Surah Al-Kahf adalah salah satu surat yang sangat istimewa dalam kitab suci Al-Qur'an. Sebagai surat ke-18, ia menempati posisi yang signifikan tidak hanya karena panjangnya, yang terdiri dari 110 ayat, tetapi juga karena kandungan kisahnya yang penuh hikmah dan pesan-pesan esensial bagi kehidupan manusia. Dinamakan "Al-Kahf" yang berarti "Gua", surah ini membuka tirai ke empat kisah utama yang saling terkait dan menawarkan pelajaran mendalam tentang iman, ilmu, kekuasaan, dan cobaan hidup.
Kehadiran Surah Al-Kahf di tengah-tengah mushaf Al-Qur'an seringkali dihubungkan dengan perlindungan dari fitnah Dajjal di akhir zaman, sebuah keutamaan yang disebutkan dalam berbagai hadis Nabi Muhammad ﷺ. Namun, di luar keutamaan khusus tersebut, Al-Kahf juga merupakan sumber inspirasi dan panduan moral yang tak ternilai harganya bagi setiap Muslim yang merenungi ayat-ayatnya. Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam setiap aspek dari surah agung ini, dari latar belakang, empat kisah utamanya, hingga pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Gambar: Ilustrasi sederhana pintu masuk gua, melambangkan kisah Ashabul Kahf dan hikmah yang tersembunyi di dalamnya.
Surah Al-Kahf adalah salah satu surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode penurunan surat-surat Makkiyah dikenal dengan tekanan dan penganiayaan yang dialami oleh kaum Muslimin di tangan kaum kafir Quraisy. Dalam konteks inilah, Surah Al-Kahf hadir sebagai penenang hati, penguat iman, dan sumber harapan bagi umat Islam yang sedang menghadapi berbagai cobaan.
Asbabun Nuzul (sebab turunnya) Surah Al-Kahf sangat terkenal. Diceritakan bahwa kaum kafir Quraisy mengirim utusan ke para rabbi Yahudi di Madinah untuk mencari tahu kebenaran kenabian Muhammad. Para rabbi tersebut menyarankan agar mereka menanyakan tiga hal kepada Nabi: kisah beberapa pemuda di masa lalu (Ashabul Kahf), kisah seorang pengembara yang mencapai ujung timur dan barat bumi (Dhul-Qarnayn), dan tentang ruh. Jawaban atas dua pertanyaan pertama, beserta kisah Nabi Musa dan Khidr serta perumpamaan pemilik dua kebun, terkandung dalam Surat Al-Kahf ini.
Salah satu keutamaan yang paling sering ditekankan mengenai Surah Al-Kahf adalah anjuran untuk membacanya pada hari Jumat. Banyak hadis yang menjelaskan keutamaan ini, di antaranya:
Keutamaan-keutamaan ini menunjukkan betapa pentingnya Surah Al-Kahf dalam kehidupan seorang Muslim. Bukan hanya sekadar membaca, melainkan merenungi dan mengambil pelajaran dari setiap kisahnya untuk membentengi diri dari berbagai godaan dan kesesatan, khususnya di zaman akhir.
Inti dari Surah Al-Kahf, surat ke-18 ini, terletak pada empat kisah yang disajikan secara berurutan. Setiap kisah mengandung ujian atau 'fitnah' yang berbeda dan menawarkan solusi atau pelajaran bagaimana menghadapinya. Keempat fitnah tersebut adalah:
Di antara keempat fitnah ini, fitnah yang paling besar dan mengerikan adalah fitnah Dajjal, yang mengintegrasikan semua jenis fitnah tersebut. Surah Al-Kahf secara keseluruhan mempersiapkan umat Muslim untuk menghadapi fitnah terbesar ini.
