Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Quran, adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan luar biasa dan sering dibaca oleh umat Islam, terutama pada hari Jumat. Namanya, "Al-Kahfi", berarti "Gua", merujuk pada kisah inti yang diceritakan di dalamnya: kisah Ashabul Kahfi, para pemuda penghuni gua yang tertidur selama berabad-abad. Surah ini kaya akan hikmah dan pelajaran mendalam mengenai iman, kesabaran, ujian hidup, pentingnya ilmu, dan hakikat kehidupan dunia serta akhirat.
Dalam khazanah keilmuan Islam, sebagian ayat dari Surah Al-Kahfi secara khusus ditekankan keutamaannya. Dua bagian yang paling sering disebutkan adalah sepuluh ayat pertama dan sepuluh ayat terakhir. Banyak hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan keistimewaan membaca dan menghafal bagian-bagian ini, terutama kaitannya dengan perlindungan dari fitnah Dajjal di akhir zaman. Fitnah Dajjal merupakan salah satu ujian terbesar bagi umat manusia, dan Surah Al-Kahfi menjadi benteng pelindung bagi mereka yang merenungkan dan mengamalkan ajarannya.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami makna dan tafsir dari sepuluh ayat pertama dan sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi. Kita akan mengupas pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya, menggali hikmah, serta memahami bagaimana ayat-ayat ini berfungsi sebagai pedoman hidup bagi seorang Muslim dalam menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Kita akan menelaah setiap kata dan kalimat, mencari esensi yang mendalam, serta menghubungkannya dengan realitas kehidupan kita saat ini. Mari kita renungi bersama setiap perkataan Allah yang Maha Agung ini, semoga kita mendapatkan pencerahan dan hidayah dari-Nya.
Sepuluh ayat pertama Surah Al-Kahfi adalah pengantar yang kuat dan penuh makna, meletakkan dasar bagi seluruh surah. Ayat-ayat ini memperkenalkan Al-Quran sebagai petunjuk yang lurus, memberikan peringatan bagi mereka yang ingkar, dan menjanjikan pahala besar bagi orang-orang beriman. Yang paling menonjol, ia mulai mengisahkan tentang Ashabul Kahfi, memberikan gambaran awal tentang cobaan iman dan keajaiban kekuasaan Allah. Ayat-ayat ini menyajikan sebuah panorama spiritual yang mencakup pujian kepada Allah, deskripsi Al-Quran, peringatan dan kabar gembira, serta pengantar kisah heroik tentang keteguhan iman.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ
Al-ḥamdu lillāhi 'lladhī anzala 'alā 'abdihil-kitāba wa lam yaj'al lahū 'iwaājā.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya, dan Dia tidak menjadikannya bengkok (menyimpang).
Ayat pembuka ini segera menyoroti inti dari segala sesuatu: pujian dan syukur hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Frasa "Al-hamdulillah" adalah fondasi iman, mengingatkan kita bahwa segala nikmat, karunia, dan kebaikan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, berasal dari-Nya. Allah dipuji karena telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Penekanan pada "hamba-Nya" (abdih) menunjukkan kemuliaan kenabian sekaligus kerendahan diri seorang Rasul di hadapan Penciptanya. Ini adalah pengingat bahwa meskipun seorang Rasul memiliki kedudukan yang sangat tinggi, ia tetaplah seorang hamba yang tunduk pada kehendak Allah.
Yang sangat penting adalah pernyataan "dan Dia tidak menjadikannya bengkok (menyimpang)" (wa lam yaj'al lahū 'iwaājā). Ini adalah penegasan tentang kesempurnaan, kebenaran, dan kejelasan Al-Quran. Tidak ada sedikit pun kebengkokan, kesalahan, keraguan, kontradiksi, atau ketidaksesuaian di dalamnya. Ia adalah petunjuk yang lurus, jalan yang terang benderang, bebas dari cacat yang sering ditemukan dalam kitab-kitab sebelumnya yang telah diubah, dipalsukan, atau disalahartikan oleh tangan manusia. Kebengkokan di sini bisa berarti ketidakjelasan dalam hukum, kontradiksi dalam ajaran akidah, atau bahkan kesulitan dalam pemahaman bagi mereka yang mencari kebenaran. Al-Quran, sebaliknya, adalah kitab yang mudah dipahami bagi mereka yang berakal dan berhati bersih, jelas hukumnya, dan konsisten pesannya, membawa keadilan dan kebenaran mutlak yang relevan di setiap zaman dan tempat.
Ayat ini berfungsi sebagai fondasi keyakinan kita terhadap Al-Quran. Ia bukan sekadar kumpulan kisah atau hukum, melainkan firman Allah yang murni, sempurna, dan tidak memiliki cacat sedikit pun. Ini adalah janji ilahi bahwa Al-Quran akan selalu menjadi sumber kebenaran yang tak tergoyahkan, tegak lurus menuntun manusia ke jalan yang benar, tanpa adanya penyimpangan yang menyesatkan atau kelemahan yang meragukan. Kepercayaan penuh pada Al-Quran adalah langkah pertama menuju hidayah.
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
Qayyiman liyunzhira ba'san shadīdan min ladunhu wa yubashshiral-mu'minīna 'lladhīna ya'malūnaṣ-ṣāliḥāti 'anna lahum ajran ḥasanā.
Sebagai (Kitab) yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya, dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.
Melanjutkan dari ayat sebelumnya, Al-Quran digambarkan sebagai "Qayyiman", yang berarti lurus, tegak, dan berfungsi sebagai penjaga atau pemelihara. Ini memperkuat gagasan bahwa Al-Quran adalah petunjuk yang sempurna, tidak hanya tidak bengkok, tetapi juga berfungsi sebagai standar kebenaran yang menjaga manusia dari penyimpangan. Ia adalah tolok ukur yang dengannya segala sesuatu dinilai, memastikan manusia tetap berada di jalan yang benar dan tidak terjerumus dalam kesesatan. Kata "Qayyiman" juga bisa diartikan sebagai "pembimbing" atau "pelindung", yang menegaskan peran sentral Al-Quran dalam membimbing umat manusia menuju kebenaran.
Tujuan diturunkannya Al-Quran adalah ganda: "untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya" dan "memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik." Ini adalah gambaran jelas tentang fungsi Al-Quran sebagai pembawa pesan ilahi, yang mengintegrasikan antara peringatan (indzar) dan kabar gembira (tabshir). Pendekatan ini adalah manifestasi rahmat dan keadilan Allah; Dia memperingatkan hamba-Nya agar mereka tidak jatuh ke dalam azab, sekaligus memberikan motivasi melalui janji pahala.
Peringatan terhadap "siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya" ditujukan kepada mereka yang menolak kebenaran, yang berpaling dari petunjuk Al-Quran. Siksa ini adalah siksa neraka, yang digambarkan sebagai "sangat pedih" (shadīdan) dan berasal "dari sisi-Nya" (min ladunhu), menunjukkan bahwa ini adalah ketetapan Allah yang pasti, adil, dan tidak dapat dielakkan bagi para pendurhaka yang memilih jalan kekafiran. Ini adalah motivasi kuat bagi manusia untuk merenung, bertobat, dan mengubah jalan hidup mereka sebelum terlambat, karena azab Allah bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan.
