Kisah Surat Al-Fil: Ka'bah dilindungi oleh burung Ababil dari ancaman pasukan Gajah.
Surat Al-Fil adalah salah satu mutiara Al-Quran yang sarat akan makna dan pelajaran. Ia bukan sekadar rangkaian ayat-ayat yang indah, melainkan juga sebuah narasi sejarah yang monumental, penuh dengan keajaiban ilahi, dan berfungsi sebagai peringatan keras bagi mereka yang berani menantang kekuasaan Allah SWT. Dalam artikel ini, kita akan menyelami setiap aspek Surat Al-Fil, mulai dari identitasnya dalam Al-Quran, latar belakang sejarah yang melingkupinya, kisah heroik dan tragis pasukan Gajah, hingga pelajaran mendalam yang dapat kita petik darinya.
Peristiwa yang diabadikan dalam Surat Al-Fil terjadi sesaat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjadikannya sebuah mukadimah ilahi yang mempersiapkan panggung bagi kedatangan rahmat bagi seluruh alam. Kisah ini tidak hanya menegaskan kekuasaan mutlak Allah dalam melindungi Rumah-Nya yang suci, Ka'bah, tetapi juga memberikan pesan universal tentang kesombongan, keangkuhan, dan konsekuensi mengerikan bagi mereka yang melampaui batas.
Mari kita mulai perjalanan spiritual dan intelektual ini untuk memahami secara komprehensif Surat Al-Fil, sebuah surat pendek namun memiliki bobot sejarah dan teologis yang luar biasa dalam tradisi Islam.
Untuk memahami sepenuhnya Surat Al-Fil, penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengetahui identitas dan posisinya dalam kitab suci Al-Quran.
Surat Al-Fil merupakan surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Quran. Ini menempatkannya di antara surat-surat pendek yang berada di bagian akhir Al-Quran, khususnya dalam Juz 30, atau yang sering disebut sebagai Juz 'Amma. Posisi ini adalah urutan penyusunan surat sebagaimana telah ditetapkan dan diwariskan dari zaman Rasulullah SAW hingga kini, yang dikenal sebagai tartib al-Mushaf (urutan mushaf).
Meskipun Al-Fil adalah surat ke-105 dalam susunan mushaf, urutan pewahyuan (tartib nuzuli) mungkin berbeda. Menurut beberapa riwayat, Surat Al-Fil adalah salah satu surat yang diturunkan di awal periode Makkiyah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal dengan fokusnya pada tauhid, akidah, hari kiamat, dan kisah-kisah kaum terdahulu sebagai pelajaran. Surat Al-Fil sangat relevan dengan karakteristik ini karena ia menegaskan kekuasaan Allah dan kebenaran ajaran-Nya melalui sebuah kisah nyata yang luar biasa.
Surat Al-Fil tergolong sebagai surat Makkiyah. Ciri khas surat Makkiyah adalah ayat-ayatnya yang cenderung pendek, retoris, dan memiliki penekanan kuat pada:
Surat Al-Fil dengan kisah kehancuran pasukan Abraha yang berupaya menghancurkan Ka'bah, sangat tepat dalam kategori ini. Ia menjadi bukti nyata kekuasaan Allah dalam melindungi agama-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya, sebuah pesan yang sangat relevan bagi kaum Muslimin yang minoritas dan tertindas di awal dakwah Islam di Mekah.
Surat Al-Fil terdiri dari 5 ayat yang singkat namun padat makna. Nama "Al-Fil" sendiri diambil dari kata الْفِيلِ (al-Fīl) yang berarti "Gajah", yang disebutkan dalam ayat pertama surat ini. Penamaan ini merujuk langsung pada peristiwa sentral yang diceritakan dalam surat tersebut, yaitu kisah pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abraha.
Dalam Juz 30 (Juz 'Amma), Surat Al-Fil berada setelah Surat Al-Humazah dan sebelum Surat Quraisy. Urutan ini tidak kebetulan; seringkali terdapat benang merah atau keterkaitan makna antar surat yang berurutan dalam Al-Quran. Dalam konteks ini, Surat Al-Fil yang menceritakan perlindungan Allah terhadap Ka'bah, sangat serasi dengan Surat Quraisy yang berbicara tentang keistimewaan suku Quraisy karena keberadaan Ka'bah dan keberkahan yang mereka dapatkan berkat perlindungan Allah terhadapnya.
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa peristiwa pasukan gajah adalah fondasi bagi kemakmuran dan keamanan suku Quraisy, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk bepergian berdagang dengan aman, sebagaimana disinggung dalam Surat Quraisy. Dengan demikian, Al-Fil berfungsi sebagai pengantar yang kuat untuk memahami nikmat yang diberikan kepada suku Quraisy oleh Allah SWT.