Kisah Ashabul Kahf adalah kisah pertama dan yang paling sentral dalam Surah Al-Kahf. Ini adalah kisah tentang sekelompok pemuda beriman yang hidup di sebuah negeri yang diperintah oleh seorang raja zalim bernama Decius (atau Dikyanius) yang memaksa rakyatnya untuk menyembah berhala. Pemuda-pemuda ini, yang jumlahnya tidak disebutkan secara pasti dalam Al-Qur'an (dikatakan "tiga atau lima atau tujuh"), menolak untuk tunduk pada kekufuran dan memilih untuk mempertahankan keimanan mereka kepada Allah Yang Maha Esa.
Menyadari bahwa iman mereka terancam dan nyawa mereka dalam bahaya, para pemuda ini memutuskan untuk melarikan diri dari kota dan mencari perlindungan. Mereka berdoa kepada Allah, memohon rahmat dan petunjuk-Nya: "Ya Tuhan kami, berikanlah kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini." (QS. Al-Kahf: 10). Allah mengabulkan doa mereka, membimbing mereka ke sebuah gua yang terpencil. Di sana, mereka tertidur lelap, dan Allah menutupi pendengaran mereka sehingga mereka tidak mendengar apa pun selama berabad-abad.
Al-Qur'an menggambarkan bagaimana Allah membolak-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri agar tidak rusak dimakan tanah, dan anjing mereka (Qithmir) menjaga di pintu gua, seolah-olah sedang berjaga-jaga. Mereka tidur selama 309 tahun dalam hitungan matahari, atau 300 tahun dalam hitungan bulan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 25.
Ketika Allah membangkitkan mereka, salah seorang dari mereka pergi ke kota dengan membawa uang perak untuk membeli makanan. Di kota, ia menemukan bahwa segalanya telah berubah. Raja yang zalim telah tiada, dan penduduk kota kini beriman kepada Allah. Uang kuno yang dibawanya menarik perhatian orang, dan akhirnya kisah mereka terungkap sebagai mukjizat dari Allah yang menunjukkan kekuasaan-Nya dan kebangkitan setelah kematian. Kisah ini berakhir dengan penduduk kota membangun tempat ibadah di atas gua mereka sebagai penghormatan.
Di era modern, di mana berbagai ideologi dan gaya hidup seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam, kisah Ashabul Kahf sangat relevan. Muslim sering dihadapkan pada "fitnah agama" dalam bentuk tekanan sosial, budaya populer yang menjauhkan dari nilai-nilai spiritual, atau bahkan godaan untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip agama demi keuntungan duniawi. Kisah ini mengajarkan kita untuk:
Kisah kedua dalam Surah Al-Kahf, surat ke-18, adalah perumpamaan tentang dua orang laki-laki, salah satunya diberi kekayaan melimpah berupa dua kebun anggur yang subur, sementara yang lainnya adalah seorang yang saleh namun kurang berharta. Kisah ini merupakan perumpamaan tentang "fitnah harta" dan bagaimana harta dapat menguji keimanan seseorang.
Laki-laki yang kaya itu memiliki dua kebun anggur yang dikelilingi dengan pohon kurma dan di antara keduanya mengalir sungai. Ia sangat bangga dengan kebun-kebunnya yang melimpah ruah dan hasil panennya yang selalu sukses. Dalam kesombongannya, ia berkata kepada temannya yang miskin: "Hartaku lebih banyak daripada hartamu, dan pengikut-pengikutku lebih kuat." (QS. Al-Kahf: 34). Ia bahkan meragukan Hari Kiamat dan menganggap kekayaannya akan kekal, atau jika pun ada akhirat, ia pasti akan mendapatkan yang lebih baik di sana.
Temannya yang miskin namun beriman menasihatinya, mengingatkannya akan asal-usulnya yang diciptakan dari tanah, kemudian setetes air mani, dan akhirnya menjadi manusia sempurna. Ia mengingatkan akan kekuasaan Allah yang bisa mengambil kembali apa saja yang telah diberikan. Ia juga menasihati untuk mengucapkan "Ma Sya Allah La Quwwata Illa Billah" (Apa yang dikehendaki Allah, maka terjadi; tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) saat melihat nikmat.