Di sisi lain, ada janji yang indah bagi mereka yang menerima petunjuk: "kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik." Kata "kebajikan" (ash-shāliḥāti) mencakup segala bentuk amal baik, baik yang berhubungan dengan Allah (ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir) maupun dengan sesama manusia (muamalah seperti jujur, adil, membantu yang lemah, berbuat baik kepada tetangga). Balasan yang baik (ajran ḥasanā) ini tidak lain adalah surga, kenikmatan abadi yang dijanjikan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang taat. Ini menunjukkan keseimbangan antara ancaman dan harapan, mendorong manusia untuk memilih jalan kebaikan dan keimanan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
مَّاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا
Mākithīna fīhi 'abadā.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ayat pendek namun sangat bermakna ini mempertegas sifat balasan yang baik yang dijanjikan dalam ayat sebelumnya. Balasan tersebut bukan sementara atau terbatas waktu, melainkan "kekal di dalamnya selama-lamanya" (mākithīna fīhi 'abadā). Kata "abadā" menekankan keabadian, tanpa akhir, tanpa batas waktu. Ini adalah puncak harapan dan aspirasi bagi setiap Muslim: kehidupan abadi di surga, di mana segala kenikmatan sempurna, tidak ada kekurangan, dan tidak akan pernah berakhir. Kenikmatan fisik maupun spiritual akan terus berlimpah tanpa henti. Ini adalah kontras yang tajam dengan kehidupan dunia yang fana, serba terbatas, dan penuh dengan kesulitan serta ujian.
Janji keabadian ini adalah motivasi terbesar untuk beramal saleh, bersabar menghadapi cobaan, dan menjauhi maksiat. Kekekalan ini memberikan dimensi yang sangat besar pada balasan di akhirat. Setiap perjuangan, setiap pengorbanan, setiap kesabaran dalam menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya di dunia ini akan dibalas dengan kenikmatan yang tak terhingga dan tak berkesudahan di sisi Allah. Ini adalah janji yang menguatkan hati para mukmin, memberikan mereka perspektif jangka panjang bahwa kehidupan dunia hanyalah jembatan menuju keabadian. Pemahaman ini juga menegaskan keadilan Allah, di mana penderitaan sesaat di dunia dapat dibalas dengan kebahagiaan abadi, dan kenikmatan sesaat yang didapat dengan maksiat akan dibayar dengan azab kekal. Janji ini adalah penenang bagi hati yang beriman dan pendorong untuk terus berjuang di jalan Allah.
وَيُنذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا
مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًاWa yunzhira 'lladhīna qālū 'ttakhadha 'llāhu waladā.
Mā lahum bihī min 'ilmin wa lā li'ābā'ihim ۚ Kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim ۚ In yaqūlūna illā kadhibā.Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."
Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya perkataan yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali dusta.
Ayat-ayat ini mengalihkan fokus pada peringatan keras bagi kelompok lain, yaitu mereka yang menuduh Allah memiliki anak. Ini adalah teguran langsung terhadap kaum musyrikin Mekkah yang menyembah berhala dan mengklaim berhala adalah "anak" Allah, serta secara tidak langsung juga terhadap kaum Yahudi yang mengklaim Uzair sebagai anak Allah, dan kaum Nasrani yang mengklaim Isa Al-Masih sebagai anak Allah. Tuduhan ini merupakan inti dari kesyirikan, dosa terbesar dalam Islam, karena menodai keesaan, kemuliaan, dan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa), tidak membutuhkan dan tidak memiliki anak, karena Dia adalah Pencipta segala sesuatu, dan semua bergantung kepada-Nya.
Pernyataan "Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka" adalah penolakan tegas terhadap klaim mereka. Tuduhan semacam itu tidak didasari oleh ilmu pengetahuan yang sahih, wahyu yang benar yang diturunkan dari Allah, atau bukti rasional yang dapat diterima oleh akal sehat. Mereka hanya mengikuti dugaan, prasangka, dan tradisi nenek moyang yang sesat tanpa dasar yang kuat. Ini menekankan pentingnya ilmu dalam beragama; keyakinan harus didasarkan pada bukti yang kuat dari Al-Quran dan Sunnah, bukan sekadar warisan buta atau spekulasi yang tidak berdasar. Islam sangat mengedepankan akal dan dalil, serta menolak keyakinan takhayul dan mitos.
Frasa "Alangkah jeleknya perkataan yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali dusta" mengekspresikan betapa dahsyat, kejinya, dan keji klaim tersebut di mata Allah. Kata "kaburat" (alangkah jeleknya/besarnya) menunjukkan betapa beratnya dosa tersebut di hadapan Allah. Menisbatkan anak kepada Allah adalah kebohongan terbesar, bertentangan dengan fitrah manusia, akal sehat, dan merendahkan Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Esa, dan tidak membutuhkan siapa pun. Pernyataan ini menegaskan kembali doktrin tauhid yang mutlak: Allah adalah Ahad (Esa), tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya (Qul Huwallahu Ahad, Allahush Shamad, Lam Yalid wa Lam Yuulad, wa Lam Yakullahu Kufuwan Ahad). Ayat ini menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang terjerumus dalam kesyirikan dalam bentuk apa pun, baik syirik besar maupun syirik kecil, karena kesyirikan adalah dosa yang tidak akan diampuni Allah jika mati dalam keadaan tersebut.
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
Fala'allaka bākhi'un nafsaka 'alā āthārihim in lam yu'minū bihādhāl-ḥadīthi 'asafā.
Maka (apakah) barangkali engkau akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini?
Ayat ini merupakan bentuk penghiburan dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang merasa sangat sedih dan khawatir melihat kaumnya menolak kebenaran Al-Quran dan terus dalam kekafiran. Frasa "Fala'allaka bākhi'un nafsaka" secara harfiah berarti "Maka barangkali engkau akan membunuh dirimu." Ini adalah ungkapan hiperbolis yang menggambarkan betapa besar kesedihan dan kepedulian Nabi terhadap umatnya. Hati Nabi begitu terpukul dan terbebani oleh penolakan yang keras kepala dari kaumnya terhadap risalah yang beliau bawa, seolah-olah beliau bisa mati karena kesedihan yang mendalam tersebut.
Nabi Muhammad sangat menginginkan agar semua orang mendapatkan petunjuk dan masuk Islam, karena beliau adalah rahmat bagi semesta alam. Penolakan kaum Quraisy dan tuduhan mereka terhadap Allah membuatnya sangat menderita, bukan karena kepentingan pribadi, melainkan karena kasih sayang beliau yang luar biasa terhadap manusia agar mereka selamat dari azab Allah. Allah menghibur Nabi-Nya, mengingatkannya bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan risalah, bukan memaksa mereka beriman. Iman adalah hidayah dari Allah, dan Allah tidak menghendaki Nabi-Nya terlalu membebani diri dengan kesedihan atas penolakan orang lain.
Pesan ini juga relevan bagi para dai, ulama, dan juru dakwah di setiap zaman. Terkadang, upaya dakwah yang gigih namun menghadapi penolakan dan pengabaian dapat menimbulkan kekecewaan dan kesedihan mendalam. Ayat ini mengingatkan bahwa hasil akhir ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran dengan hikmah, kesabaran, dan keteladanan, tanpa membiarkan diri terlarut dalam kesedihan berlebihan jika orang lain memilih untuk tidak beriman. Fokuslah pada tugas, serahkan hasilnya kepada Allah, dan teruslah berbuat baik serta berdoa agar Allah membukakan hati mereka. Seorang dai harus selalu ingat bahwa ia adalah penyampai, bukan pemilik hidayah. Ini adalah pelajaran penting tentang batasan tanggung jawab manusia dalam dakwah.
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Innā ja'alnā mā 'alal-arḍi zīnatan lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu 'amalā.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.
