Al-Kafirun Ayat 6: Inti Toleransi dan Ketegasan Aqidah dalam Islam

Surah Al-Kafirun adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang memiliki bobot makna yang sangat mendalam, khususnya dalam konteks hubungan antarumat beragama dan pemurnian akidah. Terdiri dari enam ayat, surah ini secara tegas memisahkan praktik ibadah dan keyakinan antara umat Islam dan penganut agama lain. Puncaknya terletak pada ayat keenam, yang seringkali dikutip sebagai dasar toleransi beragama dalam Islam: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (Lakum dīnukum wa liya dīn).

Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup, melainkan sebuah deklarasi prinsip yang kuat, menegaskan batas-batas yang jelas antara iman dan kekufuran, sekaligus mengajarkan tentang koeksistensi damai tanpa kompromi akidah. Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ayat ini, kita perlu menyelami konteks pewahyuan, tafsir, implikasi teologis, hingga relevansinya di zaman modern.

Ilustrasi Keseimbangan dan Batasan Keyakinan Dua pilar berdiri tegak di atas dasar yang kokoh, melambangkan dua keyakinan yang berbeda namun hidup berdampingan, dipisahkan oleh sebuah celah, menunjukkan prinsip 'untukmu agamamu, untukku agamaku'. Agamaku Agamamu Lakum Dinukum Waliya Din (Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku)

Latar Belakang dan Konteks Pewahyuan Surah Al-Kafirun

Surah Al-Kafirun termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yaitu surah-surah yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal sebagai fase di mana dakwah Islam menghadapi tantangan berat dan penolakan keras dari kaum musyrikin Quraisy. Pada masa ini, umat Islam masih minoritas dan seringkali mendapatkan intimidasi serta tekanan.

Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) Surah Al-Kafirun sangatlah jelas. Diriwayatkan bahwa kaum musyrikin Mekah, dalam upaya mereka untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad, mengajukan tawaran kompromi. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad:

"Mari kita saling menyembah tuhan masing-masing secara bergantian. Engkau menyembah tuhan kami selama satu tahun, dan kami akan menyembah Tuhanmu selama satu tahun. Jika agamamu lebih baik, kami telah mendapatkan bagian kebaikan darimu. Jika agama kami lebih baik, engkau telah mendapatkan bagian kebaikan dari kami."

Tawaran ini merupakan bentuk negosiasi yang bertujuan untuk menggabungkan atau mencampuradukkan praktik ibadah dan keyakinan, sebuah tindakan yang sangat ditentang dalam Islam. Islam menekankan tauhid, keesaan Allah, dan kemurnian ibadah yang tidak boleh dicampurbaurkan dengan penyembahan selain Allah. Sebagai tanggapan terhadap tawaran tersebut, Allah menurunkan Surah Al-Kafirun, yang secara mutlak menolak segala bentuk kompromi dalam hal akidah dan ibadah.

Pesan Utama Surah Al-Kafirun

Surah ini diawali dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk menyatakan penolakan tegas terhadap ibadah kaum kafir:

Ayat-ayat ini mengulang-ulang penolakan untuk menekankan bahwa tidak ada titik temu atau persinggungan dalam hal keyakinan dan praktik ibadah antara monoteisme Islam yang murni dengan politeisme kaum musyrikin. Pengulangan ini bukan sekadar retoris, melainkan untuk memperkuat pesan bahwa perbedaan fundamental ini tidak dapat dinegosiasikan.

Analisis Mendalam Ayat ke-6: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Ayat terakhir dari Surah Al-Kafirun ini menjadi inti dari seluruh surah, merangkum prinsip utama yang ingin disampaikan. Mari kita bedah setiap komponennya.

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Lakum dīnukum wa liya dīn.

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Terjemah dan Makna Literal

Secara harfiah, ayat ini menyatakan pemisahan yang jelas dan tegas antara agama yang dianut oleh Nabi Muhammad dan umat Islam dengan agama yang dianut oleh kaum kafir. Ini adalah deklarasi kedaulatan agama, di mana setiap pihak memiliki hak penuh atas keyakinan dan praktik agamanya masing-masing.

