikan di muka bumi.
  2. Tidak Menyekutukan Allah (Tidak Syirik): Ibadah harus murni hanya untuk Allah SWT semata, tanpa mencampurinya dengan penyembahan atau pengagungan kepada selain-Nya. Syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni.

Pesan ini adalah esensi dari kehidupan seorang Muslim yang ingin bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan diridhai. Semua kisah dalam Surah Al-Kahf, dari Ashabul Kahf, dua pemilik kebun, Musa dan Khidr, hingga Dhul-Qarnayn, pada akhirnya bermuara pada pentingnya tauhid, amal saleh, dan keyakinan akan hari akhirat.

Kesimpulan Akhir

Surah Al-Kahf ayat 60-110 menyajikan perjalanan spiritual yang mendalam, membimbing kita melalui kompleksitas pengetahuan ilahi, takdir, dan prinsip-prinsip kepemimpinan yang adil. Kisah Nabi Musa dan Khidr mengajarkan kita kerendahan hati dalam mencari ilmu, kesabaran dalam menghadapi misteri takdir, serta pengakuan bahwa ada dimensi pengetahuan yang melampaui logika manusia.

Sementara itu, kisah Dhul-Qarnayn mengukir teladan seorang pemimpin yang bijaksana dan saleh, yang menggunakan kekuasaannya sebagai amanah dari Allah untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, dan membangun peradaban yang bermanfaat, semuanya tanpa kesombongan atau pamrih pribadi. Kedua kisah ini secara halus mengkritik pandangan materialistis yang hanya melihat kebaikan dan keburukan dari sudut pandang duniawi, dan mengingatkan kita akan adanya tujuan akhirat.

Ayat-ayat penutup berfungsi sebagai penegas dan pengikat semua pelajaran. Ia memperingatkan tentang kerugian besar bagi mereka yang ingkar dan menolak tanda-tanda Allah, meskipun mereka merasa telah berbuat baik. Sebaliknya, ia menjanjikan Surga Firdaus bagi orang-orang beriman yang tulus dan beramal saleh.

Puncaknya, Surah Al-Kahf ditutup dengan pengingat akan kebesaran ilmu Allah yang tak terbatas dan seruan universal kepada seluruh umat manusia: untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, melakukan perbuatan baik dengan ikhlas, dan menjauhi segala bentuk syirik. Pelajaran-pelajaran dari ayat 60-110 ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan petunjuk abadi yang relevan bagi setiap individu dalam menghadapi ujian hidup, memahami takdir, dan meniti jalan menuju keridhaan Ilahi.

Dengan merenungkan kisah-kisah ini, seorang Muslim diharapkan dapat memperkuat imannya, meningkatkan kesabarannya, memperluas wawasannya tentang hikmah Allah, dan senantiasa berorientasi pada tujuan akhirat dalam setiap tindakan dan keputusan.

🏠 Homepage