Ayat ini menjelaskan hakikat kehidupan dunia yang sering kali membuat manusia terlena. Allah menyatakan bahwa "Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya". Ini mencakup segala sesuatu yang menarik perhatian manusia: kekayaan yang melimpah, anak-anak dan keturunan yang menyenangkan, kekuasaan dan jabatan yang tinggi, keindahan alam yang memukau, teknologi yang canggih, dan segala bentuk kenikmatan materi serta estetika yang dapat dinikmati indera. Semua itu adalah "perhiasan" (zīnah) yang bersifat sementara, memikat pandangan dan hati manusia, dan seringkali membuat mereka lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Namun, tujuan di balik perhiasan ini bukanlah untuk dinikmati tanpa batas dan tanpa pertanggungjawaban, melainkan sebagai "ujian bagi mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya." Dunia ini adalah medan ujian yang luas, dan segala isinya adalah sarana untuk menguji manusia. Allah ingin melihat bagaimana manusia berinteraksi dengan perhiasan-perhiasan ini. Apakah mereka akan tergoda oleh gemerlap dunia, melupakan akhirat, dan tenggelam dalam kesenangan sesaat? Ataukah mereka akan menggunakan nikmat dunia sebagai sarana untuk beramal saleh, mendekatkan diri kepada Allah, berbuat kebaikan kepada sesama, dan menjadikannya jembatan menuju kehidupan abadi yang lebih baik?
Frasa "terbaik perbuatannya" (aḥsanu 'amalā) tidak hanya berarti kuantitas amal yang banyak, tetapi juga kualitas amal: keikhlasan niat yang semata-mata karena Allah, kesesuaian dengan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah, dan keunggulan atau kesungguhan dalam pelaksanaannya. Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama kehidupan bukanlah mengumpulkan perhiasan dunia atau menumpuk kekayaan semata, melainkan berjuang untuk mencapai amal yang terbaik yang akan menjadi bekal berharga di akhirat. Ini adalah pengingat penting bagi setiap Muslim untuk tidak terperdaya oleh gemerlap dunia, melainkan menjadikannya sarana untuk meraih keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi. Dunia adalah ladang, dan akhirat adalah panennya; siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan, dan siapa yang menanam keburukan akan memanen penyesalan.
وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
Wa 'innā lajā'ilūna mā 'alayhā ṣa'īdan juruzā.
Dan sesungguhnya Kami akan menjadikan apa yang di atasnya (bumi) menjadi tanah yang tandus lagi gersang.
Ayat ini melengkapi pemahaman tentang hakikat dunia yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Setelah menyebutkan bahwa dunia adalah perhiasan dan medan ujian, Allah menegaskan bahwa perhiasan itu tidak akan kekal. Sebaliknya, pada suatu hari nanti, "Dan sesungguhnya Kami akan menjadikan apa yang di atasnya (bumi) menjadi tanah yang tandus lagi gersang."
Kata "ṣa'īdan juruzā" menggambarkan kondisi bumi setelah kiamat: tanah yang gersang, tandus, tidak ada kehidupan, tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada perhiasan yang tersisa. Segala sesuatu yang dulunya indah dan memikat akan kembali menjadi debu yang tak bernilai. Ini adalah kontras yang tajam dengan keindahan, kesuburan, dan kemakmuran yang kita saksikan sekarang di bumi. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan yang tegas bahwa segala kemegahan dunia, seindah, semewah, dan sekuat apa pun, adalah fana. Ia akan hancur dan kembali menjadi debu, tidak tersisa sedikit pun jejak perhiasan yang pernah ada, melainkan hanya puing-puing kehancuran.
Pesan utama dari ayat ini adalah untuk tidak terpaku pada dunia yang sementara dan segala perhiasannya. Jika segala isinya akan musnah, maka mengejar dunia sebagai tujuan akhir adalah kesia-siaan yang akan berujung pada penyesalan. Sebaliknya, fokus haruslah pada apa yang kekal, yaitu akhirat. Ayat ini mendorong manusia untuk merenungkan akhir dari segala sesuatu, mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kehancuran dunia, di mana amal saleh dan keimanan adalah satu-satunya bekal dan perhiasan yang akan tetap abadi. Pemahaman ini seharusnya memotivasi kita untuk tidak terlena dengan kesenangan dunia, melainkan menjadikannya sarana untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dan abadi di sisi Allah.
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًاAm ḥasibta 'anna 'aṣḥābal-kahfi wal-raqīmi kānū min āyātinā 'ajabā.
Idh awāl-fityatu 'ilāl-kahfi faqālū Rabbanā ātina min ladunka raḥmataw wa hayyi' lanā min amrinā rashadā.Atau apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?
(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, "Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini."
Ayat 9-10 memulai kisah Ashabul Kahfi, para penghuni gua. Allah bertanya kepada Nabi Muhammad, "Atau apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?" Pertanyaan retoris ini menarik perhatian pada keajaiban kisah ini, menunjukkan bahwa meskipun kisah mereka luar biasa, itu hanyalah salah satu dari banyak tanda kebesaran Allah yang jauh lebih menakjubkan di alam semesta dan dalam penciptaan. "Al-Kahfi" adalah gua, tempat mereka berlindung, sementara "Ar-Raqim" memiliki beberapa penafsiran di kalangan ulama: bisa merujuk pada prasasti atau papan yang mencatat kisah mereka yang ditemukan kemudian, nama anjing mereka, atau nama tempat dekat gua tersebut. Apapun itu, kisah mereka adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang patut direnungkan dan diambil pelajarannya.
Lalu Allah melanjutkan dengan menceritakan inti kisah: "Ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, 'Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini.'" Ini menunjukkan bahwa para pemuda itu adalah hamba-hamba Allah yang beriman yang melarikan diri dari kekejaman raja zalim yang memaksa mereka menyembah berhala. Mereka memilih untuk melindungi iman mereka dengan mengasingkan diri dari masyarakat yang korup dan terjerumus dalam kesyirikan. Tindakan hijrah ini adalah bentuk pengorbanan tertinggi demi menjaga akidah.
Doa mereka sangatlah mendalam dan penuh makna: mereka memohon "rahmat dari sisi-Mu" (min ladunka raḥmataw), menunjukkan ketergantungan penuh kepada Allah, karena rahmat-Nya adalah kunci segala kebaikan. Selain itu, mereka memohon "petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini" (min amrinā rashadā), sebuah petunjuk yang akan membimbing mereka melalui situasi yang sangat genting dan penuh risiko. Mereka tidak meminta makanan, kekayaan, kekuatan militer, atau jalan keluar yang mudah, melainkan rahmat dan petunjuk. Ini menunjukkan prioritas utama mereka adalah keselamatan iman dan bimbingan ilahi dalam menghadapi segala kesulitan. Mereka percaya bahwa dengan rahmat dan petunjuk Allah, mereka akan mampu menghadapi segala kesulitan. Kisah mereka akan menjadi bukti nyata bagaimana Allah melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakkal dengan cara yang paling ajaib dan tak terduga.
Kisah Ashabul Kahfi adalah salah satu narasi paling memukau dalam Al-Quran, dan penempatannya di awal Surah Al-Kahfi memiliki makna yang sangat strategis. Kisah ini adalah respons terhadap pertanyaan kaum musyrikin Mekkah yang disulut oleh orang-orang Yahudi, tentang siapa pemuda-pemuda yang tidur di gua selama berabad-abad. Melalui kisah ini, Allah memberikan pelajaran-pelajaran fundamental tentang iman, kesabaran, takdir, kebangkitan, dan perlindungan ilahi. Ini adalah mukjizat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang mutlak atas segala sesuatu, termasuk waktu dan kehidupan.
