Pengantar Surah Al-Kahf dan Kekuatan Kisah-KisahNya
Surah Al-Kahf, atau "Gua", adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Diturunkan di Makkah, surah ini kaya akan hikmah dan pelajaran hidup yang relevan sepanjang masa. Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk membaca surah ini setiap hari Jumat, menyoroti keistimewaannya sebagai pelindung dari fitnah Dajjal dan sumber cahaya di antara dua Jumat. Di antara berbagai kisah menakjubkan yang terkandung di dalamnya — kisah Ashabul Kahf (Para Penghuni Gua), kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS, serta kisah Dzulqarnain — terdapat pula kisah dua pemilik kebun yang menyimpan pelajaran fundamental tentang hakikat kekayaan, kekuasaan, dan hubungan manusia dengan Allah SWT.
Kisah dua pemilik kebun ini, yang menjadi konteks utama ayat Al-Kahf 39, adalah sebuah metafora yang kuat tentang dua jenis manusia: satu yang sombong dan lupa diri karena limpahan nikmat, dan satu lagi yang bijaksana, tawakal, serta selalu mengingat asal-muasal segala rezeki. Ayat ke-39 dari surah ini secara khusus menyoroti esensi kerendahan hati dan pengakuan akan kekuasaan mutlak Allah dalam segala hal. Dalam masyarakat yang seringkali terobsesi dengan materi dan kesuksesan duniawi, pesan dari ayat ini menjadi semakin penting untuk diinternalisasi dan diamalkan.
Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam makna dan implikasi dari Al-Kahf 39. Kita akan mengupas konteks kisah dua pemilik kebun, menganalisis lafaz dan tafsir ayat tersebut, serta menarik pelajaran-pelajaran berharga mengenai tawakal, syukur, kerendahan hati, dan pengingat akan kefanaan dunia. Lebih jauh lagi, kita akan melihat bagaimana pesan Al-Kahf 39 ini berkaitan erat dengan tema-tema universal yang terdapat dalam kisah-kisah lain di Surah Al-Kahf, serta relevansinya dalam menghadapi tantangan kehidupan kontemporer.
Ilustrasi pohon yang tumbuh subur, melambangkan kebun dalam kisah.
Kisah Dua Pemilik Kebun: Sebuah Kontras Kehidupan
Surah Al-Kahf mengisahkan sebuah perumpamaan tentang dua orang laki-laki, yang salah satunya diberi oleh Allah dua kebun anggur yang indah, dikelilingi oleh pohon kurma, dan di antaranya dialiri sungai. Kebun-kebun ini menghasilkan buah-buahan melimpah ruah, dan si pemilik kebun hidup dalam kemewahan dan kelimpahan yang luar biasa. Namun, alih-alih bersyukur dan mengakui bahwa semua itu berasal dari karunia Allah, ia justru terjerumus dalam kesombongan dan keangkuhan.
Dengan pongahnya, ia berkata kepada temannya – seorang yang lebih sederhana keadaannya namun memiliki iman yang kokoh – "Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat." Kesombongan ini bukan hanya sebatas pengakuan superioritas materi, melainkan juga berlanjut pada pengingkaran terhadap akhirat dan keraguannya akan hari kebangkitan. Ia bahkan mengklaim bahwa kebunnya akan kekal abadi dan tidak akan pernah binasa. Ini adalah puncak dari kelalaian dan ketidaksadaran akan kekuasaan Allah yang Mahatinggi.
Di sisi lain, temannya yang miskin namun beriman, dengan rendah hati menasihati: "Mengapa kamu tidak mengucapkan, tatkala kamu memasuki kebunmu, 'Masya Allah, la quwwata illa billah' (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)? Sekiranya kamu menganggapku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan..." Nasihat ini adalah intisari dari ayat ke-39, sebuah pengingat lembut namun tegas tentang asal-muasal segala nikmat dan pentingnya berserah diri kepada Allah. Teman yang beriman ini memahami bahwa kekayaan dan kekuasaan hanyalah pinjaman dari Allah, yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali.
Kontras antara kedua karakter ini sangatlah mencolok. Satu sisi mewakili manusia yang tersesat oleh gemerlap dunia, dikuasai oleh hawa nafsu dan kesombongan. Sisi lain mewakili manusia yang berpegang teguh pada tauhid, mengakui keesaan dan kekuasaan Allah dalam setiap aspek kehidupannya, dan senantiasa bersyukur atas segala karunia, sekecil apa pun itu. Kisah ini berakhir dengan kehancuran kebun si pemilik yang sombong, sebagai pelajaran bahwa segala yang berasal dari dunia adalah fana dan hanya kekuasaan Allah yang abadi.
Ilustrasi tangan menengadah dalam doa, melambangkan tawakal dan penyerahan diri.