Tafsir Para Ulama dan Implikasi Teologis

Ayat ini seringkali disebut sebagai 'ayat toleransi', tetapi penting untuk memahami toleransi dalam konteks Islam agar tidak terjadi salah tafsir. Toleransi yang diajarkan dalam Islam bukanlah sinkretisme atau pencampuradukan akidah dan ibadah, melainkan pengakuan akan hak orang lain untuk berkeyakinan sesuai pilihannya, tanpa paksaan.

1. Ketegasan Akidah dan Batasan Ibadah

Para ulama tafsir, seperti Imam Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa ayat ini adalah penegasan final dari penolakan Nabi Muhammad terhadap usulan kompromi dari kaum musyrikin. Ini adalah bentuk bara'ah (pembebasan diri atau disasosiasi) dari segala bentuk syirik dan ibadah selain kepada Allah. Dengan kata lain, Nabi Muhammad secara tegas menyatakan bahwa tidak ada jalan tengah antara tauhid dan syirik. Agamanya adalah tauhid murni, dan agama mereka adalah syirik. Kedua konsep ini tidak bisa bersatu.

"Untukmu agamamu, yakni jalanmu; dan untukku agamaku, yakni jalanku. Seperti firman Allah: 'Dan jika mereka mendustakanmu, maka katakanlah: 'Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.'" (QS. Yunus: 41)

Penjelasan ini menegaskan bahwa perbedaan mendasar antara Islam dan agama lain, khususnya dalam hal keyakinan tentang Tuhan dan tata cara ibadah, adalah sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Ini adalah batas merah yang tak boleh dilanggar oleh seorang Muslim.

2. Prinsip Toleransi Beragama (tanpa Kompromi Akidah)

Meskipun ayat ini menegaskan pemisahan akidah dan ibadah, ia juga mengandung makna toleransi yang mendalam. Toleransi di sini bukan berarti menyetujui atau mengakui kebenaran agama lain, melainkan menghormati hak asasi manusia untuk memilih keyakinannya. Islam tidak membenarkan pemaksaan dalam beragama, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 256:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat." (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Dengan demikian, ayat 6 Surah Al-Kafirun mengajarkan dua prinsip sekaligus:

  1. Ketegasan Akidah: Seorang Muslim harus kokoh dalam keyakinannya pada tauhid dan menolak segala bentuk syirik. Tidak ada kompromi dalam ibadah atau pengakuan Tuhan.
  2. Toleransi Sosial: Meskipun akidah berbeda, umat Islam diperintahkan untuk hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, menghormati hak mereka untuk menjalankan keyakinan mereka, tanpa pemaksaan atau intimidasi.

Ini adalah keseimbangan yang halus namun krusial. Seorang Muslim tidak boleh mengintervensi atau menghina praktik ibadah agama lain, namun pada saat yang sama, ia tidak boleh berpartisipasi atau mengintegrasikan praktik-praktik tersebut ke dalam agamanya sendiri.

3. Larangan Sinkretisme

Ayat ini merupakan fondasi pelarangan sinkretisme (pencampuradukan unsur-unsur agama yang berbeda). Tawaran kaum musyrikin Mekah untuk saling menyembah tuhan masing-masing adalah bentuk sinkretisme yang terang-terangan. Islam menolak keras ide bahwa semua agama adalah sama atau dapat dilebur menjadi satu, terutama dalam aspek keyakinan dasar tentang Tuhan dan tata cara penyembahan-Nya. Keunikan dan kemurnian Islam harus dijaga.

4. Identitas Muslim yang Jelas

Pernyataan "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku" juga berfungsi sebagai pembentuk identitas yang jelas bagi seorang Muslim. Ini adalah pernyataan tentang individualitas spiritual dan penentuan diri dalam beriman. Seorang Muslim tahu siapa Tuhannya, bagaimana cara beribadah kepada-Nya, dan apa yang membedakannya dari penganut keyakinan lain. Ini memberikan kejelasan mental dan spiritual yang sangat penting bagi kemantapan iman.

Dimensi Linguistik dan Retorika Ayat

Penggunaan bahasa dalam ayat ini sangatlah kuat dan sarat makna. Frasa "Lakum dinukum wa liya din" adalah contoh sempurna dari ringkasnya bahasa Arab namun kaya akan makna.