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja zalim bernama Decius (nama yang sering disebutkan dalam riwayat dan tafsir, meskipun Al-Quran tidak menyebutkan nama secara eksplisit), para penduduk dipaksa untuk menyembah berhala dan meninggalkan tauhid. Dalam kondisi yang penuh tekanan, penganiayaan, dan ancaman terhadap iman ini, muncullah sekelompok pemuda yang teguh imannya kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka menolak kemusyrikan dan kekafiran yang dilakukan oleh kaumnya dan raja mereka. Iman mereka tidak goyah sedikitpun meskipun ancaman dan siksaan mengintai, bahkan di hadapan hukuman mati.
Mereka tidak ingin berkompromi dengan iman mereka, meskipun harus menanggung risiko besar. Di tengah masyarakat yang mayoritas kafir dan penguasa yang tiran, mereka menyadari bahwa tetap tinggal di lingkungan itu berarti menghadapi risiko yang sangat besar terhadap iman mereka, bahkan mungkin nyawa mereka. Mereka berdiskusi dan bersepakat untuk meninggalkan kota, mencari tempat yang aman untuk memelihara akidah mereka agar tidak terjerumus ke dalam dosa syirik atau kekafiran. Tindakan ini menunjukkan keberanian luar biasa, keyakinan yang kuat, dan prioritas mutlak terhadap agama di atas kehidupan duniawi, harta, dan keluarga. Ini adalah teladan sejati dalam menjaga agama.
Para pemuda itu memutuskan untuk mencari perlindungan di sebuah gua yang terpencil. Ini adalah tindakan tawakkal yang luar biasa. Mereka tidak memiliki kekuatan militer, dukungan politik, atau kekayaan untuk melawan rezim yang berkuasa. Satu-satunya "senjata" mereka adalah iman yang tulus dan doa yang sepenuh hati. Ketika mereka masuk ke dalam gua, mereka memanjatkan doa yang penuh ketulusan, sebagaimana yang disebutkan dalam Ayat 10: "Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini."
Doa ini mengandung esensi ketergantungan total kepada Allah. Mereka tidak meminta jalan keluar yang mudah, tidak meminta kekuatan untuk melawan raja, tetapi hanya meminta rahmat dan petunjuk yang lurus (rasyad). Ini adalah pelajaran penting bahwa dalam situasi tersulit sekalipun, seorang mukmin harus selalu kembali kepada Allah, memohon pertolongan dan bimbingan-Nya. Mereka menyadari bahwa tanpa rahmat Allah, segala upaya akan sia-sia dan tidak berarti, dan tanpa petunjuk-Nya, mereka akan tersesat dan binasa. Doa ini mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang kekuasaan dan kasih sayang Allah, serta menunjukkan bahwa pertolongan sejati hanya datang dari Allah.
Setelah berdoa, Allah mengabulkan permohonan mereka dengan cara yang tidak terduga dan ajaib. Allah membuat mereka tertidur lelap di dalam gua selama 309 tahun. Selama periode yang sangat panjang ini, Allah melindungi mereka dari segala kerusakan dan perubahan. Tubuh mereka tidak membusuk atau hancur, rambut dan kuku mereka tidak tumbuh berlebihan, dan mereka tidak merasakan lapar atau haus. Mereka tetap dalam kondisi prima seolah-olah baru saja tertidur. Ini adalah mukjizat ilahi yang menunjukkan kekuasaan Allah yang tak terbatas, di mana hukum-hukum alam tunduk pada kehendak-Nya.
Al-Quran juga menyebutkan bagaimana Allah mengatur posisi mereka di dalam gua untuk memastikan perlindungan optimal: "Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila ia terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedangkan mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu." (QS. Al-Kahfi: 17). Pengaturan ini memastikan bahwa sinar matahari tidak mengenai mereka secara langsung, sehingga tubuh mereka terlindungi dari panas yang berlebihan dan kelembaban yang dapat merusak. Anjing mereka, Qitmir, juga setia menjaga di pintu gua, seolah-olah sedang tidur, namun kehadirannya menambah kesan keajaiban dan perlindungan ilahi. Jika ada yang melihat mereka, mereka akan mengira para pemuda itu terjaga, padahal mereka tertidur pulas. Ini adalah tanda kebesaran Allah untuk menyembunyikan kondisi mereka dari siapapun yang mungkin mencari mereka, bahkan jika ada yang menemukan gua tersebut. Tidur mereka bukanlah tidur biasa, melainkan keadaan yang Allah ciptakan untuk menunjukkan keagungan-Nya, menjadi bukti bagi hari kebangkitan.
Setelah 309 tahun berlalu, sesuai dengan kehendak-Nya, Allah membangunkan mereka dari tidur panjang. Ketika mereka terbangun, mereka merasa hanya tertidur sehari atau sebagian hari saja. Hal ini menunjukkan betapa Allah menyempurnakan tidur mereka hingga mereka tidak merasakan waktu yang berlalu. Ini juga merupakan salah satu mukjizat Allah yang menunjukkan bahwa konsep waktu bersifat relatif di hadapan kekuasaan-Nya. Ketika salah satu dari mereka, yaitu kepala rombongan, yang bernama Yamlikha (nama yang populer dalam riwayat), pergi ke kota untuk membeli makanan dengan koin lama mereka, ia menemukan bahwa dunia telah berubah drastis.
Kota itu tidak lagi diperintah oleh raja zalim yang sama; bahkan, penduduknya telah menganut agama Tauhid. Nilai mata uang telah berubah secara signifikan, dan penampilannya yang kuno dengan pakaian dan koin yang sudah tidak berlaku membuat orang-orang keheranan. Akhirnya, kisah mereka yang luar biasa tersebar luas, dan mereka dihormati sebagai tanda kebesaran Allah. Setelah beberapa waktu, para pemuda Ashabul Kahfi meninggal dunia secara alami, dan Allah menjadikan gua mereka sebagai tempat untuk merenungkan kebesaran-Nya.
Kisah kebangkitan mereka setelah tidur panjang menjadi bukti nyata kekuasaan Allah untuk membangkitkan orang mati, sebuah penegasan terhadap hari kebangkitan yang sering didustakan oleh kaum kafir. Jika Allah mampu menghidupkan kembali sekelompok pemuda setelah beratus-ratus tahun tertidur, maka Dia pasti mampu membangkitkan seluruh umat manusia setelah kematian mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Perubahan drastis di kota juga menunjukkan bahwa waktu berlalu dengan cepat, dan bahwa Allah Maha Kuasa mengubah keadaan suatu kaum dari kekafiran menjadi keimanan, dari kegelapan menuju cahaya. Ini adalah janji kemenangan bagi kebenaran dan keimanan.
Kisah Ashabul Kahfi adalah bukti nyata bahwa Allah adalah sebaik-baik pelindung dan penolong bagi mereka yang beriman. Ia mengajarkan tentang pentingnya tawakkal, kesabaran, dan keberanian dalam mempertahankan akidah di tengah lingkungan yang menantang. Ini juga menjadi pengingat akan kekuasaan Allah yang tak terbatas dan kepastian hari kebangkitan, serta harapan akan kemenangan akhir bagi kebenaran dan keadilan.
Setelah menuturkan berbagai kisah penuh hikmah tentang Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidhir, serta Dzulqarnain, Surah Al-Kahfi ditutup dengan sepuluh ayat terakhir yang merupakan rangkuman dan penekanan mendalam tentang tujuan hidup, hakikat amal, hari perhitungan, dan keesaan Allah. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai penutup yang powerful, membawa kembali fokus pada akidah yang benar, balasan atas perbuatan, dan esensi tauhid yang menjadi inti seluruh ajaran Islam. Mereka adalah peringatan sekaligus janji, yang mengarahkan pandangan setiap Muslim kepada tujuan akhir keberadaannya.
الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ عَن ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا
Alladhīna kānat a'yunuhum fī ghiṭā'in 'an dhikrī wa kānū lā yastaṭī'ūna sam'ā.
(Yaitu) orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup dari mengingat-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar (kebenaran).
Ayat ini memulai deskripsi tentang siapa saja yang akan mengalami kerugian besar di akhirat, yang akan dijelaskan lebih lanjut di ayat berikutnya. Mereka adalah orang-orang yang "mata (hati)nya dalam keadaan tertutup dari mengingat-Ku" (kānat a'yunuhum fī ghiṭā'in 'an dhikrī). Ini bukan merujuk pada mata fisik yang cacat, melainkan mata hati atau penglihatan batin yang tertutup. Mereka memiliki mata jasmani, tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (ayat-ayat kauniyah) maupun dalam ayat-ayat Al-Quran (ayat-ayat qauliyah). Mereka sengaja menutup diri dari kebenaran, peringatan, dan petunjuk Allah, seolah-olah ada penutup tebal di mata batin mereka yang menghalangi cahaya hidayah.
Selain itu, "dan mereka tidak sanggup mendengar (kebenaran)" (wa kānū lā yastaṭī'ūna sam'ā). Ini juga bukan tentang pendengaran fisik yang cacat, melainkan ketidakmampuan untuk menerima dan memahami kebenaran, seolah-olah telinga mereka tuli terhadap seruan keimanan, nasihat, dan petunjuk yang membawa mereka kepada kebaikan. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak mau mendengarkan dan meresapi nasihat serta peringatan yang disampaikan kepada mereka. Penolakan mereka begitu kuat dan membatu sehingga Allah menggambarkannya seolah-olah panca indera mereka telah kehilangan fungsinya dalam menerima hidayah, bukan karena cacat fisik, tetapi karena kesombongan dan kekafiran hati mereka.
Ayat ini adalah peringatan keras bahwa kesombongan, penolakan terus-menerus terhadap kebenaran, dan berpaling dari dzikir (mengingat Allah, Al-Quran, ajaran-Nya) dapat mengakibatkan kebutaan hati dan ketulian rohani. Mereka yang secara sadar memilih untuk menolak dan mengabaikan seruan Allah akan mendapati diri mereka terhalang dari hidayah, sehingga mereka tidak lagi mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Allah atau mendengar seruan kebenaran. Ini adalah akibat langsung dari pilihan mereka sendiri untuk berpaling dari cahaya Allah dan memilih kegelapan kesesatan. Mereka telah kehilangan kesempatan untuk merasakan manisnya iman dan keindahan petunjuk ilahi, sehingga berujung pada kerugian abadi.
أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِن دُونِي أَوْلِيَاءَ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا
Afaḥasiba 'lladhīna kafarū 'an yattakhidhū 'ibādī min dūnī 'awliyā'a ۚ Innā a'tadnā jahannama lilkāfirīna nuzulā.
Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka dapat mengambil hamba-hamba-Ku sebagai penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.
Ayat ini melanjutkan tema peringatan bagi orang kafir, dengan mempertanyakan keyakinan mereka yang salah dan tidak logis. Allah bertanya secara retoris, "Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka dapat mengambil hamba-hamba-Ku sebagai penolong selain Aku?" Ini adalah teguran langsung terhadap praktik syirik, di mana manusia menyembah atau memohon pertolongan kepada selain Allah—baik itu nabi, wali, malaikat, berhala, patung, atau makhluk lainnya. Mereka mengira bahwa dengan menjadikan "hamba-hamba Allah" (ibādī) ini sebagai penolong atau perantara, mereka akan mendapatkan manfaat, perlindungan, atau syafaat di sisi Allah.
Allah menegaskan bahwa ini adalah pemikiran yang keliru, batil, dan sia-sia. Tidak ada satu pun makhluk di langit maupun di bumi yang dapat memberikan pertolongan, manfaat, atau madharat tanpa izin dan kehendak-Nya. Semua makhluk, termasuk nabi dan wali, adalah hamba Allah dan tunduk pada kekuasaan-Nya yang mutlak. Mereka sendiri membutuhkan pertolongan Allah. Mengambil mereka sebagai "awliyā'" (pelindung, penolong, atau sembahan) di samping Allah adalah bentuk kesyirikan yang paling terang-terangan dan merupakan pelanggaran terbesar terhadap hak Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini merusak fondasi tauhid dan menyamakan makhluk dengan Pencipta.
Sebagai konsekuensi dari kesesatan dan kesyirikan ini, Allah menyatakan dengan tegas: "Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir." Neraka Jahanam (nuzulā) disiapkan sebagai tempat tinggal yang layak bagi mereka yang berpaling dari tauhid dan menyekutukan Allah. "Nuzulā" secara harfiah berarti hidangan selamat datang atau tempat singgah, sebuah ironi yang mengerikan karena ini adalah tempat tinggal abadi yang penuh azab, penderitaan, dan kehinaan. Ayat ini menjadi peringatan keras akan konsekuensi fatal dari kesyirikan dan kekafiran, menggarisbawahi bahwa Allah tidak akan pernah mengampuni dosa syirik jika seseorang meninggal dalam keadaan tersebut. Ini adalah panggilan untuk selalu menjaga kemurnian tauhid dalam setiap aspek ibadah dan kehidupan.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًاQul hal nunabbi'ukum bil-'akhsarīna a'mālā.
Alladhīna ḍalla sa'yuhum fīl-ḥayātid-dunyā wa hum yaḥsabūna 'annahum yuḥsinūna ṣun'ā.Katakanlah (Muhammad), "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?"
(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Ayat ini sangat penting dan menghujam hati, karena berbicara tentang "orang yang paling rugi perbuatannya" (al-akhsarīna a'mālā). Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk bertanya, "Katakanlah (Muhammad), 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?'" Pertanyaan ini membangkitkan rasa ingin tahu, kecemasan, dan kewaspadaan, menyiapkan pendengar untuk sebuah penjelasan yang krusial tentang siapa sebenarnya yang akan paling merugi di hari akhir. Ini adalah peringatan yang menusuk kalbu, mendorong setiap individu untuk merenungkan keadaannya.
Jawabannya diberikan dalam ayat berikutnya: "(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." Ini adalah gambaran tragis tentang orang-orang yang menjalani hidup di dunia dengan penuh usaha dan kerja keras (ḍalla sa'yuhum), mencurahkan waktu, tenaga, dan harta mereka untuk berbagai aktivitas. Namun, semua itu tidak bernilai di sisi Allah karena tidak dilandasi iman yang benar atau niat yang ikhlas. Mereka mungkin membangun peradaban yang megah, melakukan inovasi ilmiah dan teknologi yang cemerlang, beramal kebaikan yang terlihat mulia di mata manusia (seperti membantu orang miskin, mendirikan yayasan sosial, atau memelihara lingkungan), tetapi karena kekafiran, kemunafikan, atau kesyirikan mereka, semua amalan itu menjadi debu yang beterbangan dan tidak memiliki bobot sedikitpun di akhirat.
Aspek yang paling menyedihkan dan berbahaya adalah bahwa mereka sendiri "menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya" (wa hum yaḥsabūna 'annahum yuḥsinūna ṣun'ā). Mereka hidup dalam ilusi dan kepuasan diri, merasa bahwa apa yang mereka lakukan sudah benar, baik, dan pasti akan mendapatkan balasan yang baik. Mereka tidak menyadari bahwa tanpa iman yang murni kepada Allah dan mengikuti petunjuk-Nya, amal sebanyak apa pun tidak akan menyelamatkan mereka dari azab. Ayat ini adalah peringatan keras bagi semua manusia agar selalu mengoreksi niat (ikhlas), memastikan keimanan yang benar (tauhid), dan beramal sesuai dengan tuntunan syariat. Jangan sampai kita terlena dengan pujian manusia atau kebaikan yang semu, lalu tergolong ke dalam orang-orang yang merugi di hari perhitungan, di mana semua harapan mereka akan sirna. Ini menunjukkan betapa krusialnya keimanan dan keikhlasan sebagai syarat diterimanya amal.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Ulā'ikalladhīna kafarū bi'āyāti Rabbihim wa liqā'ihī faḥabiṭat a'māluhum falā nuqīmu lahum yawmal-qiyāmati waznā.