Kisah di balik Surat Al-Fil adalah salah satu peristiwa paling signifikan dalam sejarah Jazirah Arab pra-Islam, yang dikenal sebagai "Tahun Gajah" (Amul Fil). Peristiwa ini bahkan menjadi penanda waktu bagi masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, mengindikasikan betapa monumentalnya kejadian tersebut bagi mereka. Kejadian ini diperkirakan terjadi pada tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sebelum kedatangan Islam, Jazirah Arab adalah wilayah yang terfragmentasi, dihuni oleh berbagai kabilah dengan sistem kesukuan yang kuat. Meskipun ada pusat-pusat perdagangan seperti Mekah, Madinah, dan Thaif, namun secara umum masyarakat Arab hidup dalam kondisi yang disebut Jahiliyah (kebodohan), di mana praktik penyembahan berhala, perbudakan, pembunuhan bayi perempuan, peperangan antar suku, dan perilaku amoral lainnya marak terjadi. Namun, di tengah kekacauan ini, terdapat beberapa nilai yang tetap dihormati, seperti keberanian, kemurahan hati, dan terutama, penghormatan terhadap Ka'bah di Mekah.
Ka'bah, yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS, adalah pusat ibadah monoteistik (tauhid) pada mulanya. Namun, seiring waktu, ia telah "tercemar" dengan berhala-berhala yang ditempatkan di sekitarnya dan di dalamnya oleh berbagai kabilah. Meskipun demikian, Ka'bah tetap menjadi pusat ziarah, perdagangan, dan identitas spiritual bagi sebagian besar masyarakat Arab. Status Mekah sebagai "kota suci" dan keberadaan Ka'bah memberikan kekebalan dan kehormatan tersendiri bagi suku Quraisy yang menjadi penjaganya.
Sosok sentral dalam kisah ini adalah Abraha al-Ashram. Abraha adalah seorang gubernur Kristen Yaman yang ditunjuk oleh Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Habasyah pada waktu itu adalah kekuatan regional yang signifikan dan telah menguasai Yaman. Abraha sendiri adalah seorang Habasyi (Ethiopia) yang memiliki ambisi besar dan keyakinan agama Kristen yang kuat.
Ia dikenal sebagai sosok yang kejam, otoriter, dan berambisius. Setelah berhasil menaklukkan Yaman dan memantapkan kekuasaannya di sana, Abraha mulai melihat ke utara, ke Jazirah Arab, dengan tujuan memperluas pengaruhnya dan menyebarkan ajaran Kristen.
Salah satu proyek ambisius Abraha adalah pembangunan sebuah gereja megah di Sana'a, ibu kota Yaman. Gereja ini dikenal dengan nama al-Qullais. Abraha membangunnya dengan kemegahan yang luar biasa, menggunakan material-material terbaik dan arsitektur yang indah, dengan tujuan agar gereja tersebut menjadi pusat ziarah dan peribadatan bagi seluruh bangsa Arab, menggantikan posisi Ka'bah di Mekah.
Abraha berkeinginan kuat untuk mengalihkan perhatian dan penghormatan kaum Arab dari Ka'bah menuju gerejanya. Ia percaya bahwa dengan demikian, ia tidak hanya akan memperkuat pengaruh politik dan ekonominya di wilayah tersebut tetapi juga menyebarkan ajaran agamanya. Ini adalah strategi yang jelas untuk melemahkan posisi Mekah dan suku Quraisy, serta menegaskan dominasi Habasyah di Jazirah Arab.
Niat Abraha untuk menggeser Ka'bah sebagai pusat ziarah ternyata tidak diterima dengan baik oleh seluruh bangsa Arab, terutama mereka yang masih memiliki ikatan kuat dengan tradisi nenek moyang dan mengagungkan Ka'bah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebagai bentuk protes dan penghinaan terhadap ambisi Abraha, seseorang dari suku Quraisy (ada yang menyebutnya dari Bani Fuqaim atau Bani Kinanah) pergi ke Sana'a dan buang air besar di dalam gereja al-Qullais. Tindakan ini merupakan bentuk penghinaan paling ekstrem yang bisa dilakukan oleh seorang Arab pada waktu itu, mengingat kesucian tempat ibadah dan tujuan Abraha.
Insiden ini sontak menyulut kemarahan Abraha. Ia merasa harga dirinya, agamanya, dan seluruh proyek ambisiusnya telah diinjak-injak. Dalam pandangannya, tindakan tersebut bukan hanya pelecehan terhadap gereja, tetapi juga deklarasi perang terhadap otoritas dan niat baiknya. Kemarahan ini membara dan memicu keputusan drastisnya.
Terluka oleh penghinaan dan termotivasi oleh dendam serta ambisi yang belum padam, Abraha bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah di Mekah. Ia berpendapat bahwa selama Ka'bah masih berdiri dan dihormati oleh bangsa Arab, gerejanya di Sana'a tidak akan pernah mencapai tujuan yang diinginkan. Menghancurkan Ka'bah adalah satu-satunya cara untuk menegaskan dominasinya dan menghapus simbol kebanggaan Arab yang menjadi penghalang bagi agenda Kristenisasinya.
