Pendahuluan: Gerbang Doa yang Paling Agung
Surah Al-Fatihah, yang juga dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab), As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), dan Al-Hamd (Pujian), adalah permata Al-Quran yang tak ternilai harganya. Ia bukan sekadar pembuka mushaf, melainkan inti sari dari seluruh ajaran Islam, sebuah peta jalan spiritual yang memandu setiap Muslim. Setiap kata, setiap frasa, dan setiap ayat dalam Al-Fatihah sarat dengan makna dan hikmah yang mendalam, membentuk sebuah permohonan yang sempurna kepada Sang Pencipta.
Dari tujuh ayatnya yang agung, perhatian kita seringkali terfokus pada bagian awalnya yang merupakan pujian kepada Allah SWT, atau bagian tengahnya yang merupakan pengakuan keesaan-Nya dan permohonan hidayah kepada-Nya. Namun, ayat terakhir dari surah ini, yang merupakan puncak dari permohonan tersebut, seringkali luput dari perenungan yang mendalam. Ayat terakhir ini bukan sekadar penutup, melainkan sebuah doa yang sangat spesifik, melindungi hamba dari berbagai bentuk kesesatan dan penyimpangan, serta mengukuhkan posisinya di jalan yang lurus.
Artikel ini akan membawa kita pada sebuah perjalanan panjang untuk menyelami makna hakiki dari ayat terakhir Surah Al-Fatihah. Kita akan mengupas tuntas setiap frasa, menelusuri tafsir para ulama, memahami konteks historis dan spiritualnya, serta merenungkan implikasinya dalam kehidupan seorang Muslim. Lebih dari itu, kita akan menjelajahi keutamaan dan fadhilah yang terkandung di dalamnya, mengapa doa ini menjadi begitu vital dalam setiap rakaat salat kita, dan bagaimana ia membentuk landasan spiritual yang kokoh bagi seorang mukmin. Dengan memahami ayat ini secara utuh, diharapkan kita dapat menunaikan salat dengan kekhusyukan yang lebih dalam dan menjadikan setiap permohonan kita lebih bermakna di hadapan Allah SWT.
Ayat Terakhir Al-Fatihah: Lafaz, Transliterasi, dan Terjemahan
Untuk memulai perjalanan spiritual kita, marilah kita simak terlebih dahulu lafaz ayat terakhir Surah Al-Fatihah, beserta transliterasi dan terjemahannya:
Ayat ini adalah kelanjutan dari permohonan di ayat sebelumnya: "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Setelah memohon petunjuk ke jalan yang lurus, seorang hamba kemudian bertanya, "Jalan yang lurus itu yang bagaimana, ya Allah?" Maka, Allah SWT menjawabnya melalui ayat terakhir ini, dengan menjelaskan karakteristik jalan yang lurus tersebut: yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan nikmat oleh-Nya, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai, apalagi jalan orang-orang yang sesat.
Membedah Makna Setiap Frasa dalam Ayat Terakhir
Ayat terakhir Al-Fatihah ini, meskipun singkat, mengandung esensi doa yang sangat mendalam dan petunjuk yang luar biasa bagi umat manusia. Mari kita bedah setiap frasanya untuk memahami hakikatnya secara lebih terperinci.
1. "Shirathal ladhina an'amta 'alayhim" (Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka)
Frasa ini adalah identifikasi positif dari shiratal mustaqim (jalan yang lurus). Ia menjelaskan bahwa jalan yang kita mohon kepada Allah adalah jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang diberikan nikmat oleh-Nya. Namun, siapa sajakah "orang-orang yang telah Engkau beri nikmat" ini?
Siapa Mereka yang Diberi Nikmat?
Al-Quran sendiri memberikan penjelasan yang gamblang mengenai identitas mereka dalam Surah An-Nisa ayat 69:
"Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman." (Q.S. An-Nisa: 69)
Dari ayat ini, kita mengetahui bahwa ada empat golongan utama yang telah diberikan nikmat oleh Allah SWT:
-
Para Nabi (An-Nabiyyin): Mereka adalah utusan Allah yang membawa risalah dan petunjuk bagi umat manusia. Mereka adalah teladan sempurna dalam ketaatan, kesabaran, kejujuran, dan keteguhan iman. Hidup mereka didedikasikan sepenuhnya untuk menyeru kepada kebenaran, menghadapi berbagai cobaan dan rintangan dengan ketabahan luar biasa. Mengikuti jejak mereka berarti meneladani akhlak, syariat, dan cara hidup yang telah mereka contohkan, serta meyakini semua ajaran yang mereka sampaikan dari Allah.
Menyelami kehidupan para nabi, seperti Nabi Adam yang bertaubat, Nabi Nuh yang sabar berdakwah ribuan tahun, Nabi Ibrahim yang teguh menghadapi api dan mengorbankan putranya, Nabi Musa yang memimpin Bani Israil keluar dari tirani Firaun, Nabi Isa yang membawa kasih sayang, hingga Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi yang menyempurnakan risalah, adalah upaya untuk memahami makna nikmat sejati. Nikmat yang Allah berikan kepada mereka bukanlah kekayaan atau kekuasaan duniawi semata, melainkan nikmat hidayah, kenabian, dan taufiq untuk senantiasa berjalan di jalan yang benar dan menjadi mercusuar bagi umat manusia.
Doa "Shirathal ladhina an'amta 'alayhim" adalah permohonan agar kita diberikan kekuatan dan bimbingan untuk mengikuti jejak langkah mereka, mengambil inspirasi dari perjuangan mereka, dan menjadikan mereka sebagai standar moral dan spiritual dalam hidup kita. Ini bukan berarti kita bisa menjadi nabi, tetapi kita bisa meniru keteguhan iman, ketaqwaan, dan dedikasi mereka dalam beribadah dan berdakwah sesuai dengan kapasitas kita sebagai umat.
-
Para Shiddiqin (As-Shiddiqin): Golongan ini adalah orang-orang yang sangat jujur, membenarkan sepenuhnya risalah para nabi, dan tidak sedikit pun ragu terhadap kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka memiliki keimanan yang kokoh, kejujuran yang tak tergoyahkan dalam ucapan dan perbuatan, serta konsisten dalam menjalankan perintah Allah. Contoh paling agung dari golongan ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad SAW, yang selalu membenarkan apapun yang disampaikan Rasulullah, bahkan ketika orang lain meragukannya.
Kejujuran seorang shiddiqin melampaui sekadar mengatakan kebenaran. Ini adalah kejujuran hati, pikiran, dan tindakan yang selaras dengan keimanan. Mereka adalah individu yang memiliki integritas tinggi, di mana batin dan lahiriahnya sejalan dalam ketaatan kepada Allah. Mereka adalah pilar-pilar kebenaran dalam masyarakat, yang menjaga standar moral dan etika agama. Memohon jalan para shiddiqin berarti memohon agar kita diberikan keimanan yang teguh, keyakinan yang bulat, dan kejujuran yang hakiki dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kita tidak mudah terombang-ambing oleh keraguan atau godaan duniawi.
Jalan shiddiqin adalah jalan mereka yang mengamalkan apa yang mereka yakini, bukan sekadar teori tanpa praktik. Mereka adalah saksi hidup atas kebenaran Islam, menunjukkan dengan perilaku mereka bahwa ajaran Islam adalah praktis, relevan, dan membawa kebaikan sejati. Dengan demikian, permohonan ini adalah aspirasi untuk mencapai tingkat keimanan yang matang, di mana kebenaran bukan hanya diakui oleh lisan, tetapi meresap hingga ke lubuk hati dan terwujud dalam setiap gerak-gerik kehidupan.
-
Para Syuhada (As-Syuhada): Secara harfiah berarti "saksi", golongan ini adalah mereka yang bersaksi dengan nyawa mereka atas kebenaran Islam. Mereka adalah para pejuang yang gugur di medan jihad fi sabilillah, atau mereka yang wafat dalam keadaan mulia karena membela agama, keluarga, harta, atau kehormatan. Namun, makna syuhada juga dapat meluas kepada orang-orang yang menyaksikan kebenaran dan teguh mempertahankannya, bahkan dengan menghadapi kesulitan dan ancaman.
Pengorbanan syuhada adalah puncak dari kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka memilih kehidupan akhirat yang kekal di atas kenikmatan dunia yang fana. Jalan mereka adalah jalan keberanian, keteguhan, dan pengorbanan tanpa batas demi tegaknya agama Allah. Memohon jalan para syuhada berarti memohon agar kita diberikan semangat perjuangan, keberanian dalam menegakkan kebenaran, kesiapan berkorban, dan keteguhan dalam menghadapi cobaan demi agama Allah. Ini juga berarti memohon agar kita dihidupkan dengan kemuliaan dan dimatikan dalam keadaan husnul khatimah.
Tidak semua Muslim dipanggil untuk gugur di medan perang, tetapi setiap Muslim dipanggil untuk menjadi "syahid" (saksi) atas kebenaran Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini bisa berarti berjuang melawan hawa nafsu, bersabar dalam menghadapi ujian, atau menyuarakan kebenaran di tengah kebatilan. Doa ini adalah pengingat bahwa jalan yang lurus membutuhkan pengorbanan, baik berupa harta, waktu, tenaga, bahkan nyawa, demi mempertahankan iman dan prinsip-prinsip Islam.
-
Orang-orang Saleh (As-Shalihin): Ini adalah golongan luas yang mencakup setiap Muslim yang beriman kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa berbuat kebajikan. Mereka adalah hamba Allah yang istiqamah dalam ibadah, baik dalam shalat, puasa, zakat, maupun interaksi sosial. Mereka memiliki akhlak mulia, suka menolong sesama, dan selalu berusaha memperbaiki diri.
Orang-orang saleh adalah fondasi masyarakat Islam yang kuat. Mereka mungkin bukan nabi, bukan syuhada dalam arti harfiah, dan mungkin tidak mencapai derajat shiddiqin seperti Abu Bakar, namun mereka adalah teladan dalam kesalehan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang dengan tulus berusaha menaati Allah dalam segala aspek hidup mereka, baik dalam pekerjaan, keluarga, maupun masyarakat. Jalan mereka adalah jalan ketaatan yang konsisten, kesabaran, ketakwaan, dan amal shalih yang berkesinambungan.
Memohon jalan orang-orang saleh berarti memohon agar kita diberikan taufiq untuk senantiasa beramal shalih, menjauhkan diri dari dosa, dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Doa ini adalah pengakuan bahwa tujuan hidup kita adalah mencapai kesalehan, yaitu menjalani kehidupan yang diridhai Allah SWT. Ini adalah permohonan untuk diberikan kekuatan agar mampu menjaga diri dari godaan dunia dan tetap berada di jalur kebaikan, mengikuti sunah Rasulullah SAW dan meneladani para pendahulu yang shalih.
Dengan demikian, ketika kita mengucapkan "Shirathal ladhina an'amta 'alayhim", kita tidak hanya memohon untuk berada di jalan yang benar, tetapi kita secara spesifik memohon untuk menapaki jejak langkah para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Kita memohon agar Allah membimbing kita menuju nikmat sejati, yaitu nikmat iman, hidayah, taufiq, dan keistiqamahan dalam menjalankan agama-Nya.
Nikmat yang dimaksud di sini bukanlah kekayaan duniawi atau jabatan. Nikmat sejati adalah nikmat iman, hidayah, taufiq untuk beramal shalih, dan keridhaan Allah. Orang yang paling kaya di dunia sekalipun, jika tanpa iman dan hidayah, adalah orang yang merugi. Sebaliknya, orang yang sederhana hidupnya, namun teguh imannya dan istiqamah dalam ketaatan, dialah yang sesungguhnya telah diberikan nikmat yang agung.
2. "Ghayril maghdhubi 'alayhim" (Bukan jalan mereka yang dimurkai)
Setelah mengidentifikasi jalan yang benar secara positif, ayat ini kemudian memberikan identifikasi negatif, yaitu menjelaskan jalan yang harus dihindari. Frasa ini merupakan permohonan perlindungan dari menempuh jalan yang mengundang kemurkaan Allah SWT.
Siapa Mereka yang Dimurkai?
Dalam tafsir-tafsir Al-Quran, mayoritas ulama menafsirkan "mereka yang dimurkai" ini sebagai kaum Yahudi. Penafsiran ini didasarkan pada banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi SAW yang menggambarkan sifat-sifat kaum Yahudi pada masa kenabian, yaitu mereka yang diberikan ilmu pengetahuan (kitab Taurat dan petunjuk para nabi), namun menolak untuk mengamalkannya, bahkan mendustakan dan membunuh para nabi, serta ingkar janji. Mereka mengetahui kebenaran, namun sengaja membelakangi dan menentangnya karena kesombongan, kedengkian, dan kecintaan pada dunia.
"...maka mereka ditimpa kemurkaan dari Allah dan ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kemiskinan. Yang demikian itu, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu, karena mereka durhaka dan melampaui batas." (Q.S. Al-Baqarah: 61)
Ayat ini dengan jelas menunjukkan alasan mengapa mereka dimurkai: mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh nabi, durhaka, dan melampaui batas. Ini bukan sekadar permasalahan etnis atau ras, melainkan sebuah prototipe perilaku manusia. Sikap yang mengundang kemurkaan Allah adalah:
-
Ilmu tanpa Amal: Mengetahui kebenaran, namun enggan mengamalkannya. Bahkan lebih parah, menolak dan menentang kebenaran tersebut. Mereka memiliki petunjuk, tetapi tidak mau mengikutinya.
Inilah puncak dari kesombongan dan pembangkangan. Seorang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya, apalagi menentangnya, ibarat pohon yang tidak berbuah, atau lebih buruk lagi, pohon yang beracun. Ilmu yang seharusnya menjadi penerang justru menjadi beban dan hujjah yang memberatkan mereka di hadapan Allah. Mereka mengetahui jalan yang benar, namun memilih untuk menyimpang, bahkan mengajak orang lain menyimpang bersamanya. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilmu dan petunjuk ilahi.
Dalam konteks kehidupan modern, perilaku "ilmu tanpa amal" ini bisa dilihat pada orang-orang yang memahami syariat Islam, namun tidak menjalankannya karena alasan duniawi, rasa malu, atau kesombongan. Mereka tahu mana yang halal dan haram, mana yang benar dan salah, namun tetap memilih jalan yang dilarang. Ini adalah pengingat keras bagi setiap Muslim untuk senantiasa mengamalkan ilmunya, betapapun kecilnya, dan menghindari menjadi golongan yang dimurkai karena menolak kebenaran yang telah mereka ketahui.
-
Kesombongan dan Kedengkian: Enggan menerima kebenaran karena merasa lebih tinggi, atau karena dengki terhadap orang yang membawa kebenaran tersebut (misalnya, dengki kepada Nabi Muhammad SAW).
Kesombongan adalah sifat Iblis yang pertama kali membangkang perintah Allah. Ia merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Demikian pula, kaum yang dimurkai seringkali didorong oleh rasa superioritas etnis atau agama, yang membuat mereka enggan menerima risalah kenabian dari bangsa lain atau dari individu yang mereka anggap rendah. Kedengkian adalah penyakit hati yang membakar amal kebaikan dan meracuni hubungan antar sesama.
Dalam diri seorang Muslim, sifat kesombongan dan kedengkian ini harus dihindari dengan sekuat tenaga. Kesombongan menghalangi masuknya hidayah dan membuat seseorang sulit menerima nasihat. Kedengkian membuat hati tidak tenteram dan mendorong pada perbuatan buruk. Doa ini adalah permohonan agar Allah menjauhkan kita dari penyakit hati ini, yang dapat menjerumuskan kita ke dalam golongan yang dimurkai, bahkan jika kita memiliki banyak ilmu dan potensi kebaikan.
-
Pembangkangan Terhadap Perintah Allah: Meskipun mengetahui perintah dan larangan Allah, mereka tetap melanggarnya secara sengaja dan terus-menerus.
Ini adalah manifestasi dari penolakan terhadap otoritas ilahi. Allah telah menetapkan batasan-batasan dan hukum-hukum untuk kebaikan manusia, namun golongan ini memilih untuk melampaui batas tersebut, menentang perintah, dan melanggar larangan. Pembangkangan ini bisa bermula dari ketidakpedulian, kemudian berlanjut menjadi penolakan, dan akhirnya menjadi permusuhan terhadap kebenaran.
Pelajaran penting bagi kita adalah untuk senantiasa taat pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, meskipun terkadang terasa berat atau bertentangan dengan keinginan hawa nafsu. Ketaatan adalah kunci keridhaan Allah, sementara pembangkangan adalah jalan menuju kemurkaan-Nya. Doa ini mengingatkan kita untuk selalu berada dalam koridor ketaatan, menghindari segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran yang disengaja.
Ketika kita memohon "Ghayril maghdhubi 'alayhim", kita sesungguhnya memohon agar Allah menjauhkan kita dari sifat-sifat dan perilaku yang menyebabkan kemurkaan-Nya. Kita memohon agar diberikan taufiq untuk senantiasa mengamalkan ilmu yang kita miliki, menjauhi kesombongan dan kedengkian, serta taat sepenuhnya kepada perintah-perintah-Nya.
3. "Waladhdhallin" (Dan bukan pula jalan mereka yang sesat)
Frasa ketiga ini adalah identifikasi negatif kedua, yang melengkapi permohonan perlindungan dari jalan yang menyimpang. Ia memohon agar kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat.
Siapa Mereka yang Sesat?
Sebagian besar ulama tafsir menafsirkan "mereka yang sesat" ini sebagai kaum Nasrani (Kristen). Penafsiran ini juga didasarkan pada banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi SAW yang menggambarkan kaum Nasrani sebagai orang-orang yang memiliki semangat beragama yang tinggi, namun tanpa dasar ilmu yang kuat, sehingga jatuh ke dalam kesesatan akidah, seperti menuhankan Nabi Isa AS, mempercayai konsep trinitas, atau berlebihan dalam memuliakan orang-orang suci.
Katakanlah (Muhammad), "Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan banyak (pula) menyesatkan (manusia) serta mereka sendiri telah tersesat dari jalan yang lurus." (Q.S. Al-Ma'idah: 77)
Ayat ini menjelaskan inti kesesatan mereka: berlebih-lebihan dalam agama tanpa dasar ilmu yang benar. Sikap yang mengundang kesesatan adalah:
-
Amal tanpa Ilmu: Beribadah dan beramal dengan penuh semangat, namun tanpa didasari oleh ilmu yang benar tentang agama. Mereka mungkin tulus dalam niatnya, tetapi praktik mereka menyimpang dari ajaran yang murni.
Ini adalah kebalikan dari golongan yang dimurkai. Jika golongan yang dimurkai memiliki ilmu tetapi tidak beramal, golongan yang sesat ini beramal tanpa ilmu yang cukup. Mereka rajin beribadah, melakukan ritual-ritual keagamaan, bahkan mungkin melakukan pengorbanan besar, namun karena fondasi ilmunya rapuh, mereka terjerumus ke dalam kesyirikan, bid'ah, atau praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Kesesatan ini seringkali muncul dari ketulusan yang salah tempat, gairah beragama yang tidak terkontrol oleh wahyu, atau mengikuti tradisi nenek moyang tanpa verifikasi ilmiah.
Dalam konteks Islam, ini bisa berarti mengikuti amalan-amalan bid'ah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi SAW, atau beribadah dengan cara-cara yang dibuat-buat, bahkan sampai pada tingkat menyekutukan Allah tanpa menyadarinya. Doa ini adalah permohonan agar Allah membimbing kita untuk senantiasa mencari ilmu yang benar, agar setiap amal ibadah kita didasari oleh dalil yang shahih dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga tidak terjerumus ke dalam kesesatan karena kebodohan atau salah pemahaman.
-
Ghuluw (Berlebih-lebihan dalam Beragama): Mengkultuskan tokoh-tokoh agama, memberikan sifat ketuhanan kepada makhluk, atau membuat-buat ajaran yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Ghuluw adalah akar dari banyak kesesatan akidah. Ini terjadi ketika kecintaan atau penghormatan terhadap seseorang atau sesuatu melampaui batas yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya, menganggap seorang nabi sebagai Tuhan, atau memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada wali atau ulama. Ghuluw juga bisa dalam bentuk mempersulit agama yang telah Allah mudahkan, atau menambah-nambah ritual yang tidak pernah diajarkan.
Penting bagi seorang Muslim untuk menghindari ghuluw. Agama Islam adalah agama yang moderat, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan. Semua ibadah dan keyakinan harus berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah, bukan pada perasaan, hawa nafsu, atau taklid buta. Doa ini adalah tameng agar kita terhindar dari ekstremisme dalam beragama, baik berupa pengkultusan individu maupun penambahan ajaran yang tidak ada sumbernya.
-
Mengikuti Hawa Nafsu dan Leluhur Tanpa Dalil: Mengikuti tradisi atau ajaran nenek moyang tanpa memverifikasi kebenarannya dengan dalil syar'i.
Banyak kesesatan terjadi karena seseorang lebih memilih mengikuti jejak para pendahulu atau tokoh yang ia hormati, meskipun bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Kecintaan yang berlebihan atau rasa hormat yang taklid buta bisa menjadi penghalang untuk menerima kebenaran. Hawa nafsu juga memainkan peran besar; seseorang mungkin enggan meninggalkan praktik yang nyaman atau populer, meskipun jelas-jelas menyimpang.
Doa "Waladhdhallin" adalah permohonan agar Allah memberikan kita kekuatan untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi yang salah dan hawa nafsu yang menyesatkan. Ia mendorong kita untuk selalu merujuk kepada sumber-sumber hukum Islam yang otentik (Al-Quran dan Sunnah) sebagai satu-satunya panduan dalam beragama, dan tidak gentar untuk meninggalkan apa yang bertentangan dengannya, meskipun itu berarti berbeda dari mayoritas atau tradisi yang telah lama ada.
Dengan mengucapkan "Waladhdhallin", kita memohon agar Allah melindungi kita dari segala bentuk kesesatan akidah dan syariat yang muncul dari kebodohan atau berlebih-lebihan dalam beragama. Kita memohon agar diberikan hikmah untuk senantiasa mencari ilmu yang benar dan beramal sesuai tuntunan-Nya.
Apakah Hanya Merujuk pada Yahudi dan Nasrani?
Penting untuk dicatat bahwa meskipun tafsir populer dan kuat merujuk "yang dimurkai" kepada Yahudi dan "yang sesat" kepada Nasrani, makna ayat ini tidaklah terbatas pada dua kelompok agama tersebut. Para ulama juga menjelaskan bahwa ini adalah prototipe dari dua jenis penyimpangan dasar manusia:
- Yang dimurkai: Setiap orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengamalkannya, bahkan menentangnya. Ini adalah kesalahan dalam amal, akibat dari kesombongan atau kedengkian.
- Yang sesat: Setiap orang yang beramal dengan sungguh-sungguh tetapi tanpa dasar ilmu yang benar, sehingga amalannya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Ini adalah kesalahan dalam ilmu, akibat dari kebodohan atau berlebih-lebihan.
Dalam setiap diri Muslim, ada potensi untuk jatuh ke dalam salah satu atau kedua kategori ini. Oleh karena itu, doa ini adalah permohonan yang relevan bagi setiap individu, setiap saat, untuk senantiasa membimbingnya agar tetap berada di tengah-tengah (moderat), tidak berlebihan dan tidak pula meremehkan, berilmu dan beramal sesuai ilmu tersebut.
Kedalaman Makna dan Hakikat Doa dalam Ayat Terakhir Al-Fatihah
Ayat terakhir Al-Fatihah bukan sekadar rangkaian kata-kata, melainkan sebuah manifestasi dari pemahaman mendalam tentang hakikat manusia dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Ia adalah puncak dari permohonan hamba yang telah mengakui keesaan dan kekuasaan Allah, memuji-Nya, dan hanya kepada-Nya ia memohon pertolongan.
1. Doa yang Komprehensif dan Lengkap
Ketika kita merenungi ayat ini, kita akan menyadari betapa komprehensifnya permohonan yang terkandung di dalamnya. Setelah memohon Shiratal Mustaqim, Allah tidak hanya mendefinisikannya secara positif, tetapi juga secara negatif. Ini menunjukkan bahwa jalan menuju kebenaran bukan hanya tentang mengikuti yang benar, tetapi juga tentang menghindari yang salah. Dua kutub penyimpangan utama —kesalahan karena ilmu yang tidak diamalkan (kemurkaan) dan kesalahan karena amal tanpa ilmu (kesesatan)—secara elegan disebutkan, memberikan gambaran utuh tentang apa yang harus dihindari.
Doa ini adalah pengakuan atas kompleksitas perjalanan hidup seorang Muslim. Ia memerlukan bimbingan yang jelas untuk mengetahui jalan para anbiya, shiddiqin, syuhada, dan shalihin, sekaligus memerlukan perlindungan dari segala bentuk penyimpangan yang bisa terjadi. Dengan demikian, ayat ini menjadi doa penjaga yang melindungi hamba dari bahaya ekstremisme (ghuluw) maupun kelalaian (tafrith), yang keduanya sama-sama dapat menjauhkan seseorang dari keridhaan Allah.
2. Inti Tauhid dan Pengakuan Keterbatasan Diri
Permohonan ini, seperti halnya seluruh Surah Al-Fatihah, adalah manifestasi murni dari tauhid. Hanya kepada Allah SWT, hamba memohon petunjuk. Tidak ada perantara, tidak ada kekuatan lain yang dapat memberikan hidayah dan perlindungan dari kesesatan. Ini adalah pengakuan mutlak atas kelemahan dan keterbatasan diri manusia. Seorang hamba tidak dapat menemukan jalan yang lurus atau menghindar dari penyimpangan tanpa pertolongan dan bimbingan langsung dari Allah.
Ketika kita mengucapkan "Shiratal ladhina an'amta 'alayhim", kita mengakui bahwa nikmat sejati adalah dari Allah. Ketika kita mengatakan "Ghayril maghdhubi 'alayhim waladhdhallin", kita mengakui bahwa murka dan kesesatan juga dalam kuasa-Nya untuk diberikan atau dijauhkan. Semua aspek hidayah, perlindungan, dan petunjuk sepenuhnya berada di tangan Allah. Ini mengukuhkan konsep ketergantungan total seorang hamba kepada Rabb-nya, menjauhkan segala bentuk syirik dan keangkuhan.
3. Konsep Istiqamah: Konsistensi di Jalan yang Benar
Doa ini juga merupakan permohonan untuk istiqamah, yaitu keteguhan dan konsistensi di jalan yang lurus. Jalan yang lurus bukanlah sesuatu yang statis; ia membutuhkan usaha berkelanjutan untuk dipertahankan. Setiap hari, setiap saat, seorang Muslim dihadapkan pada pilihan, godaan, dan tantangan yang dapat menggesernya dari jalan yang benar. Oleh karena itu, permohonan "Shiratal ladhina an'amta 'alayhim, ghayril maghdhubi 'alayhim waladhdhallin" adalah doa agar Allah senantiasa meneguhkan langkah, menjaga hati, dan membimbing pikiran agar tetap berada di jalur yang diridhai-Nya.
Istiqamah bukanlah tanpa ujian. Justru dalam menghadapi ujian dan cobaan, istiqamah seorang hamba diuji. Doa ini menjadi sumber kekuatan, harapan, dan pengingat bahwa dengan pertolongan Allah, kita dapat terus melangkah maju di jalan kebaikan, menghindari kemurkaan dan kesesatan, hingga akhir hayat.
4. Perlindungan dari Dua Ekstrem Penyimpangan
Ayat terakhir Al-Fatihah secara cerdik melindungi kita dari dua bentuk penyimpangan yang paling umum dalam sejarah manusia dan juga dalam kehidupan individu:
- Ekstremisme Pengetahuan (Ilmu tanpa Amal): Ini adalah bahaya dari mengetahui kebenaran namun tidak mengamalkannya, bahkan menentangnya. Seringkali ini berakar pada kesombongan intelektual, kedengkian, atau ketakutan akan kehilangan status duniawi. Mereka memiliki mata tetapi tidak melihat, memiliki telinga tetapi tidak mendengar, dan memiliki hati tetapi tidak memahami. Doa ini menjauhkan kita dari sikap munafik atau penolakan terang-terangan terhadap kebenaran yang telah kita ketahui.
- Ekstremisme Amal (Amal tanpa Ilmu): Ini adalah bahaya dari melakukan sesuatu dengan niat baik tetapi tanpa dasar ilmu yang benar, sehingga jatuh ke dalam kesesatan. Ini bisa terjadi karena kebodohan, taklid buta, atau berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw). Mereka memiliki semangat tetapi tidak memiliki petunjuk yang benar. Doa ini membimbing kita untuk selalu mencari ilmu sebelum beramal, agar setiap tindakan ibadah kita diterima oleh Allah dan tidak menjadi sia-sia.
Islam adalah agama yang mengajarkan jalan tengah, moderasi. Ayat ini menjadi fondasi bagi prinsip tersebut, mengajarkan kita untuk tidak terlalu keras hingga melampaui batas (seperti orang yang sesat), dan tidak pula terlalu longgar hingga mengabaikan perintah (seperti orang yang dimurkai). Ini adalah keseimbangan yang sempurna antara ilmu dan amal, antara hak Allah dan hak hamba, antara dunia dan akhirat.
5. Relevansi Sepanjang Masa dan Kondisi
Meskipun tafsir awal sering merujuk pada kaum Yahudi dan Nasrani sebagai contoh historis, makna ayat ini tetap universal dan relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman dan kondisi. Setiap individu dapat jatuh ke dalam perangkap "dimurkai" atau "sesat" dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Misalnya, seorang Muslim yang tahu bahwa ghibah (menggunjing) itu haram, tetapi tetap melakukannya, menunjukkan sifat "ilmu tanpa amal" yang serupa dengan golongan yang dimurkai.
Demikian pula, seseorang yang beribadah dengan penuh semangat tetapi tanpa landasan syar'i, seperti melakukan ritual-ritual yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW, bisa tergolong ke dalam "orang-orang yang sesat" dalam konteks modern. Oleh karena itu, doa ini adalah permohonan yang abadi, selalu dibutuhkan oleh setiap Muslim untuk menjaga dirinya dari berbagai bentuk penyimpangan yang mungkin muncul dalam konteks zaman dan budaya apa pun.
6. Kaitan dengan Konsep "Siratal Mustaqim"
Ayat terakhir ini adalah penjelasan konkret dari Shiratal Mustaqim yang dimohon di ayat sebelumnya. Jalan yang lurus bukanlah jalan yang abstrak, melainkan jalan yang memiliki karakteristik jelas: yaitu jalan yang ditempuh oleh para kekasih Allah (nabi, shiddiqin, syuhada, shalihin) dan bukan jalan para pembangkang yang tahu kebenaran tetapi menentang (dimurkai) atau jalan para pengamal yang tidak tahu kebenaran (sesat). Ini memberikan definisi operasional bagi jalan yang lurus, menjadikannya dapat dipahami dan diupayakan.
Dengan demikian, Surah Al-Fatihah secara keseluruhan merupakan sebuah peta jalan spiritual yang komplit. Dimulai dengan pujian, pengakuan, dan permohonan umum, kemudian diakhiri dengan definisi yang sangat spesifik dan perlindungan dari segala bentuk penyimpangan. Ini adalah doa yang membentuk fondasi bagi pandangan hidup, nilai-nilai, dan prioritas seorang Muslim sejati.
Keutamaan dan Fadhilah Membaca Ayat Terakhir Al-Fatihah
Sebagai bagian integral dari Surah Al-Fatihah, ayat terakhir ini mewarisi keutamaan dan fadhilah yang luar biasa. Membaca dan merenungkan maknanya tidak hanya menyempurnakan ibadah kita, tetapi juga membuka pintu-pintu keberkahan dan rahmat Allah.
1. Bagian dari Ummul Kitab
Seluruh Surah Al-Fatihah adalah Ummul Kitab, inti dari Al-Quran. Setiap hurufnya adalah pahala, dan setiap ayatnya adalah keberkahan. Ayat terakhir, sebagai puncak permohonan dalam surah ini, memiliki kedudukan yang sangat penting. Membacanya berarti menyempurnakan bacaan Ummul Kitab, yang merupakan rukun dalam setiap rakaat salat.
Kedudukan Al-Fatihah sebagai Ummul Kitab menandakan bahwa ia mengandung ringkasan dari seluruh tujuan dan ajaran Al-Quran. Doa untuk hidayah ke jalan yang lurus dan perlindungan dari kesesatan adalah fondasi utama dari misi kenabian dan tujuan penciptaan manusia. Oleh karena itu, setiap kali seorang Muslim membaca ayat ini, ia sedang mengulang kembali ikrar janji dan permohonan inti dari seluruh Al-Quran kepada Rabb-nya.
2. Hadits Qudsi tentang Pembagian Al-Fatihah
Salah satu hadits yang paling indah dan menunjukkan keutamaan Al-Fatihah secara keseluruhan adalah Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda:
“Allah berfirman: ‘Aku membagi salat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Untuk hamba-Ku adalah apa yang dia minta.’ Jika hamba mengucapkan: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam),’ Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Jika dia mengucapkan: ‘Ar-Rahmanir-Rahim (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang),’ Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Jika dia mengucapkan: ‘Maliki Yaumiddin (Pemilik hari Pembalasan),’ Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’ Jika dia mengucapkan: ‘Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan),’ Allah berfirman: ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.’ Dan jika dia mengucapkan: ‘Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm, shirathal ladhina an‘amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alayhim waladhdhāllīn (Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat),’ Allah berfirman: ‘Ini untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.’”
Hadits ini menunjukkan betapa istimewanya Surah Al-Fatihah. Ayat terakhirnya, "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm..." hingga akhir surah, adalah bagian di mana Allah berjanji untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya. Ini adalah jaminan langsung dari Allah bahwa doa kita untuk hidayah dan perlindungan dari kesesatan akan didengar dan dikabulkan, asalkan kita mengucapkannya dengan penuh penghayatan dan keikhlasan.
3. Rukun Salat yang Tidak Sah Tanpa Al-Fatihah
Keutamaan Al-Fatihah, termasuk ayat terakhirnya, adalah bahwa ia merupakan rukun salat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa salat seseorang tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah secara lengkap, dari ayat pertama hingga ayat terakhir. Ini menggarisbawahi pentingnya setiap frasa dalam surah ini, termasuk permohonan perlindungan dari jalan yang dimurkai dan sesat.
Kewajiban membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat adalah pengingat konstan bagi seorang Muslim untuk selalu memperbarui ikrar hidayah dan perlindungan dari kesesatan. Setiap kali kita berdiri dalam salat, kita secara otomatis mengulang permohonan yang mendalam ini, meneguhkan kembali komitmen kita untuk berada di jalan yang benar dan menjauhi segala bentuk penyimpangan.
4. Aspek Ruqyah dan Keberkahan
Al-Fatihah juga dikenal sebagai Asy-Syifa' (penyembuh) atau Ar-Ruqyah (penawar). Rasulullah SAW pernah menyetujui seorang sahabat yang menggunakannya sebagai ruqyah untuk menyembuhkan orang yang digigit kalajengking. Ini menunjukkan bahwa Surah Al-Fatihah memiliki kekuatan spiritual dan keberkahan yang besar, termasuk untuk penyembuhan fisik dan spiritual.
Dengan membaca ayat terakhirnya, kita juga memohon perlindungan dari segala bentuk penyakit hati yang menyebabkan kemurkaan atau kesesatan, seperti kesombongan, kedengkian, kebodohan, atau taklid buta. Ini adalah doa untuk kesembuhan spiritual, menjaga hati dan pikiran dari pengaruh-pengaruh negatif yang dapat menggeser kita dari jalan Allah.
5. Doa yang Selalu Dijawab
Seperti yang disebutkan dalam Hadits Qudsi, Allah sendiri yang menjawab setiap bagian dari Al-Fatihah. Ketika kita mencapai bagian permohonan di ayat terakhir, Allah berfirman, "Ini untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta." Ini adalah janji ilahi yang tidak pernah diingkari. Allah menjamin untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya yang memohon hidayah dan perlindungan dari jalan yang salah.
Jaminan ini harusnya memotivasi kita untuk membaca Al-Fatihah dengan lebih khusyuk, lebih penuh penghayatan, dan lebih yakin akan janji Allah. Mengetahui bahwa setiap kata adalah dialog langsung dengan Sang Pencipta, dan bahwa permohonan kita pasti akan dijawab, akan meningkatkan kualitas salat dan spiritualitas kita secara keseluruhan.
6. Pentingnya Tadabbur (Merenungkan) Maknanya
Keutamaan terbesar dari ayat terakhir Al-Fatihah, dan Al-Fatihah secara keseluruhan, adalah ajakan untuk melakukan tadabbur, yaitu merenungkan dan memahami maknanya secara mendalam. Bukan hanya sekadar melafalkan, tetapi memahami setiap kata, setiap frasa, dan setiap konsep yang terkandung di dalamnya. Ketika seorang Muslim merenungkan makna "Shirathal ladhina an'amta 'alayhim", ia akan terinspirasi untuk meneladani para nabi dan orang-orang shalih.
Ketika ia merenungkan "Ghayril maghdhubi 'alayhim waladhdhallin", ia akan terdorong untuk menjauhi sifat-sifat yang menyebabkan kemurkaan atau kesesatan, seperti kesombongan, kedengkian, kebodohan, dan berlebih-lebihan dalam beragama. Tadabbur mengubah pembacaan Al-Quran dari sekadar ritual menjadi pengalaman spiritual yang transformatif, membentuk akhlak, memurnikan niat, dan menguatkan iman.
Dengan merenungkan secara rutin makna ayat terakhir ini, seorang Muslim akan secara konsisten diingatkan akan tujuan hidupnya, yaitu mencapai keridhaan Allah melalui jalan yang lurus, serta menjauhi segala bentuk penyimpangan. Ini adalah sebuah latihan spiritual yang membangun kesadaran diri dan ketakwaan yang berkelanjutan.
Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Pemahaman yang mendalam tentang ayat terakhir Surah Al-Fatihah tidak boleh berhenti pada tataran teoritis atau ritual semata. Ia harus termanifestasi dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Berikut adalah beberapa cara bagaimana kita dapat mengaplikasikan makna ayat ini dalam kehidupan sehari-hari:
1. Memilih Teman dan Lingkungan
Permohonan untuk menempuh "jalan orang-orang yang diberi nikmat" secara langsung memengaruhi pilihan kita dalam berteman dan memilih lingkungan. Kita seharusnya mencari teman-teman yang memiliki akhlak mulia, yang mengingatkan kita pada Allah, dan yang senantiasa berjuang di jalan kebaikan (para shalihin). Sebaliknya, kita harus menjauhi lingkungan yang dapat menjerumuskan kita ke dalam perilaku yang mengundang kemurkaan atau kesesatan, seperti lingkungan yang penuh dengan kemaksiatan, kefasikan, atau perdebatan tanpa ilmu.
Lingkungan yang baik akan menarik kita menuju kebaikan, sedangkan lingkungan yang buruk akan menyeret kita ke dalam keburukan. Doa ini adalah pengingat untuk aktif memilih lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan spiritual kita, mirip dengan bagaimana benih yang baik membutuhkan tanah yang subur untuk tumbuh.
2. Mencari Ilmu dan Mengamalkannya
Doa "bukan jalan mereka yang dimurkai (ilmu tanpa amal) dan bukan pula jalan mereka yang sesat (amal tanpa ilmu)" menuntut kita untuk senantiasa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Setiap Muslim wajib mencari ilmu agama yang shahih, dari sumber-sumber yang terpercaya, agar ibadah dan kehidupannya didasari oleh pemahaman yang benar.
Namun, ilmu saja tidak cukup. Ilmu harus diamalkan. Seseorang yang mengetahui kebenaran namun enggan mengamalkannya berpotensi menjadi golongan yang dimurkai. Sebaliknya, seseorang yang beramal tanpa ilmu yang cukup berpotensi terjerumus dalam kesesatan. Oleh karena itu, kita harus tekun dalam belajar dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ilmu tersebut.
3. Menjaga Akhlak dan Menghindari Sifat Buruk
Sifat-sifat seperti kesombongan, kedengkian, dan keras kepala adalah ciri khas dari golongan yang dimurkai. Sementara itu, berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw), taklid buta, dan kebodohan adalah ciri khas golongan yang sesat. Ayat ini memotivasi kita untuk secara terus-menerus melakukan muhasabah (introspeksi diri), membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, dan menghiasinya dengan akhlak mulia seperti tawadhu' (rendah hati), qana'ah (menerima), syukur, sabar, dan jujur.
Setiap interaksi dengan sesama, setiap keputusan, dan setiap reaksi kita adalah cerminan dari hati kita. Dengan senantiasa memohon perlindungan dari sifat-sifat yang mengundang murka dan kesesatan, kita secara aktif melatih diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang dicintai Allah dan sesama.
4. Memurnikan Akidah dan Menjauhi Bid'ah
Kesesatan akidah adalah bentuk kesesatan paling berbahaya. Doa "bukan pula jalan mereka yang sesat" adalah permohonan untuk menjaga kemurnian akidah tauhid, menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, pengkultusan individu, dan inovasi dalam agama (bid'ah) yang tidak ada tuntunannya dari Nabi SAW. Ini menuntut kita untuk kritis dalam menerima informasi keagamaan dan selalu merujuk pada Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber utama.
Memurnikan akidah berarti membangun fondasi spiritual yang kokoh, yang tidak mudah digoyahkan oleh paham-paham menyimpang atau ajaran-ajaran yang menyesatkan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kehidupan dunia dan akhirat.
5. Istiqamah dalam Ketaatan dan Sabar dalam Ujian
Perjalanan di jalan yang lurus tidak selalu mulus. Akan ada cobaan, godaan, dan tantangan. Ayat ini adalah sumber kekuatan dan pengingat untuk tetap istiqamah dalam ketaatan, tidak putus asa dalam beribadah, dan sabar dalam menghadapi segala ujian. Para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin adalah contoh teladan dalam kesabaran dan keteguhan. Meneladani mereka berarti belajar untuk menghadapi kesulitan dengan lapang dada dan keyakinan penuh akan pertolongan Allah.
Setiap langkah di jalan yang lurus adalah perjuangan, dan doa ini adalah senjata spiritual kita untuk memohon pertolongan Allah dalam perjuangan tersebut. Ia mengingatkan kita bahwa kita tidak sendiri; Allah senantiasa bersama hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
Kesimpulan: Cahaya Petunjuk di Jalan yang Lurus
Perjalanan kita menyelami makna ayat terakhir Surah Al-Fatihah telah mengungkapkan kedalaman dan kekayaan spiritual yang luar biasa. Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup dari sebuah surah, melainkan puncak dari sebuah permohonan yang paling agung, sebuah deklarasi niat, dan sebuah perisai spiritual bagi setiap Muslim.
Kita telah memahami bahwa "jalan orang-orang yang diberi nikmat" adalah jalan para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin – sebuah jalan yang didefinisikan oleh iman yang kokoh, ilmu yang bermanfaat, amal yang saleh, dan pengorbanan yang tulus. Ini adalah jalan kemuliaan, keberkahan, dan keridhaan ilahi. Sebaliknya, kita juga telah diperingatkan dan diajarkan untuk menjauhi "jalan orang-orang yang dimurkai" – mereka yang berilmu namun membangkang karena kesombongan, dan "jalan orang-orang yang sesat" – mereka yang beramal tanpa ilmu sehingga menyimpang dari kebenaran.
Ayat terakhir Al-Fatihah adalah kompas spiritual yang memandu kita di tengah lautan kehidupan yang penuh gejolak. Ia adalah inti tauhid, pengakuan akan ketergantungan mutlak kita kepada Allah, dan permohonan istiqamah yang tak henti-henti. Setiap kali kita mengucapkannya dalam salat, kita secara harfiah mengulang ikrar untuk berada di jalur yang benar dan meminta perlindungan dari segala bentuk penyimpangan, baik yang disebabkan oleh kesombongan intelektual maupun kebodohan spiritual.
Semoga dengan pemahaman yang lebih dalam ini, setiap bacaan Al-Fatihah kita menjadi lebih khusyuk, lebih bermakna, dan lebih menggerakkan kita menuju amal-amal yang dicintai Allah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita di jalan orang-orang yang telah Dia beri nikmat, menjauhkan kita dari jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat, hingga akhir hayat kita. Aamiin ya Rabbal 'alamin.