Namun, nasihat itu diabaikan. Akibat kesombongan dan kekufurannya, Allah kemudian menghancurkan kebun-kebunnya dengan bencana. Anggur-anggurnya hancur, kurma-kurmanya tumbang, dan sungai-sungainya mengering. Laki-laki kaya itu akhirnya menyesal, membolak-balikkan kedua telapak tangannya karena menyesali apa yang telah ia belanjakan untuk kebun-kebunnya, yang kini telah rata dengan tanah.
Di dunia yang sangat materialistis saat ini, "fitnah harta" adalah salah satu ujian terbesar. Orang berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan, seringkali tanpa memperhatikan halal atau haram, dan tanpa menunaikan hak-hak Allah dan sesama. Kisah ini mengajarkan kita untuk:
Kisah ketiga dalam Surah Al-Kahf, surat ke-18, adalah tentang perjalanan mencari ilmu antara Nabi Musa AS dan seorang hamba Allah yang saleh yang dikenal sebagai Khidr. Kisah ini adalah perumpamaan tentang "fitnah ilmu" dan mengajarkan tentang keterbatasan ilmu manusia serta pentingnya kesabaran dan kerendahan hati dalam menuntut ilmu.
Suatu hari, Nabi Musa ditanya oleh kaumnya, "Siapakah orang yang paling berilmu di bumi ini?" Musa menjawab, "Saya." Allah kemudian menegurnya, "Sesungguhnya ada seorang hamba-Ku yang lebih berilmu darimu." Hamba itu adalah Khidr, yang memiliki ilmu ladunni (ilmu langsung dari sisi Allah) yang tidak dimiliki oleh Musa.
Musa dengan semangat menuntut ilmu, ditemani oleh muridnya, Yusya' bin Nun, melakukan perjalanan panjang untuk bertemu Khidr. Setelah bertemu, Musa memohon untuk bisa belajar dari Khidr, namun Khidr memperingatkan bahwa Musa tidak akan sanggup bersabar atas tindakan-tindakannya yang mungkin tampak aneh dan tidak masuk akal. Musa berjanji akan bersabar.
Selama perjalanan, terjadi tiga insiden:
Setelah tiga insiden itu, Khidr menjelaskan alasan di balik setiap tindakannya:
Setelah penjelasan ini, Khidr berpisah dengan Nabi Musa, karena Musa tidak lagi bisa bersabar.
Di era informasi yang melimpah, "fitnah ilmu" bisa datang dalam bentuk kesombongan intelektual, menganggap diri paling tahu, atau hanya percaya pada apa yang bisa dijelaskan secara rasional. Kisah ini mengajarkan kita untuk:
Kisah keempat dalam Surah Al-Kahf, surat ke-18, adalah tentang Dhul-Qarnayn, seorang raja yang saleh dan perkasa yang diberi kekuasaan besar di muka bumi. Kisah ini adalah perumpamaan tentang "fitnah kekuasaan" dan bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan untuk kebaikan dan keadilan.
Al-Qur'an menjelaskan bahwa Dhul-Qarnayn adalah seorang hamba Allah yang diberi kekuasaan, kekuatan, dan sarana untuk mencapai apa pun yang ia inginkan. Ia melakukan tiga perjalanan besar:
Setelah selesai membangun tembok, Dhul-Qarnayn berkata: "Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS. Al-Kahf: 98). Ini menunjukkan kesadarannya bahwa kekuasaan dan hasil karyanya hanyalah karena anugerah Allah, dan bahwa pada akhirnya, semua akan binasa sesuai kehendak-Nya.
Di dunia modern, "fitnah kekuasaan" sangat merajalela. Banyak pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan untuk korupsi, penindasan, atau memperkaya diri sendiri. Kisah ini mengajarkan kita untuk:
Setelah mengkaji empat kisah utama, kita dapat menyimpulkan bahwa Surah Al-Kahf, surat ke-18, adalah surat yang kaya akan tema-tema mendalam yang membentuk landasan bagi kehidupan Muslim yang utuh. Tema-tema ini saling terkait dan memberikan kerangka kerja untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.