Keputusan Abraha untuk menghancurkan Ka'bah adalah sebuah deklarasi perang terhadap seluruh tradisi dan kehormatan bangsa Arab. Ini adalah tindakan yang melampaui batas politik dan agama, mengancam fondasi identitas mereka. Dengan niat bulat, Abraha mulai mengumpulkan pasukannya untuk melancarkan serangan terhadap Mekah, sebuah peristiwa yang akan selamanya terukir dalam sejarah sebagai Tahun Gajah.
Setelah kemarahannya memuncak dan tekadnya bulat, Abraha mulai menyusun rencana untuk melancarkan ekspedisi militer terbesar yang pernah disaksikan Jazirah Arab saat itu. Kisah ini adalah inti dari Surat Al-Fil, sebuah narasi tentang kesombongan manusia dan keajaiban perlindungan Ilahi.
Abraha mengumpulkan pasukannya yang besar, terdiri dari tentara terlatih dan persenjataan lengkap. Namun, yang paling mencolok dan menjadi ikon ekspedisi ini adalah keberadaan gajah-gajah perang. Gajah adalah hewan yang tidak lazim di Jazirah Arab, dan kemampuannya dalam pertempuran (untuk menerobos barisan musuh dan menciptakan ketakutan) membuatnya menjadi aset militer yang sangat menakutkan. Menurut riwayat, pasukan Abraha memiliki beberapa gajah, dan yang paling besar serta menjadi pemimpin kawanan gajah dinamai Mahmud.
Kehadiran gajah-gajah ini dimaksudkan untuk memberikan efek psikologis yang dahsyat kepada suku-suku Arab yang mereka hadapi. Belum pernah sebelumnya orang Arab melihat pasukan sebesar dan semodern ini, apalagi dilengkapi dengan gajah. Abraha yakin bahwa dengan kekuatan militer yang superior ini, ia dapat dengan mudah menghancurkan Ka'bah dan mengintimidasi seluruh bangsa Arab agar tunduk kepadanya.
Pasukan Abraha memulai perjalanan panjang dari Sana'a, Yaman, menuju Mekah. Rute yang mereka tempuh melintasi gurun dan wilayah suku-suku Arab. Sepanjang perjalanan, pasukan ini menghadapi beberapa perlawanan kecil dari kabilah-kabilah Arab yang berupaya mempertahankan tanah mereka atau mencoba menghentikan niat Abraha. Namun, perlawanan tersebut dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan militer Abraha yang jauh lebih superior.
Salah satu tokoh yang mencoba menghentikan Abraha adalah Dzu Nafr, seorang pemimpin dari Yaman yang mengumpulkan pasukannya untuk melawan Abraha. Namun, Dzu Nafr dan pasukannya dikalahkan, dan ia sendiri ditawan oleh Abraha. Demikian pula dengan Nufail bin Habib al-Khats'ami, seorang pemimpin suku Khats'am, yang juga mencoba melawan namun kalah dan ditawan. Abraha kemudian menggunakan Nufail sebagai penunjuk jalan menuju Mekah, mengancam akan membunuhnya jika tidak membantu.
Saat mendekati Mekah, pasukan Abraha melewati Thaif, di mana mereka bertemu dengan orang-orang dari suku Tsaqif. Suku Tsaqif, yang memiliki berhala terkenal bernama al-Lat, berusaha menghindari kerusakan yang mungkin menimpa mereka dengan menawarkan diri sebagai penunjuk jalan untuk Abraha. Mereka mengirimkan seorang pria bernama Abu Righal untuk memandu pasukan Abraha. Namun, Abu Righal meninggal di tengah jalan, dan makamnya dilempari batu oleh orang Arab sebagai tanda kutukan atas pengkhianatannya.
Ketika pasukan Abraha tiba di lembah di luar Mekah, mereka mulai menjarah unta dan harta benda milik penduduk Mekah yang sedang menggembalakan ternak mereka di sekitar kota. Salah satu korbannya adalah Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang pada waktu itu adalah pemimpin suku Quraisy dan penjaga Ka'bah. Sebanyak 200 ekor unta milik Abdul Muthalib disita oleh pasukan Abraha.
Abdul Muthalib kemudian mendatangi kemah Abraha untuk bernegosiasi. Ketika Abraha melihat Abdul Muthalib, ia sangat terkesan dengan postur, karisma, dan kehormatan yang dipancarkan oleh pemimpin Quraisy itu. Abraha menghormati Abdul Muthalib dan memintanya duduk di sampingnya.
Dialog pun terjadi. Abraha bertanya, "Ada keperluan apa gerangan Tuan datang kemari?" Abdul Muthalib menjawab, "Saya datang untuk meminta Anda mengembalikan unta-unta saya yang telah disita oleh pasukan Anda."