1. Pengulangan Penafian

Dalam lima ayat sebelumnya, penafian ("Aku tidak akan menyembah...", "Kamu bukan penyembah...", dst.) diulang-ulang. Ini adalah teknik retorika dalam bahasa Arab yang disebut takrar (pengulangan) untuk tujuan penekanan dan penegasan. Pengulangan ini menghilangkan keraguan sedikit pun tentang posisi Nabi Muhammad dan umat Islam terhadap praktik ibadah kaum musyrikin.

2. Kontras yang Tajam

Ayat 6 mengakhiri serangkaian penafian ini dengan sebuah kontras yang tajam. Setelah menjelaskan apa yang "tidak" akan dilakukan, ayat ini menyatakan "apa yang ada". Ini adalah sebuah kesimpulan yang logis dan final: karena tidak ada kesamaan dalam ibadah dan keyakinan, maka masing-masing pihak harus tetap pada agamanya sendiri.

3. Pronomina Kepemilikan yang Tegas

Penggunaan pronomina kepemilikan 'kum' (kalian) dan 'i' (aku) secara langsung melekat pada kata 'din' (agama) semakin mempertegas individualitas dan kepemilikan agama. Ini bukan sekadar agama secara umum, tetapi "agamamu" dan "agamaku", menunjukkan hubungan pribadi dan tak terpisahkan antara seseorang dengan keyakinannya.

4. Kesederhanaan dan Kekuatan

Ayat ini, meskipun ringkas, memiliki kekuatan persuasif yang luar biasa. Kesederhanaannya membuatnya mudah dipahami dan diingat, namun maknanya yang luas menjadikannya prinsip fundamental dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa kebenaran yang paling mendalam seringkali dapat disampaikan dengan kata-kata yang paling sederhana.

Relevansi Ayat Al-Kafirun 6 di Dunia Modern

Di era globalisasi dan masyarakat majemuk, pemahaman yang benar tentang Surah Al-Kafirun ayat 6 menjadi semakin penting. Ada beberapa aspek relevansi yang perlu digarisbawahi:

1. Pondasi Dialog Antariman

Prinsip "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku" merupakan fondasi yang kokoh untuk dialog antariman yang konstruktif. Dialog tidak berarti menyerah pada perbedaan akidah, melainkan memahami perbedaan tersebut dan mencari titik temu dalam nilai-nilai kemanusiaan universal, tanpa mengorbankan identitas agama masing-masing. Ayat ini memungkinkan Muslim untuk berinteraksi dengan penganut agama lain dengan hormat dan kejujuran, sambil tetap menjaga kemurnian imannya.

2. Mencegah Ekstremisme dan Intoleransi

Di satu sisi, ayat ini mencegah sinkretisme yang mengaburkan batas agama. Di sisi lain, ia juga secara implisit menolak bentuk-bentuk ekstremisme yang memaksakan keyakinan. Dengan mengakui hak orang lain untuk beragama, ayat ini menjadi antidot terhadap intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Islam tidak mengajarkan pemaksaan dalam beragama, melainkan dakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik.

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (Q.S. An-Nahl: 125)

Ini menunjukkan bahwa meskipun akidah tidak boleh dicampuradukkan, interaksi sosial dan dakwah harus dilakukan dengan cara terbaik, penuh kebijaksanaan dan kebaikan.

3. Menjaga Identitas dan Autentisitas Muslim

Di tengah arus globalisasi yang seringkali mencoba menyeragamkan atau bahkan mengaburkan identitas, ayat ini mengingatkan Muslim akan pentingnya menjaga keaslian imannya. Ini adalah pengingat untuk tidak terombang-ambing oleh tren atau tekanan sosial yang mencoba mengkompromikan prinsip-prinsip dasar Islam. Kekuatan identitas seorang Muslim terletak pada kemurnian tauhid dan ketaatannya pada syariat.

4. Pemahaman Konsep 'Deen' yang Lebih Luas

Kata 'din' dalam bahasa Arab memiliki makna yang lebih luas dari sekadar 'agama' dalam pengertian modern. 'Din' mencakup cara hidup, keyakinan, sistem nilai, hukum, dan bahkan balasan. Dengan demikian, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku" berarti "Untukmu cara hidupmu, dan untukku cara hidupku." Ini menggarisbawahi bahwa Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang komprehensif, bukan hanya seperangkat ritual. Pemahaman ini membantu Muslim menghargai keunikan Islam sebagai sebuah jalan hidup yang lengkap.