Ayat Kunci: Al-Kahf 39 dan Kedalaman Maknanya
Ayat ke-39 dari Surah Al-Kahf adalah puncak dari nasihat bijak yang diberikan oleh teman yang beriman kepada pemilik kebun yang sombong. Ayat ini merangkum sebuah prinsip fundamental dalam Islam: pengakuan mutlak atas kehendak dan kekuasaan Allah dalam segala pencapaian dan karunia.
Tafsir Lafaz Per Lafaz:
- "وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ" (Wa lawlā iż dakhalta jannataka):
Bagian ini dapat diartikan sebagai "Mengapa tidakkah, ketika kamu memasuki kebunmu...". Ini adalah ungkapan teguran atau penyesalan mengapa pemilik kebun tidak mengucapkan dzikir tersebut ketika melihat keindahan dan hasil kebunnya yang melimpah. Ini menunjukkan bahwa pengucapan dzikir ini sangat dianjurkan saat melihat nikmat yang besar, bukan setelah nikmat itu hilang atau terancam.
- "قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ" (Qulta mā syā'allāhu):
"Mengapa kamu tidak mengucapkan 'Apa yang dikehendaki Allah'." Frasa "Mā syā'allāhu" berarti "Apa yang dikehendaki Allah (terjadi/terwujud)". Ini adalah pengakuan bahwa semua yang ada, semua nikmat, semua kesuksesan, adalah murni atas kehendak dan izin Allah semata. Bukan karena kepintaran, usaha, atau kemampuan diri sendiri sepenuhnya. Ini adalah pengakuan akan tauhid rububiyah, bahwa Allah adalah pengatur dan pencipta segala sesuatu.
- "لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ" (Lā quwwata illā billāh):
"Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." Bagian ini melengkapi frasa sebelumnya, menegaskan bahwa tidak ada kekuatan, tidak ada daya upaya, tidak ada kemampuan untuk mencapai atau mempertahankan sesuatu kecuali dengan pertolongan dan dukungan dari Allah SWT. Ini adalah penyerahan diri total (tawakal) kepada Allah. Ketika seseorang mengatakan ini, ia mengakui kelemahannya sebagai hamba dan kekuatan mutlak Allah. Hal ini juga menjadi pelindung dari penyakit 'ain (pandangan iri hati yang bisa membawa mudarat), baik dari orang lain maupun dari diri sendiri ('ujub).
- "إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا" (In tarani anā aqalla minka mālaw wa waladā):
"Sekiranya engkau menganggapku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan." Ini adalah kelanjutan dari nasihat tersebut, di mana teman yang beriman ini mengakui perbandingan materi antara dirinya dan pemilik kebun yang sombong. Namun, pengakuannya ini tidak dilandasi rasa rendah diri, melainkan sebagai penekanan bahwa perbandingan materi bukanlah tolok ukur kebahagiaan sejati atau keberkahan. Bahkan dengan keterbatasan materinya, ia tetap memiliki iman dan ketenangan hati yang jauh lebih berharga daripada seluruh kebun si kaya.
Secara keseluruhan, ayat ini mengajarkan kita untuk selalu menyandarkan segala nikmat, kesuksesan, dan kelebihan yang kita miliki kepada Allah SWT. Mengucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" adalah bentuk syukur, tawakal, dan pengakuan akan keesaan Allah. Ia adalah benteng dari kesombongan, keangkuhan, dan pengingat akan kefanaan dunia.
Ilustrasi Al-Qur'an terbuka, melambangkan sumber hikmah dan petunjuk.
Pilar-Pilar Hikmah dari Ayat Ini
Al-Kahf 39 bukan sekadar ayat pendek, melainkan sebuah menara cahaya yang memancarkan berbagai pilar hikmah mendalam yang relevan bagi setiap Muslim dalam menjalani kehidupannya.
Pilar 1: Tawakal (Berserah Diri Penuh kepada Allah)
Tawakal adalah inti dari keimanan seorang Muslim. Ayat ini secara eksplisit mengajarkan tawakal melalui frasa "Lā quwwata illā billāh". Ini berarti mengakui bahwa segala kekuatan, daya, dan kemampuan hanyalah milik Allah. Manusia, dengan segala usahanya, hanyalah perantara. Hasil akhir sepenuhnya berada di tangan Allah.
- Definisi dan Pentingnya: Tawakal adalah menyandarkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal. Ia bukanlah sikap pasif, melainkan sebuah keyakinan aktif bahwa Allah akan memberikan yang terbaik setelah kita berikhtiar. Tanpa tawakal, manusia mudah terjebak dalam kesombongan ketika berhasil, atau keputusasaan ketika gagal.