Mendengar jawaban itu, Abraha terkejut dan sedikit kecewa. Ia berkata, "Ketika saya melihat Tuan, saya sangat kagum dan menghormati Tuan. Namun, setelah Tuan berbicara, rasa kagum saya terhadap Tuan sirna. Tuan datang hanya untuk meminta unta-unta Tuan, padahal saya datang untuk menghancurkan Rumah ibadah yang menjadi agama Tuan dan nenek moyang Tuan, yang menjadi kebanggaan Tuan dan bangsa Tuan. Tuan tidak berbicara sedikit pun tentang itu?"
Dengan tenang dan penuh keyakinan, Abdul Muthalib menjawab, "Saya adalah pemilik unta-unta itu, maka saya datang untuk mengambil unta-unta saya. Adapun Ka'bah itu, ia mempunyai Rabb (pemilik) yang akan melindunginya."
Jawaban Abdul Muthalib ini adalah puncak dari kearifannya dan bentuk tawakal yang sempurna kepada Allah SWT. Ia tidak mencoba melawan kekuatan Abraha yang jauh lebih besar dengan kekuatan fisik, karena ia tahu itu adalah hal yang sia-sia. Sebaliknya, ia menyatakan keyakinannya bahwa Ka'bah tidaklah tak berpemilik, dan ada kekuatan yang jauh lebih besar yang akan melindunginya.
Mendengar perkataan itu, Abraha semakin angkuh dan berkata, "Tidak ada yang bisa melindunginya dariku!" Abdul Muthalib hanya menjawab, "Itu urusanmu." Setelah itu, Abdul Muthalib pergi, kembali ke Mekah, memerintahkan penduduk Mekah untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar kota demi keselamatan mereka. Ia bersama beberapa tokoh Quraisy kemudian berdoa di dekat Ka'bah, memohon perlindungan Allah SWT.
Keesokan harinya, Abraha memerintahkan pasukannya untuk bergerak maju dan menghancurkan Ka'bah. Ia menempatkan gajah-gajahnya di barisan terdepan, khususnya gajah Mahmud, yang dianggap paling kuat dan terlatih. Namun, terjadilah keajaiban pertama yang mengejutkan.
Ketika gajah Mahmud diarahkan menuju Ka'bah, ia tiba-tiba berhenti dan menolak untuk bergerak maju. Para pawang gajah mencoba memukulinya, menusuknya, dan memaksanya bergerak, tetapi gajah itu tetap tidak mau beringsut ke arah Ka'bah. Anehnya, jika arahnya diubah ke arah lain (misalnya Yaman atau arah lain selain Ka'bah), gajah itu akan bergerak dengan patuh. Namun, begitu arahnya kembali dihadapkan ke Ka'bah, ia kembali mogok.
Peristiwa ini membuat pasukan Abraha kebingungan dan mulai cemas. Gajah Mahmud yang selama ini perkasa dan penurut, kini seolah memiliki kehendak sendiri yang menolak untuk berbuat kerusakan pada Rumah Allah. Ini adalah tanda awal bahwa ada kekuatan yang lebih besar sedang bekerja.
Di tengah kebingungan dan keputusasaan pasukan Abraha, datanglah tanda kekuasaan Allah yang paling menakjubkan. Dari arah laut, berbondong-bondong muncullah ribuan burung kecil yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh orang Arab. Burung-burung ini dikenal sebagai burung Ababil. Kata "Ababil" sendiri berarti "berkelompok-kelompok" atau "berbondong-bondong", menunjukkan jumlah mereka yang sangat banyak dan terorganisir.
Setiap burung Ababil membawa tiga butir batu kecil: satu di paruhnya dan dua di masing-masing kakinya. Batu-batu ini bukan batu biasa, melainkan batu Sijjil. Kata "Sijjil" diartikan sebagai "batu dari tanah yang terbakar" atau "batu yang keras dan panas". Ukuran batu-batu ini kecil, bahkan ada yang menyebutkan sebesar biji kacang atau kerikil kecil.
Dengan perintah Ilahi, burung-burung Ababil itu mulai menjatuhkan batu-batu Sijjil ke arah pasukan Abraha. Meskipun kecil, efek dari batu-batu ini sangat dahsyat. Setiap batu yang dijatuhkan mengenai seorang prajurit akan menembus tubuhnya, mulai dari kepala hingga keluar dari bagian bawah tubuh. Tubuh mereka menjadi hancur lebur seolah-olah dimakan ulat, meninggalkan lubang-lubang dan luka bakar yang mengerikan.
Pasukan Abraha yang tadinya perkasa dan angkuh kini dilanda kepanikan dan kehancuran massal. Mereka tidak dapat melawan serangan dari langit yang tidak terduga ini. Banyak dari mereka yang tewas seketika, dan yang selamat melarikan diri dalam keadaan luka parah, tubuh mereka membusuk, dan sebagian menderita penyakit cacar yang mematikan.