Kesalahpahaman Umum dan Klarifikasi

Meskipun Surah Al-Kafirun ayat 6 adalah salah satu ayat yang paling sering dikutip, tidak jarang terjadi kesalahpahaman dalam interpretasinya. Penting untuk mengklarifikasi beberapa di antaranya:

1. Apakah Ayat Ini Berarti Tidak Boleh Berdakwah?

Salah satu kesalahpahaman yang paling sering muncul adalah anggapan bahwa "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku" berarti umat Islam tidak boleh berdakwah atau mengajak orang lain kepada Islam. Ini adalah interpretasi yang keliru.

Ayat ini datang dalam konteks penolakan kompromi akidah dan ibadah. Ia bukan berarti pasifisme dakwah. Justru, dengan adanya batasan yang jelas, dakwah menjadi lebih fokus dan efektif. Dakwah bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Islam, tetapi tidak pernah dengan paksaan atau pemaksaan. Seorang Muslim tetap wajib menyampaikan pesan Islam, tetapi pilihan untuk menerima atau menolak adalah hak individu yang harus dihormati. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun kita berdakwah, kita harus menerima bahwa mungkin ada yang tidak menerima, dan pada akhirnya, mereka bertanggung jawab atas pilihan agama mereka sendiri.

2. Apakah Ini Berarti Tidak Ada Poin Persamaan Antar Agama?

Ayat ini menegaskan perbedaan dalam akidah dan ibadah, tetapi bukan berarti tidak ada titik temu atau persamaan dalam nilai-nilai moral dan etika. Banyak agama, termasuk Islam, mengajarkan kebaikan, keadilan, kejujuran, kasih sayang, dan menolak kejahatan. Dalam konteks sosial, umat Islam didorong untuk bekerja sama dengan penganut agama lain dalam mempromosikan kebaikan dan melawan kejahatan demi kemaslahatan bersama. Namun, kerja sama ini tidak boleh sampai mengkompromikan prinsip-prinsip akidah.

3. Apakah Ini Mengakhiri Hubungan Baik dengan Non-Muslim?

Sama sekali tidak. Islam mendorong umatnya untuk menjalin hubungan baik, berbuat adil, dan berakhlak mulia kepada semua manusia, termasuk non-Muslim, selama mereka tidak memerangi atau mengusir umat Islam dari tanah mereka. Allah berfirman dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8:

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (Q.S. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat ini dengan jelas membedakan antara toleransi akidah dan toleransi sosial. Toleransi akidah berarti tidak ada kompromi dalam keyakinan dan ibadah. Toleransi sosial berarti hidup berdampingan secara damai, berbuat baik, dan adil dalam interaksi sehari-hari.

Penerapan Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana seorang Muslim mengaplikasikan makna Al-Kafirun ayat 6 dalam kehidupan praktis?

  1. Konsisten dalam Ibadah: Menjaga salat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya sesuai tuntunan syariat tanpa menambahkan atau mengurangi dari ajaran Islam, serta menjauhkan diri dari praktik-praktik ibadah agama lain.
  2. Menjaga Aqidah Murni: Tidak ikut serta dalam perayaan keagamaan non-Muslim yang memiliki unsur ritual ibadah, seperti ibadah di gereja, kuil, atau tempat ibadah lainnya. Ini bukan berarti tidak mengucapkan selamat hari raya, melainkan tidak berpartisipasi dalam ritual ibadah yang melanggar prinsip tauhid.
  3. Berinteraksi dengan Baik: Memperlakukan tetangga, rekan kerja, atau siapa pun dari agama lain dengan hormat, sopan santun, dan keadilan. Menolong mereka dalam kesulitan, berbagi kebahagiaan (dalam batas-batas syariat), dan menjauhi permusuhan yang tidak beralasan.
  4. Mempelajari Islam secara Mendalam: Dengan memahami agamanya sendiri secara komprehensif, seorang Muslim akan lebih mampu membedakan mana yang merupakan bagian dari Islam dan mana yang bukan, sehingga tidak mudah terbawa arus kompromi akidah.
  5. Berani Berbeda: Memiliki keberanian untuk menyatakan "aku Muslim" dan teguh pada prinsip-prinsip Islam, bahkan ketika berada di lingkungan yang mayoritas non-Muslim, tanpa merasa minder atau terintimidasi, namun tetap dengan adab yang baik.

Penerapan ini membutuhkan kebijaksanaan dan pemahaman yang matang. Hal ini juga menuntut Muslim untuk menjadi duta Islam yang baik melalui akhlak mulia dan keteladanan, bukan melalui paksaan atau kekerasan.

Perbandingan dengan Konsep Toleransi dalam Perspektif Lain

Dalam diskursus global, "toleransi" seringkali diartikan dalam berbagai cara, kadang-kadang mengarah pada relativisme agama, di mana semua keyakinan dianggap sama benarnya atau sama-sama valid. Namun, Islam menawarkan kerangka toleransi yang unik, yang disebut sebagai ta'ayush atau koeksistensi, yang menekankan penerimaan perbedaan sambil tetap mempertahankan identitas keagamaan yang kuat.

Toleransi Islam vs. Relativisme Agama

Relativisme agama seringkali berpendapat bahwa tidak ada kebenaran absolut, atau bahwa semua kebenaran agama adalah relatif terhadap individu atau budaya. Dalam pandangan ini, klaim kebenaran universal dari satu agama dapat dianggap tidak toleran. Namun, Islam, dengan tegas menyatakan kebenaran tauhid dan kenabian Muhammad sebagai jalan yang benar, sesuai dengan firman Allah:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (Q.S. Ali 'Imran: 19)

Ayat Al-Kafirun 6 tidak bertentangan dengan ayat ini. Sebaliknya, ia melengkapi dengan menjelaskan bagaimana seorang Muslim yang meyakini Islam sebagai kebenaran harus bersikap di hadapan keyakinan lain. Toleransi Islam adalah toleransi terhadap orangnya dan haknya untuk berkeyakinan, bukan toleransi terhadap kebenaran agamanya dalam pandangan Islam. Muslim mengakui hak orang lain untuk berkeyakinan, tetapi tidak berarti Muslim meyakini semua keyakinan itu benar.

Toleransi Politik vs. Toleransi Aqidah

Dalam konteks modern, toleransi seringkali juga dilihat dari kacamata politik, yaitu penerimaan terhadap keberagaman dalam masyarakat sebagai bentuk harmoni sipil. Islam mendukung konsep ini, di mana umat Islam hidup berdampingan dengan damai dalam sebuah negara yang majemuk. Sejarah Islam mencatat bagaimana Nabi Muhammad sendiri membangun Piagam Madinah, yang mengatur hak dan kewajiban berbagai komunitas agama di Madinah, termasuk Yahudi dan Muslim, menunjukkan model koeksistensi politik yang damai.

Namun, penting untuk membedakan antara toleransi politik ini dengan toleransi akidah. Dalam ranah politik dan sosial, umat Islam dapat bekerja sama, berinteraksi, dan bahkan saling melindungi. Namun, dalam ranah akidah dan ibadah, batas-batas yang tegas tetap terjaga sesuai dengan prinsip "Lakum dinukum wa liya din". Ini adalah pemisahan yang sehat antara ranah publik dan ranah privat keyakinan.

Kesimpulan

Surah Al-Kafirun ayat 6, "Lakum dinukum wa liya din" (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku), adalah salah satu pilar fundamental dalam memahami toleransi beragama dalam Islam. Ayat ini bukanlah ajakan untuk mengabaikan dakwah atau mengikis perbedaan antariman, melainkan sebuah deklarasi tegas tentang kemurnian akidah dan batasan dalam praktik ibadah.

Ia mengajarkan kepada umat Islam untuk kokoh pada keimanan tauhid mereka, menolak segala bentuk kompromi dalam hal ibadah kepada Allah, sekaligus menghormati hak asasi orang lain untuk memilih dan menjalankan keyakinan mereka sendiri. Ini adalah keseimbangan sempurna antara ketegasan akidah dan keharmonisan sosial.

Di era modern yang penuh tantangan, pemahaman yang benar atas ayat ini menjadi krusial. Ia menjadi pedoman bagi umat Islam untuk berinteraksi dengan dunia yang majemuk, membangun dialog antariman yang konstruktif, menolak ekstremisme, serta menjaga identitas dan autentisitas keislaman mereka tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ayat ini adalah cerminan kebijaksanaan Ilahi yang memberikan arah jelas bagi umat-Nya dalam menjalani kehidupan yang berlandaskan iman dan toleransi.

🏠 Homepage