- Kontras dengan Kesombongan: Pemilik kebun yang sombong tidak bertawakal. Ia menyandarkan keberhasilannya pada dirinya sendiri, pada usahanya, pada hartanya. Inilah yang membuatnya lupa diri dan akhirnya binasa. Tawakal adalah antitesis dari kesombongan; ia melahirkan kerendahan hati dan ketenangan jiwa.
- Contoh dalam Al-Qur'an dan Sunnah: Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan terbaik dalam tawakal. Meski menghadapi rintangan berat, beliau selalu bertawakal kepada Allah. Kisah Nabi Nuh yang membangun bahtera, Nabi Ibrahim yang dilempar ke api, atau Nabi Musa yang dikejar Firaun, semuanya adalah contoh tawakal yang sempurna. Mereka berusaha sekuat tenaga, namun sepenuhnya menyerahkan hasil kepada Allah.
Pilar 2: Syukur (Mengakui Setiap Nikmat Berasal dari Allah)
Pengucapan "Mā syā'allāhu" adalah manifestasi dari syukur. Syukur bukan hanya sekadar mengucapkan "alhamdulillah", tetapi juga melibatkan pengakuan dalam hati, ucapan lisan, dan tindakan nyata. Ayat ini mengingatkan kita untuk mensyukuri nikmat, bukan mengklaimnya sebagai hak pribadi.
- Definisi dan Bentuk Syukur: Syukur adalah pengakuan secara tulus bahwa segala nikmat, baik besar maupun kecil, berasal dari Allah. Bentuk syukur ada tiga:
- Syukur dengan hati: Mengakui dan meyakini bahwa pemberi nikmat hakiki adalah Allah.
- Syukur dengan lisan: Mengucapkan puji-pujian kepada Allah (misalnya, "Alhamdulillah", "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh").
- Syukur dengan tindakan: Menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah, di jalan-Nya, dan tidak bermaksiat dengan nikmat tersebut. Misalnya, menggunakan harta untuk bersedekah, menggunakan kesehatan untuk beribadah, menggunakan ilmu untuk mengajar.
- Bahaya Kufur Nikmat: Kisah pemilik kebun adalah peringatan keras tentang bahaya kufur nikmat. Ketika seseorang lupa bersyukur atau bahkan mengklaim nikmat itu murni hasil jerih payahnya, ia berpotensi kehilangan nikmat tersebut, sebagaimana yang terjadi pada kebun yang hancur lebur. Allah berfirman: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7).
Pilar 3: Tawadhu' (Kerendahan Hati)
Pesan utama dari Al-Kahf 39 adalah penolakan terhadap kesombongan dan anjuran untuk senantiasa rendah hati. Pemilik kebun yang sombong merasa lebih unggul karena harta dan keturunannya, sebuah sikap yang sangat dibenci Allah.
- Definisi dan Manfaat Tawadhu': Tawadhu' adalah sikap merendahkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia, tidak merasa lebih mulia atau lebih unggul. Manfaat tawadhu' sangat banyak, di antaranya dicintai Allah dan manusia, mengangkat derajat seseorang, dan menjaga hati dari penyakit sombong.
- Antidote bagi Kibr (Kesombongan) dan Ujub (Bangga Diri): Mengucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" adalah obat mujarab untuk melawan kesombongan dan ujub. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Ujub adalah merasa bangga dan mengagumi diri sendiri atas nikmat yang dimiliki. Keduanya adalah penyakit hati yang berbahaya. Dengan mengingat bahwa segala sesuatu datang dari Allah, seseorang akan terhindar dari perasaan superioritas.
- Contoh Teladan: Nabi Muhammad ﷺ, meskipun seorang Nabi dan pemimpin umat, adalah orang yang paling rendah hati. Beliau tidak pernah membedakan diri dari para sahabatnya, makan bersama orang miskin, dan membantu pekerjaan rumah tangganya sendiri.
Pilar 4: Memahami Hakikat Dunia (Kefanaan Harta dan Anak)
Kisah dua pemilik kebun ini dengan jelas menunjukkan bahwa harta, kekayaan, dan keturunan, meskipun merupakan perhiasan dunia, adalah fana dan dapat lenyap dalam sekejap. Ini adalah pengingat untuk tidak terlalu terikat pada dunia.
- Dunia sebagai Ujian: Allah menciptakan dunia dan isinya sebagai ujian bagi manusia. Sebagaimana firman-Nya: "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar." (QS. Al-Anfal: 28). Bagaimana seseorang menyikapi harta dan anak-anaknya – apakah dengan syukur dan tawadhu', atau dengan kesombongan dan kelalaian – akan menentukan hasilnya di akhirat.
- Keabadian Akhirat: Kontras dengan kefanaan dunia, Al-Qur'an selalu menyoroti keabadian akhirat. Tujuan utama seorang Muslim adalah mencapai kebahagiaan abadi di surga, dan bukan terpana oleh kemewahan dunia yang sementara. Ayat ini mendorong kita untuk melihat melampaui gemerlap dunia, menuju tujuan yang lebih mulia.