Seluruh kisah dalam Al-Kahf pada dasarnya menguatkan konsep tauhid (keesaan Allah) dan memperingatkan dari syirik (menyekutukan Allah). Ashabul Kahf mempertaruhkan nyawa demi tauhid, pemilik dua kebun jatuh dalam kesombongan dan hampir ke arah syirik (merasa kekayaannya mutlak), dan Dhul-Qarnayn selalu mengembalikan segala keberhasilannya kepada rahmat Allah. Ini adalah inti ajaran Islam: tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Surah ini juga menekankan bahwa Allah adalah satu-satunya pelindung, pemberi rezeki, dan penentu takdir. Kekuatan manusia, harta, ilmu, dan kekuasaan hanyalah pinjaman dari-Nya dan tidak boleh menjadi objek penyembahan atau kesombongan.
Al-Kahf secara eksplisit menggambarkan empat jenis ujian atau fitnah yang paling umum dalam kehidupan manusia: fitnah agama (iman), fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan. Setiap kisah tidak hanya menunjukkan ujiannya, tetapi juga memberikan solusi atau cara terbaik untuk menghadapinya:
Dengan memahami ujian-ujian ini, seorang Muslim diharapkan dapat mempersiapkan diri dan membentengi diri dari godaan dunia.
Kisah Nabi Musa dan Khidr secara jelas menggambarkan bahwa ilmu manusia, bahkan seorang nabi sekalipun, sangatlah terbatas. Ada dimensi ilmu dan hikmah yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Ini mengajarkan kita untuk tidak sombong dengan ilmu yang kita miliki, selalu merasa haus akan ilmu, dan menyadari bahwa banyak hal di alam semesta ini yang masih tersembunyi dari pengetahuan kita.
Pelajaran ini sangat relevan di era modern, di mana sains dan teknologi berkembang pesat. Meskipun demikian, masih banyak misteri alam semesta dan kehidupan yang belum terpecahkan, dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Kesabaran adalah benang merah yang mengikat semua kisah dalam Surah Al-Kahf. Ashabul Kahf bersabar dalam menghadapi penganiayaan, teman yang miskin bersabar dalam kemiskinannya, Nabi Musa diuji kesabarannya dalam menuntut ilmu, dan Dhul-Qarnayn menunjukkan kesabaran dan ketekunan dalam menjalankan misinya. Tawakal (berserah diri kepada Allah) adalah buah dari kesabaran yang hakiki.
Surah ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi ujian hidup, baik itu kehilangan, kesulitan, atau godaan, kesabaran adalah kunci untuk menjaga iman dan memperoleh pertolongan Allah.
Setiap kisah dalam Al-Kahf, secara langsung maupun tidak langsung, mengingatkan akan Hari Kiamat. Kebangkitan Ashabul Kahf setelah 309 tahun adalah mukjizat yang menunjukkan kekuasaan Allah untuk membangkitkan semua makhluk setelah kematian. Kehancuran kebun-kebun milik orang sombong adalah peringatan tentang kehancuran dunia dan balasan di akhirat. Janji Allah tentang hancurnya tembok Yakjuj dan Makjuj juga merupakan salah satu tanda besar Hari Kiamat.
Pesan ini menguatkan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati, karena dunia ini hanyalah persinggahan sementara.
Puncak dari semua tema dalam Al-Kahf adalah persiapan menghadapi fitnah Dajjal. Dajjal akan datang dengan empat fitnah utama yang diwakili oleh kisah-kisah di atas:
Dengan merenungi dan memahami hikmah di balik setiap kisah Surah Al-Kahf, surat ke-18, seorang Muslim akan memiliki bekal dan benteng spiritual yang kuat untuk menghadapi Dajjal dan fitnah-fitnah akhir zaman lainnya.
Ayat 23 dan 24 dalam Surah Al-Kahf mengajarkan pentingnya mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) ketika berencana melakukan sesuatu di masa depan. Ini adalah pengingat bahwa semua rencana manusia bergantung pada kehendak Allah. Melupakannya bisa menjadi sumber kekalahan dan penyesalan.
"Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, 'Aku pasti mengerjakannya besok,' kecuali (dengan mengatakan), 'Insya Allah'." (QS. Al-Kahf: 23-24). Ayat ini diturunkan setelah Nabi ﷺ tidak segera menjawab pertanyaan kaum Quraisy tentang Ashabul Kahf, karena beliau lupa mengucapkan "Insya Allah".
Pelajaran ini adalah tentang kerendahan hati dan pengakuan akan ketergantungan mutlak kita kepada Allah dalam segala hal.
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu keutamaan utama membaca Surat Al-Kahf, surat ke-18, adalah perlindungan dari fitnah Dajjal. Keterkaitan ini bukanlah kebetulan, melainkan karena surah ini secara komprehensif membahas jenis-jenis fitnah yang akan dibawa oleh Dajjal.
Dajjal akan muncul di akhir zaman sebagai cobaan terbesar bagi umat manusia. Ia akan membawa fitnah-fitnah yang sangat menyesatkan, yang dapat dikategorikan menjadi empat jenis, sebagaimana diwakili dalam Surah Al-Kahf:
Membaca atau menghafal sepuluh ayat pertama dan/atau terakhir dari Surah Al-Kahf adalah salah satu bentuk perlindungan yang diajarkan oleh Nabi ﷺ. Hal ini bukan semata-mata karena kekuatan magis ayat-ayat tersebut, tetapi karena pemahaman dan penghayatan terhadap maknanya akan menancapkan fondasi keimanan yang kuat dalam hati seorang Muslim.
Dengan memahami kisah-kisah di dalamnya, seorang Muslim akan terlatih untuk mengidentifikasi tipuan Dajjal. Ketika Dajjal datang dengan kekayaan, ia akan ingat kisah pemilik dua kebun. Ketika Dajjal menunjukkan kekuatan supranatural, ia akan ingat kisah Musa dan Khidr tentang keterbatasan ilmu dan hikmah Allah. Ketika Dajjal menawarkan kekuasaan, ia akan ingat kisah Dhul-Qarnayn tentang amanah kepemimpinan. Dan yang terpenting, ketika Dajjal mengaku sebagai Tuhan, ia akan ingat kisah Ashabul Kahf yang rela mati demi mempertahankan tauhid.
Oleh karena itu, Surah Al-Kahf, surat ke-18, berfungsi sebagai manual spiritual bagi umat Islam untuk menghadapi ujian terberat di akhir zaman. Ia adalah benteng pertahanan yang kokoh bagi iman, pikiran, dan hati.
Pelajaran dari Surah Al-Kahf, surat ke-18, tidak hanya relevan untuk menghadapi Dajjal, tetapi juga untuk mengatasi berbagai tantangan hidup di zaman modern. Merenungi surah ini secara mendalam akan memberikan hikmah yang dapat diaplikasikan dalam setiap aspek kehidupan.
Di dunia yang serba cepat dan penuh godaan, mempertahankan iman bisa menjadi sulit. Kita dihadapkan pada nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam, tekanan sosial untuk mengikuti tren, atau bahkan keraguan yang disebarkan melalui berbagai media. Kisah Ashabul Kahf menginspirasi kita untuk berani berbeda, mencari dukungan dari komunitas yang saleh, dan selalu memohon pertolongan Allah agar iman kita tetap teguh.
Ketika kita merasa sendiri dalam memegang prinsip, ingatlah bahwa para pemuda gua juga merasa demikian, namun Allah menyertai dan melindungi mereka.
Harta adalah ujian terbesar bagi banyak orang. Kisah pemilik dua kebun mengingatkan kita bahwa harta hanyalah titipan. Penting untuk selalu bersyukur, tidak sombong, dan menggunakan harta di jalan yang benar. Ini berarti mengeluarkan zakat, bersedekah, membantu yang membutuhkan, dan menghindari gaya hidup boros atau pamer.