Abraha sendiri tidak luput dari azab Allah. Tubuhnya juga terkena lemparan batu Sijjil. Ia terkena penyakit parah di sekujur tubuhnya, dagingnya rontok dan membusuk sedikit demi sedikit. Ia berusaha melarikan diri kembali ke Yaman, namun ia terus melemah di sepanjang perjalanan. Menurut riwayat, jari-jari tangannya rontok satu per satu, kemudian jari-jari kakinya. Ketika akhirnya ia tiba di Sana'a dalam kondisi mengenaskan, tubuhnya telah menjadi seperti bangkai yang dimakan ulat, dan ia pun meninggal dunia dalam keadaan yang hina.
Dengan demikian, seluruh pasukan Abraha, yang datang dengan kesombongan dan niat jahat, hancur lebur. Tidak ada satu pun yang berhasil mencapai tujuan mereka. Ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas, yang mampu menghancurkan kekuatan terbesar sekalipun dengan makhluk-Nya yang paling kecil dan tak terduga.
Peristiwa kehancuran pasukan Abraha ini begitu monumental sehingga masyarakat Arab menjadikannya sebagai penanda tahun. Tahun terjadinya peristiwa ini dikenal sebagai "Amul Fil" atau Tahun Gajah. Ini adalah tahun yang sangat penting dalam sejarah Islam karena pada tahun yang sama, atau hanya beberapa waktu setelahnya, Nabi Muhammad SAW dilahirkan.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW di tahun yang sama dengan kehancuran pasukan Gajah bukanlah suatu kebetulan, melainkan takdir Ilahi yang menunjukkan betapa agungnya peristiwa tersebut. Ini adalah mukadimah ilahi, persiapan panggung untuk kedatangan Rasulullah sebagai pembawa risalah Islam. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dalam melindungi Rumah-Nya, dan pada saat yang sama, mengutus Rasul-Nya untuk membawa petunjuk ke seluruh umat manusia dari tempat yang sama.
Peristiwa ini juga memiliki makna profetik yang mendalam. Allah melindungi Ka'bah dari kehancuran fisik agar kelak dapat kembali menjadi pusat tauhid yang murni di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kehancuran Abraha dan pasukannya adalah sinyal bahwa era kegelapan akan segera berakhir, dan cahaya Islam akan segera menyinari Jazirah Arab dan seluruh dunia.
Surat Al-Fil, dengan lima ayatnya yang ringkas, menyampaikan narasi lengkap tentang peristiwa Tahun Gajah dan implikasinya. Mari kita telaah makna setiap ayatnya:
Terjemah: "Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
Tafsir: Ayat pembuka ini adalah pertanyaan retoris yang kuat. Kata "Tidakkah engkau memperhatikan" (أَلَمْ تَرَ) bukanlah pertanyaan yang mencari jawaban "ya" atau "tidak", melainkan sebuah penegasan. Ini berarti, "Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad dan setiap orang yang berakal) telah mengetahui dan menyaksikan, atau telah mendengar berita yang sangat mashhur (terkenal) tentang bagaimana Tuhanmu telah memperlakukan pasukan bergajah." Peristiwa ini begitu terkenal dan baru saja terjadi di Mekah, sehingga semua orang Arab tahu betul kisah ini. Allah ingin mengingatkan Nabi dan kaum Quraisy akan kekuatan-Nya dalam melindungi Ka'bah. Ini adalah teguran bagi orang-orang musyrik yang menolak kenabian Muhammad, padahal mereka tahu persis bagaimana Allah melindungi Ka'bah, sebuah peristiwa yang seharusnya membuat mereka merenungkan kekuasaan-Nya. Pertanyaan ini juga membangun rasa ingin tahu dan mengarahkan perhatian pada detail peristiwa yang akan diceritakan.
Terjemah: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?"
Tafsir: Ayat ini melanjutkan pertanyaan retoris pertama. "Bukankah Dia (Allah) telah menjadikan tipu daya mereka (pasukan Abraha) sia-sia?" Kata "kaid" (كَيْدَهُمْ) berarti tipu daya, rencana jahat, atau makar. Pasukan Abraha datang dengan rencana yang matang, pasukan yang besar, dan gajah-gajah yang perkasa, mereka yakin akan berhasil menghancurkan Ka'bah. Namun, Allah SWT dengan kekuasaan-Nya telah membuat seluruh rencana dan upaya mereka menjadi "tadlīl" (تَضْلِيلٍ) yaitu sia-sia, gagal total, bahkan berbalik menjadi kehancuran bagi mereka sendiri. Tidak ada satu pun rencana Abraha yang berhasil. Ini menunjukkan bahwa kekuatan manusia, sekecil apapun itu, tidak akan pernah bisa mengalahkan kehendak Allah. Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk kejahatan dan makar yang ditujukan untuk menghancurkan kebenaran pasti akan menemui kegagalan jika Allah tidak mengizinkannya.
Terjemah: "Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong."
Tafsir: Setelah menegaskan kegagalan rencana Abraha, ayat ini mulai menjelaskan bagaimana Allah menggagalkan rencana tersebut. Allah "mengirimkan kepada mereka" (وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ) yaitu pasukan Abraha, "burung yang berbondong-bondong" (طَيْرًا أَبَابِيلَ). Kata "ṭairan" (طَيْرًا) berarti burung, dan "Abābīl" (أَبَابِيلَ) adalah bentuk jamak yang tidak memiliki bentuk tunggal (isim jamak), yang menunjukkan arti "berkelompok-kelompok", "berduyun-duyun", atau "berbondong-bondong" dalam jumlah yang sangat banyak dan datang secara bergelombang. Para ahli tafsir menggambarkan burung-burung ini berukuran kecil, datang dari arah laut, membawa batu-batu kecil. Ini adalah salah satu keajaiban terbesar yang menunjukkan bahwa Allah dapat menggunakan makhluk-Nya yang paling lemah sekalipun untuk mengalahkan kekuatan yang paling perkasa. Kejutan dan ketidakpastian dari serangan burung-burung ini semakin menambah kengerian bagi pasukan Abraha.
Terjemah: "Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar."
Tafsir: Ayat ini menjelaskan aksi burung-burung Ababil. Mereka "melempari mereka" (تَرْمِيهِم) yaitu pasukan Abraha, "dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar" (بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ). Kata "Sijjil" (سِجِّيلٍ) adalah salah satu misteri Al-Quran yang menimbulkan banyak interpretasi. Beberapa ahli tafsir menafsirkannya sebagai batu yang berasal dari tanah liat yang dibakar hingga sangat keras dan panas. Ada juga yang mengartikannya sebagai batu dari neraka atau batu yang memiliki sifat membakar. Riwayat lain menyebutkan bahwa batu-batu itu memiliki efek seperti meteorit kecil yang panas dan mampu menembus tubuh. Yang jelas, batu-batu ini memiliki efek yang sangat dahsyat dan mematikan, jauh melebihi ukuran fisiknya. Daya hancurnya bukan berasal dari kekuatan fisik batu itu sendiri, melainkan dari kehendak Allah yang menyertainya.
Terjemah: "Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)."
Tafsir: Ayat terakhir ini menggambarkan hasil akhir dari serangan burung Ababil. Allah "menjadikan mereka" (فَجَعَلَهُمْ) yaitu seluruh pasukan Abraha, "seperti daun-daun yang dimakan (ulat)" (كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ). Kata "ʿaṣf" (عَصْفٍ) berarti daun-daun kering, jerami, atau sisa-sisa tanaman yang telah dipanen. "Ma'kūl" (مَّأْكُولٍ) berarti yang telah dimakan. Jadi, frase ini melukiskan gambaran kehancuran yang total dan menjijikkan. Tubuh-tubuh prajurit yang terkena batu Sijjil hancur berantakan, membusuk, dan menjadi seperti sampah tanaman yang telah dimakan dan dicerna oleh hewan, tidak ada lagi bentuk aslinya, tidak ada lagi kehormatan, hanya sisa-sisa yang tidak berguna. Ini adalah metafora yang sangat kuat untuk menggambarkan kehinaan dan kekalahan telak yang dialami oleh pasukan Abraha yang tadinya angkuh dan perkasa. Mereka hancur dan menjadi tidak berarti, menunjukkan bahwa kesombongan akan selalu berakhir dengan kehinaan.
Kisah Surat Al-Fil bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga lautan hikmah dan pelajaran berharga bagi umat manusia, baik di masa lalu, kini, maupun di masa mendatang.
Pelajaran paling mendasar dari Surat Al-Fil adalah penegasan mutlak akan Kekuasaan dan Perlindungan Allah SWT. Kisah ini dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menandingi kehendak Allah. Pasukan Abraha datang dengan persenjataan modern dan gajah-gajah perkasa, sebuah kekuatan yang tak tertandingi oleh bangsa Arab saat itu. Namun, Allah menghancurkan mereka bukan dengan kekuatan militer yang serupa, melainkan dengan cara yang tak terduga dan luar biasa: melalui makhluk-Nya yang paling kecil dan rapuh, yaitu burung Ababil dan batu Sijjil.
Ini adalah pengingat bahwa Allah adalah "Al-Qawiy" (Yang Maha Kuat) dan "Al-Aziz" (Yang Maha Perkasa). Dia mampu mewujudkan kehendak-Nya dengan cara apa pun yang Dia inginkan, tanpa terikat oleh hukum-hukum alam yang biasa. Bagi orang-orang beriman, ini adalah sumber keyakinan dan ketenangan, bahwa selama mereka berada di jalan Allah, Dia akan selalu menjadi pelindung terbaik.
Kisah ini juga secara spesifik menunjukkan perlindungan Allah terhadap Rumah-Nya yang suci, Ka'bah. Meskipun Ka'bah pada saat itu masih dipenuhi berhala, ia tetap merupakan bangunan pertama yang didirikan untuk menyembah Allah di muka bumi. Allah melindunginya karena hikmah-Nya yang lebih besar, yaitu untuk mempersiapkan fondasi bagi risalah Islam yang akan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Perlindungan Ka'bah ini adalah janji Allah bahwa tempat-tempat suci dan nilai-nilai kebenaran akan senantiasa dijaga dari tangan-tangan jahat, asalkan ada hamba-Nya yang bersedia berdiri teguh di atas kebenaran.
Abraha adalah simbol dari keangkuhan dan kesombongan manusia yang melampaui batas. Ia congkak dengan kekuatan militernya, kekuasaannya, dan kekayaan yang dimilikinya. Ia berani menantang rumah Allah dan mencoba menghancurkan sebuah simbol yang dihormati oleh banyak orang. Dalam Al-Quran, kisah Abraha ini adalah contoh klasik bagaimana Allah menghinakan dan menghancurkan setiap pihak yang berlaku sombong dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Kesombongan adalah penyakit hati yang merusak. Ia membutakan seseorang dari kebenaran dan membuatnya lupa akan keterbatasannya sebagai makhluk. Allah SWT sangat membenci orang-orang yang sombong. Surat Al-Fil mengajarkan bahwa tidak peduli seberapa besar kekuasaan, kekayaan, atau pengaruh yang dimiliki seseorang, di hadapan Allah, semua itu hanyalah debu. Kehancuran Abraha yang mengenaskan, di mana tubuhnya membusuk dan hancur seperti daun yang dimakan ulat, adalah gambaran yang mengerikan tentang konsekuensi kesombongan.
Meskipun pada masa Jahiliyah Ka'bah telah dicemari dengan berhala, Allah tetap melindunginya dari kehancuran total. Hal ini menegaskan kembali kedudukan Ka'bah sebagai "Baitullah" (Rumah Allah) yang memiliki nilai dan kehormatan yang tinggi di sisi-Nya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Ka'bah adalah sebuah mercusuar spiritual yang memiliki peran penting dalam sejarah kenabian dan akan terus menjadi pusat ibadah umat Islam sedunia.
Perlindungan Ilahi terhadap Ka'bah ini menjadi dasar bagi kaum Quraisy untuk merasa aman dan diberkahi, seperti yang dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Quraisy. Peristiwa Amul Fil adalah validasi ilahi atas kesucian Mekah dan Ka'bah, menegaskan bahwa tempat ini ditakdirkan untuk menjadi pusat dakwah Islam yang akan datang.
Peristiwa Amul Fil terjadi pada tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW atau sangat dekat dengannya. Ini bukanlah kebetulan. Allah SWT seolah ingin membersihkan "panggung" dari kejahatan dan mempersiapkan suasana bagi kedatangan Nabi terakhir. Kehancuran Abraha menjadi tanda awal sebuah era baru, di mana kebenaran akan ditegakkan dan kebatilan akan musnah.
Bagi orang-orang yang hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW, peristiwa Amul Fil masih segar dalam ingatan. Mereka adalah saksi mata atau setidaknya telah mendengar kisah ini dari generasi sebelumnya. Dengan demikian, ketika Nabi Muhammad mulai berdakwah, kisah ini menjadi bukti nyata kekuasaan Allah yang juga menjadi pendukung kenabiannya. Allah yang sama yang melindungi Ka'bah dari Abraha, kini mengutus seorang Nabi dari kabilah penjaga Ka'bah untuk membawa petunjuk-Nya. Ini adalah salah satu bukti irhas (pertanda kenabian) yang mengiringi kelahiran dan awal kenabian Muhammad SAW.
Bagi orang-orang beriman, Surat Al-Fil adalah sumber harapan dan motivasi. Ketika mereka menghadapi kesulitan, intimidasi, atau ancaman dari musuh-musuh Islam, kisah ini mengingatkan bahwa Allah selalu berada di pihak kebenaran dan akan memberikan pertolongan-Nya dengan cara yang tak terduga. Tawakal kepada Allah, seperti yang ditunjukkan oleh Abdul Muthalib, adalah kunci untuk mendapatkan pertolongan Ilahi.
Sebaliknya, bagi mereka yang berbuat zalim, angkuh, dan mencoba menghancurkan agama Allah atau menindas hamba-hamba-Nya, kisah ini adalah peringatan keras. Kekuatan mereka tidak akan pernah cukup untuk mengalahkan kehendak Allah. Akhir yang tragis dari pasukan Abraha seharusnya menjadi pelajaran bagi setiap generasi yang mencoba melawan kebenaran dengan kesombongan.
Peristiwa kehancuran pasukan Gajah adalah mukjizat yang jelas. Burung-burung kecil yang menjatuhkan batu-batu kecil dapat menghancurkan pasukan militer terbesar pada masanya adalah sesuatu yang berada di luar nalar dan logika manusia biasa. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak terikat oleh hukum-hukum sebab-akibat yang kita pahami. Dia mampu menciptakan sebab-sebab baru dan menggunakan cara-cara yang paling tidak terduga untuk mewujudkan kehendak-Nya.
Kisah ini mengajarkan kepada kita untuk tidak membatasi kekuasaan Allah dengan pemikiran rasional semata. Ada hal-hal di alam semesta ini yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia, dan itulah di mana keajaiban Allah bersemayam. Kepercayaan pada mukjizat adalah bagian dari iman, dan Surat Al-Fil adalah salah satu contoh nyatanya.
Sikap Abdul Muthalib yang menyerahkan urusan Ka'bah kepada Rabb-nya setelah meminta untanya kembali adalah contoh tawakal yang sempurna. Ia tidak menantang Abraha secara fisik karena tahu itu adalah kesia-siaan. Ia memilih untuk memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Doa Abdul Muthalib dan kaum Quraisy di dekat Ka'bah adalah manifestasi iman mereka.
Ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam menghadapi kekuatan yang lebih besar dan ancaman yang tak terhindarkan, senjata paling ampuh bagi seorang mukmin adalah tawakal dan doa. Menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha semampu kita adalah inti dari iman. Allah akan memberikan jalan keluar dari tempat yang tidak disangka-sangka.
Meskipun kisah Surat Al-Fil terjadi ribuan tahun yang lalu, relevansinya tidak luntur. Di zaman modern ini, kita masih menyaksikan berbagai bentuk kesombongan dan keangkuhan. Ada negara adidaya yang merasa tak terkalahkan, individu yang merasa kebal hukum, atau ideologi yang mencoba mendominasi dan menghancurkan nilai-nilai kebenaran.
Surat Al-Fil mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, semua bentuk kesombongan dan kezaliman akan menghadapi konsekuensinya. Kekuatan sejati hanya milik Allah. Manusia, sehebat apapun ia, adalah makhluk yang lemah. Hikmah dari Surat Al-Fil adalah pengingat abadi bahwa keadilan Ilahi akan selalu ditegakkan, dan pertolongan Allah akan senantiasa datang bagi mereka yang beriman dan bertawakal.
Selain itu, kisah ini juga mengajarkan pentingnya menjaga kesucian tempat-tempat ibadah dan simbol-simbol agama. Setiap upaya untuk merusak atau menodai tempat-tempat suci adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan berpotensi mengundang murka Ilahi.
Al-Quran sering kali menceritakan kisah-kisah umat terdahulu bukan hanya sebagai penambah wawasan, tetapi sebagai sarana pendidikan spiritual. Kisah pasukan Gajah adalah contoh nyata bagaimana sejarah dapat menjadi cermin bagi kita untuk melihat konsekuensi perbuatan baik dan buruk.
Dengan mempelajari kisah ini, kita diajak untuk merenungkan kebesaran Allah, mengambil pelajaran dari kesalahan orang lain, dan memperkuat iman kita. Sejarah adalah guru terbaik, dan Al-Quran menyajikannya dengan cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran dan ketakwaan dalam diri setiap muslim.
Sebagaimana telah disebutkan, Surat Al-Fil sangat erat kaitannya dengan Surat Quraisy yang mengikutinya. Peristiwa kehancuran pasukan Gajah memberikan keamanan dan kedamaian bagi suku Quraisy, memungkinkan mereka untuk melakukan perjalanan dagang dengan aman di musim dingin dan musim panas. Ini adalah nikmat Allah yang besar kepada suku Quraisy, yang kemudian diperintahkan untuk menyembah Rabb pemilik Ka'bah yang telah memberi mereka makan dan keamanan.
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa perlindungan Ka'bah dalam Surat Al-Fil adalah prasyarat bagi kemakmuran Quraisy dalam Surat Quraisy, dan ini pada gilirannya menyiapkan panggung bagi kelahiran dan dakwah Nabi Muhammad SAW dari suku tersebut. Ini adalah contoh indah dari koherensi dan perencanaan Ilahi dalam Al-Quran.
Surat Al-Fil, dengan kisahnya yang epik tentang pasukan Gajah dan burung Ababil, adalah salah satu surat terpendek namun paling monumental dalam Al-Quran. Ia berfungsi sebagai pengingat abadi akan kekuasaan tak terbatas Allah SWT, perlindungan-Nya terhadap Rumah-Nya yang suci, dan kehancuran yang pasti menimpa kesombongan dan keangkuhan manusia.
Terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, peristiwa Amul Fil bukan hanya sebuah catatan sejarah, melainkan juga sebuah mukadimah ilahi yang mempersiapkan panggung bagi risalah Islam. Pelajaran-pelajaran dari Surat Al-Fil — tentang keesaan Allah, kehinaan kesombongan, pentingnya tawakal, dan kekuatan doa — tetap relevan dan tak lekang oleh waktu, menjadi lentera bagi umat manusia di setiap zaman untuk senantiasa merenungkan kebesaran Sang Pencipta dan menjaga diri dari segala bentuk kezaliman dan kesombongan.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari setiap ayat dan kisah yang terkandung dalam Al-Quran, termasuk Surat Al-Fil, untuk memperkuat iman kita dan membimbing langkah-langkah kita menuju keridaan Allah SWT.