- Pelajaran dari Akhir Kisah: Kehancuran kebun si pemilik yang sombong adalah bukti nyata bahwa segala kemewahan duniawi tidak memiliki kekuatan untuk bertahan di hadapan kehendak Allah. Ini adalah pelajaran pahit tentang realitas kefanaan dan peringatan agar tidak terlalu mengandalkan atau membanggakan apa yang kita miliki di dunia ini.
"Masha'Allah La Quwwata Illa Billah": Sebuah Dzikir Multiguna
Frasa "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" bukan hanya bagian dari sebuah nasihat, tetapi juga sebuah dzikir yang memiliki keutamaan luar biasa. Dzikir ini adalah perisai bagi hati dan jiwa, serta pengingat konstan akan kebesaran Allah.
Kekuatan Sebagai Pelindung dari 'Ain (Mata Jahat)
Salah satu keutamaan besar dari ucapan ini adalah sebagai penangkal 'ain atau mata jahat. 'Ain adalah pengaruh buruk yang timbul dari pandangan kagum atau iri hati seseorang terhadap suatu nikmat, baik itu dari orang lain maupun dari diri sendiri ('ujub). Pandangan ini, atas izin Allah, dapat menyebabkan kerugian pada objek yang dipandang. Rasulullah ﷺ bersabda, "Ain itu benar adanya, jika ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya 'ainlah yang akan mendahuluinya." (HR. Muslim).
Ketika seseorang melihat sesuatu yang indah, menakjubkan, atau berharga, baik itu miliknya sendiri maupun milik orang lain, dan ia mengucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh", ia sedang mengembalikan segala keindahan dan kekuatan itu kepada Allah. Ini menghilangkan potensi 'ain, karena tidak ada lagi kekaguman yang terfokus pada ciptaan, melainkan pada Penciptanya. Dengan demikian, dzikir ini melindungi nikmat dari kerusakan yang disebabkan oleh pandangan negatif.
Sebagai Pengingat akan Kekuasaan Mutlak Allah
Dzikir ini secara inheren mengandung pengakuan akan keesaan dan kekuasaan mutlak Allah. Dalam setiap keberhasilan, kekayaan, kecantikan, atau kelebihan apa pun, ia mengingatkan kita bahwa semuanya adalah karunia dari Allah. Tidak ada satupun yang kita miliki murni atas daya upaya kita sendiri tanpa campur tangan dan izin-Nya.
- Mengikis Kesombongan: Dzikir ini adalah penawar paling efektif bagi kesombongan. Jika seseorang merasa bangga dan menyombongkan diri atas pencapaiannya, ucapan ini akan mengingatkannya bahwa kekuatan sejatinya bukanlah miliknya, melainkan dari Allah.
- Membentuk Sikap Syukur: Secara otomatis, dzikir ini menumbuhkan rasa syukur yang mendalam. Dengan menyadari bahwa segala nikmat datang dari Allah, hati akan dipenuhi rasa terima kasih.
- Membangun Tawakal: Pengucapan ini menguatkan tawakal. Ketika kita mengakui bahwa tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, kita akan lebih mudah menyerahkan segala urusan kepada-Nya dan menerima takdir-Nya dengan lapang dada.
Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Dzikir "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" bisa diucapkan dalam berbagai situasi:
- Ketika Melihat Keindahan Alam: Saat menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan, matahari terbit atau terbenam, pegunungan, laut, atau hamparan hijau.
- Ketika Melihat Nikmat pada Diri Sendiri: Ketika melihat keberhasilan dalam pekerjaan, kesehatan yang prima, anak-anak yang cerdas, atau kekayaan yang dimiliki. Ini membantu menjaga hati dari ujub.
- Ketika Melihat Nikmat pada Orang Lain: Saat melihat kesuksesan teman, keindahan rumah tetangga, kecerdasan anak orang lain, atau harta benda orang lain. Ini membantu menjaga hati dari iri dengki dan 'ain.
- Ketika Menghadapi Kesulitan: Mengucapkan dzikir ini juga dapat menjadi penguat jiwa saat menghadapi kesulitan, karena mengingatkan kita bahwa segala kekuatan untuk mengatasi masalah datangnya dari Allah.
Dengan membiasakan diri mengucapkan dzikir ini, seseorang tidak hanya melindungi dirinya dan nikmat yang dimilikinya, tetapi juga memperkuat hubungannya dengan Allah, menjaga hati dari penyakit sombong dan iri, serta menumbuhkan sikap syukur dan tawakal yang hakiki.
Hubungan dengan Kisah-Kisah Lain dalam Surah Al-Kahf
Surah Al-Kahf adalah mozaik kisah-kisah yang saling terkait, meskipun tampak berbeda permukaannya. Hikmah dari Al-Kahf 39 mengenai tawakal, syukur, dan kerendahan hati juga tercermin dalam tiga kisah utama lainnya di surah ini: Ashabul Kahf, Nabi Musa dan Khidir, serta Dzulqarnain.
1. Kisah Ashabul Kahf (Pemuda-pemuda Penghuni Gua)
Kisah ini menceritakan sekelompok pemuda yang melarikan diri dari kekejaman raja zalim yang memaksa mereka menyembah berhala. Mereka memilih untuk bersembunyi di dalam gua dan memohon perlindungan kepada Allah. Allah pun menidurkan mereka selama lebih dari 300 tahun.
- Tawakal: Ini adalah contoh tawakal yang luar biasa. Para pemuda tersebut tidak memiliki kekuatan fisik atau militer untuk melawan raja. Mereka sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, meyakini bahwa hanya Dia yang dapat melindungi mereka. "Rabb kami adalah Rabb yang memelihara langit dan bumi; sekali-kali kami tidak menyeru tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran." (QS. Al-Kahf: 14). Ucapan mereka mirip dengan esensi "Lā quwwata illā billāh", mengakui tidak ada daya kecuali dari Allah.
- Syukur: Meski dalam kesulitan, mereka tetap bersyukur atas iman yang diberikan Allah dan tidak mengeluh. Mereka berjuang mempertahankan akidah mereka.
- Kerendahan Hati: Mereka tidak menyombongkan diri dengan jumlah atau kekuatan mereka. Mereka merendahkan diri di hadapan Allah, memohon pertolongan-Nya.
Kisah Ashabul Kahf menggarisbawahi bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada jumlah atau kekayaan, melainkan pada iman dan tawakal kepada Allah. Ini adalah paralel langsung dengan pelajaran Al-Kahf 39: kekuasaan manusia itu fana, hanya kekuatan Allah yang abadi.
2. Kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS
Kisah ini mengajarkan tentang batas-batas ilmu manusia dan pentingnya kerendahan hati dalam mencari pengetahuan. Nabi Musa AS, seorang rasul agung, diperintahkan untuk belajar dari Khidir AS, seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu ladunni (ilmu langsung dari Allah).
- Tawakal: Nabi Musa AS menunjukkan tawakal dengan bersabar mengikuti Khidir AS, meskipun banyak tindakan Khidir yang tampak tidak masuk akal baginya pada awalnya. Ia yakin ada hikmah di balik setiap tindakan Khidir, yang datang dari ilmu Allah.
- Kerendahan Hati dalam Ilmu: Ketika Nabi Musa AS awalnya merasa sebagai orang paling berilmu, Allah menunjukkan kepadanya bahwa ada orang lain yang memiliki ilmu yang tidak ia miliki. Ini adalah tamparan keras bagi kesombongan intelektual. Sikap Nabi Musa yang kemudian dengan rendah hati mengikuti Khidir adalah contoh tawadhu' yang harus dimiliki setiap pencari ilmu. Ia tidak lagi membanggakan ilmunya sendiri. Ini adalah pengingat bahwa "Mā syā'allāhu", segala ilmu adalah kehendak Allah.
Pelajaran dari kisah ini adalah bahwa seseorang tidak boleh sombong dengan ilmunya, karena di atas setiap orang yang berilmu pasti ada yang lebih berilmu, dan di atas segalanya adalah Allah Yang Maha Mengetahui. Ini relevan dengan Al-Kahf 39 yang melarang kesombongan atas segala bentuk nikmat, termasuk ilmu.
3. Kisah Dzulqarnain
Dzulqarnain adalah seorang raja atau pemimpin yang saleh, kuat, dan adil yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk menjelajahi bumi dan menolong kaum yang lemah.
- Tawakal dan Syukur: Meskipun Dzulqarnain dianugerahi kekuatan dan kekuasaan yang besar, ia selalu mengembalikan semua keberhasilannya kepada Allah. Ketika ia berhasil membangun tembok untuk menahan kaum Ya'juj dan Ma'juj, ia tidak berkata, "Ini hasil karyaku," melainkan "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." (QS. Al-Kahf: 98). Ini adalah esensi "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh". Ia bersyukur dan mengakui bahwa kekuatannya berasal dari Allah.
- Kerendahan Hati: Seorang pemimpin yang sangat berkuasa seperti Dzulqarnain bisa saja terjerumus dalam kesombongan, namun ia tetap rendah hati. Ia tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas, melainkan untuk menegakkan keadilan dan menolong orang yang tertindas.
Kisah Dzulqarnain menunjukkan bahwa bahkan pemimpin yang paling berkuasa sekalipun harus selalu mengingat bahwa kekuasaan itu adalah amanah dan karunia dari Allah. Dengan demikian, ia harus selalu tawakal, bersyukur, dan rendah hati, persis seperti pesan yang terkandung dalam Al-Kahf 39. Kekuasaan itu fana, hanya kehendak Allah yang kekal.
Secara keseluruhan, keempat kisah dalam Surah Al-Kahf secara harmonis menyuarakan tema-tema yang sama: pentingnya tawakal kepada Allah, bersyukur atas segala nikmat-Nya, menjauhi kesombongan dan keangkuhan, serta memahami hakikat kefanaan dunia dan keabadian akhirat. Ayat Al-Kahf 39 menjadi kunci yang membuka gerbang pemahaman terhadap pesan-pesan universal ini.
Implikasi dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun diturunkan berabad-abad lalu, pesan Al-Kahf 39 memiliki resonansi yang kuat dan relevansi yang mendalam dalam kehidupan modern. Dunia kontemporer, dengan segala kemajuan teknologi dan kecenderungannya yang materialistis, justru membuat pesan ini semakin vital.
1. Media Sosial dan Godaan Kesombongan
Era media sosial adalah panggung bagi banyak orang untuk memamerkan kesuksesan, kekayaan, perjalanan, dan segala pencapaian pribadi. Fitur-fitur seperti "likes", "followers", dan "shares" dapat dengan mudah memicu perasaan ujub (bangga diri) dan kesombongan. Orang bisa terlena dengan pujian dan pengakuan dari orang lain, melupakan bahwa semua kemampuan dan fasilitas yang memungkinkan mereka mencapai itu berasal dari Allah.
Di sinilah "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" menjadi benteng. Saat seseorang memposting foto liburan mewah, mobil baru, atau penghargaan, hati harus mengucapkan dzikir ini. Ini bukan hanya melindungi dari 'ain, tetapi yang lebih penting, melindungi hati dari kesombongan. Mengingat bahwa "tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" akan menjaga kerendahan hati dan kesadaran bahwa semua itu hanya titipan.
2. Materialisme dan Perlombaan Duniawi
Masyarakat modern seringkali diukur dari seberapa banyak harta yang ia miliki, posisi sosial, atau kesuksesan finansial. Hal ini mendorong individu untuk terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan mengejar standar materi yang seringkali tidak realistis. Perlombaan duniawi ini dapat menyebabkan stres, kecemburuan, dan rasa tidak puas yang tak ada habisnya.
Al-Kahf 39 mengajarkan kita untuk melihat melampaui materi. Kisah dua pemilik kebun dengan jelas menunjukkan bahwa kekayaan itu fana. Pesan untuk tidak terfokus pada perbandingan "lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan" mengingatkan kita bahwa nilai sejati seseorang bukan pada jumlah kepemilikannya, melainkan pada keimanan, ketakwaan, dan hubungannya dengan Allah. Ketika melihat seseorang dengan harta lebih banyak, mengucapkan dzikir ini membantu menenangkan hati dari iri dengki dan menyadarkan bahwa semua itu adalah kehendak Allah.
3. Tantangan dalam Pendidikan dan Karir
Dalam dunia pendidikan dan karir yang kompetitif, tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik sangatlah besar. Keberhasilan dalam studi, promosi jabatan, atau pencapaian profesional dapat dengan mudah membuat seseorang merasa angkuh atau meremehkan orang lain.
Pesan kerendahan hati dari Al-Kahf 39 sangat relevan. Seorang ilmuwan yang berhasil membuat penemuan besar, seorang dokter yang sukses menyembuhkan penyakit, atau seorang pengusaha yang bisnisnya berkembang pesat, semua harus mengingat bahwa kemampuan berpikir, kesehatan, kesempatan, dan bahkan kegagalan yang mengantarkan pada pembelajaran, semuanya berasal dari Allah. Mengucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" setelah meraih kesuksesan adalah cara terbaik untuk menjaga hati tetap di jalan Allah dan menghindari kesombongan yang dapat merusak keberkahan.
4. Menghadapi Ujian dan Musibah
Hidup tidak selalu tentang kesuksesan. Ada kalanya kita menghadapi ujian, kegagalan, atau kehilangan. Dalam konteks kisah pemilik kebun yang kebunnya hancur, Al-Kahf 39 mengajarkan kita tentang penerimaan takdir dan ketabahan.
Ketika musibah menimpa, mengucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" dapat menjadi bentuk tawakal. Ini adalah pengakuan bahwa semua ini adalah kehendak Allah, dan hanya Allah yang memiliki kekuatan untuk mengangkat kesulitan atau menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Hal ini membantu individu untuk tetap optimis dan bersabar, daripada larut dalam keputusasaan.
5. Pentingnya Berprasangka Baik kepada Allah
Ayat ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Allah (husnuzan). Bahkan ketika kita melihat orang lain memiliki lebih banyak, atau kita sendiri mengalami kekurangan, keyakinan bahwa semua adalah kehendak Allah dan ada hikmah di baliknya akan memupuk hati yang tenang dan menerima.
Dalam kehidupan kontemporer yang serba cepat dan penuh tekanan, di mana banyak orang mencari kebahagiaan di luar diri mereka, Al-Kahf 39 memberikan sebuah resep sederhana namun mujarab: kembalikan segala sesuatu kepada Allah, bersyukurlah, tawakal, dan rendahkan hati. Dengan begitu, hati akan menemukan kedamaian sejati, terlepas dari apa yang dunia tawarkan atau tarik kembali.
Menjaga Hati dari Penyakit Kesombongan dan Ujub
Kesombongan (kibr) dan ujub (bangga diri) adalah dua penyakit hati yang sangat berbahaya dan dapat membatalkan pahala amal kebaikan, bahkan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Surah Al-Kahf 39 dan keseluruhan kisah dua pemilik kebun adalah peringatan keras terhadap kedua penyakit ini. Memahami bagaimana mencegah dan mengobati penyakit hati ini adalah kunci untuk menjaga keimanan yang sehat.
Definisi dan Bahaya Kibr dan Ujub
- Kibr (Kesombongan): Seperti yang disabdakan Rasulullah ﷺ, "Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR. Muslim). Orang yang sombong merasa dirinya lebih baik dari orang lain, menolak nasihat, dan enggan menerima kebenaran jika bertentangan dengan pendapatnya. Kesombongan adalah sifat Iblis yang membuatnya diusir dari surga.
- Ujub (Bangga Diri): Ujub adalah perasaan kagum pada diri sendiri atau amal perbuatan sendiri, menganggap diri hebat atau berjasa besar tanpa menyandarkannya kepada Allah. Ujub adalah pintu gerbang menuju kesombongan. Seseorang yang ujub akan merasa amalnya sudah cukup, sehingga tidak perlu lagi berusaha meningkatkan diri atau merasa tidak butuh pertolongan Allah.
Kedua penyakit ini sama-sama membinasakan karena keduanya mengandung unsur "menyekutukan" Allah dalam hati. Kibr secara eksplisit menolak hak Allah atas kebesaran dan merendahkan ciptaan-Nya. Ujub secara tersirat mengklaim kekuatan atau kehebatan diri sendiri, seolah-olah tanpa Allah, ia bisa mencapai segala-galanya.
"Masha'Allah La Quwwata Illa Billah" Sebagai Antidote
Dzikir "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" adalah salah satu obat paling efektif untuk mencegah dan mengobati kibr serta ujub. Bagaimana caranya?
- Mengembalikan Segala Kekuatan kepada Allah: Dengan mengucapkan "Lā quwwata illā billāh", kita secara sadar mengakui bahwa tidak ada kekuatan, daya, atau kemampuan kecuali dengan izin dan pertolongan Allah. Ini secara langsung memangkas akar ujub, karena tidak ada lagi ruang untuk merasa bangga pada diri sendiri. Semua yang kita capai adalah karena karunia Allah.
- Mengakui Kehendak Allah: "Mā syā'allāhu" mengingatkan kita bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Keberhasilan kita, kekayaan kita, ilmu kita, kesehatan kita, semuanya adalah skenario yang telah Allah tentukan. Ini menghilangkan perasaan kesombongan bahwa kita sendirilah yang merencanakan dan mewujudkannya.
- Mengembangkan Kerendahan Hati: Ketika seseorang terus-menerus mengingat bahwa dia hanyalah hamba yang lemah dan semua kekuasaan ada pada Allah, hatinya akan dipenuhi dengan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah lawan dari kesombongan.
- Melindungi dari Iri Hati: Selain melindungi diri sendiri dari ujub, dzikir ini juga melindungi kita dari iri hati ketika melihat nikmat orang lain. Dengan mengucapkan "Mā syā'allāhu" ketika melihat nikmat pada orang lain, kita mengakui bahwa itu adalah kehendak Allah untuk orang tersebut, sehingga hati tidak lagi terjerumus pada perasaan dengki.
Pentingnya Refleksi Diri dan Muhasabah
Selain dzikir, upaya menjaga hati dari kibr dan ujub juga memerlukan refleksi diri (muhasabah) secara berkala. Seorang Muslim harus sering-sering merenungkan:
- Asal-usul Dirinya: Dari setetes air mani yang hina, dan akan berakhir sebagai jasad yang busuk di dalam tanah. Kematian adalah pengingat terbaik akan kefanaan diri.
- Kelemahan Manusia: Manusia adalah makhluk yang lemah, tidak dapat hidup tanpa udara, air, makanan, dan tidak dapat menolak sakit, tua, atau mati.
- Dosa-dosa yang Pernah Dilakukan: Mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan menjauhkan dari perasaan suci atau lebih baik dari orang lain.
- Nikmat Allah yang Tak Terhingga: Merenungkan nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya akan menumbuhkan rasa syukur dan kesadaran bahwa kita tidak akan pernah mampu membalas-Nya.
Dengan mempraktikkan dzikir "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" secara konsisten dan melakukan muhasabah diri, seorang Muslim dapat membentengi hatinya dari godaan kesombongan dan ujub, menjaga kebersihan amal, dan senantiasa berada dalam keridhaan Allah SWT.
Doa dan Harapan: Menggenggam Barakah
Pelajaran dari Al-Kahf 39 dan keseluruhan kisah dua pemilik kebun tidak hanya berakhir pada pemahaman konsep tawakal, syukur, dan kerendahan hati, tetapi harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata dan doa yang tulus. Tujuan akhir dari semua pengajaran ini adalah untuk mencapai barakah dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat, serta meraih keridaan Allah SWT.
Mencari Barakah dalam Segala Aspek Kehidupan
Barakah (keberkahan) adalah bertambahnya kebaikan dan kekalnya sesuatu yang baik. Barakah bukan hanya tentang jumlah, tetapi tentang kualitas dan dampak positif yang berkelanjutan. Ketika kita menerapkan pesan Al-Kahf 39, kita sebenarnya sedang membuka pintu-pintu keberkahan:
- Keberkahan dalam Harta: Harta yang diberkahi mungkin tidak selalu berlimpah, tetapi akan terasa cukup, mendatangkan ketenangan, dan dapat digunakan untuk kebaikan. Dengan mengucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh", kita berharap Allah melindungi harta kita dari kehancuran (seperti kebun yang hancur) dan menjadikannya sumber kebaikan.
- Keberkahan dalam Keluarga dan Keturunan: Anak-anak yang diberkahi adalah anak-anak yang saleh, berbakti, dan menjadi penyejuk hati. Ketika melihat anak-anak tumbuh dengan baik, mengucapkan dzikir ini adalah bentuk syukur dan doa agar keberkahan itu terus melekat pada mereka.
- Keberkahan dalam Ilmu: Ilmu yang diberkahi adalah ilmu yang bermanfaat, membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain, serta mendekatkan diri kepada Allah. Dengan rendah hati mengakui bahwa ilmu adalah karunia Allah, kita berharap ilmu itu akan terus berkembang dan membawa manfaat.
- Keberkahan dalam Waktu: Waktu yang diberkahi adalah waktu yang produktif, diisi dengan amal kebaikan, dan terasa cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas penting.
Doa sebagai Wujud Tawakal
Doa adalah inti ibadah, dan ia adalah wujud tawakal yang paling nyata. Setelah berusaha semaksimal mungkin, seorang Muslim berserah diri kepada Allah melalui doa. Doa-doa yang dipanjatkan harus mencerminkan pemahaman kita tentang ayat Al-Kahf 39:
- Memohon Perlindungan dari Kesombongan dan Ujub: "Ya Allah, lindungilah hatiku dari sifat sombong dan ujub atas nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku."
- Memohon Keberkahan dan Keistiqamahan: "Ya Allah, berkahilah segala yang Engkau amanahkan kepadaku, jadikanlah ia sarana untuk mendekatkan diri kepada-Mu, dan istiqamahkanlah aku dalam bersyukur dan bertawakal hanya kepada-Mu."
- Mengucapkan Dzikir dengan Penuh Kesadaran: Setiap kali melihat atau merasakan nikmat, ucapkan "Mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh" dengan penuh penghayatan, bukan hanya sekadar di lisan. Ini adalah doa dan pengakuan sekaligus.
Harapan Akan Ganjaran di Akhirat
Pada akhirnya, semua upaya kita dalam mengamalkan pesan Al-Kahf 39 ini adalah untuk meraih ganjaran terbaik di sisi Allah, yaitu Surga. Pemilik kebun yang sombong terlalu terpaku pada dunia yang fana, sehingga kehilangan kebahagiaan sejati. Temannya yang beriman, meskipun miskin secara materi, memiliki kekayaan iman dan ketenangan hati yang akan membimbingnya menuju kebahagiaan abadi.
Surah Al-Kahf itu sendiri dibuka dan ditutup dengan pujian kepada Allah, yang menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Dia dan akan kembali kepada-Nya. Dengan selalu mengingat ini, kita akan mampu menghadapi segala cobaan dan godaan dunia dengan hati yang tenang, penuh tawakal, dan senantiasa bersyukur. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk mengamalkan hikmah-hikmah dari Al-Qur'an dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang tawadhu', bersyukur, dan bertawakal.