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (ingkar terhadap) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sia seluruh amalnya, dan Kami tidak akan memberikan penimbangan (amal) bagi mereka pada hari Kiamat.
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut identitas "orang yang paling rugi perbuatannya" yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka adalah "orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (ingkar terhadap) pertemuan dengan Dia". Ini mencakup penolakan terhadap wahyu Allah (Al-Quran yang menjadi petunjuk hidup), tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta (ayat-ayat kauniyah yang menunjukkan eksistensi dan kekuasaan-Nya), serta penolakan terhadap kebangkitan dan hari perhitungan di akhirat (yakni pertemuan dengan Allah untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan). Inkarya mereka adalah akar dari kesesatan dan kerugian mereka, karena tanpa iman pada dasar-dasar ini, tidak ada bangunan amal yang dapat berdiri kokoh.
Konsekuensinya sangat mengerikan: "Maka sia-sia seluruh amalnya" (faḥabiṭat a'māluhum). Segala kebaikan yang mereka lakukan di dunia, entah itu membantu sesama, membangun peradaban, menciptakan teknologi, atau melakukan hal-hal yang dianggap mulia dan bermanfaat di mata manusia, akan menjadi tidak bernilai di sisi Allah. Keimanan adalah syarat mutlak diterimanya amal. Tanpa iman yang benar kepada Allah, tauhid yang murni, dan keyakinan akan hari akhirat, amal saleh tidak memiliki fondasi spiritual dan akan gugur di hari perhitungan. Bahkan jika amal tersebut tampak besar di dunia, ia bagaikan fatamorgana yang tidak memiliki substansi di padang mahsyar.
Puncaknya, "dan Kami tidak akan memberikan penimbangan (amal) bagi mereka pada hari Kiamat" (falā nuqīmu lahum yawmal-qiyāmati waznā). Ini berarti amal mereka tidak memiliki bobot sedikit pun di hadapan Allah pada hari perhitungan. Mereka tidak memiliki kebaikan yang bisa ditimbang, karena semuanya telah hangus dan tidak dianggap bernilai karena kekafiran mereka. Dengan demikian, nasib mereka sudah jelas: langsung ke neraka tanpa ada harapan untuk diselamatkan oleh amal mereka sendiri. Ini adalah peringatan serius bagi setiap orang untuk memastikan fondasi iman mereka teguh dan benar sebelum beramal, agar amalnya tidak menjadi sia-sia dan penyesalan tidak datang di hari yang tiada lagi kesempatan untuk beramal.
ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا
Dhālika jazā'uhum jahannamu bimā kafarū wa 'ttakhadhū āyātī wa rusulī huzuwā.
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan.
Ayat ini menegaskan hukuman yang pasti bagi orang-orang kafir yang telah dijelaskan karakteristiknya pada ayat-ayat sebelumnya. "Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam" adalah kepastian balasan atas kekafiran dan penolakan mereka terhadap kebenaran. Neraka Jahanam adalah tempat yang telah Allah siapkan sebagai tempat kembali yang kekal bagi mereka yang memilih jalan kesesatan. Ini adalah penekanan akan keadilan Allah, bahwa setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Penyebab utama balasan ini disebutkan dengan jelas dan terperinci: "disebabkan kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan." Kekafiran di sini bukan hanya sekadar tidak percaya, tetapi juga penolakan aktif terhadap kebenaran yang datang dari Allah. Yang lebih parah lagi adalah sikap menghina dan mengolok-olok (huzuwā) ayat-ayat Allah (baik Al-Quran maupun tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta) dan para rasul-Nya. Ini menunjukkan tingkat kesombongan, pembangkangan, dan permusuhan yang sangat tinggi, di mana mereka tidak hanya menolak, tetapi juga meremehkan dan mencemooh apa yang datang dari Allah yang Maha Suci.
Sikap meremehkan dan mengolok-olok agama, ayat-ayat Allah, dan para utusan-Nya adalah dosa besar yang menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap Allah dan risalah-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa iman adalah hal yang sangat serius, dan bermain-main dengan agama Allah, atau merendahkan ajarannya, memiliki konsekuensi yang sangat berat. Ayat ini menjadi pengingat yang kuat tentang pentingnya menghormati dan memuliakan firman Allah serta para utusan-Nya, dan bahaya besar dari kekafiran serta sikap yang merendahkan ajaran ilahi. Balasan neraka Jahanam yang kekal adalah konsekuensi logis bagi mereka yang secara sadar menolak dan menghina kebenaran dari Rabb semesta alam.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًاInnalladhīna āmanū wa 'amilūṣ-ṣāliḥāti kānat lahum jannātul-firdawsi nuzulā.
Khālidīna fīhā lā yabghūna 'anhā ḥiwalā.Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal.
Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana.
Setelah menjelaskan nasib buruk orang-orang kafir yang ingkar dan mengolok-olok, ayat-ayat ini beralih memberikan kabar gembira kepada para penghuni surga, menciptakan kontras yang jelas dan menumbuhkan harapan. "Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal." Ini adalah janji indah bagi mereka yang memenuhi dua syarat utama keimanan dan keislaman: iman yang tulus dan kokoh di dalam hati (āmanū) serta amal saleh yang konsisten dan sesuai syariat (wa 'amilūṣ-ṣāliḥāt). Dua pilar ini, iman dan amal, adalah kunci utama menuju keridhaan Allah dan surga-Nya.
Surga Firdaus disebutkan secara spesifik. Firdaus adalah tingkatan surga yang paling tinggi, paling indah, dan paling utama, yang menunjukkan kemuliaan dan kedudukan istimewa bagi hamba-hamba Allah yang paling taat, ikhlas, dan sungguh-sungguh dalam beribadah. "Nuzulā" di sini berarti tempat persinggahan yang mulia, hidangan selamat datang yang terbaik, berbeda jauh dengan "nuzulā" yang digunakan untuk Jahanam yang bermakna tempat tinggal yang mengerikan. Ini adalah balasan yang sepadan dengan keimanan, kesabaran, dan usaha mereka di dunia, sebuah balasan yang jauh melampaui apa yang dapat mereka bayangkan.
Ayat 108 menekankan sifat keabadian dari surga Firdaus: "Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana." Seperti yang juga disebutkan di awal surah, kekekalan ini memberikan nilai tak terbatas pada nikmat surga. Yang lebih menarik adalah pernyataan bahwa mereka "tidak ingin pindah dari sana" (lā yabghūna 'anhā ḥiwalā). Ini menggambarkan kesempurnaan kenikmatan surga, di mana segala keinginan, harapan, dan kebahagiaan telah terpenuhi sepenuhnya. Tidak ada lagi hasrat untuk mencari tempat atau keadaan lain, karena mereka telah mencapai puncak kebahagiaan dan kepuasan abadi di sisi Allah. Hati dan jiwa mereka akan merasakan ketenangan dan kedamaian yang tak terlukiskan, tanpa ada rasa bosan, penyesalan, atau keinginan untuk perubahan. Ini adalah tujuan akhir yang seharusnya menjadi motivasi terbesar setiap Muslim, untuk meraih kebahagiaan sejati yang abadi.
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Qul law kānal-baḥru midādan likalimāti Rabbī lanafidāl-baḥru qabla 'an tanfada kalimātu Rabbī wa law ji'nā bimithlihī madadā.
Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Ayat ini adalah salah satu ayat yang paling agung dan kuat dalam Al-Quran, yang menggambarkan kebesaran dan keluasan ilmu Allah yang tak terbatas. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyatakan sebuah perumpamaan yang luar biasa: "Katakanlah (Muhammad), 'Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'"
Kalimat-kalimat Allah (kalimāti Rabbī) di sini merujuk pada firman-Nya, pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu, hikmah-Nya yang mendalam, perintah-Nya, larangan-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta, dan segala sesuatu yang Dia ketahui, kehendaki, dan takdirkan. Perumpamaan ini menggunakan seluruh lautan di dunia sebagai tinta, dan jika seluruh pepohonan di bumi dijadikan pena, untuk menuliskan ilmu Allah. Namun, bahkan jika seluruh lautan di dunia ini dijadikan tinta, dan ditambahkan lagi lautan sebanyak itu, dan bahkan lebih banyak lagi, tinta itu akan habis sebelum habisnya ilmu dan kalimat-kalimat Allah. Ini adalah gambaran yang sangat kuat tentang betapa tidak terbatas, tidak terhingga, dan tidak terukur luasnya pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ayat ini berfungsi sebagai penekanan bahwa manusia, dengan segala keterbatasan ilmu dan pemahamannya, tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami, mencakup, atau menandingi seluruh pengetahuan Allah. Ia mengajarkan kerendahan hati yang mendalam di hadapan keagungan Allah dan menyadarkan manusia akan betapa kecilnya dirinya. Ayat ini mendorong manusia untuk terus mencari ilmu, merenungkan ciptaan Allah, dan mempelajari firman-Nya, namun dengan kesadaran bahwa ilmu yang mereka miliki hanyalah setetes air di lautan ilmu Allah yang tak bertepi. Ayat ini juga memperkuat keagungan Al-Quran sebagai bagian dari "kalimat-kalimat Allah," namun hanya sebagian kecil dari samudera luas pengetahuan-Nya yang tak terbatas. Ini adalah motivasi untuk terus belajar, berfikir, dan bertadabbur, namun dengan senantiasa mengakui keterbatasan diri dan keagungan Sang Pencipta.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Qul innamā anā basharun mithlukum yūḥā ilayya 'annamā ilāhukum ilāhun wāḥidun ۖ Faman kāna yarjū liqā'a Rabbihī falya'mal 'amalan ṣāliḥan wa lā yushrik bi'ibādati Rabbihī 'aḥadā.
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.' Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ayat penutup Surah Al-Kahfi ini adalah ringkasan yang sempurna dari seluruh pesan Al-Quran, sekaligus mengakhiri surah dengan penekanan pada tauhid dan amal saleh sebagai fondasi utama agama Islam. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyatakan dua hal utama kepada umat manusia. Pertama, "Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.'" Ini adalah penegasan tentang kemanusiaan Nabi Muhammad, menolak segala bentuk pemujaan berlebihan yang dapat mengarah pada syirik atau menyamakan beliau dengan Tuhan. Nabi hanyalah seorang utusan, manusia biasa yang menerima wahyu, dan isi wahyunya adalah inti dari seluruh risalah: keesaan Allah (Ilahun Wāḥidun). Ini adalah pilar utama Islam, Tauhid Rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan), Uluhiyah (keesaan Allah dalam peribadatan), dan Asma' wa Sifat (keesaan Allah dalam nama dan sifat-Nya). Dengan ini, beliau membedakan dirinya dari klaim ketuhanan atau semi-ketuhanan yang sering dilekatkan pada pemimpin agama di masa lalu.
Kedua, ayat ini memberikan petunjuk praktis yang jelas dan lugas bagi mereka yang ingin mencapai tujuan akhir yang sebenarnya, yaitu kehidupan abadi yang penuh kebahagiaan: "Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." Harapan untuk "bertemu dengan Tuhannya" (yarjū liqā'a Rabbihī) adalah keinginan untuk meraih ridha Allah, masuk surga, mendapatkan ampunan-Nya, dan bahkan melihat Dzat-Nya kelak di akhirat, yang merupakan puncak kenikmatan. Untuk mencapai tujuan mulia ini, ada dua syarat mutlak yang tidak dapat dipisahkan:
Ayat terakhir ini adalah kesimpulan yang komprehensif, mengingatkan kita akan hakikat keberadaan manusia sebagai hamba Allah. Tujuan kita adalah beribadah kepada Allah Yang Esa dengan amal saleh yang ikhlas, semata-mata mengharap ridha dan perjumpaan dengan-Nya. Ini adalah peta jalan yang jelas menuju kebahagiaan abadi, sebuah pesan yang merangkum semua hikmah yang terkandung dalam Surah Al-Kahfi, memberikan petunjuk yang terang benderang bagi setiap jiwa yang mencari kebenaran.
Pembacaan dan perenungan sepuluh ayat pertama dan terakhir Surah Al-Kahfi tidak hanya membawa pahala yang besar, tetapi juga memberikan perlindungan dan petunjuk berharga bagi kehidupan seorang Muslim. Ada banyak hadits yang menguatkan keutamaan ini, menjadikannya bagian penting dari amalan sehari-hari, terutama pada hari Jumat. Berikut adalah beberapa hikmah dan keutamaan yang dapat kita tarik dari bagian-bagian mulia ini:
Salah satu keutamaan paling masyhur dari membaca dan menghafal sepuluh ayat pertama dan terakhir Surah Al-Kahfi adalah perlindungan dari fitnah Dajjal. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surah Al-Kahfi, dia akan dilindungi dari (fitnah) Dajjal." (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan sepuluh ayat terakhir.
Mengapa ayat-ayat ini begitu istimewa dalam melindungi dari Dajjal? Fitnah Dajjal adalah ujian terbesar bagi umat manusia di akhir zaman, yang mencoba menyesatkan manusia dengan kekuatan supranatural palsunya dan klaim ketuhanan. Dajjal akan menguji manusia dengan kekayaan melimpah, kekuasaan yang tak tertandingi, dan bahkan kemampuan "menghidupkan" dan "mematikan" yang sesungguhnya hanyalah sihir dan tipuan. Untuk menghadapi fitnah sebesar ini, dibutuhkan landasan iman yang sangat kokoh.
Dengan merenungi makna ayat-ayat ini, seorang Muslim akan memiliki landasan akidah yang kuat, tidak mudah tergoda oleh janji-janji palsu Dajjal, dan memahami bahwa semua kekuasaan, keajaiban, dan keindahan hanyalah milik Allah semata. Ini adalah persiapan spiritual yang paling efektif untuk menghadapi ujian akhir zaman.
Baik di awal maupun di akhir surah, penekanan pada tauhid sangat kuat dan fundamental. Ayat 1 memuji Allah yang menurunkan kitab tanpa kebengkokan, menegaskan keesaan-Nya dalam sifat-sifat-Nya. Ayat 4-5 memperingatkan keras terhadap syirik dengan mengklaim Allah memiliki anak. Ayat 102 dengan tegas menolak gagasan mengambil penolong selain Allah. Dan ayat 110 adalah puncak dari penegasan tauhid, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa dan tidak boleh ada syirik dalam ibadah, baik dalam niat maupun perbuatan.
Memahami bagian-bagian ini memperkuat keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Penguasa alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah (penciptaan dan pengaturan), tidak ada yang setara dengan-Nya dalam uluhiyah (hak untuk disembah), dan tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam asma' wa sifat (nama dan sifat). Hanya kepada-Nya lah kita menyembah dan memohon pertolongan. Akidah tauhid yang kokoh adalah benteng terkuat dari segala bentuk kesesatan, penyimpangan, dan pemikiran yang melenceng. Ia memberikan arah yang jelas dalam hidup dan tujuan yang pasti.
Ayat 7 dan 8 dengan jelas menggambarkan dunia sebagai perhiasan yang fana dan medan ujian, yang pada akhirnya akan menjadi tanah tandus dan gersang. Kontras ini dipertegas di ayat 107-108 yang menjanjikan surga Firdaus yang kekal abadi, penuh kenikmatan, dan tanpa keinginan untuk berpindah bagi orang beriman. Ini adalah pengingat konstan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara, dan tujuan utama seorang Muslim adalah akhirat yang abadi, yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Pemahaman ini membantu seseorang untuk tidak terlalu terikat pada gemerlap dunia yang menipu, tidak bersedih berlebihan atas kehilangan materi, dan tidak sombong atas pencapaian duniawi yang sementara. Sebaliknya, ia akan termotivasi untuk menggunakan waktu, harta, tenaga, dan semua nikmat yang diberikan Allah di dunia ini sebagai sarana untuk beramal saleh demi bekal akhirat. Ini adalah kunci untuk menjalani hidup yang seimbang, di mana dunia tidak dilupakan, tetapi akhirat menjadi prioritas utama. Ini juga memberikan ketenangan batin, karena ia tahu bahwa kesulitan dunia adalah sementara dan akan ada balasan yang lebih baik di akhirat.
Al-Quran tidak hanya memerintahkan iman, tetapi juga mengaitkannya erat dengan amal saleh. Iman tanpa amal saleh adalah iman yang tidak sempurna, dan amal saleh tanpa iman yang benar adalah sia-sia. Ayat 2 menjanjikan balasan baik bagi mukmin yang beramal saleh. Ayat 103-105 memberikan peringatan keras bahwa amal tanpa dasar iman yang benar adalah sia-sia belaka, seperti fatamorgana di padang pasir yang tidak ada airnya. Dan ayat 110 secara eksplisit mengikat harapan bertemu Allah dengan amal saleh yang ikhlas, bebas dari syirik.
Ini mengajarkan bahwa amal harus dilakukan dengan niat yang murni karena Allah semata (ikhlas), dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam (ittiba' kepada Rasulullah). Tanpa dua syarat ini, amal tidak akan diterima di sisi Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim didorong untuk senantiasa mengevaluasi niatnya dan memastikan bahwa amalnya sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, agar tidak termasuk golongan yang merugi di hari kiamat.
Kisah Ashabul Kahfi adalah teladan nyata tentang tawakkal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah) dan kekuatan doa. Para pemuda itu, dalam situasi yang sangat genting dan tanpa ada jalan keluar secara logis, berlindung kepada Allah dan memohon rahmat serta petunjuk-Nya. Doa mereka dikabulkan dengan cara yang ajaib, melebihi batas-batas akal manusia. Ini mengajarkan kita bahwa dalam setiap kesulitan, tantangan, atau ujian, kita harus selalu berserah diri sepenuhnya kepada Allah, berdoa dengan tulus dan penuh keyakinan, serta yakin bahwa Allah akan memberikan jalan keluar dan pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka. Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha sekuat tenaga, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan keyakinan penuh.
Ayat 109 adalah penegasan luar biasa tentang betapa tidak terbatasnya ilmu Allah, yang bahkan seluruh lautan di dunia pun tidak cukup untuk dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat-Nya, meskipun ditambahkan lautan sebanyak itu lagi. Ini menanamkan rasa kerendahan hati yang mendalam dalam diri manusia dan menyadarkan bahwa ilmu yang kita miliki sangatlah sedikit dan terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah yang Maha Luas. Kita adalah makhluk yang fakir ilmu di hadapan-Nya.
Hal ini mendorong kita untuk terus mencari ilmu, belajar, dan merenungkan ciptaan Allah, tetapi dengan kesadaran bahwa kita tidak akan pernah bisa mencakup seluruh ilmu Allah. Ada banyak hal yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia, dan kita harus menerima keterbatasan ini dengan lapang dada. Ayat ini juga menegaskan keagungan Al-Quran sebagai firman Allah, namun hanya sebagian kecil dari samudra pengetahuan-Nya yang tak terbatas. Dengan demikian, kita diajarkan untuk selalu rendah hati dalam mencari ilmu dan mengakui kebesaran serta ilmu Allah yang tak terhingga.
Surah Al-Kahfi secara keseluruhan dikenal sebagai surah yang membahas empat fitnah (ujian) utama yang sering dihadapi manusia: fitnah agama (diwakili oleh kisah Ashabul Kahfi), fitnah harta (kisah dua pemilik kebun), fitnah ilmu (kisah Nabi Musa dan Khidhir), dan fitnah kekuasaan (kisah Dzulqarnain). Sepuluh ayat pertama dan terakhir ini mengintroduksi dan merangkum pelajaran tentang bagaimana menghadapi fitnah-fitnah ini dengan berpegang teguh pada tauhid, amal saleh, dan tawakkal. Ayat-ayat ini memberikan peta jalan yang jelas bagi seorang Muslim untuk tetap teguh di tengah badai ujian kehidupan, mengajarkan bahwa kuncinya adalah iman yang kokoh, niat yang ikhlas, dan ketergantungan penuh kepada Allah.
Sepuluh ayat pertama dan sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi adalah permata hikmah yang tak ternilai harganya dalam Al-Quran. Mereka berfungsi sebagai fondasi dan penutup yang kuat, merangkum inti ajaran Islam yang fundamental: tauhid yang murni dan tidak tercampur syirik, pentingnya amal saleh yang ikhlas, hakikat dunia yang fana dan sementara, serta kepastian akhirat sebagai tujuan akhir. Melalui kisah Ashabul Kahfi yang menakjubkan, kita diajari tentang keteguhan iman yang luar biasa, tawakkal sepenuhnya kepada Allah, dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas untuk melindungi hamba-hamba-Nya yang setia. Melalui ayat-ayat terakhir, kita diingatkan tentang kesia-siaan amal tanpa fondasi iman yang benar, keluasan ilmu Allah yang tak terhingga, dan jalan yang jelas menuju perjumpaan dengan-Nya di hari perhitungan.
Membaca, menghafal, dan merenungkan makna mendalam dari ayat-ayat ini secara rutin, terutama pada hari Jumat, adalah praktik yang sangat dianjurkan dan membawa pahala yang besar. Selain mendapatkan pahala, ia membekali seorang Muslim dengan benteng akidah yang kokoh, menjaganya dari fitnah Dajjal yang akan datang, dan membimbingnya melalui berbagai ujian kehidupan yang selalu datang silih berganti. Ayat-ayat ini adalah cahaya penuntun yang menerangi jalan menuju keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di surga Firdaus. Mereka memberikan harapan di tengah keputusasaan, kekuatan di tengah kelemahan, dan petunjuk di tengah kebingungan. Dengan memahami dan mengamalkan pesan-pesan ini, seorang Muslim akan menemukan kedamaian batin dan tujuan hidup yang sejati.
Marilah kita senantiasa menjadikan Surah Al-Kahfi, khususnya bagian-bagian mulia ini, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual kita, mengambil pelajaran darinya, dan mengamalkan pesan-pesannya dalam setiap aspek kehidupan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk memahami dan mengamalkan Al-Quran dengan sebaik-baiknya, sehingga kita termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat. Aamiin ya Rabbal 'Alamin.