Saat melihat keberhasilan atau kekayaan orang lain, atau bahkan kekayaan yang kita miliki, ucapkanlah "Ma Sya Allah La Quwwata Illa Billah" untuk mengingatkan diri bahwa semua kekuatan dan rezeki berasal dari Allah semata.
Semakin banyak ilmu yang kita dapatkan, semakin kita harus menyadari bahwa ilmu Allah jauh lebih luas. Kisah Nabi Musa dan Khidr mengajarkan kita untuk selalu rendah hati, tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang ada, dan siap menerima pelajaran dari siapa pun, bahkan dari sumber yang tidak terduga. Kesabaran juga krusial dalam proses belajar, karena tidak semua hal dapat dipahami dengan cepat atau sesuai logika kita.
Dalam menghadapi berita atau informasi yang membingungkan, penting untuk tidak tergesa-gesa menghakimi dan selalu mencari hikmah di baliknya, percaya bahwa ada alasan yang lebih besar di balik setiap kejadian.
Setiap orang memiliki bentuk kekuasaannya sendiri, baik itu sebagai orang tua, pemimpin keluarga, manajer di tempat kerja, atau bahkan sebagai individu dengan pengaruh di lingkungan sosial. Kisah Dhul-Qarnayn memberikan model bagaimana kekuasaan harus digunakan: untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, dan mencegah kerusakan. Bukan untuk menindas, korupsi, atau mengejar ambisi pribadi semata.
Menyadari bahwa setiap posisi dan pengaruh adalah amanah dari Allah akan mendorong kita untuk selalu berbuat baik dan bertanggung jawab.
Dunia ini bersifat sementara, dan segala kemegahannya akan sirna. Surah Al-Kahf berulang kali mengingatkan kita akan akhirat. Dengan mengingat mati, kita akan lebih termotivasi untuk beramal saleh, menghindari dosa, dan tidak terlalu terikat pada kesenangan duniawi yang fana.
Ini membantu kita menetapkan prioritas yang benar dalam hidup: bahwa tujuan akhir adalah meraih ridha Allah dan kebahagiaan abadi di surga, bukan mengejar kenikmatan dunia yang sementara.
Di setiap kisah, doa dan tawakkal kepada Allah selalu menjadi kunci. Ashabul Kahf berdoa, teman yang miskin bertawakkal, dan Dhul-Qarnayn mengembalikan segala kesuksesannya kepada rahmat Allah. Ini mengajarkan kita untuk selalu berkomunikasi dengan Allah, memohon pertolongan, petunjuk, dan perlindungan-Nya dalam setiap situasi.
Dan yang tak kalah penting, selalu mengucapkan "Insya Allah" saat berencana. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi pengakuan tulus akan kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu, dan bahwa hanya dengan kehendak-Nya lah sesuatu dapat terwujud.
Surah Al-Kahf, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah permata yang penuh hikmah dan pelajaran. Empat kisah utamanya—Ashabul Kahf, pemilik dua kebun, Nabi Musa dan Khidr, serta Dhul-Qarnayn—menjadi cermin bagi kita untuk menguji dan memperkuat iman di tengah fitnah kehidupan.
Surah ini membekali kita dengan panduan komprehensif untuk menghadapi fitnah agama, harta, ilmu, dan kekuasaan, yang merupakan pratinjau dari fitnah terbesar di akhir zaman: fitnah Dajjal. Dengan membaca, merenungi, dan mengamalkan pesan-pesan Surah Al-Kahf, kita akan membangun benteng spiritual yang kokoh, membersihkan hati dari kesombongan, memperkuat tawakal, dan senantiasa mengingat tujuan akhir kehidupan kita.
Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengambil pelajaran dari kalam-Nya, mengamalkannya dalam kehidupan, dan mendapatkan perlindungan-Nya dari segala fitnah dunia hingga akhirat. Marilah kita jadikan pembacaan Surah Al-Kahf, khususnya pada hari Jumat, sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah dan upaya kita mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa.