Surah Al-Kahfi, salah satu surah yang memiliki posisi istimewa dalam Al-Qur'an, seringkali disebut sebagai 'penawar' dari berbagai fitnah, terutama fitnah Dajjal di akhir zaman. Surah ini mengandung empat kisah utama yang sarat akan pelajaran: Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua), dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta Dzulqarnain. Keempat kisah ini secara tematis mengajarkan tentang berbagai fitnah yang mungkin dihadapi manusia: fitnah agama, harta, ilmu, dan kekuasaan. Namun, tidak hanya kisah-kisah di dalamnya, sepuluh ayat terakhir surah ini juga memiliki keutamaan dan pesan mendalam yang sangat relevan bagi kehidupan seorang Muslim.
Banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menganjurkan umatnya untuk membaca dan menghafal sebagian dari Surah Al-Kahfi, terutama sepuluh ayat pertama atau sepuluh ayat terakhirnya, sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai ayat mana yang dimaksud 'sepuluh ayat terakhir' dalam beberapa riwayat, konsensus umum dan penekanan pada konten surah ini seringkali mengarahkan perhatian pada ayat 101 hingga 110. Bagian penutup surah ini merangkum esensi ajaran Islam, menegaskan kembali tentang keimanan, amal saleh, keesaan Allah, dan hari pembalasan, menjadikannya benteng spiritual yang kokoh.
Artikel ini akan mengkaji secara mendalam sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi (ayat 101-110), memberikan teks Arab, transliterasi, terjemahan, dan tafsir yang komprehensif untuk setiap ayat. Kita akan menyelami makna di balik setiap firman Allah, mengeksplorasi pelajaran-pelajaran berharga, dan memahami bagaimana ayat-ayat ini berfungsi sebagai panduan dan perlindungan bagi umat Muslim dalam menghadapi godaan dan ujian kehidupan dunia.
Keutamaan 10 ayat terakhir Surah Al-Kahfi tidak bisa dilepaskan dari konteks seluruh surah yang berpusat pada tema perlindungan dari fitnah Dajjal dan godaan duniawi. Surah Al-Kahfi mengajarkan bahwa kesabaran, keimanan yang teguh, penyerahan diri kepada Allah, dan pencarian ilmu adalah kunci untuk melewati cobaan. Sepuluh ayat terakhir ini secara khusus menyimpulkan pesan-pesan tersebut dengan fokus pada perbedaan antara mereka yang beriman dan beramal saleh dengan mereka yang kufur dan amalannya sia-sia, serta menegaskan kembali konsep tauhid yang murni.
Pesan penutup ini adalah peringatan keras dan sekaligus kabar gembira. Peringatan bagi mereka yang buta terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, yang menipu diri sendiri dengan mengira amalan mereka baik padahal sesat. Dan kabar gembira bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, dengan janji surga Firdaus. Inti dari sepuluh ayat ini adalah pengingat akan tujuan akhir kehidupan dan syarat-syarat untuk mencapainya: keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan amal saleh tanpa menyekutukan-Nya. Hal ini sangat krusial dalam menghadapi Dajjal, yang akan muncul dengan godaan materialistik dan klaim ketuhanan, sehingga fondasi tauhid yang kuat menjadi satu-satunya pelindung sejati.
ٱلَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى وَكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا
Allazīna kānat a'yunuhum fī giṭā`in 'an żikrī wa kānū lā yastaṭī'ūna sam'ā.
"(Yaitu) orang-orang yang mata mereka (tertutup) dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar."
Tafsir Mendalam: Ayat ini menggambarkan kondisi orang-orang yang terhalang dari kebenaran. Frasa "mata mereka (tertutup) dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku" (أَعْيُنُهُمْ فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى) mengindikasikan kebutaan spiritual. Ini bukan kebutaan fisik, melainkan ketidakmampuan hati dan akal untuk melihat, memahami, dan merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersebar luas di alam semesta, maupun ayat-ayat-Nya dalam Al-Qur'an.
Tanda-tanda kebesaran Allah (ذِكْرِى) mencakup segala sesuatu yang mengingatkan manusia akan eksistensi, keesaan, dan kekuasaan Allah, baik itu fenomena alam, penciptaan manusia, pergantian siang dan malam, maupun wahyu yang diturunkan kepada para nabi. Orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang, meskipun memiliki mata fisik, hati mereka buta sehingga tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda tersebut.
Lalu disambung dengan "dan mereka tidak sanggup mendengar" (وَّكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا). Ini juga bukan ketulian fisik, melainkan ketidakmampuan untuk mendengar dan menerima kebenaran yang disampaikan melalui wahyu atau nasihat. Hati mereka telah mengeras, telinga spiritual mereka telah tersumbat, sehingga meskipun kebenaran disampaikan dengan jelas, mereka tidak mampu memahaminya atau bahkan menolaknya.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa Allah telah memberikan manusia indra dan akal untuk mencari kebenaran, namun jika manusia memilih untuk berpaling dan menutup diri dari petunjuk-Nya, maka mereka akan kehilangan kemampuan untuk melihat dan mendengar kebenaran secara spiritual. Kebutaan dan ketulian spiritual ini adalah konsekuensi dari pilihan mereka sendiri untuk mengabaikan Allah. Dalam konteks Surah Al-Kahfi, ini mengacu pada orang-orang yang terlalu sibuk dengan kehidupan duniawi dan godaan-godaan di dalamnya sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya dan peringatan akan Hari Akhir.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah bahwa kita harus senantiasa membuka hati dan pikiran kita untuk menerima petunjuk Allah, merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya, dan mendengarkan dengan seksama wahyu-Nya. Kegagalan untuk melakukan ini dapat menyebabkan seseorang tersesat, meskipun ia dikelilingi oleh bukti-bukti kebenaran yang nyata.
أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا
Afaḥasiballażīna kafarū ay yattakhiżū 'ibādī min dūnī auliyā`? Innā a'tadnā jahannama lil-kāfirīna nuzulā.
"Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka dapat mengambil hamba-hamba-Ku sebagai penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir."
Tafsir Mendalam: Ayat ini mengandung pertanyaan retoris yang mengecam kesesatan orang-orang kafir. "Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka dapat mengambil hamba-hamba-Ku sebagai penolong selain Aku?" (أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ). Pertanyaan ini menyoroti praktik syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan makhluk lain. Frasa "hamba-hamba-Ku" (عِبَادِى) di sini bisa merujuk pada para nabi, rasul, malaikat, wali, atau bahkan berhala yang disembah, yang semuanya adalah ciptaan Allah.
Orang-orang kafir berprasangka bahwa dengan menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, atau objek ibadah, mereka akan mendapatkan manfaat atau perlindungan. Ini adalah ilusi besar karena hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang memiliki kekuasaan mutlak untuk memberi manfaat atau menolak bahaya. Makhluk tidak memiliki kekuatan apa pun secara independen dari kehendak Allah. Ayat ini menantang logika mereka: bagaimana mungkin mereka yang sendiri adalah hamba bisa menjadi penolong yang efektif bagi hamba lainnya di hadapan Sang Pencipta?
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa 'awliya' (أَوْلِيَآءَ) di sini berarti pelindung atau sembahan. Orang-orang kafir menyangka bahwa mengambil sesembahan selain Allah akan menyelamatkan mereka, padahal yang terjadi justru sebaliknya.
Kemudian, ayat ini memberikan jawaban tegas atas kesesatan mereka: "Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir" (إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا). Kata "nuzulan" (نُزُلًا) berarti tempat menginap atau hidangan pertama bagi tamu. Dalam konteks ini, ia digunakan secara ironis untuk menunjukkan bahwa neraka Jahanam akan menjadi 'hidangan selamat datang' yang mengerikan bagi orang-orang kafir di akhirat, bukan surga atau kesenangan yang mereka harapkan dari sesembahan mereka.
Pesan utama ayat ini adalah penekanan kuat pada Tauhid (Keesaan Allah) dan larangan syirik. Seorang Muslim harus sepenuhnya bersandar hanya kepada Allah, tidak menggantungkan harapannya atau menyembah selain-Nya. Ini adalah fondasi iman yang esensial, dan kegagalan dalam memahami serta mengamalkannya akan berujung pada konsekuensi yang sangat berat di akhirat.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا
Qul hal nunabbi`ukum bil-akhsarīna a'mālā?
"Katakanlah (Muhammad), 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?'"
Tafsir Mendalam: Ayat ini merupakan pertanyaan yang sangat kuat dan menarik perhatian, sebuah pengantar untuk menjelaskan siapa sebenarnya orang-orang yang paling merugi. "Katakanlah (Muhammad), 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?'" (قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا). Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan pertanyaan ini kepada umat manusia, khususnya kepada mereka yang tersesat.
Penggunaan kata "Al-Akhsarin" (ٱلْأَخْسَرِينَ) yang berarti 'yang paling merugi' dalam bentuk superlatif, menunjukkan tingkat kerugian yang paling parah dan mutlak. Ini bukan sekadar merugi, tetapi puncak dari segala kerugian, yaitu kerugian abadi di akhirat.
Pertanyaan retoris ini bertujuan untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan kesadaran pada pendengar. Allah tidak langsung menyebutkan siapa mereka, tetapi memancing mereka untuk merenungkan dan mencari tahu. Ini adalah teknik dakwah yang efektif untuk membuat audiens lebih reseptif terhadap penjelasan yang akan datang.
Kerugian yang dimaksud di sini adalah kerugian dalam amalan (أَعْمَٰلًا). Ini mengindikasikan bahwa amal perbuatan, yang seharusnya menjadi bekal bagi kehidupan akhirat, justru menjadi sumber kerugian. Bagaimana bisa amal menjadi kerugian? Ini terjadi ketika amal perbuatan dilakukan tanpa dasar keimanan yang benar, atau dengan niat yang salah, atau dalam bentuk syirik, sehingga amal tersebut tidak diterima di sisi Allah.
Ayat ini mempersiapkan pendengar untuk memahami bahwa tidak semua perbuatan baik di dunia akan dihargai di akhirat. Ada perbuatan yang secara lahiriah tampak baik, namun karena faktor-faktor fundamental seperti ketiadaan iman atau niat yang salah, perbuatan tersebut menjadi sia-sia dan bahkan membawa pelakunya pada kerugian yang amat besar. Ini adalah teguran bagi mereka yang merasa aman dengan amal mereka, tanpa memeriksa fondasi keimanan mereka.
Dalam konteks Surah Al-Kahfi, ayat ini merupakan titik puncak dari pembahasan mengenai ujian dan fitnah. Orang yang paling merugi adalah mereka yang gagal dalam ujian-ujian dunia, terutama ujian keimanan dan tauhid, meskipun mungkin mereka telah melakukan banyak pekerjaan yang dianggap 'baik' oleh standar manusiawi.
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Allażīna ḍalla sa'yuhum fil-ḥayātid-dun-yā wa hum yaḥsabūna annahum yuḥsinūna ṣun'ā.
"(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya."
Tafsir Mendalam: Ayat ini menjawab pertanyaan di ayat sebelumnya dan dengan jelas mengidentifikasi siapa "orang yang paling merugi perbuatannya." Mereka adalah "orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya" (ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا).
Frasa "ḍalla sa'yuhum" (ضَلَّ سَعْيُهُمْ) berarti usaha mereka sesat, tersesat, atau sia-sia. Ini menggambarkan bahwa semua jerih payah, energi, waktu, dan harta yang mereka curahkan untuk beramal di dunia ini tidak memberikan hasil yang diharapkan di akhirat. Amalan-amalan mereka, meskipun mungkin terlihat banyak dan besar di mata manusia, tidak memiliki nilai di sisi Allah karena tidak dilandasi oleh keimanan yang benar, tauhid yang murni, atau niat yang ikhlas.
Lebih tragis lagi, kondisi mereka diperparah oleh kalimat: "وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا" (sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya). Ini menunjukkan adanya kesalahpahaman yang mendalam atau bahkan penipuan diri sendiri. Mereka hidup dalam ilusi bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebaikan dan akan mendatangkan pahala, padahal kenyataannya justru menjauhkan mereka dari rahmat Allah.
Contoh dari kelompok ini bisa bermacam-macam:
Ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya koreksi diri dan evaluasi amal. Seseorang tidak boleh hanya merasa puas dengan kuantitas amal, melainkan harus memastikan kualitasnya, terutama fondasi keimanan dan keikhlasan. Kebenaran suatu amal bukan ditentukan oleh perasaan subyektif pelaku, melainkan oleh kriteria syariat yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ini adalah pelajaran krusial dalam menghadapi godaan Dajjal, yang akan muncul dengan 'kebaikan' palsu dan tipuan yang membuai manusia untuk berbuat kesesatan dengan anggapan sedang berbuat baik.
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا
Ulā`ikallażīna kafarū bi`āyāti rabbihim wa liqā`ihī faḥabiṭat a'māluhum fa lā nuqīmu lahum yaumal-qiyāmati waznā.
"Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sialah amalan mereka, dan Kami tidak akan memberikan penimbangan (pahala) bagi mereka pada hari Kiamat."
Tafsir Mendalam: Ayat ini lebih lanjut menjelaskan karakteristik dan nasib orang-orang yang paling merugi yang disebutkan dalam ayat 103 dan 104. "Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan Dia" (أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ).
Penyebab utama kerugian mereka adalah dua hal fundamental:
Kedua bentuk kekufuran ini adalah akar dari kesesatan mereka. Karena mereka tidak percaya pada tanda-tanda Allah dan Hari Akhir, maka amal-amal yang mereka lakukan di dunia ini, meskipun mungkin terlihat 'baik' dari sudut pandang manusia, menjadi tidak bernilai di sisi Allah. Itulah mengapa Allah menyatakan: "Maka sia-sialah amalan mereka" (فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ). Kata "habitat" (حَبِطَتْ) berarti gugur, batal, atau lenyap, menunjukkan bahwa semua upaya dan perbuatan mereka tidak ada nilainya di sisi Allah, seolah-olah tidak pernah ada.
Dan sebagai konsekuensi paling parah: "dan Kami tidak akan memberikan penimbangan (pahala) bagi mereka pada hari Kiamat" (فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا). Pada Hari Kiamat, seluruh amal perbuatan manusia akan ditimbang. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan melihat timbangan kebaikan mereka berat, namun bagi orang-orang kafir yang disebutkan dalam ayat ini, timbangan amal mereka tidak akan didirikan sama sekali, atau jika didirikan, tidak akan ada beratnya. Ini adalah bentuk kehinaan dan kerugian mutlak, karena mereka tidak memiliki sedikitpun kebaikan yang dapat dihitung untuk menyelamatkan mereka dari azab.
Pelajaran dari ayat ini sangat penting: fondasi keimanan yang kokoh kepada Allah dan Hari Akhir adalah syarat mutlak diterimanya amal. Tanpa iman, bahkan perbuatan yang tampak mulia sekalipun akan menjadi debu yang berterbangan tanpa makna di hadapan Allah. Ini mengingatkan kita untuk selalu mengoreksi akidah kita dan memastikan bahwa setiap amal yang kita lakukan bersumber dari keimanan yang benar dan bertujuan mencari ridha Allah, bukan semata-mata pengakuan atau keuntungan duniawi.
ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا
Żālika jazā`uhum jahannamu bimā kafarū wattakhażū āyātī wa rusulī huzuwā.
"Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan."
Tafsir Mendalam: Ayat ini secara eksplisit menyatakan balasan bagi orang-orang yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, yaitu neraka Jahanam. "Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam" (ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ). Ini adalah penegasan bahwa azab yang kekal di neraka adalah konsekuensi yang adil bagi kekafiran mereka.
Allah kemudian menjelaskan dua sebab utama yang menjerumuskan mereka ke dalam Jahanam:
Tindakan mengolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya adalah bentuk kesombongan dan penolakan yang ekstrem terhadap kebenaran. Ini menunjukkan hati yang telah mati dan tidak ada lagi rasa hormat terhadap Sang Pencipta dan utusan-utusan-Nya yang membawa petunjuk. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga berusaha merendahkan dan mendiskreditkan apa yang datang dari Allah.
Sebagai contoh, banyak kaum musyrikin di masa Rasulullah ﷺ yang mengejek Al-Qur'an, menyebutnya sebagai dongeng kuno atau sihir. Mereka juga menghina Nabi Muhammad ﷺ dengan berbagai julukan. Ayat ini mengingatkan bahwa perbuatan semacam itu tidak akan luput dari perhitungan Allah dan balasannya adalah azab yang pedih.
Pelajaran yang bisa diambil dari ayat ini adalah pentingnya memiliki rasa hormat dan takzim terhadap Allah, Al-Qur'an, dan para rasul. Seorang Muslim tidak boleh meremehkan atau mencemooh sedikit pun dari ajaran agama. Sebaliknya, harus ada keseriusan dalam mempelajari, memahami, dan mengamalkannya. Ayat ini juga menjadi peringatan bagi siapa saja yang berani bermain-main dengan agama atau menjadikannya bahan olokan, bahwa konsekuensinya adalah neraka Jahanam.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
Innallażīna āmanū wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti kānat lahum jannātul-firdausi nuzulā.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal."
Tafsir Mendalam: Setelah menjelaskan kondisi dan balasan bagi orang-orang kafir yang merugi, ayat ini beralih ke kontras yang indah dan menjanjikan, yaitu tentang orang-orang beriman. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal" (إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا).
Ayat ini menegaskan dua pilar utama dalam Islam yang menjadi syarat masuk surga:
Bagi mereka yang memenuhi kedua syarat ini, Allah menjanjikan balasan yang agung: "جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا" (surga Firdaus sebagai tempat tinggal). Kata "Jannatul Firdaus" (surga Firdaus) adalah tingkatan surga yang paling tinggi dan mulia. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Firdaus adalah kebun yang paling indah, yang terletak di bagian tengah dan tertinggi surga. Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ bersabda: "Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah Firdaus, karena Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan paling tengah, dan daripadanyalah mengalir sungai-sungai surga, dan di atasnya adalah Arasy Ar-Rahman." (HR. Bukhari).
Penggunaan kata "nuzulan" (نُزُلًا) di sini adalah balasan yang sebenarnya, berbanding terbalik dengan penggunaan kata yang sama di ayat 102 untuk neraka Jahanam. Untuk orang beriman, Firdaus adalah 'hidangan' pertama dan tempat tinggal abadi yang penuh kenikmatan dan kemuliaan, sebuah sambutan hangat dari Allah.
Ayat ini memberikan harapan dan motivasi besar bagi umat Muslim untuk senantiasa memperkuat iman dan konsisten dalam beramal saleh. Ini adalah puncak janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang taat, sebuah kontras yang tajam dengan nasib orang-orang kafir. Dalam konteks peringatan terhadap Dajjal, ayat ini menegaskan bahwa satu-satunya jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan abadi adalah dengan berpegang teguh pada iman dan beramal sesuai tuntunan syariat, tidak tergiur oleh gemerlap dunia yang ditawarkan Dajjal.
خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
Khālidīna fīhā lā yabgūna 'anhā ḥiwalā.
"Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah darinya."
Tafsir Mendalam: Ayat ini melengkapi deskripsi tentang surga Firdaus yang dijanjikan bagi orang-orang beriman dan beramal saleh, dengan menekankan dua aspek penting dari kenikmatan surga. "Mereka kekal di dalamnya" (خَٰلِدِينَ فِيهَا), dan "mereka tidak ingin berpindah darinya" (لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا).
Pertama, aspek kekekalan (خَٰلِدِينَ فِيهَا). Ini adalah salah satu kenikmatan terbesar di surga yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan duniawi. Di dunia, semua kenikmatan bersifat sementara dan fana, selalu ada kekhawatiran akan kehilangan atau berakhirnya. Namun di surga, kenikmatan itu abadi, tanpa akhir, tanpa kematian, tanpa penyakit, tanpa penuaan, dan tanpa kehilangan. Keabadian ini menghilangkan segala bentuk kekhawatiran dan kesedihan, menjadikan kenikmatan surga sempurna.
Kedua, aspek kepuasan mutlak (لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا). Ini berarti penghuni surga akan merasa sangat puas dan bahagia dengan segala kenikmatan yang mereka dapatkan di Firdaus sehingga mereka tidak memiliki sedikitpun keinginan untuk berpindah, berubah, atau mencari tempat lain. Di dunia, manusia seringkali merasa bosan dengan suatu tempat atau keadaan, lalu mencari perubahan. Namun di surga, segala sesuatu begitu sempurna dan menyenangkan sehingga tidak ada lagi keinginan untuk yang lebih baik atau yang berbeda.
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa setiap keinginan yang pernah terlintas di hati manusia di dunia akan terpenuhi di surga, sehingga tidak ada lagi ruang untuk ketidakpuasan. Ini adalah puncak kebahagiaan dan ketenteraman. Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kenikmatan surga sangat beragam, sempurna, dan tidak akan pernah membosankan. Allah telah membersihkan hati penghuninya dari segala perasaan tidak enak seperti iri hati atau dengki, dan menggantinya dengan kebahagiaan dan kepuasan yang tiada tara.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa kita harus memprioritaskan kehidupan akhirat yang kekal dan penuh kenikmatan dibandingkan dengan kehidupan dunia yang fana. Motivasi untuk mencapai kekekalan di Firdaus harus menjadi pendorong utama dalam melakukan amal saleh dan menjauhi maksiat. Ayat ini juga memberikan gambaran tentang betapa agungnya karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya yang taat, sebuah balasan yang jauh melampaui imajinasi manusia dan yang akan menghapus segala penderitaan dan kesulitan yang mungkin mereka alami di dunia.
قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا
Qul lau kānal-baḥru midādāl likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī walau ji`nā bimislihī madadā.
"Katakanlah (Muhammad), 'Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'"
Tafsir Mendalam: Ayat ini adalah pernyataan yang sangat kuat dan menggugah tentang keagungan dan keluasan ilmu serta hikmah Allah SWT. "Katakanlah (Muhammad), 'Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)'" (قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا).
Frasa "kalimat-kalimat Tuhanku" (كَلِمَٰتِ رَبِّى) di sini memiliki makna yang sangat luas. Ini mencakup:
Ayat ini menggunakan perumpamaan yang luar biasa untuk menggambarkan kemahaluasan dan ketakterbatasan sifat-sifat Allah, khususnya ilmu dan hikmah-Nya. Bayangkan seluruh lautan di dunia ini dijadikan tinta. Lautan yang sangat luas dan dalam ini, dengan miliaran ton airnya, akan habis terpakai sebelum selesai menuliskan "kalimat-kalimat Tuhanku". Bahkan jika lautan lain didatangkan sebagai tambahan (وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا), ia pun akan habis, sementara kalimat-kalimat Allah tetap tidak berkesudahan.
Ini menunjukkan bahwa pengetahuan manusia, seberapa pun luasnya, sangatlah terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah. Manusia hanya diberikan sedikit ilmu (وَ مَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا - Al-Isra: 85). Perumpamaan ini dimaksudkan untuk membangkitkan rasa takjub, kerendahan hati, dan pengagungan terhadap Allah SWT. Ia juga menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa di balik setiap perintah dan larangan-Nya, pasti ada hikmah yang tak terhingga yang mungkin tidak sepenuhnya bisa dijangkau oleh akal manusia.
Dalam konteks Surah Al-Kahfi, ayat ini bisa dilihat sebagai penutup dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, yang menunjukkan bahwa meskipun seorang nabi seperti Musa memiliki ilmu yang tinggi, ilmu Allah jauh lebih besar dan mencakup segala sesuatu. Ini adalah pengingat bahwa manusia harus selalu merasa rendah hati di hadapan ilmu Allah dan senantiasa mencari pengetahuan.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah pengukuhan tauhid rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta) dan tauhid asma wa sifat (keesaan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya). Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, dan ilmu-Nya tidak terbatas. Hal ini seharusnya meningkatkan rasa takut dan harap kita kepada-Nya, serta mendorong kita untuk terus belajar dan merenungkan kebesaran-Nya.
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Qul innamā ana basyarum miṡlukum yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥidun fa mang kāna yarjū liqā`a rabbihī falya'mal 'amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi'ibādati rabbihī aḥadā.
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.' Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Tafsir Mendalam: Ayat ini adalah penutup yang agung bagi Surah Al-Kahfi, merangkum seluruh pesan inti surah dan Islam secara keseluruhan. Ia dimulai dengan penegasan tentang kemanusiaan Nabi Muhammad ﷺ: "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu'" (قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ).
Penegasan ini sangat penting untuk menolak segala bentuk pengkultusan atau pendewaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun beliau adalah rasul termulia, beliau tetaplah manusia yang makan, minum, tidur, merasakan sakit, dan memiliki keterbatasan layaknya manusia lain. Ini membedakan Islam dari agama lain yang mendewakan utusan mereka.
Namun, yang membedakan beliau adalah: "yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa" (يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ). Ini adalah inti dari risalah Nabi Muhammad ﷺ dan seluruh nabi dan rasul sebelumnya: Tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah, yaitu Allah SWT. Pesan ini adalah fondasi Islam, yang menekankan keesaan Allah dalam rububiyah (penciptaan, pengaturan), uluhiyah (peribadatan), dan asma wa sifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya).
Setelah menegaskan Tauhid, ayat ini kemudian memberikan panduan praktis bagi siapa pun yang memiliki harapan untuk bertemu dengan Allah dalam keadaan yang diridhai: "Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya" (فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ). Harapan untuk bertemu Allah adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim untuk berbuat baik dan menjauhi keburukan, karena pertemuan itu adalah puncak dari segala keinginan, baik dalam bentuk balasan surga maupun melihat Dzat-Nya yang Maha Agung.
Untuk mencapai harapan tersebut, ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi:
Ayat terakhir ini adalah inti sari dan kesimpulan dari Surah Al-Kahfi, bahkan dari seluruh ajaran Islam. Ia menegaskan pentingnya Tauhid yang murni dan amal saleh yang ikhlas sebagai bekal utama untuk kehidupan akhirat. Ini adalah benteng terkuat melawan segala bentuk fitnah, termasuk fitnah Dajjal yang akan berusaha menyesatkan manusia dari Tauhid dan menjerumuskan mereka ke dalam syirik dan kesesatan.
Pelajaran krusial dari ayat ini adalah bahwa kesuksesan di akhirat bergantung pada kemurnian akidah (tauhid) dan kualitas amal (ikhlas dan ittiba' - mengikuti sunnah Nabi). Tidak ada jalan lain menuju keridhaan Allah dan surga-Nya selain melalui dua hal ini. Ini adalah pesan yang harus senantiasa dipegang teguh oleh setiap Muslim dalam setiap langkah kehidupannya.
Sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi ini adalah permata hikmah yang merangkum esensi ajaran Islam. Dari tafsir yang telah kita selami, beberapa pelajaran dan hikmah utama dapat disimpulkan:
Surah Al-Kahfi, secara keseluruhan, dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal. Sepuluh ayat terakhir ini secara khusus memainkan peran krusial dalam persiapan menghadapi fitnah tersebut:
Dengan merenungkan dan mengamalkan sepuluh ayat terakhir ini, seorang Muslim akan memiliki fondasi keimanan yang kuat, niat yang ikhlas, dan pemahaman yang benar tentang tujuan hidup, sehingga ia dapat mengenali kebatilan Dajjal dan tetap teguh di jalan Allah.
Memahami keutamaan dan tafsir 10 ayat terakhir Surah Al-Kahfi adalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari:
Dengan menjadikan 10 ayat terakhir Surah Al-Kahfi sebagai bagian tak terpisahkan dari spiritualitas kita, insya Allah kita akan memiliki perisai yang kokoh untuk menghadapi berbagai fitnah dunia, termasuk fitnah Dajjal, dan meraih keridhaan Allah serta surga Firdaus.